Pub Date : 2021-11-19DOI: 10.22373/legitimasi.v10i2.11340
Syuhada Syuhada, Z. Zulkiram
Scholars differ on whether the repentance of an adulterer can abrogate the punishment of the limit ?. Some scholars state that there is no fall at all, while others state that the punishment is limited to fall. In this regard, Ibn Taymiyyah's opinion is the same as the last opinion that the repentance of an adulterer can remove the demand of the limit as long as it has not been submitted to the ruler, but if it has been submitted to the ruler then the limit does not fall so it remains punished and his repentance is accepted by Allah SWT. As for the research method is qualitative, the type of literature research, research data from library materials in the form of books of jurisprudence, law, and other relevant literature then the data that has been collected, both from primary, secondary, and tertiary data, then analyzed by descriptive-analysis. The results of the study showed that according to Ibn Taymiyyah, the perpetrator of adultery who repented before being complained to the government, fell ḥadd adultery. The perpetrator does not have to admit his actions because the attitude is seen as better. As for the adulterer who repents after being complained to the government, then it does not fall ḥadd adultery. The perpetrator must still be punished, his repentance is accepted by Allah SWT., While the punishment of ḥadd as a consummation of his repentance. The argument used by Ibn Taymiyyah about the fall of ḥadd zina due to repentance refers to the provisions of the QS. al-Nisā 'verse 16, QS. al-Māidah verses 33-34, QS. Ṭāhā verses 121-122, and the hadith narrated by Abū Dawud about the punishment of Maiz. The method of istinbāṭ that he uses tends to use heroic reasoning, that is, looking at the sides and rules of language, general and special relations, cause and effect, and understanding the words of the Qur'an.
{"title":"TAUBAT SEBAGAI PENGHAPUS HAD ZINA MENURUT IBNU TAIMIYYAH","authors":"Syuhada Syuhada, Z. Zulkiram","doi":"10.22373/legitimasi.v10i2.11340","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/legitimasi.v10i2.11340","url":null,"abstract":"Scholars differ on whether the repentance of an adulterer can abrogate the punishment of the limit ?. Some scholars state that there is no fall at all, while others state that the punishment is limited to fall. In this regard, Ibn Taymiyyah's opinion is the same as the last opinion that the repentance of an adulterer can remove the demand of the limit as long as it has not been submitted to the ruler, but if it has been submitted to the ruler then the limit does not fall so it remains punished and his repentance is accepted by Allah SWT. As for the research method is qualitative, the type of literature research, research data from library materials in the form of books of jurisprudence, law, and other relevant literature then the data that has been collected, both from primary, secondary, and tertiary data, then analyzed by descriptive-analysis. The results of the study showed that according to Ibn Taymiyyah, the perpetrator of adultery who repented before being complained to the government, fell ḥadd adultery. The perpetrator does not have to admit his actions because the attitude is seen as better. As for the adulterer who repents after being complained to the government, then it does not fall ḥadd adultery. The perpetrator must still be punished, his repentance is accepted by Allah SWT., While the punishment of ḥadd as a consummation of his repentance. The argument used by Ibn Taymiyyah about the fall of ḥadd zina due to repentance refers to the provisions of the QS. al-Nisā 'verse 16, QS. al-Māidah verses 33-34, QS. Ṭāhā verses 121-122, and the hadith narrated by Abū Dawud about the punishment of Maiz. The method of istinbāṭ that he uses tends to use heroic reasoning, that is, looking at the sides and rules of language, general and special relations, cause and effect, and understanding the words of the Qur'an.","PeriodicalId":424275,"journal":{"name":"Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum","volume":"409 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132841552","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-11-19DOI: 10.22373/legitimasi.v10i2.11344
Faisal Yahya, Maisarah Maisarah
Penelitian ini di latar belakangi oleh banyaknya kasus pencurian internet Wi-Fi yang penulis temukan terutama dikalangan mahasiswa yang sebagian besarnya berdomisili di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh. Faktor utama terjadinya percurian tersebut disebabkan kebutuhan interner yang tinggi dikalangan mahasiswa karena seluruh proses perkuliahan dilakukan secara online. Penelitian ini untuk menemukan bagaimana modus pencurian internet Wi-Fi di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh dan bagaimanakan perspektif hadis Ahkam tentang fenomena tersebut. Penggunakan metode deskriptif analisis dan dipandukan dengan penelitian lapangan yang diperoleh melalui wawancara dan observasi, sehingga dapat memaparkan dan menggambarkan hasil penelitian secara objektif terhadap keadaan yang ditemui di lapangan. Modus operandi pencurian internet Wi-Fi di Kecamata Syiah Kuala Kota Banda Aceh adalah dengan cara, pelaku menggunakan laptop atau handphone dan men-donwload beberapa software atau aplikasi tertentu yang mereka perlukan untuk menerobos sistem keamanan dan memperoleh username dan password untuk digunakan pada Wi-Fi yang ingin didapatkan akses internetnya. Perspektif hukum islam adalah jelas tidak boleh (haram) karena Wi-Fi tersebut telah diberikan keamanan khusus. Maka diharapkan kepada pelaku pencurian internet Wi-Fi untuk tidak melakukan hal yang demikian lagi dan diharapkan kepada pemilik Wi-Fi untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib.
