Pub Date : 2020-12-28DOI: 10.22373/dusturiyah.v10i2.8230
Ramayana Sofa, Mohd. Kalam Daud, Azmil Umur
Dalam pemenuhan hak dan kewajiban penduduk Kabupaten Aceh Barat Daya di bidang pendaftaran penduduk dan catatan sipil, maka diperlukan pengaturan secara komprehensif untuk menjadi pegangan dan pedoman bagi seluruh aparatur pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya sebagaimana telah diatur di dalam Qanun Kabupaten Aceh Barat Daya Nomor 13 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan. Pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah bagaimana implementasi Pasal 31 Ayat (1) Qanun Aceh Barat Daya Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan dan faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam implementasi Pasal 31 Ayat (1) Qanun Aceh Barat Daya Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan di Gampong Gunung Samarinda. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum sosiologis. Sumber data yang digunakan adalah data primer, data sekunder dan tersier. teknik pengumpul data digunakan observasi, angket dan wawancara. Hasil penelitian ditemukan bahwa dalam hal pengurusan akta kelahiran masih banyak masyarakat Gampong Gunung Samarinda yang belum memiliki akta kelahiran yaitu dari 1.838 orang hanya 880 orang yang memiliki akta kelahiran dan 958 orang yang belum memiliki akta kelahiran. Kesadaran masyarakat Gampong Gunung Samarinda dalam hal pembuatan akta kelahiran masih kurang. Dengan demikian, implementasi pasal 31 Qanun Aceh Barat Daya Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan di Gampong Gunung Samarinda belum berjalan maksimal artinya Qanun tidak berjalan sesuai yang diharapkan karena masih banyak masyarakat yang belum memiliki akta kelahiran, faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pembuatan akta kelahiran yaitu pada umumnya kesadaran masyarakat untuk mengurus akta kelahiran sangat kurang dan juga faktor sulitnya birokrasi serta banyaknya biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan akta kelahiran dikarenakan jarak tempuh yang jauh.
{"title":"BIRTH RECORDING ACCORDING TO ARTICLE 31 QANUN ACEH BARAT DAYA NO. 13 of 2012 CONCERNING THE IMPLEMENTATION OF POPULATION ADMINISTRATION (Case Study in Gampong Gunung Samarinda, Babahrot District Regency. Aceh Barat Daya)","authors":"Ramayana Sofa, Mohd. Kalam Daud, Azmil Umur","doi":"10.22373/dusturiyah.v10i2.8230","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/dusturiyah.v10i2.8230","url":null,"abstract":"Dalam pemenuhan hak dan kewajiban penduduk Kabupaten Aceh Barat Daya di bidang pendaftaran penduduk dan catatan sipil, maka diperlukan pengaturan secara komprehensif untuk menjadi pegangan dan pedoman bagi seluruh aparatur pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya sebagaimana telah diatur di dalam Qanun Kabupaten Aceh Barat Daya Nomor 13 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan. Pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah bagaimana implementasi Pasal 31 Ayat (1) Qanun Aceh Barat Daya Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan dan faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam implementasi Pasal 31 Ayat (1) Qanun Aceh Barat Daya Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan di Gampong Gunung Samarinda. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum sosiologis. Sumber data yang digunakan adalah data primer, data sekunder dan tersier. teknik pengumpul data digunakan observasi, angket dan wawancara. Hasil penelitian ditemukan bahwa dalam hal pengurusan akta kelahiran masih banyak masyarakat Gampong Gunung Samarinda yang belum memiliki akta kelahiran yaitu dari 1.838 orang hanya 880 orang yang memiliki akta kelahiran dan 958 orang yang belum memiliki akta kelahiran. Kesadaran masyarakat Gampong Gunung Samarinda dalam hal pembuatan akta kelahiran masih kurang. Dengan demikian, implementasi pasal 31 Qanun Aceh Barat Daya Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan di Gampong Gunung Samarinda belum berjalan maksimal artinya Qanun tidak berjalan sesuai yang diharapkan karena masih banyak masyarakat yang belum memiliki akta kelahiran, faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pembuatan akta kelahiran yaitu pada umumnya kesadaran masyarakat untuk mengurus akta kelahiran sangat kurang dan juga faktor sulitnya birokrasi serta banyaknya biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan akta kelahiran dikarenakan jarak tempuh yang jauh. ","PeriodicalId":415658,"journal":{"name":"Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial","volume":"215 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132225857","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2020-12-28DOI: 10.22373/dusturiyah.v10i2.8128
Suhaimy Syahrul, Muhammad Yusran Hadi, Gamal Achyar
This research was conducted based on the form of fraud and the obscurity of business actors, which, if allowed to continue, will further harm consumers. In fact, consumers have not received maximum service, so consumers are always ignored by the behavior of business actors who commit fraud, just because they want to get a profit. The research objective in this thesis is to find out how to review Islamic economic law on the practice of buying and selling internet data package pulses for traders in Gampong Kopelma, Syiah Kuala District, Banda Aceh. This research uses qualitative research with descriptive analysis method. And data obtained from interviews. The results of this study indicate that in the practice of buying and selling the active period of internet data packages at the Kopelma Village Counter, Syiah Kuala District, Banda Aceh, buyers come directly to the place. In that place the buyer can choose the data package to be used and purchased. Prices and products also vary, depending on the data package and the amount of quota, as well as the active period for how many months. The products sold include Simpati, XL, Axis, Tri, Indosat, Smartfren and other products. After finding the internet data package that you want to use, the buyer begins the transaction. The law of buying and selling internet data pulses by traders in the Kopelma Darussalam area is legal and is in accordance with the terms and conditions of buying and selling. However, there are some sellers who do not convey the correct information, resulting in losses for the buyer such as the active period or the validity period of the package which is shorter than the time that has been delivered.
