Pub Date : 2018-12-04DOI: 10.22373/legitimasi.v7i1.3964
Edi Yuhermansyah, Meri Andani
Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat yang mulai diberlakukan pada tanggal 23 Oktober 2015 merupakan hukum pidana terkodifikasi, yang mana sebelumnya qanun ini terpisah-pisah seperti qanun tentang Khamar, Khalwat, dan Maisir. Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh diatur secara legal formal dalam UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraaan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Kedua undang-undang ini menjadi dasar kuat bagi Aceh untuk menjalankan Syari’at Islam di seluruh wilayah Aceh. Namun sangat disayangkan belum semua daerah-daerah seperti daerah Kecamatan Pulau Banyak Kabupaten Aceh Singkil yang berada dalam wilayah Provinsi Aceh belum melaksanakan atau menjalankan ketentuan-ketentuan syari’at Islam, khususnya tentang Qanun Hukum Jinayat. Pemahaman masyarakat khususnya daerah terpencil yang jauh dari pusat kota tentang Qanun Hukum Jinayat masih sangat minim, sehingga berpengaruh terhadap respon mereka tentang Qanun Hukum Jinayat. Oleh karena itu penelitian ini melihat bagaimana respon dan pemahaman masyarakat Kecamatan Pulau Banyak terhadap Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian lapangan (empiris) yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung ke lapangan dan mewawancarai beberapa responden untuk memperoleh data yang diperlukan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa masyarakat Kecamatan Pulau Banyak belum memahami dengan baik secara keseluruhan tentang Hukum Jinayat, dan masyarakat Kecamatan Pulau Banyak memberikan respon yang kurang baik terhadap Qanun Hukum Jinayat. Hal ini dilihat dari beberapa tingkah laku dan perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan syari’at yang terjadi di lingkungan masyarakat Kecamatan Pulau Banyak. Dapat disimpulkan bahwa respon masyarakat Kecamatan Pulau Banyak terhadap Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat kurang baik (negatif). Maka dapat dikatakan pemberlakuan Qanun Hukum Jinayat belum berhasil dan maksimal, sehingga pemerintah perlu upaya ekstra untuk mensosialisasikannya di lingkungan masyarakat.
{"title":"TANGGAPAN MASYARAKAT KECAMATAN PULAU BANYAK TERHADAP PEMBERLAKUAN QANUN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM JINAYAT","authors":"Edi Yuhermansyah, Meri Andani","doi":"10.22373/legitimasi.v7i1.3964","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/legitimasi.v7i1.3964","url":null,"abstract":"Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat yang mulai diberlakukan pada tanggal 23 Oktober 2015 merupakan hukum pidana terkodifikasi, yang mana sebelumnya qanun ini terpisah-pisah seperti qanun tentang Khamar, Khalwat, dan Maisir. Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh diatur secara legal formal dalam UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraaan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Kedua undang-undang ini menjadi dasar kuat bagi Aceh untuk menjalankan Syari’at Islam di seluruh wilayah Aceh. Namun sangat disayangkan belum semua daerah-daerah seperti daerah Kecamatan Pulau Banyak Kabupaten Aceh Singkil yang berada dalam wilayah Provinsi Aceh belum melaksanakan atau menjalankan ketentuan-ketentuan syari’at Islam, khususnya tentang Qanun Hukum Jinayat. Pemahaman masyarakat khususnya daerah terpencil yang jauh dari pusat kota tentang Qanun Hukum Jinayat masih sangat minim, sehingga berpengaruh terhadap respon mereka tentang Qanun Hukum Jinayat. Oleh karena itu penelitian ini melihat bagaimana respon dan pemahaman masyarakat Kecamatan Pulau Banyak terhadap Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian lapangan (empiris) yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung ke lapangan dan mewawancarai beberapa responden untuk memperoleh data yang diperlukan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa masyarakat Kecamatan Pulau Banyak belum memahami dengan baik secara keseluruhan tentang Hukum Jinayat, dan masyarakat Kecamatan Pulau Banyak memberikan respon yang kurang baik terhadap Qanun Hukum Jinayat. Hal ini dilihat dari beberapa tingkah laku dan perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan syari’at yang terjadi di lingkungan masyarakat Kecamatan Pulau Banyak. Dapat disimpulkan bahwa respon masyarakat Kecamatan Pulau Banyak terhadap Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat kurang baik (negatif). Maka dapat dikatakan pemberlakuan Qanun Hukum Jinayat belum berhasil dan maksimal, sehingga pemerintah perlu upaya ekstra untuk mensosialisasikannya di lingkungan masyarakat. ","PeriodicalId":424275,"journal":{"name":"Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum","volume":"47 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123327502","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-12-04DOI: 10.22373/LEGITIMASI.V7I2.3971
Azmil Umur, Andrian Minal Furqan
Qanun Nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat merupakan sebuah qanun yang mengatur tentang bagaimana kehidupan adat seharusnya dijalankan agar tidak terjadi penyelewengan terhadap kultur masyarakat adat khususnya di Aceh yang sudah lama terbentuk secara turun temurun. Dalam qanun ini juga mengatur tentang pidana ringan, baik itu jenis pidananya, jenis hukumannya, dan juga bagaimana penyelesaiannya. Pemberlakuan Qanun ini banyak terjadi penyelewangan dalam masyarakat, baik itu karena main hakim sendiri, ataupun karena hukuman yang tidak sesuai dengan aturan yang sudah ada dalam Qanun. Khususnya sebagai Keuchik, yang merupakan salah satu aparatur Gampong yang berkewajiban untuk menjalankan Qanun ini harusnya mempunyai pemahaman dan kesadaran hukum tentang Qanun Nomor 9 tahun 2008. Ada tiga persoalan pokok dalam penelitian ini, pertama; Bagaimana tingkat pemahaman Keuchik kecamatan Syiah Kuala terhadap Qanun Nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat, kedua; Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa/perselisihan oleh Keuchik Gampong Rukoh, Gampong Tibang dan Gampong Pineung, ketiga; Apakah Penyelesaian Sengketa/Perselisihan oleh Keuchik Kecamatan Syiah Kuala sudah sesuai dengan Qanun Nomor 9 Tahun 2008. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (Field Research), yang menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan cara melihat tingkat pemahaman hukum dan kesadaran hukum Keuchik Kecamatan Syiah Kuala, yang kemudian dijelaskan secara sistematis mengenai data-data yang diperoleh dalam penelitian berdasarkan tinjauan dari rumusan masalah yang ada. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Keuchik Kecamatan Syiah Kuala memiliki pemahaman dan tingkat keasadaran hukum yang tinggi. Hal ini dilihat dari 4 indikator kesadaran hukum yang dijadikan sebagai alat ukur pada penelitian ini, yaitu pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan perilaku hukum. Berdasarkan hasil peneltian tersebut dapat dikatakan pemberlakuan Qanun Nomor 9 tahun 2008 telah berhasil, walaupun belum bisa dikatakan berhasil secara sempurna. Sehingga pemerintah perlu upaya ekstra untuk mensosialisasikan lagi secara khusus kepada Keuchik-keuchik yang ada di provinsi Aceh khususnya.