{"title":"PENCURIAN INTERNET WIFI PERSPEKTIF HADIS AHKAM (Studi Kasus di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh)","authors":"Faisal Yahya, Maisarah Maisarah","doi":"10.22373/legitimasi.v10i2.11344","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/legitimasi.v10i2.11344","url":null,"abstract":"Penelitian ini di latar belakangi oleh banyaknya kasus pencurian internet Wi-Fi yang penulis temukan terutama dikalangan mahasiswa yang sebagian besarnya berdomisili di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh. Faktor utama terjadinya percurian tersebut disebabkan kebutuhan interner yang tinggi dikalangan mahasiswa karena seluruh proses perkuliahan dilakukan secara online. Penelitian ini untuk menemukan bagaimana modus pencurian internet Wi-Fi di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh dan bagaimanakan perspektif hadis Ahkam tentang fenomena tersebut. Penggunakan metode deskriptif analisis dan dipandukan dengan penelitian lapangan yang diperoleh melalui wawancara dan observasi, sehingga dapat memaparkan dan menggambarkan hasil penelitian secara objektif terhadap keadaan yang ditemui di lapangan. Modus operandi pencurian internet Wi-Fi di Kecamata Syiah Kuala Kota Banda Aceh adalah dengan cara, pelaku menggunakan laptop atau handphone dan men-donwload beberapa software atau aplikasi tertentu yang mereka perlukan untuk menerobos sistem keamanan dan memperoleh username dan password untuk digunakan pada Wi-Fi yang ingin didapatkan akses internetnya. Perspektif hukum islam adalah jelas tidak boleh (haram) karena Wi-Fi tersebut telah diberikan keamanan khusus. Maka diharapkan kepada pelaku pencurian internet Wi-Fi untuk tidak melakukan hal yang demikian lagi dan diharapkan kepada pemilik Wi-Fi untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib. ","PeriodicalId":424275,"journal":{"name":"Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum","volume":"24 12","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"120813930","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-08-13DOI: 10.22373/legitimasi.v10i1.10515
M. Misran
AbstrakTindak pidana dalam hukum pidana Islam disebut jarimah, yaitu segala perbuatan yang dilarang oleh Allah swt. dan diancam dengan hukuman had dan ta’zir. Had adalah tindak pidana dan sanksi pidananya sudah diatur sedemikian rupa dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadis, yang terdiri dari: Had zina, dihukum bagi yang ghairu muhsan 100 kali cambuk dan muhsan dihukum rajam, had qadhaf (menuduh orang berbuat Zina) dihukum 80 kali cambuk, had sariqah (pencurian), apabila sudah mencapai nisab dihukum potong tangan, had minum khamar dihukum 40 kali cambuk, had hirabah (perampokan) dihukum sesuai dengan kiteria perbuatan yang dilakukan, had al-baghyu (pemberontakan) dihukum mati, dan had riddah (murtad) dihukum mati apabila tidak mau diajak untuk bertaubat selama tiga hari berturut-turut. Ketujuh bentuk had tersebut merupakan hak Allah swt. yang tidak dapat dirubah lagi. Hakim dalam hal ini tinggal memutuskan dengan bukti-bukti otentik yang ditetapkan menurut Al-Qur’an dan Al-Hadis. Had di sini juga termasuk jarimah qishash/diyat, karena sudah ada batas ketentuannya di dalam nash. Sedangkan jarimah ta’zir adalah tindak pidana yang tidak ditentukan oleh Syari’, baik dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis. Oleh karena itu yang berwenang menentukannya adalah ulil amri atau pemimpin demi tercapainya kemaslahatan ummat. Terdapat tiga kriteria jarimah ta’zir, yaitu: pertama, jarimah hudud yang tidak memenuhi syarat atau terdapat syubhat, kedua, jarimah qishash yang tidak memenuhi syarat atau terdapat syubhat, dan yang ketiga, jarimah ta’zir yang berdiri sendiri, tidak ada kaitannya dengan jarimah hudud dan qishash yang tidak memenuhi syarat atau terdapat syubhat. Dengan demikian jarimah ta’zir menjadi kewenangan pemimpin menentukannya. Jarimah ta’zir yang berdiri sendiri bersifat fleksibel yang suatu saat bisa berubah bahkan dihapus, karena keberadaan jarimah ta’zir mengikuti tuntutan kemaslahatan.
