Pub Date : 2017-06-17DOI: 10.21274/epis.2017.12.1.77-102
M. Maftukhin
Artikel ini menghadirkan dua cara pandang berbeda antara Muhammad Iqbal dan Said Nursi dalam upaya reposisi konsep ketuhanan saat Islam bertemu sains. Artikel ini memperlihatkan bagaimana Iqbal menerima sains dengan melakukan penyesuaian ajaran Islam agar sejalan dengan epistemologi sains dan rasionalisme dengan tetap merujuk pada al-Qur’an. Konsep ketuhanan teis yang dirasa tidak sesuai dengan rasionalisme dan perkembangan sains, mendapat sentuhan Iqbal dengan dikonstruksi menjadi konsep panentheisme. Sementara itu, Said Nursi, meskipun ia juga mendorong adopsi sains, namun Nursi hampir tidak melakukan penyesuaian apa pun dalam konsep ketuhanan Islam. Sebagai pewaris pemikiran al-Asy’ariyyah, justru Nursi memilah sains dalam dua kategori, yaitu sains yang memuat nilai positif dan sains yang memuat aspek negatif. Selanjutnya Nursi hanya mengambil aspek positif dan meninggalkan aspek negatifnya. Dengan menggunakan teori Ian Barbour, artikel ini memasukkan pendekatan Iqbal dalam kategori integrasi epistemologis, sedangkan pendekatan Said Nursi masuk dalam kategori integrasi ontologis. This article seeks to presents a distinct view of two Muslim thinkers on repositioning concept of God in the face of adoption to science. That is of Muhammad Iqbal’s and of Said Nursi’s. It shows that Iqbal used methods of reconstruction on Islamic theology in order for which go in line with scientific epistemology despite it remains strongly based on the Qur’an. Iqbal is of the view that theistic God of Islam appears to come in contrast to the rationalism and modern scientific approaches. For that reason, Iqbal changed this theistic God to be a panentheistic God of modern sciences. On the other side, Said Nursi urges Muslim community to adopt science as well, but—in contrast to Iqbal—he did almost nothing in reconstructing Islamic theology. As in heritor of the doctrines of Ash’arite, instead he classified modern science into two camps, that of the positive in term of Islamic interests and that of the negative. He adopts the positive one while keeping at bay the rest. Departing from Ian Barbour’s theory, this article categorizes Iqbal’s and Nursi’s adoption to science as integration. This article proposes that the method of Iqbal’s integration during his reconstruction on Islamic theology is an epistemological integration, meanwhile Nursi’s approach is ontological integration.
{"title":"Reposisi Konsep Ketuhanan: Tanggapan Muhammad Iqbal dan Said Nursi Atas Perjumpaan Islam dan Sains","authors":"M. Maftukhin","doi":"10.21274/epis.2017.12.1.77-102","DOIUrl":"https://doi.org/10.21274/epis.2017.12.1.77-102","url":null,"abstract":"Artikel ini menghadirkan dua cara pandang berbeda antara Muhammad Iqbal dan Said Nursi dalam upaya reposisi konsep ketuhanan saat Islam bertemu sains. Artikel ini memperlihatkan bagaimana Iqbal menerima sains dengan melakukan penyesuaian ajaran Islam agar sejalan dengan epistemologi sains dan rasionalisme dengan tetap merujuk pada al-Qur’an. Konsep ketuhanan teis yang dirasa tidak sesuai dengan rasionalisme dan perkembangan sains, mendapat sentuhan Iqbal dengan dikonstruksi menjadi konsep panentheisme. Sementara itu, Said Nursi, meskipun ia juga mendorong adopsi sains, namun Nursi hampir tidak melakukan penyesuaian apa pun dalam konsep ketuhanan Islam. Sebagai pewaris pemikiran al-Asy’ariyyah, justru Nursi memilah sains dalam dua kategori, yaitu sains yang memuat nilai positif dan sains yang memuat aspek negatif. Selanjutnya Nursi hanya mengambil aspek positif dan meninggalkan aspek negatifnya. Dengan menggunakan teori Ian Barbour, artikel ini memasukkan pendekatan Iqbal dalam kategori integrasi epistemologis, sedangkan pendekatan Said Nursi masuk dalam kategori integrasi ontologis. This article seeks to presents a distinct view of two Muslim thinkers on repositioning concept of God in the face of adoption to science. That is of Muhammad Iqbal’s and of Said Nursi’s. It shows that Iqbal used methods of reconstruction on Islamic theology in order for which go in line with scientific epistemology despite it remains strongly based on the Qur’an. Iqbal is of the view that theistic God of Islam appears to come in contrast to the rationalism and modern scientific approaches. For that reason, Iqbal changed this theistic God to be a panentheistic God of modern sciences. On the other side, Said Nursi urges Muslim community to adopt science as well, but—in contrast to Iqbal—he did almost nothing in reconstructing Islamic theology. As in heritor of the doctrines of Ash’arite, instead he classified modern science into two camps, that of the positive in term of Islamic interests and that of the negative. He adopts the positive one while keeping at bay the rest. Departing from Ian Barbour’s theory, this article categorizes Iqbal’s and Nursi’s adoption to science as integration. This article proposes that the method of Iqbal’s integration during his reconstruction on Islamic theology is an epistemological integration, meanwhile Nursi’s approach is ontological integration.","PeriodicalId":31250,"journal":{"name":"Episteme Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman","volume":"12 1","pages":"77-102"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-06-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42589996","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2017-06-16DOI: 10.21274/EPIS.2017.12.1.231-259