这项研究是基于欺诈的形式和商业行为者的默默无闻进行的,如果允许这种形式继续下去,将进一步伤害消费者。事实上,消费者并没有得到最大限度的服务,所以消费者总是被商业行为者的行为所忽视,仅仅因为他们想要获得利润。本文的研究目的是找出如何审查伊斯兰经济法在班达亚齐省赛亚瓜拉区甘蓬科佩尔马的贸易商买卖互联网数据包脉冲的做法。本研究采用定性研究与描述性分析相结合的方法。以及从访谈中获得的数据。本研究结果表明,在班达亚齐省Syiah Kuala District Kopelma Village Counter买卖互联网数据包活跃期的实践中,购买者直接来到该地点。在那里,买家可以选择要使用和购买的数据包。价格和产品也会有所不同,这取决于数据包和配额数量,以及活动期为几个月。销售的产品包括Simpati、XL、Axis、Tri、Indosat、smartfriend等产品。在找到你想要使用的互联网数据包后,买家开始交易。在科佩尔马达鲁萨兰国地区,交易者买卖互联网数据脉冲的法律是合法的,并且符合买卖的条款和条件。然而,也有一些卖家没有传达正确的信息,给买方造成损失,如包裹的有效期或有效期短于交付的时间。
{"title":"REVIEW OF ISLAMIC ECONOMIC LAW ON TRADERS 'INTERNET DATA SELLING PRACTICES IN GAMPONG KOPELMA KECAMATAN SYIAH KUALA BANDA ACEH","authors":"Suhaimy Syahrul, Muhammad Yusran Hadi, Gamal Achyar","doi":"10.22373/dusturiyah.v10i2.8128","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/dusturiyah.v10i2.8128","url":null,"abstract":"This research was conducted based on the form of fraud and the obscurity of business actors, which, if allowed to continue, will further harm consumers. In fact, consumers have not received maximum service, so consumers are always ignored by the behavior of business actors who commit fraud, just because they want to get a profit. The research objective in this thesis is to find out how to review Islamic economic law on the practice of buying and selling internet data package pulses for traders in Gampong Kopelma, Syiah Kuala District, Banda Aceh. This research uses qualitative research with descriptive analysis method. And data obtained from interviews. The results of this study indicate that in the practice of buying and selling the active period of internet data packages at the Kopelma Village Counter, Syiah Kuala District, Banda Aceh, buyers come directly to the place. In that place the buyer can choose the data package to be used and purchased. Prices and products also vary, depending on the data package and the amount of quota, as well as the active period for how many months. The products sold include Simpati, XL, Axis, Tri, Indosat, Smartfren and other products. After finding the internet data package that you want to use, the buyer begins the transaction. The law of buying and selling internet data pulses by traders in the Kopelma Darussalam area is legal and is in accordance with the terms and conditions of buying and selling. However, there are some sellers who do not convey the correct information, resulting in losses for the buyer such as the active period or the validity period of the package which is shorter than the time that has been delivered.","PeriodicalId":415658,"journal":{"name":"Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial","volume":"7 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125254077","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2020-10-02DOI: 10.22373/dusturiyah.v10i1.8010
M. Khalidi
Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat, terdapat pasal yang mengatur tentang pembuktian dalam kasus jarimah zina yaitu Pasal 182 ayat (5) tetapi tidak menyinggung tentang kesaksian yang diberikan olehperempuan. Adapun yang menjadi rumusan masalah adalahbagaimana ketentuan Qanun No. 7 Tahun 2013 tentang pembuktian dalam jarimah zina, dan bagaimana tinjauan kesaksian perempuan dalam hal jarimah zina menurut perspektif Hukum Islam dan Gender. Penulisan Artikel ini dikategorikan dalam penelitian hukum normatif yaitu sebuah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.Dari hasil penelitian didapatkan bunyi Pasal 182 Qanun Aceh No. 7 Tahun 2013 menunjukkan bahwa saksi adalah alat bukti. Dalam konteks gender, kesaksian yang diberikan perempuan dan laki-laki itu sama. Melihat kesaksian sebagai alat bukti dalam hukum Islam, maka perbedaan pendapat antara jumhur dan Ibn Hazm dapat disimpulkan sebagai keragaman yang saling melengkapi. Beragamnya kekuatan saksi dalam kasus mengharuskan seorang Hakim melakukan penemuan hukum.Kata Kunci: Kesaksian, Perempuan, Jarimah Zina, Hukum Islam,Gender
{"title":"KESAKSIAN PEREMPUANDALAM QANUN ACEH NO. 7 TAHUN 2013 TENTANG JARIMAH ZINA (PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN GENDER)","authors":"M. Khalidi","doi":"10.22373/dusturiyah.v10i1.8010","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/dusturiyah.v10i1.8010","url":null,"abstract":"Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat, terdapat pasal yang mengatur tentang pembuktian dalam kasus jarimah zina yaitu Pasal 182 ayat (5) tetapi tidak menyinggung tentang kesaksian yang diberikan olehperempuan. Adapun yang menjadi rumusan masalah adalahbagaimana ketentuan Qanun No. 7 Tahun 2013 tentang pembuktian dalam jarimah zina, dan bagaimana tinjauan kesaksian perempuan dalam hal jarimah zina menurut perspektif Hukum Islam dan Gender. Penulisan Artikel ini dikategorikan dalam penelitian hukum normatif yaitu sebuah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.Dari hasil penelitian didapatkan bunyi Pasal 182 Qanun Aceh No. 7 Tahun 2013 menunjukkan bahwa saksi adalah alat bukti. Dalam konteks gender, kesaksian yang diberikan perempuan dan laki-laki itu sama. Melihat kesaksian sebagai alat bukti dalam hukum Islam, maka perbedaan pendapat antara jumhur dan Ibn Hazm dapat disimpulkan sebagai keragaman yang saling melengkapi. Beragamnya kekuatan saksi dalam kasus mengharuskan seorang Hakim melakukan penemuan hukum.Kata Kunci: Kesaksian, Perempuan, Jarimah Zina, Hukum Islam,Gender","PeriodicalId":415658,"journal":{"name":"Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial","volume":"45 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-10-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123454170","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-10-02DOI: 10.22373/DUSTURIAH.V9I2.5317