{"title":"TINGKAT KESADARAN KEUCHIK KECAMATAN SYIAH KUALA TERHADAP QANUN NOMOR 9 TAHUN 2008","authors":"Azmil Umur, Andrian Minal Furqan","doi":"10.22373/LEGITIMASI.V7I2.3971","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/LEGITIMASI.V7I2.3971","url":null,"abstract":"Qanun Nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat merupakan sebuah qanun yang mengatur tentang bagaimana kehidupan adat seharusnya dijalankan agar tidak terjadi penyelewengan terhadap kultur masyarakat adat khususnya di Aceh yang sudah lama terbentuk secara turun temurun. Dalam qanun ini juga mengatur tentang pidana ringan, baik itu jenis pidananya, jenis hukumannya, dan juga bagaimana penyelesaiannya. Pemberlakuan Qanun ini banyak terjadi penyelewangan dalam masyarakat, baik itu karena main hakim sendiri, ataupun karena hukuman yang tidak sesuai dengan aturan yang sudah ada dalam Qanun. Khususnya sebagai Keuchik, yang merupakan salah satu aparatur Gampong yang berkewajiban untuk menjalankan Qanun ini harusnya mempunyai pemahaman dan kesadaran hukum tentang Qanun Nomor 9 tahun 2008. Ada tiga persoalan pokok dalam penelitian ini, pertama; Bagaimana tingkat pemahaman Keuchik kecamatan Syiah Kuala terhadap Qanun Nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat, kedua; Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa/perselisihan oleh Keuchik Gampong Rukoh, Gampong Tibang dan Gampong Pineung, ketiga; Apakah Penyelesaian Sengketa/Perselisihan oleh Keuchik Kecamatan Syiah Kuala sudah sesuai dengan Qanun Nomor 9 Tahun 2008. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (Field Research), yang menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan cara melihat tingkat pemahaman hukum dan kesadaran hukum Keuchik Kecamatan Syiah Kuala, yang kemudian dijelaskan secara sistematis mengenai data-data yang diperoleh dalam penelitian berdasarkan tinjauan dari rumusan masalah yang ada. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Keuchik Kecamatan Syiah Kuala memiliki pemahaman dan tingkat keasadaran hukum yang tinggi. Hal ini dilihat dari 4 indikator kesadaran hukum yang dijadikan sebagai alat ukur pada penelitian ini, yaitu pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan perilaku hukum. Berdasarkan hasil peneltian tersebut dapat dikatakan pemberlakuan Qanun Nomor 9 tahun 2008 telah berhasil, walaupun belum bisa dikatakan berhasil secara sempurna. Sehingga pemerintah perlu upaya ekstra untuk mensosialisasikan lagi secara khusus kepada Keuchik-keuchik yang ada di provinsi Aceh khususnya.","PeriodicalId":424275,"journal":{"name":"Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128805267","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-12-04DOI: 10.22373/LEGITIMASI.V7I1.3969
Syarifah Rahmatillah, Tasbi Husen
Kecamatan Kluet Tengah merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kab. Aceh Selatan, yang terdiri dari 13 gampong dan mempunyai cadangan bahan mineral, diantaranya bijih emas dan bijih besi. Adapun gampong yang berpotensi memiliki cadangan emas dan tempat penambangan berada di Gampong Simpang Tiga, Simpang Dua, Mersak, Kampung Padang, dan sejumlah desa lainnya. Dengan adanya penambangan tersebut, maka akan berdampak buruk bagi lingkungan hidup. Hal tersebut telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Permasalahan dalam skripsi ini yaitu bagaimana praktek pertambangan dan pengaruhnya terhadap lingkungan hidup di Kecamatan Kluet Tengah, dan bagaimana tinjauan Fiqh Lingkungan terhadap pengelolaan pertambangan di Kecamatan Kluet Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tinjauan fiqh lingkungan terhadap pengelolaan pertambangan di Kecamatan Kluet Tengah. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, data dikumpulkan dari sumber lisan dan sumber tulisan. Sumber lisan berupa narasumber dari Dinas Lingkungan Hidup Kab. Aceh Selatan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia-Aceh, Penambang dan Masyarakat. Data dari narasumber diperoleh dengan melalui wawancara. Sedangkan dari sumber tulisan yaitu melalui buku-buku yang terkait dengan pembahasan skripsi. Hasil penelitian menunjukan bahwa dampak praktek pertambangan terhadap lingkungan hidup, secara umum berdampak negatif yang mengakibatkan terjadinya kerusakan sruktur tanah dan struktur air atau berubahnya aliran sungai. Dalam fiqh lingkungan hukum merusak dan mencemari lingkungan hidup yang merusak keseimbangan ekosistem adalah haram dan termasuk perbuatan jinayat yang hukumannya dapat dikategorikan sebagai jarimah ta’zīr kerena perbuatan tersebut merupakan dilarang oleh syara’ yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 56. Saran penulis, Demi perbaikan dalam pelaksanaan praktek pertambangan harus adanya kerjasama antara pemerintah daerah dan masyarakat dalam mengawasi kegiatan penambangan yang berada di daerah Kluet Tengah dan peran dari Dinas Lingkungan Hidup lebih dioptimalkan sehingga akan lebih menjamin terciptanya pertambangan yang lebih menjaga lingkungan.