S. Sumadi
The main issue to be discussed in this study is the development of epistemology in feminist perspective in the academic context. Gender bias still dominates in Islamic study. Ahwal Syaikhsiyah study program or also known as Islamic Family law study program in Indonesia is closely related to internalization of gender equality values. The subjects in this study programare related to family and relations in the family according to Islamic Law. Therefore, the development of feminist epistemology in Ahwal Syaikhsiyah study program is inevitable in Indonesia. Some of the development is performed by Ahwal Syaikhsiyah study program of Darussalam Islamic Institute, Ciamis. The development of feminist epistemology starts from developing a curriculum designed with a feminist perspective, learning subjects with feminist perspective and implementation of research model with feminist perspective for lecturers and students. The result, students can respond to the development of feminist epistemology starting from a class lesson, critical analysis on issues based on misogynistic Islamic perspective which marginalizes, subordinates, and contains elements of violence against women. The analysis result of various problems of the relation between gender and Islam in the study of Ahwal Syaikhsiyah was studied in this research. The students who focused on the study of relation in the family used feminist perspective as an analysis tool in undergraduate theses. However, for lecturers, feminist perspective wasn’t used as perspective in research. The development of feminist epistemology can be a systematic way in creating a women-friendly academic atmosphere which supports gender equality and equity. Masalah pokok yang dibahas dalam kajian ini adalah pengembangan epistemologi berperspektif feminis dalam ranah akademis. Di Indonesia bias gender masih mendominasi kajian Islam. Program Studi Ahwal Syaikhsiyah atau yang disebut dengan Program Studi Hukum Keluarga Islam, di Indonesia termasuk yang memiliki keeratan dengan internalisasi nila-nilai kesetaraan gender. Sebab pada program studi ini mata kuliahnya terkait relasi-relasi dalam keluarga menurut hukum Islam. Oleh karena itu pengembangan epistemologi feminis pada program studi Ahwal Syaikhsiyah menjadi keniscayaan di Institut Agama Islam Darussalam Ciamis. Pengembangan epistemologi feminis diawali dari pengembangan kurikulum yang dirancang dengan perspektif feminis, pembelajaran matakuliah dengan perspektif feminis, dan penerapan model penelitian dengan perspektif feminis bagi dosen dan mahasiswa. Hasilnya, untuk para mahasiswa dapat merespon pengembangan epistemologi feminis dari mulai pembelajaran di kelas, analisis kritis pada masalah-masalah yang didasari oleh perspektif Islam yang misoginis, memarjinalkan, mensubordinasi, dan mengandung unsur kekerasan terhadap perempuan. Hasil analisis terhadap berbagai masalah relasi gender dan Islam dalam kajian Ahwal Syaikhsiyah dijadikan sebagai masalah yang dikaji dalam bentu
{"title":"THE DEVELOPMENT OF FEMINIST EPISTEMOLOGY IN ISLAMIC STUDIES IN INDONESIAN UNIVERSITYA: Case Study of Akhwal Syaikhsiyah Study Program of Darussalam Islamic Institute, Ciamis West Java","authors":"S. Sumadi","doi":"10.21274/EPIS.2017.12.1.231-259","DOIUrl":"https://doi.org/10.21274/EPIS.2017.12.1.231-259","url":null,"abstract":"The main issue to be discussed in this study is the development of epistemology in feminist perspective in the academic context. Gender bias still dominates in Islamic study. Ahwal Syaikhsiyah study program or also known as Islamic Family law study program in Indonesia is closely related to internalization of gender equality values. The subjects in this study programare related to family and relations in the family according to Islamic Law. Therefore, the development of feminist epistemology in Ahwal Syaikhsiyah study program is inevitable in Indonesia. Some of the development is performed by Ahwal Syaikhsiyah study program of Darussalam Islamic Institute, Ciamis. The development of feminist epistemology starts from developing a curriculum designed with a feminist perspective, learning subjects with feminist perspective and implementation of research model with feminist perspective for lecturers and students. The result, students can respond to the development of feminist epistemology starting from a class lesson, critical analysis on issues based on misogynistic Islamic perspective which marginalizes, subordinates, and contains elements of violence against women. The analysis result of various problems of the relation between gender and Islam in the study of Ahwal Syaikhsiyah was studied in this research. The students who focused on the study of relation in the family used feminist perspective as an analysis tool in undergraduate theses. However, for lecturers, feminist perspective wasn’t used as perspective in research. The development of feminist epistemology can be a systematic way in creating a women-friendly academic atmosphere which supports gender