Syahrizal Abbas, Edi Yuhermansyah, Dara Masyittah
In a transaction, especially elecronic goods can not be separated from the possibility of defects or damage to goods traded in the future, causing electronic goods manufacturers to provide guarantess ( warranty ) and impose and right to consumers with certain conditions. Regarding the time or warranty period for an item according to Malikiyah scholars whose nature is not perishable takes longer. In general, currently electronic goods are only given a one-year warranty period. Whereas in Law Number 8 Article 27 of 1999 concerning the Consumer Protection Law, the risk period for goods traded within a period of 4 years has been contained. The formulation of the problem and the pupose of this study is to find out how the warranty system is in muamalah fiqh and how is the guarantee system in the consumer protection law. The research method used can be classified as a descriptive analysis of reseach in two perspectives, namely in muamalah fiqh and UUPK, and with a qualitative approach, data is obtained through library research. The resulth of this study show that the warranty system in muamalah fiqh shows that the khiyar system for goods that have defects or damage in them ( disgrace ) applies when there is a defect ( disgrace ) damage to goods that are not easily damaged. Regarding the time to sue for losses is not set a definite time limit because items that are not easily damaged, especially electronics require a long time. And the results of research into the warranty system in the UUPK stipulate that the seller or business actor is obliged to provide guarantess for goods sold as a form of warranty for damaged goods, and the seller will be subject to criminal sanctions when compensation claims made by the consumer are rejected or not fulfilled. Regarding the time limit for the prosecution of damaged goods is set for 4 ( four ) years.Key word: Guarantees, Fiqh Muamalah, and the Consumer Protection Act
{"title":"SISTEM GARANSI BARANG ELEKTRONIK DALAM FIQIH MUAMALAH DAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN","authors":"Syahrizal Abbas, Edi Yuhermansyah, Dara Masyittah","doi":"10.22373/DUSTURIAH.V9I2.5317","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/DUSTURIAH.V9I2.5317","url":null,"abstract":"In a transaction, especially elecronic goods can not be separated from the possibility of defects or damage to goods traded in the future, causing electronic goods manufacturers to provide guarantess ( warranty ) and impose and right to consumers with certain conditions. Regarding the time or warranty period for an item according to Malikiyah scholars whose nature is not perishable takes longer. In general, currently electronic goods are only given a one-year warranty period. Whereas in Law Number 8 Article 27 of 1999 concerning the Consumer Protection Law, the risk period for goods traded within a period of 4 years has been contained. The formulation of the problem and the pupose of this study is to find out how the warranty system is in muamalah fiqh and how is the guarantee system in the consumer protection law. The research method used can be classified as a descriptive analysis of reseach in two perspectives, namely in muamalah fiqh and UUPK, and with a qualitative approach, data is obtained through library research. The resulth of this study show that the warranty system in muamalah fiqh shows that the khiyar system for goods that have defects or damage in them ( disgrace ) applies when there is a defect ( disgrace ) damage to goods that are not easily damaged. Regarding the time to sue for losses is not set a definite time limit because items that are not easily damaged, especially electronics require a long time. And the results of research into the warranty system in the UUPK stipulate that the seller or business actor is obliged to provide guarantess for goods sold as a form of warranty for damaged goods, and the seller will be subject to criminal sanctions when compensation claims made by the consumer are rejected or not fulfilled. Regarding the time limit for the prosecution of damaged goods is set for 4 ( four ) years.Key word: Guarantees, Fiqh Muamalah, and the Consumer Protection Act ","PeriodicalId":415658,"journal":{"name":"Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial","volume":"27 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-10-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132687175","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-10-02DOI: 10.22373/DUSTURIYAH.V9I2.5319
M. Abdullah