中央街道是Kab的街道之一。亚齐南部由13个名子组成,蕴藏着丰富的矿藏,其中包括金矿和铁矿石。至于潜在的黄金储备和开采地点位于三区、两区、萨克、古镇和许多其他村庄。采矿将对环境造成毁灭性的影响。它是在2009年第32条环境管理和保护法案中提出的。本文的问题是,采矿实践和对中央街道街道环境的影响,以及病房Fiqh对中央街道矿业管理的看法。本研究旨在审查fiqh环境对中央街道矿业管理的审查。这类研究是一种定性研究,从口头和书面来源收集数据。来自环境服务中心的口头资料。亚齐,印尼-亚齐环境设施,矿工和社区。资料来源是通过采访获得的。而写作的来源是通过与论文讨论相关的书籍。研究表明,采矿实践对环境的影响通常是负面的,造成土壤和水结构的破坏或河流流动的变化。fiqh法律环境破坏和污染环境的破坏生态系统的平衡是圣地,包括jinayat行为的惩罚可以归类为“jarimah ta 'z syaraīr,因为这些行为是禁止的“伊斯兰教中所载信'an al-A 'raf 56节。作者建议,为了改善采矿实践,必须与当地政府和社区合作,监督位于Kluet中地区的采矿活动,并使环境服务的作用得到更好的优化,从而使采矿工作能够更好地保护环境。
{"title":"PENYALAHGUNAAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN TERHADAP KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DI KECAMATAN KLUET TENGAH","authors":"Syarifah Rahmatillah, Tasbi Husen","doi":"10.22373/LEGITIMASI.V7I1.3969","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/LEGITIMASI.V7I1.3969","url":null,"abstract":"Kecamatan Kluet Tengah merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kab. Aceh Selatan, yang terdiri dari 13 gampong dan mempunyai cadangan bahan mineral, diantaranya bijih emas dan bijih besi. Adapun gampong yang berpotensi memiliki cadangan emas dan tempat penambangan berada di Gampong Simpang Tiga, Simpang Dua, Mersak, Kampung Padang, dan sejumlah desa lainnya. Dengan adanya penambangan tersebut, maka akan berdampak buruk bagi lingkungan hidup. Hal tersebut telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Permasalahan dalam skripsi ini yaitu bagaimana praktek pertambangan dan pengaruhnya terhadap lingkungan hidup di Kecamatan Kluet Tengah, dan bagaimana tinjauan Fiqh Lingkungan terhadap pengelolaan pertambangan di Kecamatan Kluet Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tinjauan fiqh lingkungan terhadap pengelolaan pertambangan di Kecamatan Kluet Tengah. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, data dikumpulkan dari sumber lisan dan sumber tulisan. Sumber lisan berupa narasumber dari Dinas Lingkungan Hidup Kab. Aceh Selatan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia-Aceh, Penambang dan Masyarakat. Data dari narasumber diperoleh dengan melalui wawancara. Sedangkan dari sumber tulisan yaitu melalui buku-buku yang terkait dengan pembahasan skripsi. Hasil penelitian menunjukan bahwa dampak praktek pertambangan terhadap lingkungan hidup, secara umum berdampak negatif yang mengakibatkan terjadinya kerusakan sruktur tanah dan struktur air atau berubahnya aliran sungai. Dalam fiqh lingkungan hukum merusak dan mencemari lingkungan hidup yang merusak keseimbangan ekosistem adalah haram dan termasuk perbuatan jinayat yang hukumannya dapat dikategorikan sebagai jarimah ta’zīr kerena perbuatan tersebut merupakan dilarang oleh syara’ yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 56. Saran penulis, Demi perbaikan dalam pelaksanaan praktek pertambangan harus adanya kerjasama antara pemerintah daerah dan masyarakat dalam mengawasi kegiatan penambangan yang berada di daerah Kluet Tengah dan peran dari Dinas Lingkungan Hidup lebih dioptimalkan sehingga akan lebih menjamin terciptanya pertambangan yang lebih menjaga lingkungan.","PeriodicalId":424275,"journal":{"name":"Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum","volume":"68 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124488464","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-12-04DOI: 10.22373/LEGITIMASI.V6I2.3958
Rukiah Ali, N. Nukman
Sejarah perbuatan homoseks dimulai oleh ummat Nabi Luth As. Lebih kurang abad XIX SM di sebuah negeri yang disebut Sodum, dimana perbuatan tersebut telah mendatangkan murka Allah sehingga Allah mengazab mereka semua, kecuali Nabi Luth As, dan anak-anak serta pengikut yang taat. Walaupun Allah telah mengazab pelaku perbuatan homoseks pada masa Nabi Luth As., namun seiring dengan sejarah anak manusia setelah masa itu sampai sekarang perbuatan itu masih saja terjadi dalam kehidupan dewasa ini. Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang hukuman untuk para pelaku homoseks dimaksud. Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah ingin mengetahui bagaimana pandangan para fuqaha tentang hukuman terhadap pelaku homoseks serta dalil-dalil yang menjadi landasan pendapat mereka dan apa saja yang menyebabkan mereka berbeda pendapat. Untuk mengumpulkan pendapat para fuqaha penulis menggunakan metode tinjauan kepustakaan dengan mengumpulkan data-data terutama dari Al-Quran, Hadist-Hadist, dan kitab-kitab dan bacaan-bacaan lain yang memiliki kaitan erat dengannya, selanjutnya data-data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode “Descriptif comperatif” untuk mengetahui dan memahami dalil-dalil yang menjadi sandaran para fuqaha. Dari hasil analisa diperoleh bahwa para fuqaha sepakat atas keharaman perbuatan homoseks, namun mereka berbeda pendapat dalam menentukan hukumannya. Pendapat yang pertama mengatakan pelaku harus dihukum mati, sedangkan pendapat yang kedua mengatakan hukuman terhadap pelaku homoseks sama dengan hukuman terhadap pelaku zina, sedangkan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa hukumannya cukup dengan hukuman ta’zir yang diserahkan kepada hakim(pengadilan). Dari ketiga pendapat tersebut, pendapat yang dianggap paling kuat adalah pendapat yang pertama, pelaku harus dihukum mati.