equality and equity. Masalah pokok yang dibahas dalam kajian ini adalah pengembangan epistemologi berperspektif feminis dalam ranah akademis. Di Indonesia bias gender masih mendominasi kajian Islam. Program Studi Ahwal Syaikhsiyah atau yang disebut dengan Program Studi Hukum Keluarga Islam, di Indonesia termasuk yang memiliki keeratan dengan internalisasi nila-nilai kesetaraan gender. Sebab pada program studi ini mata kuliahnya terkait relasi-relasi dalam keluarga menurut hukum Islam. Oleh karena itu pengembangan epistemologi feminis pada program studi Ahwal Syaikhsiyah menjadi keniscayaan di Institut Agama Islam Darussalam Ciamis. Pengembangan epistemologi feminis diawali dari pengembangan kurikulum yang dirancang dengan perspektif feminis, pembelajaran matakuliah dengan perspektif feminis, dan penerapan model penelitian dengan perspektif feminis bagi dosen dan mahasiswa. Hasilnya, untuk para mahasiswa dapat merespon pengembangan epistemologi feminis dari mulai pembelajaran di kelas, analisis kritis pada masalah-masalah yang didasari oleh perspektif Islam yang misoginis, memarjinalkan, mensubordinasi, dan mengandung unsur kekerasan terhadap perempuan. Hasil analisis terhadap berbagai masalah relasi gender dan Islam dalam kajian Ahwal Syaikhsiyah dijadikan sebagai masalah yang dikaji dalam bentu","PeriodicalId":31250,"journal":{"name":"Episteme Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman","volume":"12 1","pages":"231-259"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-06-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45705888","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2017-06-10DOI: 10.21274/EPIS.2017.12.1.53-75
Imron Mustofa
Diskusi tentang atom tidak selalu berbicara ilmu fisika modern. Al-Ghazali seorang filsuf Muslim pada abad ke-12 silam telah jauh mendalami hal ini. Bahkan, atom dijadikannya sebagai konsep dasar ilmu hakiki yang mampu menyingkap hakikat objek pengetahuan, yang pada zamannya mampu menggoncang kemapanan hegemoni filsafat Helenisme di dunia Islam. Secara konseptual, hakikat atom hanya ada dalam pikiran karenanya wujud darinya baru terlihat ketika ada aksiden yang menempel padanya. Implikasi dari itu, akan melahirkan suatu pola pikir yang tidak hanya bersandar pada realita sempiris-rasionalis belaka sebab setidaknya ada lima hierarki realitas yang ada; essential, sensory, imaginal, conceptual dan similar existence . Adanya lima hal itu secara tidak langsung telah mengidentifikasikan lima tingkatan filter bagi “sesuatu” dapat dikatakan logis. Dengan kata lain, apa yang secara esensial (objektif) benar belum tentu dapat diterima kebenarannya melalui perspektif subjektif seseorang. Begitu juga dengan apa yang digambarkan pikiran kita dapat diterima secara konseptual (rasio) ataupun secara empiris.Untuk itu kebenaran yang hakiki bagi al-Ghazali tidak hanya sebatas konseptual ataupun imajinal belaka, namun merupakan suatu kebenaran yang dibimbing wahyu ( al-hudūriy ), yang mampu mencakup kelima realitas di atas, bukan semata hasil olah pikir ( al-husūliy ). Hal terakhir ini pulalah yang selama ini menjadi andalan para filsuf Helenisme. The discussion about atom doesn’t always talk about physics. Al-Ghazali as one of Muslim philosopher in past 12 th century has been profound talk about it. Moreover, the atom is being modified as the basic concept of true science, unveils the reality of the object of science. Which in its day has been able to shake up the established hegemony of Greek philosopher on the Islamic world. From the philosophical point of view, what al-Ghazali builds–conceptually, we may assert that he is enthusiastically want to emphasize that the reality of atom “is only in the mind”, hence its physical embodiment is only able to be seen by the presence of “accident” adhere to. Logically, it will cause a way of thinking to occur, not simply be based on empiric-rational reality, but rather on five hierarchy of existences; essential, sensory, imaginal, conceptual and similar existence. Those fives indirectly identify five standards of filter for “thing” can be classified as “logic”. It means the thing which is essentially (objectively) true, in definitively is accepted as so from subjective angle. Indeed, what we think as valid, is unabsolutely will be accepted from conceptual (ratio) and empirical point of view. That’s why, the reality of truth-according to al-Ghazali, is not purely based on the conceptual or imaginal angle, but a divine guided truth (al-hudūriy). It encompasses all those five realities, not only as the product of thought (al-husūliy). In short, what al-Ghazali offers is an integrated point of view, to understand the existing r