Home Safe is a temporary residence that is used to provide protection against victims in accordance with the prescribed standards. Safe house strongly is needed immediately to be built in accordance with the provisions of the law because the victim can tell and feel safe in the safe house. Integrated service center women and Children Empowerment have the task and function to prevent and handle domestic violence that the victims suffer. The problem formulation in this research is that it has not fulfilled the protection of domestic Violence as it has not been formed a safe house in Aceh province. In the discussion of researchers use the type of normative administrative research that is library Research (library) and field research (field) and use qualitative method of data derived from interviews, report notes, documents and others. Based on the research can be obtained the following results: the form of domestic violence that is the cause is economic factors in the family, factors of infidelity, drug factors, the innate factors of the perpetration itself, and Relationship between a married couple who is not balanced. While the P2TP2A effort in reducing domestic violence is to do socialization to Gampong-Gampong to the public about the laws of PKDRT law so that people know about the realm of law that occurs over violence Women. It can be concluded that domestic violence has decreased with the socialization and other performance of the P2TP2A institutions and is advised to immediately build safe houses for victims of domestic violence.Key words: Safe House, Domestic Violence Victims, Aceh
{"title":"RUMAH AMAN BAGI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP PEREMPUAN DI ACEH (Studi Kasus P2TP2A Provinsi Aceh)","authors":"M. Abdullah","doi":"10.22373/DUSTURIYAH.V9I2.5319","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/DUSTURIYAH.V9I2.5319","url":null,"abstract":"Home Safe is a temporary residence that is used to provide protection against victims in accordance with the prescribed standards. Safe house strongly is needed immediately to be built in accordance with the provisions of the law because the victim can tell and feel safe in the safe house. Integrated service center women and Children Empowerment have the task and function to prevent and handle domestic violence that the victims suffer. The problem formulation in this research is that it has not fulfilled the protection of domestic Violence as it has not been formed a safe house in Aceh province. In the discussion of researchers use the type of normative administrative research that is library Research (library) and field research (field) and use qualitative method of data derived from interviews, report notes, documents and others. Based on the research can be obtained the following results: the form of domestic violence that is the cause is economic factors in the family, factors of infidelity, drug factors, the innate factors of the perpetration itself, and Relationship between a married couple who is not balanced. While the P2TP2A effort in reducing domestic violence is to do socialization to Gampong-Gampong to the public about the laws of PKDRT law so that people know about the realm of law that occurs over violence Women. It can be concluded that domestic violence has decreased with the socialization and other performance of the P2TP2A institutions and is advised to immediately build safe houses for victims of domestic violence.Key words: Safe House, Domestic Violence Victims, Aceh","PeriodicalId":415658,"journal":{"name":"Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial","volume":"140 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-10-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114317101","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-10-02DOI: 10.22373/dusturiyah.v9i2.5320
Mumtazinur
This article is an effort to explain the potention of conflict and the correlation to the map of conflict. It begins by a brief several cases of violence or riots that occurred before the election. this paper also describes the forms of violence that occurred during regional elections in Aceh. besides, this paper also tries to provide a solution to the conditions that occur or as a preventative measure for similar cases in the futureKeywords : Election, Conflict, Violance, riots
{"title":"Potensi dan Peta Konflik pada Pilkada Aceh Tahun 2017","authors":"Mumtazinur","doi":"10.22373/dusturiyah.v9i2.5320","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/dusturiyah.v9i2.5320","url":null,"abstract":"This article is an effort to explain the potention of conflict and the correlation to the map of conflict. It begins by a brief several cases of violence or riots that occurred before the election. this paper also describes the forms of violence that occurred during regional elections in Aceh. besides, this paper also tries to provide a solution to the conditions that occur or as a preventative measure for similar cases in the futureKeywords : Election, Conflict, Violance, riots","PeriodicalId":415658,"journal":{"name":"Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial","volume":"195 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-10-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131986721","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-10-02DOI: 10.22373/DUSTURIAH.V9I2.5321
Ida Friatna