{"title":"HUKUMAN TERHADAP PELAKU HOMOSEKS","authors":"Rukiah Ali, N. Nukman","doi":"10.22373/LEGITIMASI.V6I2.3958","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/LEGITIMASI.V6I2.3958","url":null,"abstract":"Sejarah perbuatan homoseks dimulai oleh ummat Nabi Luth As. Lebih kurang abad XIX SM di sebuah negeri yang disebut Sodum, dimana perbuatan tersebut telah mendatangkan murka Allah sehingga Allah mengazab mereka semua, kecuali Nabi Luth As, dan anak-anak serta pengikut yang taat. Walaupun Allah telah mengazab pelaku perbuatan homoseks pada masa Nabi Luth As., namun seiring dengan sejarah anak manusia setelah masa itu sampai sekarang perbuatan itu masih saja terjadi dalam kehidupan dewasa ini. Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang hukuman untuk para pelaku homoseks dimaksud. Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah ingin mengetahui bagaimana pandangan para fuqaha tentang hukuman terhadap pelaku homoseks serta dalil-dalil yang menjadi landasan pendapat mereka dan apa saja yang menyebabkan mereka berbeda pendapat. Untuk mengumpulkan pendapat para fuqaha penulis menggunakan metode tinjauan kepustakaan dengan mengumpulkan data-data terutama dari Al-Quran, Hadist-Hadist, dan kitab-kitab dan bacaan-bacaan lain yang memiliki kaitan erat dengannya, selanjutnya data-data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode “Descriptif comperatif” untuk mengetahui dan memahami dalil-dalil yang menjadi sandaran para fuqaha. Dari hasil analisa diperoleh bahwa para fuqaha sepakat atas keharaman perbuatan homoseks, namun mereka berbeda pendapat dalam menentukan hukumannya. Pendapat yang pertama mengatakan pelaku harus dihukum mati, sedangkan pendapat yang kedua mengatakan hukuman terhadap pelaku homoseks sama dengan hukuman terhadap pelaku zina, sedangkan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa hukumannya cukup dengan hukuman ta’zir yang diserahkan kepada hakim(pengadilan). Dari ketiga pendapat tersebut, pendapat yang dianggap paling kuat adalah pendapat yang pertama, pelaku harus dihukum mati.","PeriodicalId":424275,"journal":{"name":"Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum","volume":"os-33 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127777340","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-12-04DOI: 10.22373/legitimasi.v7i2.3976
M. Misran, Arif Firmansyah
Tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur merupakan salah satu jenis kejahatan delik aduan yang diatur dalam KUHP, yang di ancam dengan pasal 332 ayat (1) ke-1 dan ke-2 dengan hukumunnya tujuh tahun penjara dan paling lama sembilan tahun dalam penjara. Namun dalam putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid/B/2015/PN.BNA, menyatakan bahwa terdakwa dibebaskan karena ada alasan pemaaf dari keluarga korban serta dengan surat perdamaian dan pencabutan delik aduan dari keluarga korban. Oleh karena itu penelitian ini menarik diteliti untuk menjawab dua pertanyaan penelitian. Pertama, bagaimana dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid/B/2015/PN.BNA, yang kedua bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan hakim putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid.B/2015/PN.BNA. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui studi kepustakaan (Library Research) yaitu dengan mempelajari dan meneliti sejumlah buku-buku, karya ilmiah, dan dokumen-dokumen yang ada kaitannya dengan topik pembahasan yang diteliti. Data-data yang telah terkumpul tersebut dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode yang berupaya menemukan fakta-fakta seadanya dan berusaha memberikan gambaran atau mendeskripsikan suatu permasalahan yang akan dibahas. Hasil penelitian menunjukan bahwa dasar hukum putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid/B/2015/PN.BNA yaitu, pertama putusan bebas pasal 191 ayat (1) KUHAP, kedua putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum pasal 191 ayat (2) KUHAP, ketiga putusan pemidanaan pasal 193 ayat (1) KUHAP. Dan pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid/B/2015/PN.BNA yaitu, pertama putusan diambil dengan suara terbanyak, kedua pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa, dan disertai dengan adanya alasan pamaafan dari keluarga korban. Bahwa hukuman bagi pelaku melarikan perempuan di bawah umur dalam KUHP diancam dengan pasal 332 dalam putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid/B/2015/PN.BNA, dinyatakan dengan putusan bebas dari segala tuntutan karena keluarga korban menyatakan mencabut pengaduan disertai surat perdamaian dari keluaga korban dan alasan pemaaf dari keluarga korban. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid/B/2015/PN.BNA, tidak bertentangan dengan hukum pidana Islam karena sesuai dengan konsep ta’zir, hukuman dapat gugur apabila adanya perdamaian dan pemaafan dari korban dan walinya.