{"title":"KRITERIA TINDAK PIDANA YANG DIANCAM HUKUMAN TA‘ZIR","authors":"M. Misran","doi":"10.22373/legitimasi.v10i1.10515","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/legitimasi.v10i1.10515","url":null,"abstract":"AbstrakTindak pidana dalam hukum pidana Islam disebut jarimah, yaitu segala perbuatan yang dilarang oleh Allah swt. dan diancam dengan hukuman had dan ta’zir. Had adalah tindak pidana dan sanksi pidananya sudah diatur sedemikian rupa dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadis, yang terdiri dari: Had zina, dihukum bagi yang ghairu muhsan 100 kali cambuk dan muhsan dihukum rajam, had qadhaf (menuduh orang berbuat Zina) dihukum 80 kali cambuk, had sariqah (pencurian), apabila sudah mencapai nisab dihukum potong tangan, had minum khamar dihukum 40 kali cambuk, had hirabah (perampokan) dihukum sesuai dengan kiteria perbuatan yang dilakukan, had al-baghyu (pemberontakan) dihukum mati, dan had riddah (murtad) dihukum mati apabila tidak mau diajak untuk bertaubat selama tiga hari berturut-turut. Ketujuh bentuk had tersebut merupakan hak Allah swt. yang tidak dapat dirubah lagi. Hakim dalam hal ini tinggal memutuskan dengan bukti-bukti otentik yang ditetapkan menurut Al-Qur’an dan Al-Hadis. Had di sini juga termasuk jarimah qishash/diyat, karena sudah ada batas ketentuannya di dalam nash. Sedangkan jarimah ta’zir adalah tindak pidana yang tidak ditentukan oleh Syari’, baik dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis. Oleh karena itu yang berwenang menentukannya adalah ulil amri atau pemimpin demi tercapainya kemaslahatan ummat. Terdapat tiga kriteria jarimah ta’zir, yaitu: pertama, jarimah hudud yang tidak memenuhi syarat atau terdapat syubhat, kedua, jarimah qishash yang tidak memenuhi syarat atau terdapat syubhat, dan yang ketiga, jarimah ta’zir yang berdiri sendiri, tidak ada kaitannya dengan jarimah hudud dan qishash yang tidak memenuhi syarat atau terdapat syubhat. Dengan demikian jarimah ta’zir menjadi kewenangan pemimpin menentukannya. Jarimah ta’zir yang berdiri sendiri bersifat fleksibel yang suatu saat bisa berubah bahkan dihapus, karena keberadaan jarimah ta’zir mengikuti tuntutan kemaslahatan.","PeriodicalId":424275,"journal":{"name":"Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum","volume":"84 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124928614","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-08-13DOI: 10.22373/legitimasi.v10i1.10522
Sitti Mawar
AbstrakPerkembangan sistem hukum penyelesaian masalah adat, lembaga adat Aceh mengunakan peradilan adat.Peradilan adat adalah peradilan perdamaian yang dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara (sengketa atau pelanggaran adat) yang terjadi dalam masyarakat, beberapa istilah yang digunakan dalam menyebutkan peradilan adat, diantaranya peradilan gampong dan peradilan damai. Penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat didasarkan pada pandangan hidup yang dianut oleh masyarakat itu sendiri.Masyarakat adat memiliki sifat demokratis yang mana kepentingan bersama lebih diutamakan, tanpa mengabaikan atau merugikan kepentingan perorangan.Suasana hidup domokratis dan berkeadilan sosial berjalan bersama dengan semangat komunal dan gotong royong dalam masyarakat hukum adat.Perilaku demokratis dijiwai oleh asas hukum adat yang bernilai universal.Nilai ini berupa kekuasaan umum, asas musyawarah, dan perwakilan dalam sistem pemerintahan adat . Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah; Bagaimana Konsep Mediasi Sebagai Sebuah Alternatif Peradilan Adat. Bagaimana Sistem Hukum Peradilan Adat. Asaz – asaz apa saja yang termuat dalam pelaksanaan peradilan adat di Aceh. Metode penelitian mengunakan jenis penelitian sosiologi empiris, dengan mengunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan kasus adat yang mendapatkan penyelesaian. Hasil penelitian yang ditemukan di masyarakat lembaga adat aceh bahwa Pelaksanaan peradilan adat didukung oleh sejumlah peraturan perundang - undangan.Di dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan secara tegas bahwa penguatan hukum adat dan peradilan adat harus dimulai dari Gampong dan Mukim.Adapun badan-badan resmi yang menyelenggarakan peradilan adat yaitu Lembaga Gampong dan Lembaga Mukim. Kata Kunci: Perkembangan, Peradilan Adat, Aceh