This is an obligation to a certain Muslim who meet the requirement to pay zaka. In the other side, the government needs to operate an authorized institution to manage this kind of alms, including infaq and other Muslim’s alms. Int this case, the government of Aceh has established a kind of Islamic treasury office named Baitul Mal which mandated to preserve, manage, and develop the zaka, infaq, waqf, and other alms in Islam, including the preservation of Islamic custody. This study examines the zaka distribution by Baitul Mal office to the old poor beneficiary group. Islam basically distinguishes between miskin and faqir based on their different level, where the faqr is they are in a poorer condition. Currently, the Baitul Mal office separates the poor group into two types, namely the old poor (Faqir uzur) and the normal poor (Non-old faqir). The old poor is defined as people with old age, long sickness, and permanent disable, or with other condition they become not productive. The catagorization has consequences to the distribution portion. The Baitul Mal decided monthly consumptive distribution to the old poor group and to the normal poor is also giving incidentally by the consumptive method. This arrangement is aimed to be a guidance for all the Baitul Mal around the regencies level in targeting those types of faqr. So, here are main questions why do the Baitul Mal make this distinction and what is the impact to both type of faqr life. This study found that the Baitul mal wanted to be committed to elevating the faqr life through zaka distribution, especially to the faqr uzur that considered unproductive people and the distribution was chosen by consumptive way. This study learned that the Baitul Mal also considered to distributing part of zaka productively. The study uses the literatures and also the Baitul Mal official data.Keywords: zaka distribution, faqr uzur, Baitul Mal
{"title":"DISTRIBUSI ZAKAT UNTUK GOLONGAN FAQIR UZUR PADA LEMBAGABAITUL MAL DI ACEH","authors":"Ida Friatna","doi":"10.22373/DUSTURIAH.V9I2.5321","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/DUSTURIAH.V9I2.5321","url":null,"abstract":"This is an obligation to a certain Muslim who meet the requirement to pay zaka. In the other side, the government needs to operate an authorized institution to manage this kind of alms, including infaq and other Muslim’s alms. Int this case, the government of Aceh has established a kind of Islamic treasury office named Baitul Mal which mandated to preserve, manage, and develop the zaka, infaq, waqf, and other alms in Islam, including the preservation of Islamic custody. This study examines the zaka distribution by Baitul Mal office to the old poor beneficiary group. Islam basically distinguishes between miskin and faqir based on their different level, where the faqr is they are in a poorer condition. Currently, the Baitul Mal office separates the poor group into two types, namely the old poor (Faqir uzur) and the normal poor (Non-old faqir). The old poor is defined as people with old age, long sickness, and permanent disable, or with other condition they become not productive. The catagorization has consequences to the distribution portion. The Baitul Mal decided monthly consumptive distribution to the old poor group and to the normal poor is also giving incidentally by the consumptive method. This arrangement is aimed to be a guidance for all the Baitul Mal around the regencies level in targeting those types of faqr. So, here are main questions why do the Baitul Mal make this distinction and what is the impact to both type of faqr life. This study found that the Baitul mal wanted to be committed to elevating the faqr life through zaka distribution, especially to the faqr uzur that considered unproductive people and the distribution was chosen by consumptive way. This study learned that the Baitul Mal also considered to distributing part of zaka productively. The study uses the literatures and also the Baitul Mal official data.Keywords: zaka distribution, faqr uzur, Baitul Mal","PeriodicalId":415658,"journal":{"name":"Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial","volume":"46 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-10-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123305202","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-05-31DOI: 10.22373/dusturiyah.v9i1.4757
Zaiyad Zubaidi Mohamad Shafawi Bin Md Isa
Definisi bid’ah berbeda-beda sehingga menimbulkan konflik. Pertanyaan penelitian dalam artikal ini adalah apakah makna sunnah dan bid’ah menurut Imam Nawawi dan Syekh Abdul Aziz Bin Baz dan apa dalil yang digunakan dan metode dalam memahaminya seta contoh bid’ah menurut keduanya. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library reseach) meneliti data-data dan bahan-bahan yang tertulis berkaitan dengan tema permasalah yang dikaji, dengan menggunakan bahan primer dan skunder. Hasil penelitian ditemukan bahwa, Imam Nawawi memaknai bid’ah adalah mencipta suatu amalan yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah, dan ia membagikan bid’ah kepada dua macam, yaitu bid’ah ḥasanaḥ seperti membaca talqin setelah dikebumikan mayat dan qabihaḥ seperti shalat raghaib. Imam Nawawi mengtakhsis hadis dengan hadis, yaitu hadis yang bersifat umum ditakhsis dengan hadis yang khusus, sedangkan Bin Baz mengartikan bid’ah adalah tiap-tiap perbuatan ibadah yang dilakukan yang tidak dipraktekkan oleh Rasul seta tidak ada asal dari Al-Qur’an, sunnah dan dari perbuatan khulafa ar-Rasyiddin, dan ia tidak membagikan bid’ah, semua bid’ah adalah ḍhalalah, ia juga menggunakan istilah “mungkar” untuk bid’ah dhalalah. Bin Baz berdalilkan ayat Al-Qur’an dan dikuatkan dengan hadis. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa, Bin Baz hanya mengkhususkan bid’ah dalam masalah ibadah saja, tetapi ia tidak menerangkan batasan ibadah dan yang bukan ibadah, seperti menghukumi sambutan maulid nabi itu sebagai bid’ah, sehingga definisinya sukar untuk diterapkan.