{"title":"FISIKA ATOM SEBAGAI BASIS FILOSOFIS ILMU DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI","authors":"Imron Mustofa","doi":"10.21274/EPIS.2017.12.1.53-75","DOIUrl":"https://doi.org/10.21274/EPIS.2017.12.1.53-75","url":null,"abstract":"Diskusi tentang atom tidak selalu berbicara ilmu fisika modern. Al-Ghazali seorang filsuf Muslim pada abad ke-12 silam telah jauh mendalami hal ini. Bahkan, atom dijadikannya sebagai konsep dasar ilmu hakiki yang mampu menyingkap hakikat objek pengetahuan, yang pada zamannya mampu menggoncang kemapanan hegemoni filsafat Helenisme di dunia Islam. Secara konseptual, hakikat atom hanya ada dalam pikiran karenanya wujud darinya baru terlihat ketika ada aksiden yang menempel padanya. Implikasi dari itu, akan melahirkan suatu pola pikir yang tidak hanya bersandar pada realita sempiris-rasionalis belaka sebab setidaknya ada lima hierarki realitas yang ada; essential, sensory, imaginal, conceptual dan similar existence . Adanya lima hal itu secara tidak langsung telah mengidentifikasikan lima tingkatan filter bagi “sesuatu” dapat dikatakan logis. Dengan kata lain, apa yang secara esensial (objektif) benar belum tentu dapat diterima kebenarannya melalui perspektif subjektif seseorang. Begitu juga dengan apa yang digambarkan pikiran kita dapat diterima secara konseptual (rasio) ataupun secara empiris.Untuk itu kebenaran yang hakiki bagi al-Ghazali tidak hanya sebatas konseptual ataupun imajinal belaka, namun merupakan suatu kebenaran yang dibimbing wahyu ( al-hudūriy ), yang mampu mencakup kelima realitas di atas, bukan semata hasil olah pikir ( al-husūliy ). Hal terakhir ini pulalah yang selama ini menjadi andalan para filsuf Helenisme. The discussion about atom doesn’t always talk about physics. Al-Ghazali as one of Muslim philosopher in past 12 th century has been profound talk about it. Moreover, the atom is being modified as the basic concept of true science, unveils the reality of the object of science. Which in its day has been able to shake up the established hegemony of Greek philosopher on the Islamic world. From the philosophical point of view, what al-Ghazali builds–conceptually, we may assert that he is enthusiastically want to emphasize that the reality of atom “is only in the mind”, hence its physical embodiment is only able to be seen by the presence of “accident” adhere to. Logically, it will cause a way of thinking to occur, not simply be based on empiric-rational reality, but rather on five hierarchy of existences; essential, sensory, imaginal, conceptual and similar existence. Those fives indirectly identify five standards of filter for “thing” can be classified as “logic”. It means the thing which is essentially (objectively) true, in definitively is accepted as so from subjective angle. Indeed, what we think as valid, is unabsolutely will be accepted from conceptual (ratio) and empirical point of view. That’s why, the reality of truth-according to al-Ghazali, is not purely based on the conceptual or imaginal angle, but a divine guided truth (al-hudūriy). It encompasses all those five realities, not only as the product of thought (al-husūliy). In short, what al-Ghazali offers is an integrated point of view, to understand the existing r","PeriodicalId":31250,"journal":{"name":"Episteme Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman","volume":"12 1","pages":"53-75"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-06-10","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48913047","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2017-06-07DOI: 10.21274/epis.2017.12.1.201-230
Silfia Hanani
Indonesia merupakan negara multietnik, ras, agama, suku dan seterusnya. Keberagaman ini dapat memicu ketidakharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan bisa mengakhiri sejarah suatu bangsa. Hal ini bisa dilihat dari konflik-konflik yang ter jadi di berbagai belahan dunia. Untuk mengatasi dampak negatif tersebut, dibutuhkan kajian-kajian bangunan toleransi lokalitas yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat. Tradisi-tradisi lokalitas itu menjadi satu khazanah dalam membangun keharmonisan dalam masyarakat yang multietnis, agama, ras tersebut. Konstruksi-konstruksi keharmonisan ini bisa dilihat dari praktik toleransi lokalitas etnik Melayu dan Cina di Kota Tanjung pinang. Keharmonisan itu dibangun oleh negosiasi-negosiasi kultural yang sudah ditradisikan secara langsung atau tidak langsung. Tradisi-tradisi kultural lokalitas itu patut dijaga dan dikembangkan secara terus-menerus sehing ga negara yang dihuni oleh keberagaman ini bisa menemukan model toleransi sesuai dengan lokalitaslokalitasnya sendiri karena dalam lokalitas yang dimiliki itu ada kearifan yang bisa menyatukan dan berguna bagi masyarakat untuk membangun kehidupan yang harmonis. Indonesia is a multi ethnic countr y, race, religion, tribe, etc. This diversity can trig ger disharmony in the life of nation and state, and even terminate the histor y of a nation. It can be seen from the conflicts occur in the world. In order to overcome the negative impact, it takes a study of locality tolerances which arise and live in society. The locality traditions become a treasure in establishing harmony in a multiethnic, religious, racial society. These charismatic constructions can be seen from the practical tolerance of Malay and Chinese ethnicity in Tanjung pinang; the harmony is built by cultural negotiations that have been applied directly or indirectly. The locality of cultural traditions should be maintained and developed continuously so that the country inhabited by this diversity can find a model of tolerance in accordance with its own locality, because in the locality possessed by, there is wisdom that can unite and useful for the community to build a harmony of life.