{"title":"PERKEMBANGAN SISTEM HUKUM PERADILAN ADAT ACEH","authors":"Sitti Mawar","doi":"10.22373/legitimasi.v10i1.10522","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/legitimasi.v10i1.10522","url":null,"abstract":"AbstrakPerkembangan sistem hukum penyelesaian masalah adat, lembaga adat Aceh mengunakan peradilan adat.Peradilan adat adalah peradilan perdamaian yang dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara (sengketa atau pelanggaran adat) yang terjadi dalam masyarakat, beberapa istilah yang digunakan dalam menyebutkan peradilan adat, diantaranya peradilan gampong dan peradilan damai. Penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat didasarkan pada pandangan hidup yang dianut oleh masyarakat itu sendiri.Masyarakat adat memiliki sifat demokratis yang mana kepentingan bersama lebih diutamakan, tanpa mengabaikan atau merugikan kepentingan perorangan.Suasana hidup domokratis dan berkeadilan sosial berjalan bersama dengan semangat komunal dan gotong royong dalam masyarakat hukum adat.Perilaku demokratis dijiwai oleh asas hukum adat yang bernilai universal.Nilai ini berupa kekuasaan umum, asas musyawarah, dan perwakilan dalam sistem pemerintahan adat . Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah; Bagaimana Konsep Mediasi Sebagai Sebuah Alternatif Peradilan Adat. Bagaimana Sistem Hukum Peradilan Adat. Asaz – asaz apa saja yang termuat dalam pelaksanaan peradilan adat di Aceh. Metode penelitian mengunakan jenis penelitian sosiologi empiris, dengan mengunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan kasus adat yang mendapatkan penyelesaian. Hasil penelitian yang ditemukan di masyarakat lembaga adat aceh bahwa Pelaksanaan peradilan adat didukung oleh sejumlah peraturan perundang - undangan.Di dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan secara tegas bahwa penguatan hukum adat dan peradilan adat harus dimulai dari Gampong dan Mukim.Adapun badan-badan resmi yang menyelenggarakan peradilan adat yaitu Lembaga Gampong dan Lembaga Mukim. Kata Kunci: Perkembangan, Peradilan Adat, Aceh","PeriodicalId":424275,"journal":{"name":"Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum","volume":"51 1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122999071","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-08-13DOI: 10.22373/legitimasi.v10i1.10521
Hasnul Arifin Melayu, Mohammad Zawawi Abubakar, Norruzeyati Che MohammadNasir
AbstrakQanun yang berkaitan dengan syariat Islam hanya berlaku bagi umat Islam yang berada di Aceh. Konsepsi ini secara spesifik mengadopsi asas personalitas dan teritorialitas. Namun bila dikaji lebih mendalam, dapat dilihat bahwa pengadopsian kedua asas tersebut ternyata tidak secara total berlaku. Dampak yang muncul bahwa Qanun Hukum Jinayat(QHJ) tetap berlaku bagi umat Islam dan bukan Islam meskipun dengan beberapa persyaratan. Dari sinilah masalah mulai muncul. Tulisan ini atas dasar analisis isi pasal-pasal Qanun Hukum Jinayat menunjukkan bahwa eksistensi Qanun ini khususnya yang mengatur tentang kedudukan non muslim di Aceh. Data primer dalam tulisan ini adalah pasal-pasal dalam Qanun Hukum Jinayat dan ditambah dengan sumber-sumber tulisan lainnya. Ditemukan bahwa pengadopsian kedua asas dalam Qanun Hukum Jinayat seyogyanya tidak menghilangkan prinsip fundamental Islam yang menjunjung tinggi keadilan dan menghargai hak asasi manusia. Kajian mendalam dan komprehensif mutlak diperlukan untuk menghasilkan peraturan yang lebih adil. Kata Kunci: Syari’at Islam, Qanun, Aceh, Non-Muslim
{"title":"Minoritas di Wilayah Syariat: Kedudukan Non Muslim Dalam Qanun Hukum Jinayat Aceh","authors":"Hasnul Arifin Melayu, Mohammad Zawawi Abubakar, Norruzeyati Che MohammadNasir","doi":"10.22373/legitimasi.v10i1.10521","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/legitimasi.v10i1.10521","url":null,"abstract":"AbstrakQanun yang berkaitan dengan syariat Islam hanya berlaku bagi umat Islam yang berada di Aceh. Konsepsi ini secara spesifik mengadopsi asas personalitas dan teritorialitas. Namun bila dikaji lebih mendalam, dapat dilihat bahwa pengadopsian kedua asas tersebut ternyata tidak secara total berlaku. Dampak yang muncul bahwa Qanun Hukum Jinayat(QHJ) tetap berlaku bagi umat Islam dan bukan Islam meskipun dengan beberapa persyaratan. Dari sinilah masalah mulai muncul. Tulisan ini atas dasar analisis isi pasal-pasal Qanun Hukum Jinayat menunjukkan bahwa eksistensi Qanun ini khususnya yang mengatur tentang kedudukan non muslim di Aceh. Data primer dalam tulisan ini adalah pasal-pasal dalam Qanun Hukum Jinayat dan ditambah dengan sumber-sumber tulisan lainnya. Ditemukan bahwa pengadopsian kedua asas dalam Qanun Hukum Jinayat seyogyanya tidak menghilangkan prinsip fundamental Islam yang menjunjung tinggi keadilan dan menghargai hak asasi manusia. Kajian mendalam dan komprehensif mutlak diperlukan untuk menghasilkan peraturan yang lebih adil. Kata Kunci: Syari’at Islam, Qanun, Aceh, Non-Muslim ","PeriodicalId":424275,"journal":{"name":"Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum","volume":"2 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126117146","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-08-13DOI: 10.22373/legitimasi.v10i1.10516