异端的定义因地而异,引起冲突。这篇文章提出的研究问题是根据神父纳瓦伊和酋长阿卜杜勒·阿齐兹·本·巴兹(Abdul Aziz Bin Baz)的说法,关于逊尼派和异端究竟是什么意思,以及他在这两种情况下所使用和理解的方法是什么。使用文献研究方法(rereseach library)研究与所研究的主题相关的数据和材料,使用主要材料和次要材料。研究结果发现,祭司Nawawi定义异端邪说'ah时代是创造了一种称为什么从来没有上帝的使者,他分享了异端邪说对两种,即异端邪说'ah 'ahḥasanaḥ如阅读后talqin埋葬尸体和qabihaḥ像raghaib祈祷。祭司Nawawi mengtakhsis圣训的圣训,就是圣训普遍和特殊的圣训,而本ditakhsis巴兹指的是异端邪说'ah是每个使徒所不实行的宗教行为刚毛没有伊斯兰教的起源'an khulafa行为的,逊尼派ar-Rasyiddin,他也分享了异端邪说'ah,所有的异端邪说'ah是ḍhalalah,他也用“mungkar异端邪说'ah dhalalah。本巴兹根据古兰经的经文改编,并由圣训加以巩固。从上述资料我们可以看出,宾巴兹只把异端分子专治在崇拜上,但他没有指明崇拜的限制和非宗教,比如用异端的方式惩罚先知
{"title":"KONSEP BID’AH MENURUT IMAM NAWAWI DAN SYEKH ABDUL AZIZ BIN BAZ","authors":"Zaiyad Zubaidi Mohamad Shafawi Bin Md Isa","doi":"10.22373/dusturiyah.v9i1.4757","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/dusturiyah.v9i1.4757","url":null,"abstract":"Definisi bid’ah berbeda-beda sehingga menimbulkan konflik. Pertanyaan penelitian dalam artikal ini adalah apakah makna sunnah dan bid’ah menurut Imam Nawawi dan Syekh Abdul Aziz Bin Baz dan apa dalil yang digunakan dan metode dalam memahaminya seta contoh bid’ah menurut keduanya. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library reseach) meneliti data-data dan bahan-bahan yang tertulis berkaitan dengan tema permasalah yang dikaji, dengan menggunakan bahan primer dan skunder. Hasil penelitian ditemukan bahwa, Imam Nawawi memaknai bid’ah adalah mencipta suatu amalan yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah, dan ia membagikan bid’ah kepada dua macam, yaitu bid’ah ḥasanaḥ seperti membaca talqin setelah dikebumikan mayat dan qabihaḥ seperti shalat raghaib. Imam Nawawi mengtakhsis hadis dengan hadis, yaitu hadis yang bersifat umum ditakhsis dengan hadis yang khusus, sedangkan Bin Baz mengartikan bid’ah adalah tiap-tiap perbuatan ibadah yang dilakukan yang tidak dipraktekkan oleh Rasul seta tidak ada asal dari Al-Qur’an, sunnah dan dari perbuatan khulafa ar-Rasyiddin, dan ia tidak membagikan bid’ah, semua bid’ah adalah ḍhalalah, ia juga menggunakan istilah “mungkar” untuk bid’ah dhalalah. Bin Baz berdalilkan ayat Al-Qur’an dan dikuatkan dengan hadis. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa, Bin Baz hanya mengkhususkan bid’ah dalam masalah ibadah saja, tetapi ia tidak menerangkan batasan ibadah dan yang bukan ibadah, seperti menghukumi sambutan maulid nabi itu sebagai bid’ah, sehingga definisinya sukar untuk diterapkan.","PeriodicalId":415658,"journal":{"name":"Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial","volume":"6 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126744485","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-05-31DOI: 10.22373/DUSTURIYAH.V9I1.4758
Tarmizi Tarmizi, Jamhuri Jamhuri
Dalam Istilah kajian keIslaman, gambar disebut dengan ṣurah, dan membuat gambar dinamakan taṣwir. Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum gambar, baik itu membuatnya atau memilikinya. Yusuf Qarᾱḍawi berpendapat bahwa yang haram adalah taṣwir yangmemiliki bentuk fisik dan ada bayangan. Adapun taṣwir yang di lukis di kertas, dinding dan sebagainya yang mana taṣwir tersebut tidak memiliki bayangan dan fisik adalah boleh. Sedangkan menurut Muhammad Ali al-Ṣabuni taṣwir yang diharamkan adalah yang dilukis dengan tangan yang merupakan tiruan makhluk bernyawa dan juga taṣwir yang berwujud fisik dan memiliki bayangan yaitu patung. Menurut Yusuf Qarᾱḍawi kebolehan dan keharaman gambar itu tergantung kepada objek yang digambar serta ada atau tidaknya illat larangan yang terdapat dalam hadis pada gambar