{"title":"STUDI NEGOSIASI KULTURAL YANG MENDAMAIKAN ANTARETNIK DAN AGAMA DI KOTA TANJUNGPINANG","authors":"Silfia Hanani","doi":"10.21274/epis.2017.12.1.201-230","DOIUrl":"https://doi.org/10.21274/epis.2017.12.1.201-230","url":null,"abstract":"Indonesia merupakan negara multietnik, ras, agama, suku dan seterusnya. Keberagaman ini dapat memicu ketidakharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan bisa mengakhiri sejarah suatu bangsa. Hal ini bisa dilihat dari konflik-konflik yang ter jadi di berbagai belahan dunia. Untuk mengatasi dampak negatif tersebut, dibutuhkan kajian-kajian bangunan toleransi lokalitas yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat. Tradisi-tradisi lokalitas itu menjadi satu khazanah dalam membangun keharmonisan dalam masyarakat yang multietnis, agama, ras tersebut. Konstruksi-konstruksi keharmonisan ini bisa dilihat dari praktik toleransi lokalitas etnik Melayu dan Cina di Kota Tanjung pinang. Keharmonisan itu dibangun oleh negosiasi-negosiasi kultural yang sudah ditradisikan secara langsung atau tidak langsung. Tradisi-tradisi kultural lokalitas itu patut dijaga dan dikembangkan secara terus-menerus sehing ga negara yang dihuni oleh keberagaman ini bisa menemukan model toleransi sesuai dengan lokalitaslokalitasnya sendiri karena dalam lokalitas yang dimiliki itu ada kearifan yang bisa menyatukan dan berguna bagi masyarakat untuk membangun kehidupan yang harmonis. Indonesia is a multi ethnic countr y, race, religion, tribe, etc. This diversity can trig ger disharmony in the life of nation and state, and even terminate the histor y of a nation. It can be seen from the conflicts occur in the world. In order to overcome the negative impact, it takes a study of locality tolerances which arise and live in society. The locality traditions become a treasure in establishing harmony in a multiethnic, religious, racial society. These charismatic constructions can be seen from the practical tolerance of Malay and Chinese ethnicity in Tanjung pinang; the harmony is built by cultural negotiations that have been applied directly or indirectly. The locality of cultural traditions should be maintained and developed continuously so that the country inhabited by this diversity can find a model of tolerance in accordance with its own locality, because in the locality possessed by, there is wisdom that can unite and useful for the community to build a harmony of life.","PeriodicalId":31250,"journal":{"name":"Episteme Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman","volume":"12 1","pages":"201-230"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-06-07","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42519969","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2017-06-06DOI: 10.21274/epis.2017.12.1.169-200
N. Hayati
Artikel ini merupakan kajian living Qur’an dengan menggunakan perspektif komunikasi. Living Qur’an adalah salah satu kajian fenomenologi kontemporer yang menelisik tentang bagaimana isi kandungan al-Qur’an dijadikan sebagai way of life . Objek kajian yang akan ditelusuri adalah konsep Khilafah Islamiyyah sebagaimana diusung oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam menyebarluaskan doktrin khilafah , organisasi tersebut menggunakan berbagai efek media komunikasi. Fenomena tersebut bisa dikatakan sebagai sebuah manifesto ayat-ayat al-Qur’an tertentu yang menjadi landasan doktrin tersebut. Diawali dengan kajian tiga bingkai resepsi (hermeneutis, estetis, kultural) HTI atas ayat-ayat al-Qur’an, tulisan ini juga menjelaskan bagaimana ayat al-Qur’an yang menjadi landasan konsep khilafah , “hidup” dalam jejaring komunikasi yang kompleks di tengah pergumulan media massa. Hasilnya, dengan berkeyakinan pada pendirian khilafah yang dilandaskan kepada beberapa ayat al-Qur’an, HTI berusaha membangun negara khilafah dan penegak syariah yang lengkap dengan gagasan pemikiran yang mereka tuangkan dalam berbagai media baik cetak maupun elektronik dalam rangka mengkomunikasikan pesan mereka kepada khalayak. This paper is a living Qur’an studies through the lens of communication approach. Living Qur’an is one of contemporary phenomenology study on how the contents of Qur’an used as a way of life. The object of study that will be explored is the concept of the Islamic Caliphate (khilafah) as promoted by Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). In spreading the doctrine, they use some mass communication effect. The phenomenon can be regarded as a manifesto of certain Qur’anic verses that became the foundation of the doctrine. Start on a study of three frames of receptions (hermeneutic, aesthetic, cultural) on HTI and the verses of the Qur’an, this paper also describes how the Qur’anic verses that underlie the concept of the caliphate, “live” in a complex communication network in the mass media. As a result, the belief in the establishment of a caliphate which is based on some verses of the Qur’an, HTI trying to build caliphate state and sharia enforcement is complete with the idea of thinking that they pour in a variety of print and electronic media in order to communicate their message to the society.