{"title":"TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PASAL 332 KUHP TENTANG MELARIKAN PEREMPUAN DI BAWAH UMUR (Analisis Putusan PN.BA293/Pid/B/2015/PN.BNA)","authors":"M. Misran, Arif Firmansyah","doi":"10.22373/legitimasi.v7i2.3976","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/legitimasi.v7i2.3976","url":null,"abstract":"Tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur merupakan salah satu jenis kejahatan delik aduan yang diatur dalam KUHP, yang di ancam dengan pasal 332 ayat (1) ke-1 dan ke-2 dengan hukumunnya tujuh tahun penjara dan paling lama sembilan tahun dalam penjara. Namun dalam putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid/B/2015/PN.BNA, menyatakan bahwa terdakwa dibebaskan karena ada alasan pemaaf dari keluarga korban serta dengan surat perdamaian dan pencabutan delik aduan dari keluarga korban. Oleh karena itu penelitian ini menarik diteliti untuk menjawab dua pertanyaan penelitian. Pertama, bagaimana dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid/B/2015/PN.BNA, yang kedua bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan hakim putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid.B/2015/PN.BNA. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui studi kepustakaan (Library Research) yaitu dengan mempelajari dan meneliti sejumlah buku-buku, karya ilmiah, dan dokumen-dokumen yang ada kaitannya dengan topik pembahasan yang diteliti. Data-data yang telah terkumpul tersebut dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode yang berupaya menemukan fakta-fakta seadanya dan berusaha memberikan gambaran atau mendeskripsikan suatu permasalahan yang akan dibahas. Hasil penelitian menunjukan bahwa dasar hukum putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid/B/2015/PN.BNA yaitu, pertama putusan bebas pasal 191 ayat (1) KUHAP, kedua putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum pasal 191 ayat (2) KUHAP, ketiga putusan pemidanaan pasal 193 ayat (1) KUHAP. Dan pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid/B/2015/PN.BNA yaitu, pertama putusan diambil dengan suara terbanyak, kedua pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa, dan disertai dengan adanya alasan pamaafan dari keluarga korban. Bahwa hukuman bagi pelaku melarikan perempuan di bawah umur dalam KUHP diancam dengan pasal 332 dalam putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid/B/2015/PN.BNA, dinyatakan dengan putusan bebas dari segala tuntutan karena keluarga korban menyatakan mencabut pengaduan disertai surat perdamaian dari keluaga korban dan alasan pemaaf dari keluarga korban. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid/B/2015/PN.BNA, tidak bertentangan dengan hukum pidana Islam karena sesuai dengan konsep ta’zir, hukuman dapat gugur apabila adanya perdamaian dan pemaafan dari korban dan walinya.","PeriodicalId":424275,"journal":{"name":"Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum","volume":"10 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116825623","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-12-04DOI: 10.22373/legitimasi.v6i2.3956
Lia Safrina
Setiap negara mempunyai lambang yang menggambarkan kedaulatan, kepribadian dan kemegahan negara itu. Dalam masyarakat modern, telah banyak terjadi kasus-kasus penodaan terhadap lambang negara,seperti halnya yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Ancaman pidana bagi pelaku penodaan terhadap lambang negara yang telah diatur dalam pasal 66 dan pasal 68. Sedangkan dalam hukum Islam tidak mengatur secara khusus bagi pelaku penodaan terhadap lambang negara, akan tetapi hukum Islam melihat dari segi unsur-unsur perbuatan. Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu: bagaimana ketentuan hukum Islam terhadap ancaman pidana penodaan lambang negara dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009. Dalam penulisan ini menggunakan metode hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder atau penelitian hukum kepustakaan (di samping penelitian hukum sosiologis atau empiris yang terutama meneliti data primer).Sedangkan teknik pengumpulan data diperoleh dengan cara studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian setelah diamati dan dipahami bahwa dalam hukum Islam bagi pelaku penodaan lambang negara sama halnya dengan pemberontakan yang sama-sama menentang negara yang akan dikenakan hukuman ta’zir, hukum Islam tidak akan ketinggalan zaman akibat perkembangan modern yang semakin maju. Hukum Islam memandang dari segala tindakan yang dapat merugikan atau membahayakan dan juga dilihat dari perbuatan yang dilakukan baik secara disengaja maupun tidak disengaja demi kemaslahatan publik.