M. Yusuf
AbstrakPergulatan tentang supremasi hukum Islam dalam masyarakat nusantara dimulai pada masa penjajahan Belanda, ketika Belanda mulai mengusik hukum masyarakat demi memperkuat cengkeramannya untuk menguasai bumi nusantara ini. Awalnya ilmuan hukum Belanda masih jernih dalam melihat kebenaran bahwa hukum Islam dalam masyarakat muslim nusantara lebih tinggi kedudukannya dari pada hukum adat sehingga lahir teori receptie in complexu, namun hal ini tidak berlaku lama karena ilmuan hukum Belanda lainnya merubah teori ini dengan teori receptie yang menempatkan hukum Islam lebih rendah dari hukum adat. Hal ini dilakukan untuk kepentingan politik kekuasaan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, ilmuan hukum Indonesia mulai meluruskan kembali kedudukan hukum Islam dan menempatkannya pada kedudukan yang sebenarnya, sehingga muncul teori receptie exit yang dipelopori oleh Hazairin, teori receptio a contrario oleh Sayuti Thalib dan teori eksistensi oleh ichtijanto. Ketiga teori ini mempunyai tujuan yang sama yaitu berusaha menempatkan kedudukan hukum Islam yang diakui eksistensinya di Indonesia. Namun tidak sepenuhnya teori-teori tersebut berlaku di Indonesia karena hukum jinayat (pidana Islam) tidak pernah mendapat pengakuan sebagai hukum yang dapat dilaksanakan di Indonesia, melainkan tetap masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) peninggalan Belanda. Sehingga dalam penelitian ini ingin melihat sejauh mana eksistensi hukum Islam di Indonesia dan mengapa hukum jinayat sukar sekali dilaksanakan di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan penelitian kepustakaan (library research). Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksistensi hukum Islam di Indonesia hanya dalam bidang perdata, sementara dalam bidang pidana masih menggunakan KUHP peninggalan Belanda, kemudian kendala pelaksanaan hukum jinayat lebih kepada budaya masyarakat yang belum sepenuhnya sesuai dengan Islam dan kendala politik. Kata Kunci: Eksistensi, Hukum Jinayat dan masyarakat
在荷兰占领期间,当荷兰人开始纠缠社会法律以加强对地球的控制时,伊斯兰法在群岛中至高无上的斗争就开始了。起初科学家荷兰法仍然清醒看到伊斯兰法律的事实中穆斯林社会群岛的地位高于出生所以普通法receptie in complexu理论,但这并不适用于久,因为其他科学家荷兰法律改变了这一理论的理论receptie把伊斯兰法律比普通法还低。这是为了荷兰权力的政治利益。随着印尼独立,印尼法律科学家开始重新调整伊斯兰法律的立场,并将其置于真实的位置,于是出现了由Hazairin、Sayuti Thalib的receptio a contrario理论和ichtijanto的存在理论。这三种理论的目的都是一样的,即将公认的伊斯兰法律置于印度尼西亚的地位。但这些理论在印尼并不完全适用,因为金阿提法(伊斯兰犯罪)从未被承认为可在印尼执行的法律,而是继续使用荷兰的《刑法》(KUHP)。因此,在这项研究中,我们想了解伊斯兰法在印尼的存在程度,以及为什么在大多数穆斯林居住的印尼,执行《金经律法》是如此困难。该研究采用定性方法和文献研究。研究表明,伊斯兰法在印尼的存在仅仅是在民事领域,而在犯罪领域仍然使用荷兰的国库,那么金亚法的实施障碍更多的是不完全符合伊斯兰教和政治约束的社会文化。关键词:存在、现行法律和社会
{"title":"EKSISTENSI HUKUM JINAYAT DALAM MASYARAKAT NUSANTARA","authors":"M. Yusuf","doi":"10.22373/legitimasi.v10i1.10516","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/legitimasi.v10i1.10516","url":null,"abstract":"AbstrakPergulatan tentang supremasi hukum Islam dalam masyarakat nusantara dimulai pada masa penjajahan Belanda, ketika Belanda mulai mengusik hukum masyarakat demi memperkuat cengkeramannya untuk menguasai bumi nusantara ini. Awalnya ilmuan hukum Belanda masih jernih dalam melihat kebenaran bahwa hukum Islam dalam masyarakat muslim nusantara lebih tinggi kedudukannya dari pada hukum adat sehingga lahir teori receptie in complexu, namun hal ini tidak berlaku lama karena ilmuan hukum Belanda lainnya merubah teori ini dengan teori receptie yang menempatkan hukum Islam lebih rendah dari hukum adat. Hal ini dilakukan untuk kepentingan politik kekuasaan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, ilmuan hukum Indonesia mulai meluruskan kembali kedudukan hukum Islam dan menempatkannya pada kedudukan yang sebenarnya, sehingga muncul teori receptie exit yang dipelopori oleh Hazairin, teori receptio a contrario oleh Sayuti Thalib dan teori eksistensi oleh ichtijanto. Ketiga teori ini mempunyai tujuan yang sama yaitu berusaha menempatkan kedudukan hukum Islam yang diakui eksistensinya di Indonesia. Namun tidak sepenuhnya teori-teori tersebut berlaku di Indonesia karena hukum jinayat (pidana Islam) tidak pernah mendapat pengakuan sebagai hukum yang dapat dilaksanakan di Indonesia, melainkan tetap masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) peninggalan Belanda. Sehingga dalam penelitian ini ingin melihat sejauh mana eksistensi hukum Islam di Indonesia dan mengapa hukum jinayat sukar sekali dilaksanakan di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan penelitian kepustakaan (library research). Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksistensi hukum Islam di Indonesia hanya dalam bidang perdata, sementara dalam bidang pidana masih menggunakan KUHP peninggalan Belanda, kemudian kendala pelaksanaan hukum jinayat lebih kepada budaya masyarakat yang belum sepenuhnya sesuai dengan Islam dan kendala politik. Kata Kunci: Eksistensi, Hukum Jinayat dan masyarakat","PeriodicalId":424275,"journal":{"name":"Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129107436","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-08-13DOI: 10.22373/legitimasi.v10i1.10514
Syuhada Syuhada, Edi Yuhermansyah, Ulfa Yuranisa
AbstrakTulisan ini hendak mengkaji Putusan Mahkamah Agung Nomor 39 P/HUM/2018 yaitu tentang hak uji materil Peraturan Gubernur Aceh Nomor 5/2018 tentang Hukum Acara Jinayat. Putusan ini berhubungan dengan permohonan uji materil pemohon menyangkut Pasal 30 Pergub yang menyatakan bahwa pencambukan dilakukan di tempat terbuka di Lembaga Pemasyarakatan, atau Rumah Tahanan, ataupun Cabang Rumah Tahanan. Intinya, MA tidak menerima permohonan dari pemohon. Jadi yang menjadi permasalahan ialah bagaimana pertimbangan Hakim MA dalam putusan No 39 P/HUM/2018 terkait penolakan permohonan pengujian Pasal 30 Peraturan Gubernur Aceh Nomor 05 Tahun 2018, dan bagaimana analisis siyasah al-qada’iyah terhadap putusan hakim MA tersebut. Hasil analisis bahwa pertimbangan Hakim MA dalam perkara putusan Nomor 39 P/HUM/2018 tentang penolakan permohonan pengujian Pasal 30 Peraturan Gubernur Aceh Nomor 05 Tahun 2018 adalah mengacu pada legal standing pemohon. Menurut MA, para pemohon sama sekali tidak mempunyai legal standing karena ketentuan Pasal 31 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA tidak terpenuhi. Pemohon berada pada posisi yang tidak tepat dan tidak mempunyai legal standing. Pihak pemohon tidak mampu membuktikan kerugian haknya atas diberlakukannya Pergub No: 5/2018. Putusan hakim MA No. 39 P/HUM/2018 sudah sesuai dengan tinjauan siyasah al-qadha’iyyah. Hakim Agung memiliki hak untuk menolak, menerima, atau membatalkan peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah melalui pengujian pasal-pasal dengan berdasarkan pada alasan dan dalil yang jelas. MA dalam telah sangat jelas dan tegas menyatakan pertimbangannya dalam menolak permohonan tersebut. Penolakan tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah fikih, mengharuskan satu keputusan harus disertakan dengan dalil-dalil (al-dalil) tertentu. Putusan hakim agung juga ditetapkan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan. Kata Kunci: Siyasah Al-Qadhaiyyah, Putusan, Mahkamah Agung.
{"title":"ANALISIS SIYASAH AL-QADHAIYYAH TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 39 P/HUM/2018 TENTANG UJI MATERIL PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 5/2018","authors":"Syuhada Syuhada, Edi Yuhermansyah, Ulfa Yuranisa","doi":"10.22373/legitimasi.v10i1.10514","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/legitimasi.v10i1.10514","url":null,"abstract":"AbstrakTulisan ini hendak mengkaji Putusan Mahkamah Agung Nomor 39 P/HUM/2018 yaitu tentang hak uji materil Peraturan Gubernur Aceh Nomor 5/2018 tentang Hukum Acara Jinayat. Putusan ini berhubungan dengan permohonan uji materil pemohon menyangkut Pasal 30 Pergub yang menyatakan bahwa pencambukan dilakukan di tempat terbuka di Lembaga Pemasyarakatan, atau Rumah Tahanan, ataupun Cabang Rumah Tahanan. Intinya, MA tidak menerima permohonan dari pemohon. Jadi yang menjadi permasalahan ialah bagaimana pertimbangan Hakim MA dalam putusan No 39 P/HUM/2018 terkait penolakan permohonan pengujian Pasal 30 Peraturan Gubernur Aceh Nomor 05 Tahun 2018, dan bagaimana analisis siyasah al-qada’iyah terhadap putusan hakim MA tersebut. Hasil analisis bahwa pertimbangan Hakim MA dalam perkara putusan Nomor 39 P/HUM/2018 tentang penolakan permohonan pengujian Pasal 30 Peraturan Gubernur Aceh Nomor 05 Tahun 2018 adalah mengacu pada legal standing pemohon. Menurut MA, para pemohon sama sekali tidak mempunyai legal standing karena ketentuan Pasal 31 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA tidak terpenuhi. Pemohon berada pada posisi yang tidak tepat dan tidak mempunyai legal standing. Pihak pemohon tidak mampu membuktikan kerugian haknya atas diberlakukannya Pergub No: 5/2018. Putusan hakim MA No. 39 P/HUM/2018 sudah sesuai dengan tinjauan siyasah al-qadha’iyyah. Hakim Agung memiliki hak untuk