{"title":"Konsep Khilafah Islᾱmiyyah Hizbut Tahrir Indonesia: Kajian Living Al-qur'an Perspektif Komunikasi","authors":"N. Hayati","doi":"10.21274/epis.2017.12.1.169-200","DOIUrl":"https://doi.org/10.21274/epis.2017.12.1.169-200","url":null,"abstract":"Artikel ini merupakan kajian living Qur’an dengan menggunakan perspektif komunikasi. Living Qur’an adalah salah satu kajian fenomenologi kontemporer yang menelisik tentang bagaimana isi kandungan al-Qur’an dijadikan sebagai way of life . Objek kajian yang akan ditelusuri adalah konsep Khilafah Islamiyyah sebagaimana diusung oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam menyebarluaskan doktrin khilafah , organisasi tersebut menggunakan berbagai efek media komunikasi. Fenomena tersebut bisa dikatakan sebagai sebuah manifesto ayat-ayat al-Qur’an tertentu yang menjadi landasan doktrin tersebut. Diawali dengan kajian tiga bingkai resepsi (hermeneutis, estetis, kultural) HTI atas ayat-ayat al-Qur’an, tulisan ini juga menjelaskan bagaimana ayat al-Qur’an yang menjadi landasan konsep khilafah , “hidup” dalam jejaring komunikasi yang kompleks di tengah pergumulan media massa. Hasilnya, dengan berkeyakinan pada pendirian khilafah yang dilandaskan kepada beberapa ayat al-Qur’an, HTI berusaha membangun negara khilafah dan penegak syariah yang lengkap dengan gagasan pemikiran yang mereka tuangkan dalam berbagai media baik cetak maupun elektronik dalam rangka mengkomunikasikan pesan mereka kepada khalayak. This paper is a living Qur’an studies through the lens of communication approach. Living Qur’an is one of contemporary phenomenology study on how the contents of Qur’an used as a way of life. The object of study that will be explored is the concept of the Islamic Caliphate (khilafah) as promoted by Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). In spreading the doctrine, they use some mass communication effect. The phenomenon can be regarded as a manifesto of certain Qur’anic verses that became the foundation of the doctrine. Start on a study of three frames of receptions (hermeneutic, aesthetic, cultural) on HTI and the verses of the Qur’an, this paper also describes how the Qur’anic verses that underlie the concept of the caliphate, “live” in a complex communication network in the mass media. As a result, the belief in the establishment of a caliphate which is based on some verses of the Qur’an, HTI trying to build caliphate state and sharia enforcement is complete with the idea of thinking that they pour in a variety of print and electronic media in order to communicate their message to the society.","PeriodicalId":31250,"journal":{"name":"Episteme Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman","volume":"12 1","pages":"169-200"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-06-06","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48839003","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2017-06-06DOI: 10.21274/EPIS.2017.12.1.29-52
Badrus Sholeh
Artikel ini akan mengkaji peran kepemimpinan Muslim Indonesia dalam mewakili pemerintah dan masyarakat sipil pada upaya perdamaian di Asia Tenggara. Ini dilakukan sejak masa Menlu Ali Alatas dalam memediasi konflik di Kamboja dan Filipina Selatan, hingga periode Menteri dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Professor M. Din Syamsuddin yang memediasi Filipina Selatan dan Aceh. Muslim Indonesia juga turut memainkan peran aktif dalam memediasi konflik di Thailand Selatan dan Timur Tengah. Sebagai negara demokratis ketiga di dunia dan negara Muslim terbesar, Indonesia telah berubah menjadi negara dengan kekuatan menengah ( Middle Power ) dan melakukan peran utama dalam menciptakan wilayah Asia Tenggara yang stabil dan sejahtera. Artikel ini berargumen bahwa pengalaman ini bisa membawa Indonesia pada peran lebih besar di Timur Tengah dan Afrika. Tetapi peran ini terhambat akibat masih kurangnya kepercayaan negara-negara Arab yang masih memandang Indonesia sebagai negara pinggiran. This article examines the role of Indonesian Muslim leaders representing state and civil society on conflict resolution in Southeast Asia from the period of Foreign Minister Ali Alatas on mediating conflict in Cambodia and Southern Philippines to the period of Minister and Vice President Jusuf Kalla, President Susilo Bambang Yudhoyono and Professor M. Din Syamsuddin who mediating conflict of Aceh and Southern Philippines. Indonesian Muslims also took active participation in mediating conflicts in Southern Thailand and conflicts in the Middle East. As the third largest democratic country and the largest Muslim country, Indonesia have transformed as middle power country and confidently taken a leading role in managing stable, peacefu and prosperous region of Southeast Asia. It argues the experience of Indonesia in regional mediation will lead Indonesia towards international conflict resolution in the Middle East and Africa. However, Arab countries still consider Indonesia as periphery of Islam and cultural gap which influence the trust from Arabcountries.