每个国家都有一个象征,代表这个国家的主权、个性和伟大。在现代社会,亵渎国徽的案件比比看多,就像2009年《国徽法》(code of the national)中规定的国旗、语言和国歌一样。对在第66章和第68章中设定的国家徽章的个人的刑事威胁。然而,伊斯兰法律并没有专门针对亵渎国家象征的人,而是从行为的本质来看。至于这篇论文的问题公式:伊斯兰法律对威胁犯罪的规定在2009年第24条中是如何使用国家符号的。这篇文章采用了一种规范法律方法,即通过研究图书馆或辅助数据或文学法律研究(除了主要研究主要研究的社会学或经验法的研究)来进行的法律研究。而数据收集技术是通过研究文献获得的。根据观察和理解的研究,伊斯兰法律对亵渎国家的侵犯程度就像对一个被判死刑的国家的共同反叛一样。伊斯兰法律认为,任何对公众有益或有害的行为,无论是有意的还是无意的。
{"title":"TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ANCAMAN PIDANA BAGI PELAKU PENODAAN LAMBANG NEGARA RI","authors":"Lia Safrina","doi":"10.22373/legitimasi.v6i2.3956","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/legitimasi.v6i2.3956","url":null,"abstract":"Setiap negara mempunyai lambang yang menggambarkan kedaulatan, kepribadian dan kemegahan negara itu. Dalam masyarakat modern, telah banyak terjadi kasus-kasus penodaan terhadap lambang negara,seperti halnya yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Ancaman pidana bagi pelaku penodaan terhadap lambang negara yang telah diatur dalam pasal 66 dan pasal 68. Sedangkan dalam hukum Islam tidak mengatur secara khusus bagi pelaku penodaan terhadap lambang negara, akan tetapi hukum Islam melihat dari segi unsur-unsur perbuatan. Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu: bagaimana ketentuan hukum Islam terhadap ancaman pidana penodaan lambang negara dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009. Dalam penulisan ini menggunakan metode hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder atau penelitian hukum kepustakaan (di samping penelitian hukum sosiologis atau empiris yang terutama meneliti data primer).Sedangkan teknik pengumpulan data diperoleh dengan cara studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian setelah diamati dan dipahami bahwa dalam hukum Islam bagi pelaku penodaan lambang negara sama halnya dengan pemberontakan yang sama-sama menentang negara yang akan dikenakan hukuman ta’zir, hukum Islam tidak akan ketinggalan zaman akibat perkembangan modern yang semakin maju. Hukum Islam memandang dari segala tindakan yang dapat merugikan atau membahayakan dan juga dilihat dari perbuatan yang dilakukan baik secara disengaja maupun tidak disengaja demi kemaslahatan publik.","PeriodicalId":424275,"journal":{"name":"Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum","volume":"208 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114408921","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-12-04DOI: 10.22373/legitimasi.v7i2.3972
Delfi Suganda, Nawira Dahlan
Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah diantara mengatur tentang jarimahikhtilath yang terdapat dalam Pasal 25 (1) yang berbunyi “setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah ikhtilath, diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 30 (tiga puluh) kali atau denda paling banyak 300 (tiga ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 30 ( tiga puluh ) bulan. Sebagaimana dalam video-video Adi Bergek hampir sebahagian mengandung unsur ikhtilath. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana ikhtilath dalam video Adi Bergek dan tanggapan budayawan Aceh terhadap video klip yang memiliki unsur ikhtilath.Hasil penelitian menunjukan bahwa terpenuhi semua unsur-unsur ikhtilathyang terdapat dalam video klip Adi Bergek yaitu berpengang-pengangan tangan antara laki-laki dan perempuan, bersentuh-sentuhan dan bermesraan dengan yang bukan muhrimnya dengan kerelaan kedua belah pihak, selain mengandung unsur ikhtilath video klip Adi Bergek juga melanggar syariat Islam dan norma Agama yang sudah ada ketetapannya, hal ini dapat dilihat dari isi videonya yang menceritakan percintaan kisah remaja. Tidak hanya melanggar dari segi Agama, akan tetapi juga melanggar budaya yang sudah ada di Aceh, dikarenakan setiap penampilannya ataupun tutur lirik yang dinyanyikan juga tidak dapat memberikan manfaat kepada masyarakat luas yang mendengarkannya. Hal tersebut dapat membuat para generasi muda mencontohkan perbuatan-perbuatan terlarang yang melanggar syariat Islam, khususnya yang terdapat dalam Pasal 25 (1) Qanun Jinayah.
2014 年第 6 号《亚齐法》(Qanun Aceh Number 6 of 2014 concerning Jinayah Law)对 jarimah ikhtilath 作出了规定,其中第 25(1)条规定:"凡故意实施 jarimah ikhtilath 者,应处以'uqubat'鞭刑,最多 30(三十)次,或处以最多 300(三百)克纯金的罚款,或处以最多 30(三十)个月的监禁"。与 Adi Bergek 的视频一样,几乎有些视频也包含 ikhtilath 的内容。研究结果表明,Adi Bergek 的视频短片中包含的所有 ikhtilath 元素都得到了满足,即男女牵手、在双方自愿的情况下与非穆斯林接触和亲热,除了包含 ikhtilath 元素外,Adi Bergek 的视频短片还违反了伊斯兰教法和已确定的宗教规范,这一点可以从讲述青少年恋爱故事的视频内容中看出。它不仅违反了宗教方面的规定,还违反了亚齐的现有文化,因为每一次表演或所唱的歌词都无法为更多的听众带来益处。这可能会使年轻一代模仿违反伊斯兰教法的违禁行为,尤其是《Qanun Jinayah》第 25(1)条所载的行为。
{"title":"IKHTILATH DALAM DUNIA HIBURAN","authors":"Delfi Suganda, Nawira Dahlan","doi":"10.22373/legitimasi.v7i2.3972","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/legitimasi.v7i2.3972","url":null,"abstract":"Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah diantara mengatur tentang jarimahikhtilath yang terdapat dalam Pasal 25 (1) yang berbunyi “setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah ikhtilath, diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 30 (tiga puluh) kali atau denda paling banyak 300 (tiga ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 30 ( tiga puluh ) bulan. Sebagaimana dalam video-video Adi Bergek hampir sebahagian mengandung unsur ikhtilath. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana ikhtilath dalam video Adi Bergek dan tanggapan budayawan Aceh terhadap video klip yang memiliki unsur ikhtilath.Hasil penelitian menunjukan bahwa terpenuhi semua unsur-unsur ikhtilathyang terdapat dalam video klip Adi Bergek yaitu berpengang-pengangan tangan antara laki-laki dan perempuan, bersentuh-sentuhan dan bermesraan dengan yang bukan muhrimnya dengan kerelaan kedua belah pihak, selain mengandung unsur ikhtilath video klip Adi Bergek juga melanggar syariat Islam dan norma Agama yang sudah ada ketetapannya, hal ini dapat dilihat dari isi videonya yang menceritakan percintaan kisah remaja. Tidak hanya melanggar dari segi Agama, akan tetapi juga melanggar budaya yang sudah ada di Aceh, dikarenakan setiap penampilannya ataupun tutur lirik yang dinyanyikan juga tidak dapat memberikan manfaat kepada masyarakat luas yang mendengarkannya. Hal tersebut dapat membuat para generasi muda mencontohkan perbuatan-perbuatan terlarang yang melanggar syariat Islam, khususnya yang terdapat dalam Pasal 25 (1) Qanun Jinayah.","PeriodicalId":424275,"journal":{"name":"Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum","volume":"29 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127567533","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-12-04DOI: 10.22373/legitimasi.v6i2.3961
N. Bakry, Yournal Arnas
Pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan di dalam hukum Islam, melarang praktik pengangkatan anak untuk menjadikan anak angkat dan menjadi anak kandung.Pertanyaan artikel ini, adalah bagaimana ancaman pidana pada proses pengangkatan anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan tinjauan hukum Islam terhadap ancaman pidana pada proses pengangkatan anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ancaman pidana pada proses pengangkatan anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam ketentuan pidana menyebutkan setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), (2), (3), (4) dan ayat (5) para orang tua angkat dengan maksud baik sekalipun, tetapi ingin memutuskan hubungan anak yang mereka adopsi dengan orang tua kandungnya. Walaupun, kesepakatan tersebut dibuat antara orang tua angkat dengan orang tua kandung si anak. Pasal 79 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sedangkan di dalam tinjauan hukum Islam terhadap ancaman pidana pada proses pengangkatan anak menurut ketentuan hukum Islam termasuk dalam kategori ta’zīr yakni setiap perbuatan yang tidak dikenakan hukuman had.