menolak, menerima, atau membatalkan peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah melalui pengujian pasal-pasal dengan berdasarkan pada alasan dan dalil yang jelas. MA dalam telah sangat jelas dan tegas menyatakan pertimbangannya dalam menolak permohonan tersebut. Penolakan tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah fikih, mengharuskan satu keputusan harus disertakan dengan dalil-dalil (al-dalil) tertentu. Putusan hakim agung juga ditetapkan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan. Kata Kunci: Siyasah Al-Qadhaiyyah, Putusan, Mahkamah Agung.","PeriodicalId":424275,"journal":{"name":"Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum","volume":"228 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128053647","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-08-13DOI: 10.22373/legitimasi.v10i1.10519
Amrullah Bustamam
AbstrakVonis bebas oleh hakim Mahkamah Syar'iyah Aceh terhadap terdakwa kasus pemerkosa di Aceh Besar, tertuang dalam putusan perkara banding Nomor 7/JN/2021/MS Aceh yang membatalkan Putusan Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho Nomor 22/JN/2020/MS-Jth, dalam putusan ini majelis hakim menolak saksi tertimoni Permasalahannya adalah bagaimana kedudukan saksi testimoni dalam KUHAP serta dalam putusan Mahkamah Konstitusi dan bagaimana pertimbangan majelis hakim MS Aceh terhadap saksi testimoni yang di ajukan JPU?. Studi ini adalah studi normatif. Hasil studi ini menujukkan bahwa majelis hakim menganggap keterangan dari saksi yang tidak melihat sendiri dan mengalami sendiri peristiwa pidana maka harus ditolak, kemudian keberadaan saksi testimoni dalam KUHAP tidak mempunyai kekuatan seperti saksi pada umumnya namun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/puu-viii/2010 tentang pengujian KUHAP telah mengakui kekuatan alat bukti saksi testimoni sama dengan keterangan saksi lainnya. Kesimpulannya seharusnya majelis hakim MS Aceh harus menerima keterangan saksi testimoni.Kata Kunci : Saksi, Testimoni, Putusan MK 2010
{"title":"Penolakan Saksi Testimonium De Auditu sebagai Alat Bukti dalam Putusan Mahkamah Syariah Aceh Nomor 7/JN/2021/MS Aceh","authors":"Amrullah Bustamam","doi":"10.22373/legitimasi.v10i1.10519","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/legitimasi.v10i1.10519","url":null,"abstract":"AbstrakVonis bebas oleh hakim Mahkamah Syar'iyah Aceh terhadap terdakwa kasus pemerkosa di Aceh Besar, tertuang dalam putusan perkara banding Nomor 7/JN/2021/MS Aceh yang membatalkan Putusan Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho Nomor 22/JN/2020/MS-Jth, dalam putusan ini majelis hakim menolak saksi tertimoni Permasalahannya adalah bagaimana kedudukan saksi testimoni dalam KUHAP serta dalam putusan Mahkamah Konstitusi dan bagaimana pertimbangan majelis hakim MS Aceh terhadap saksi testimoni yang di ajukan JPU?. Studi ini adalah studi normatif. Hasil studi ini menujukkan bahwa majelis hakim menganggap keterangan dari saksi yang tidak melihat sendiri dan mengalami sendiri peristiwa pidana maka harus ditolak, kemudian keberadaan saksi testimoni dalam KUHAP tidak mempunyai kekuatan seperti saksi pada umumnya namun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/puu-viii/2010 tentang pengujian KUHAP telah mengakui kekuatan alat bukti saksi testimoni sama dengan keterangan saksi lainnya. Kesimpulannya seharusnya majelis hakim MS Aceh harus menerima keterangan saksi testimoni.Kata Kunci : Saksi, Testimoni, Putusan MK 2010","PeriodicalId":424275,"journal":{"name":"Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum","volume":"58 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130740303","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-08-13DOI: 10.22373/legitimasi.v10i1.10518
Sulfanwandi Sulfanwandi
Abstrak Al-Quran merupakan petunjuk dan pedoman bagi umat manusia yang di dalamnya terdapat beberapa aspek seperti aspek balaghah, ma’ani, dan sastra Arab lainnya. Oleh karena itu, perlu adanya tafsir yang berperan sebagai penjelas terhadap makna ayat-ayat Alquran. Di dalam khazanah tafsir sudah banyak mufassir yang menafsirkan Alquran dari lintas klasik hingga kontemporer. Para mufassir menelaah ayat-ayat Alquran dengan corak-corak beragam dan ciri khas masing-masing. Dalam hal ini penulis melihat adanya keunikan dari Wahbah al-Zuhayli dalam menafsirkan Alquran dan beliau merupakan ulama kontemporer yang mengaitkan tafsir dan syariah. Maka dapat dilihat bagaimana cara beliau dalam menafsirkan Alquran serta apa kelebihan dan kekurangan dari kitab tafsir tersebut. Kata Kunci : Pemikiran Wahbah Al-Zuhayli, Tafsir Al-Munir.