tersebut. Al-Qarᾱḍawi juga mengatakan bahwa foto adalah boleh jika objeknya adalah halal, dan ia bukan gambar yang termasuk dalam hadis Nabi Saw. Sedangkan Muhammad Ali al-Ṣabuni mengharamkan gambar makhluk bernyawa yang utuh namun membolehkan gambar makhuk tidak bernyawa dan makhluk bernyawa yang tidak utuh. Al-Ṣabuni juga mengkategorikan gambar fotografi ke dalam gambar yang dilarang dalam hadis Nabi, hal ini didasari keumuman hadis Nabi tentang gambar dan azab kepada pembuat gambar. Dengan demikian, pada dasarnya hadis-hadis seputar taṣwir memiliki illat hukum, namun disamping itu ada hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam membuat gambar maupun foto. Bila gambar maupun foto itu menyalahi syariat, maka haruslah dilarang untuk membuatnya.Kata Kunci:Gambar dan Hukum Islam
与ṣkeIslaman研究术语中,这张照片被称为urah, taṣ命名一条街都是画画。学者们对图像的律法存在分歧,不管图片是制作还是拥有它们。约瑟Qarᾱḍ维认为洁净的食物是taṣ身心都是表现形式有阴影。至于taṣ都是画在纸上的,taṣ哪个墙之类的都是没有身体上的阴影,是可以的。而根据Muhammad Ali al -Ṣabuni taṣ徒手画都是被禁止的是模仿生物的生命以及taṣ物理都是有形的和有阴影就是雕像。根据约瑟Qarᾱḍ维见识见识和不洁净绘制的这幅画这取决于物体是否有illat圣训中图片的禁令。Al-Qarᾱḍ维还说,如果对象,可以是照片是清真的,他不是先知圣训中看到的图像。而穆罕默德·阿里(al -Ṣabuni禁止生物的生命完整的生物但让照片不完整的生命和无生命的生物。Al -Ṣabuni也禁止进入图像的摄影图像分类圣训先知,这基于keumuman圣训中关于向制造商和厄运照片。从而,基本上hadis-hadis taṣ各地都有法律illat,但除此之外还有别的事需要考虑在画和照片。如果图片和照片这是违反syariat,那么就必须禁止它。关键词:图像和伊斯兰法
{"title":"Membuat Gambar Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Perbandingan antara Yusuf Qarᾱḍawi dan Muhammad Ali Al-Ṣabuni)","authors":"Tarmizi Tarmizi, Jamhuri Jamhuri","doi":"10.22373/DUSTURIYAH.V9I1.4758","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/DUSTURIYAH.V9I1.4758","url":null,"abstract":"Dalam Istilah kajian keIslaman, gambar disebut dengan ṣurah, dan membuat gambar dinamakan taṣwir. Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum gambar, baik itu membuatnya atau memilikinya. Yusuf Qarᾱḍawi berpendapat bahwa yang haram adalah taṣwir yangmemiliki bentuk fisik dan ada bayangan. Adapun taṣwir yang di lukis di kertas, dinding dan sebagainya yang mana taṣwir tersebut tidak memiliki bayangan dan fisik adalah boleh. Sedangkan menurut Muhammad Ali al-Ṣabuni taṣwir yang diharamkan adalah yang dilukis dengan tangan yang merupakan tiruan makhluk bernyawa dan juga taṣwir yang berwujud fisik dan memiliki bayangan yaitu patung. Menurut Yusuf Qarᾱḍawi kebolehan dan keharaman gambar itu tergantung kepada objek yang digambar serta ada atau tidaknya illat larangan yang terdapat dalam hadis pada gambar tersebut. Al-Qarᾱḍawi juga mengatakan bahwa foto adalah boleh jika objeknya adalah halal, dan ia bukan gambar yang termasuk dalam hadis Nabi Saw. Sedangkan Muhammad Ali al-Ṣabuni mengharamkan gambar makhluk bernyawa yang utuh namun membolehkan gambar makhuk tidak bernyawa dan makhluk bernyawa yang tidak utuh. Al-Ṣabuni juga mengkategorikan gambar fotografi ke dalam gambar yang dilarang dalam hadis Nabi, hal ini didasari keumuman hadis Nabi tentang gambar dan azab kepada pembuat gambar. Dengan demikian, pada dasarnya hadis-hadis seputar taṣwir memiliki illat hukum, namun disamping itu ada hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam membuat gambar maupun foto. Bila gambar maupun foto itu menyalahi syariat, maka haruslah dilarang untuk membuatnya.Kata Kunci:Gambar dan Hukum Islam","PeriodicalId":415658,"journal":{"name":"Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial","volume":"77 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124164700","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-05-31DOI: 10.22373/dusturiyah.v9i1.4755