{"title":"TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PROSES PENGANGKATAN ANAK DALAM UU NO. 23 TAHUN2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK","authors":"N. Bakry, Yournal Arnas","doi":"10.22373/legitimasi.v6i2.3961","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/legitimasi.v6i2.3961","url":null,"abstract":"Pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan di dalam hukum Islam, melarang praktik pengangkatan anak untuk menjadikan anak angkat dan menjadi anak kandung.Pertanyaan artikel ini, adalah bagaimana ancaman pidana pada proses pengangkatan anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan tinjauan hukum Islam terhadap ancaman pidana pada proses pengangkatan anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ancaman pidana pada proses pengangkatan anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam ketentuan pidana menyebutkan setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), (2), (3), (4) dan ayat (5) para orang tua angkat dengan maksud baik sekalipun, tetapi ingin memutuskan hubungan anak yang mereka adopsi dengan orang tua kandungnya. Walaupun, kesepakatan tersebut dibuat antara orang tua angkat dengan orang tua kandung si anak. Pasal 79 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sedangkan di dalam tinjauan hukum Islam terhadap ancaman pidana pada proses pengangkatan anak menurut ketentuan hukum Islam termasuk dalam kategori ta’zīr yakni setiap perbuatan yang tidak dikenakan hukuman had.","PeriodicalId":424275,"journal":{"name":"Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum","volume":"81 7","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121014757","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-12-04DOI: 10.22373/legitimasi.v7i1.3966
Jamhuri Jamhuri, Zuhaini Nopitasari
Santet sihir adalah perbuatan gaib yang dilakukan dengan pesona guna-guna, mantera, jimat, dan mengikut sertakan syaitan. Yang dapat memberikan pengaruh terhadap badan yang disihir, atau hatinya, akalnya, tanpa harus menyentuhnya. Sihir juga dapat menyebabkan kematian, sakit, seorang suami tidak bisa mengauli istrinya, perceraian antara suami dan istri, menimbulkan kebencian, atau rasa cinta diantara dua insan.Dalam masyarakat Gayo istilah santet lebih populer dengan sebutan Tube atau Jung, yang sering digunakan masyarakat Gayo untuk melukai orang disebabkan karena iri hati, dendam. Istilah Tube berbeda dengan jung, Tube diberikan kepada orang yang akan menjadi korbannya melalui makanan dan minuman. Sedangkan Jung ada dua yaitu gayong api dan gayong angin, biasanya dilakukan dengan cara salaman, menepuk bahu, dan memandangi korban.Hukuman yang diberikat kepada pelaku santet menurut hukum adat yang berlaku di kampung Timang Gajah ada dua yaitu membayar denda dan berjanti tidak akan mengulangi lagi perbuatannya, di usir dari kampung tersebut. Para ulam fiqih, ahli mazhab, berslisih pendapat tetang hukumannya. seseorang ahli sihir harus dibunuh ( di hukum mati, bila diketahui bahwa ia mngajarkan sihir, dalam hal ini ia tidak diterima taubatnya. Adapun Asy-syafi’i, berpendapat: “seorang ahli sihir tidak kafir karena sihirnya. Apabila ia membunuh orang dengan sihirnya, dan ia berkata: sihirku dapat membunuh orang seperti itu, dan aku telah sengaja melakukan pembunuhan itu (dengan sihir ku), maka ia harus dibunuh berdasarkan hukum qisas. Akat tetapi apabila ia berkata: sihirku dapat membunuh, dapat pula luput, tidak mengenai sasaran, maka ia tidak dibunuh, tetapi dikenakan diat atas dirinya. Imam Ahmad (Imam Hambal) berpendapat:”ahli sihir kafir karena sihirnya, baik ia dengan sihirnya itu membunuh, maupun tidak membunuh. Berdasarkan hasil penelitian penulis mengunakan metode interview yaitu penulis turun ke lapangan untuk wawanvara kepada masyarakat kampung Timang Gajah.bagaimana cara penyelasaian pelaku santet dalam masyarakat Gayo.