{"title":"PEMIKIRAN TAFSIR AL-MUNIR FI AL-AQIDAH WA AL-SYARI’AH AL-MANHAJ KARYA DR.WAHBAH AL-ZUHAYLI","authors":"Sulfanwandi Sulfanwandi","doi":"10.22373/legitimasi.v10i1.10518","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/legitimasi.v10i1.10518","url":null,"abstract":"Abstrak Al-Quran merupakan petunjuk dan pedoman bagi umat manusia yang di dalamnya terdapat beberapa aspek seperti aspek balaghah, ma’ani, dan sastra Arab lainnya. Oleh karena itu, perlu adanya tafsir yang berperan sebagai penjelas terhadap makna ayat-ayat Alquran. Di dalam khazanah tafsir sudah banyak mufassir yang menafsirkan Alquran dari lintas klasik hingga kontemporer. Para mufassir menelaah ayat-ayat Alquran dengan corak-corak beragam dan ciri khas masing-masing. Dalam hal ini penulis melihat adanya keunikan dari Wahbah al-Zuhayli dalam menafsirkan Alquran dan beliau merupakan ulama kontemporer yang mengaitkan tafsir dan syariah. Maka dapat dilihat bagaimana cara beliau dalam menafsirkan Alquran serta apa kelebihan dan kekurangan dari kitab tafsir tersebut. Kata Kunci : Pemikiran Wahbah Al-Zuhayli, Tafsir Al-Munir.","PeriodicalId":424275,"journal":{"name":"Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum","volume":"20 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127432220","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-08-13DOI: 10.22373/legitimasi.v10i1.10520
Rispalman Rispalman, Syahrizal Abbas, D. Ariani
AbstrakTerdapat dualisme kewenangan dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak di Aceh. Prakteknya dualisme kewenangan terjadi dalam penyelesaian perkara tinda pidana pencabulan terhadap anak di Aceh dimana pada perkara Nomor 231/Pid.Sus/2018/PN Bna diselesaikan di Pengadilan Negeri Banda Aceh dan perkara Nomor 005/JN/2017/Ms-Lgs di selesaikan di Mahkamah Syar’iyah Langsa. Rumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah mengapa terjadi dualisme kewenangan dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak di Aceh dan apa dasar yuridis Pengadilan negeri Banda Aceh dan Mahkamah Syar’iyah Langsa dalam mengadili perkara pencabulan terhadap anak. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif. Dualisme terjadi dikarenakan Qanun Jinayat dan Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) mengatur pencabulan terhadap anak. Adapun landasan yuridis Pengadilan Negeri dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak pada perkara Nomor 231/Pid.Sus/2018/PN Bna menggunakan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UUPA), dan landasan yuridis Mahkamah Syar’iyah dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak pada perkara Nomor 005/JN/2017/Ms-Lgs menggunakan Pasal 47 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Proses peradilan terhadap Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dilaksanakan di Mahkamah Syar’iyah. Secara norma yang berwenang mengadili ialah Mahkamah Syar’iyah dengan menerapkan Qanun Jinayat. Kata Kunci: Dualisme Kewenangan, Penyelesaian, dan Pencabulan Anak.
{"title":"DUALISME KEWENANGAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK DI ACEH (Perkara Nomor 231/Pid.Sus/2018/ PN Bna dan 005/JN/2017/Ms-Lgs)","authors":"Rispalman Rispalman, Syahrizal Abbas, D. Ariani","doi":"10.22373/legitimasi.v10i1.10520","DOIUrl":"https://doi.org/10.22373/legitimasi.v10i1.10520","url":null,"abstract":"AbstrakTerdapat dualisme kewenangan dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak di Aceh. Prakteknya dualisme kewenangan terjadi dalam penyelesaian perkara tinda pidana pencabulan terhadap anak di Aceh dimana pada perkara Nomor 231/Pid.Sus/2018/PN Bna diselesaikan di Pengadilan Negeri Banda Aceh dan perkara Nomor 005/JN/2017/Ms-Lgs di selesaikan di Mahkamah Syar’iyah Langsa. Rumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah mengapa terjadi dualisme kewenangan dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak di Aceh dan apa dasar yuridis Pengadilan negeri Banda Aceh dan Mahkamah Syar’iyah Langsa dalam mengadili perkara pencabulan terhadap anak. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif. Dualisme terjadi dikarenakan Qanun Jinayat dan Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) mengatur pencabulan terhadap anak. Adapun landasan yuridis Pengadilan Negeri dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak pada perkara Nomor 231/Pid.Sus/2018/PN Bna menggunakan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UUPA), dan landasan yuridis Mahkamah Syar’iyah dalam penyelesaian perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak pada perkara Nomor 005/JN/2017/Ms-Lgs menggunakan Pasal 47 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Proses peradilan terhadap Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dilaksanakan di Mahkamah Syar’iyah. Secara norma yang berwenang mengadili ialah Mahkamah Syar’iyah dengan menerapkan Qanun Jinayat. Kata Kunci: Dualisme Kewenangan, Penyelesaian, dan Pencabulan Anak.","PeriodicalId":424275,"journal":{"name":"Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum","volume":"31 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121126566","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}