{"title":"Resolusi Konflik di Asia Tenggara: Pengalaman Muslim Indonesia","authors":"Badrus Sholeh","doi":"10.21274/EPIS.2017.12.1.29-52","DOIUrl":"https://doi.org/10.21274/EPIS.2017.12.1.29-52","url":null,"abstract":"Artikel ini akan mengkaji peran kepemimpinan Muslim Indonesia dalam mewakili pemerintah dan masyarakat sipil pada upaya perdamaian di Asia Tenggara. Ini dilakukan sejak masa Menlu Ali Alatas dalam memediasi konflik di Kamboja dan Filipina Selatan, hingga periode Menteri dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Professor M. Din Syamsuddin yang memediasi Filipina Selatan dan Aceh. Muslim Indonesia juga turut memainkan peran aktif dalam memediasi konflik di Thailand Selatan dan Timur Tengah. Sebagai negara demokratis ketiga di dunia dan negara Muslim terbesar, Indonesia telah berubah menjadi negara dengan kekuatan menengah ( Middle Power ) dan melakukan peran utama dalam menciptakan wilayah Asia Tenggara yang stabil dan sejahtera. Artikel ini berargumen bahwa pengalaman ini bisa membawa Indonesia pada peran lebih besar di Timur Tengah dan Afrika. Tetapi peran ini terhambat akibat masih kurangnya kepercayaan negara-negara Arab yang masih memandang Indonesia sebagai negara pinggiran. This article examines the role of Indonesian Muslim leaders representing state and civil society on conflict resolution in Southeast Asia from the period of Foreign Minister Ali Alatas on mediating conflict in Cambodia and Southern Philippines to the period of Minister and Vice President Jusuf Kalla, President Susilo Bambang Yudhoyono and Professor M. Din Syamsuddin who mediating conflict of Aceh and Southern Philippines. Indonesian Muslims also took active participation in mediating conflicts in Southern Thailand and conflicts in the Middle East. As the third largest democratic country and the largest Muslim country, Indonesia have transformed as middle power country and confidently taken a leading role in managing stable, peacefu and prosperous region of Southeast Asia. It argues the experience of Indonesia in regional mediation will lead Indonesia towards international conflict resolution in the Middle East and Africa. However, Arab countries still consider Indonesia as periphery of Islam and cultural gap which influence the trust from Arabcountries.","PeriodicalId":31250,"journal":{"name":"Episteme Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman","volume":"12 1","pages":"29-52"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-06-06","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46301890","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2017-06-04DOI: 10.21274/EPIS.2017.12.1.1-28
Al Makin
Artikel ini ditulis berdasarkan data etnografi berupa catatan, observasi, pengalaman langsung penulis dan beberapa wawancara ritual umrah di Makkah tang gal 12-20 Maret, 2016. Tulisan ini berusaha memotret kota Makkah modern dari relasi antara perkembangan kota ini dan bagaimana pelaksanaan ritual umrah meliputi: tawaf, sai, dan kehidupan para peziarah di sana ketika penulis melaksanakan ibadah itu. Lebih jelasnya, penulis coba menilik pencarian Tuhan di tengah kerumuman manusia dalam kehidupan modern-postmodern dalam kesibukan kota Makkah sebagai pusat ritual dan sakralitas Muslim. Proses komodifikasi ibadah dengan berbagai motif dan latar belakang bisnis dan kehidupan sosial dan ekonomi terlihat jelas dalam ibadah umrah. Pencarian Tuhan dalam ritual ini tidak pada kondisi kesepian dan menyendiri, tetapi pencarian di tengah kerumunan kapitalisasi dan komersialisasi tempat-tempat utama Makkah di sekitar area Haram. Ritual umrah dan komodifikasi ritual di tengah pasar global menunjukkan menyatunya Islam dengan kapitalisme.This article is written based on ethnographical notes, that is observation, and experience of the writer during the performance of umrah (lesser pilgrimage) to Mecca March 12-20th, 2016. Firstly, this articles portrays the modern city of Mecca and its relation to the performance of umrah which includes tawaf (Ka’ba circumambulation), sai (running between Shofa and Marwa), and the way Muslims performed the rituals. This article describes the way Muslims sought for God amids crowded city with hundreds of people visiting the sacred sites of Kakbah, drinking water Zamzam, in the complex of Mosque Haram. The process of commodification of the ritual of umrah amidts the booming business within the political, social, and economy contexts can be seen. In this regard, praying to God in the ritual is not necessarily in the quietness,but in the crowded process of capitalization and commercialization of places in the area of Haram of Mecaa. The umrah ritual and commodification of all related activities amid the global market demonstrates the unity of Islam and capitalism.