Y. .
Musafir adalah salah satu sebab yang membolehkan seseorang untuk qasar shalat, ini merupakan pendapat yang telah disepakati oleh para ulama. Mereka berbeda perdapat sampai berapa lama seseorang yang musafir dibolehkan mengqasar shalat. Dalam hal ini, mazhab Hanafi berpendapat musafir tersebut dibolehkan qasar shalat secara terus menerus, kecuali bila ia telah menetap di suatu tempat melebihi dari 15 hari, maka ia dianggap sebagai mukim dan harus menyempurnakan shalatnya. Sedangkan mazhab Syafi’i musafir tersebut dibolehkan qasar secara terus menerus, kecuali ia menetap di suatu tempat melebihi dari 3 hari. Pertanyaan penelitian adalah : bagaimanakah metode istinbat yang digunakan oleh mazhab Hanafi dan Syafi’i dalam menentukan batas waktu kebolehan qasar bagi musafir tersebut dan apa sebab terjadi perbedaan pendapat antara kedua mazhab ini. Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode deskriptif komparatif yaitu penelitian dengan cara menganalisis dan membandingkan pendapat-pendapat, alasan-alasan dan penafsiran terhadap dalil yang digunakan sebagai sandaran pendapat mazhab tersebut. Hasil yang ditemukan adalah kedua mazhab ini menggunakan metode istinbat bayani. Penyebab terjadi perbedaan pendapat karena adanya kesimpangsiuran dhahir di dalam sejumlah hadis dan pada subjektifitas mujtahid dalam memahami nas.Kata Kunci: Musafir, Mukim
{"title":"BATAS WAKTU MUSAFIR BERMUKIM UNTUK KEBOLEHAN QASARSALAT","authors":"Y. .","doi":"10.22373/dusturiyah.v9i1.4755","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/dusturiyah.v9i1.4755","url":null,"abstract":"Musafir adalah salah satu sebab yang membolehkan seseorang untuk qasar shalat, ini merupakan pendapat yang telah disepakati oleh para ulama. Mereka berbeda perdapat sampai berapa lama seseorang yang musafir dibolehkan mengqasar shalat. Dalam hal ini, mazhab Hanafi berpendapat musafir tersebut dibolehkan qasar shalat secara terus menerus, kecuali bila ia telah menetap di suatu tempat melebihi dari 15 hari, maka ia dianggap sebagai mukim dan harus menyempurnakan shalatnya. Sedangkan mazhab Syafi’i musafir tersebut dibolehkan qasar secara terus menerus, kecuali ia menetap di suatu tempat melebihi dari 3 hari. Pertanyaan penelitian adalah : bagaimanakah metode istinbat yang digunakan oleh mazhab Hanafi dan Syafi’i dalam menentukan batas waktu kebolehan qasar bagi musafir tersebut dan apa sebab terjadi perbedaan pendapat antara kedua mazhab ini. Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode deskriptif komparatif yaitu penelitian dengan cara menganalisis dan membandingkan pendapat-pendapat, alasan-alasan dan penafsiran terhadap dalil yang digunakan sebagai sandaran pendapat mazhab tersebut. Hasil yang ditemukan adalah kedua mazhab ini menggunakan metode istinbat bayani. Penyebab terjadi perbedaan pendapat karena adanya kesimpangsiuran dhahir di dalam sejumlah hadis dan pada subjektifitas mujtahid dalam memahami nas.Kata Kunci: Musafir, Mukim","PeriodicalId":415658,"journal":{"name":"Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial","volume":"46 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-05-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115446675","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}