{"title":"PENYELASAIAN PELAKU SANTET DENGAN HUKUM ADAT DITINJAU MELALUI HUKUM ISLAM DI KECAMATAN GAJAH PUTIH","authors":"Jamhuri Jamhuri, Zuhaini Nopitasari","doi":"10.22373/legitimasi.v7i1.3966","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/legitimasi.v7i1.3966","url":null,"abstract":"Santet sihir adalah perbuatan gaib yang dilakukan dengan pesona guna-guna, mantera, jimat, dan mengikut sertakan syaitan. Yang dapat memberikan pengaruh terhadap badan yang disihir, atau hatinya, akalnya, tanpa harus menyentuhnya. Sihir juga dapat menyebabkan kematian, sakit, seorang suami tidak bisa mengauli istrinya, perceraian antara suami dan istri, menimbulkan kebencian, atau rasa cinta diantara dua insan.Dalam masyarakat Gayo istilah santet lebih populer dengan sebutan Tube atau Jung, yang sering digunakan masyarakat Gayo untuk melukai orang disebabkan karena iri hati, dendam. Istilah Tube berbeda dengan jung, Tube diberikan kepada orang yang akan menjadi korbannya melalui makanan dan minuman. Sedangkan Jung ada dua yaitu gayong api dan gayong angin, biasanya dilakukan dengan cara salaman, menepuk bahu, dan memandangi korban.Hukuman yang diberikat kepada pelaku santet menurut hukum adat yang berlaku di kampung Timang Gajah ada dua yaitu membayar denda dan berjanti tidak akan mengulangi lagi perbuatannya, di usir dari kampung tersebut. Para ulam fiqih, ahli mazhab, berslisih pendapat tetang hukumannya. seseorang ahli sihir harus dibunuh ( di hukum mati, bila diketahui bahwa ia mngajarkan sihir, dalam hal ini ia tidak diterima taubatnya. Adapun Asy-syafi’i, berpendapat: “seorang ahli sihir tidak kafir karena sihirnya. Apabila ia membunuh orang dengan sihirnya, dan ia berkata: sihirku dapat membunuh orang seperti itu, dan aku telah sengaja melakukan pembunuhan itu (dengan sihir ku), maka ia harus dibunuh berdasarkan hukum qisas. Akat tetapi apabila ia berkata: sihirku dapat membunuh, dapat pula luput, tidak mengenai sasaran, maka ia tidak dibunuh, tetapi dikenakan diat atas dirinya. Imam Ahmad (Imam Hambal) berpendapat:”ahli sihir kafir karena sihirnya, baik ia dengan sihirnya itu membunuh, maupun tidak membunuh. Berdasarkan hasil penelitian penulis mengunakan metode interview yaitu penulis turun ke lapangan untuk wawanvara kepada masyarakat kampung Timang Gajah.bagaimana cara penyelasaian pelaku santet dalam masyarakat Gayo.","PeriodicalId":424275,"journal":{"name":"Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129715720","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-12-04DOI: 10.22373/legitimasi.v6i2.3955
Ali Abu Bakar, Hidayati Hidayati
Bunuh diri merupakan kejahatan terbesar yang dilakukan manusia dan juga pola berpikir yang sangat buruk. Manusia yang tidak sanggup menahan penderitaannya akan mendorong dirinya untuk melakukan perbuatan bunuh diri, padahal hal tersebut bukan jalan yang baik, sebab bagaimanapun caranya ia tidak akan terlepas dari azab Allah SWT di akhirat kelak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari jawaban faktor apa saja yang mempengaruhi seseorang melakukan bunuh diri di Wilayah Kabupaten Bener Meriah dan bagaimana tanggapan pemerintah Kabupaten Bener Meriah mengenai perbuatan bunuh diri. Menurut penjelasan dari pihak pemerintah, mereka sering melakukan dakwah mengenai larangan perbuatan bunuh diri, karena perbuatan tersebut adalah syirik, dan mengatakan bahwa pada umumnya yang melakukan perbuatan bunuh diri tersebut dikarenakan berputus asa terhadap hidup. Sebagai kesimpulan dari paparan di atas bahwa perbuatan bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang yang sedang berputus asa di Kabupaten Bener Meriah dilatarbelakangi oleh bermacam-macam faktor, seperti kemelut rumah tangga, menderita karena penyakit, stres dan sebagainya. Pemerintah mengatakan bahwa putus asa yang dilatarbelakangi oleh masalah kehidupan rumah tangga, ekonomi lemah, tidak mendapat perhatian orang tua menjadi pemicu terjadinya bunuh diri.
{"title":"FAKTOR TERJADINYA TINDAK PIDANA BUNUH DIRI (SUICIDE) DI WILAYAH KABUPATEN BENER MERIAH","authors":"Ali Abu Bakar, Hidayati Hidayati","doi":"10.22373/legitimasi.v6i2.3955","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/legitimasi.v6i2.3955","url":null,"abstract":"Bunuh diri merupakan kejahatan terbesar yang dilakukan manusia dan juga pola berpikir yang sangat buruk. Manusia yang tidak sanggup menahan penderitaannya akan mendorong dirinya untuk melakukan perbuatan bunuh diri, padahal hal tersebut bukan jalan yang baik, sebab bagaimanapun caranya ia tidak akan terlepas dari azab Allah SWT di akhirat kelak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari jawaban faktor apa saja yang mempengaruhi seseorang melakukan bunuh diri di Wilayah Kabupaten Bener Meriah dan bagaimana tanggapan pemerintah Kabupaten Bener Meriah mengenai perbuatan bunuh diri. Menurut penjelasan dari pihak pemerintah, mereka sering melakukan dakwah mengenai larangan perbuatan bunuh diri, karena perbuatan tersebut adalah syirik, dan mengatakan bahwa pada umumnya yang melakukan perbuatan bunuh diri tersebut dikarenakan berputus asa terhadap hidup. Sebagai kesimpulan dari paparan di atas bahwa perbuatan bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang yang sedang berputus asa di Kabupaten Bener Meriah dilatarbelakangi oleh bermacam-macam faktor, seperti kemelut rumah tangga, menderita karena penyakit, stres dan sebagainya. Pemerintah mengatakan bahwa putus asa yang dilatarbelakangi oleh masalah kehidupan rumah tangga, ekonomi lemah, tidak mendapat perhatian orang tua menjadi pemicu terjadinya bunuh diri.","PeriodicalId":424275,"journal":{"name":"Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum","volume":"113 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124163511","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}