{"title":"TUHAN DI ANTARA DESAKAN DAN KERUMUNAN: KOMODIFIKASI SPIRITUALITAS MAKKAH DI ERA KAPITALISASI","authors":"Al Makin","doi":"10.21274/EPIS.2017.12.1.1-28","DOIUrl":"https://doi.org/10.21274/EPIS.2017.12.1.1-28","url":null,"abstract":"Artikel ini ditulis berdasarkan data etnografi berupa catatan, observasi, pengalaman langsung penulis dan beberapa wawancara ritual umrah di Makkah tang gal 12-20 Maret, 2016. Tulisan ini berusaha memotret kota Makkah modern dari relasi antara perkembangan kota ini dan bagaimana pelaksanaan ritual umrah meliputi: tawaf, sai, dan kehidupan para peziarah di sana ketika penulis melaksanakan ibadah itu. Lebih jelasnya, penulis coba menilik pencarian Tuhan di tengah kerumuman manusia dalam kehidupan modern-postmodern dalam kesibukan kota Makkah sebagai pusat ritual dan sakralitas Muslim. Proses komodifikasi ibadah dengan berbagai motif dan latar belakang bisnis dan kehidupan sosial dan ekonomi terlihat jelas dalam ibadah umrah. Pencarian Tuhan dalam ritual ini tidak pada kondisi kesepian dan menyendiri, tetapi pencarian di tengah kerumunan kapitalisasi dan komersialisasi tempat-tempat utama Makkah di sekitar area Haram. Ritual umrah dan komodifikasi ritual di tengah pasar global menunjukkan menyatunya Islam dengan kapitalisme.This article is written based on ethnographical notes, that is observation, and experience of the writer during the performance of umrah (lesser pilgrimage) to Mecca March 12-20th, 2016. Firstly, this articles portrays the modern city of Mecca and its relation to the performance of umrah which includes tawaf (Ka’ba circumambulation), sai (running between Shofa and Marwa), and the way Muslims performed the rituals. This article describes the way Muslims sought for God amids crowded city with hundreds of people visiting the sacred sites of Kakbah, drinking water Zamzam, in the complex of Mosque Haram. The process of commodification of the ritual of umrah amidts the booming business within the political, social, and economy contexts can be seen. In this regard, praying to God in the ritual is not necessarily in the quietness,but in the crowded process of capitalization and commercialization of places in the area of Haram of Mecaa. The umrah ritual and commodification of all related activities amid the global market demonstrates the unity of Islam and capitalism.","PeriodicalId":31250,"journal":{"name":"Episteme Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman","volume":"12 1","pages":"1-28"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-06-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48171014","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2017-06-03DOI: 10.21274/epis.2017.12.1.103-139
Moh. Muslih
Pergumulan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam diskursus integrasi keilmuan, berujung pada pembangunan paradigma keilmuan yang berciri-khas, yaitu integrasi-interkoneksi. Satu dasawarsa berjalan, universitasitu telah mengembangkan tradisi akademik baru, yang ditandai denganpola pengembangan bidang penelitian dan produk-produk karya ilmiah sivitas akademikanya. Artikel ini mengungkap pengembangan keilmuan sebagaimana ditunjukkan pada karya dosen-dosennya. Dengan perspektif filsafat ilmu, kajian ini melihat implementasi paradigma UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tataran pola pengembangan ilmu. Oleh karena itu, objek kajiannya adalah buku-buku karya dosen melalui metode survei kritis, satu model penelitian dengan melakukan pembacaan, memahami maksud, membandingkan dan mengindentifikasi aspek-aspek tertentu dalam kerangka pembacanya. Secara umum, karya-karya dosen bercorak memperkokoh, mengembangkan, dan mem- breakdown paradigma keilmuan yang dikembangkannya. Meski demikian, ada beberapa karya yang merupakan penerapan dari empat model aplikasi pengembangan keilmuan,yaitu komplementasi, konfirmasi, kontribusi, dan komparasi. Pola ini ternyata menempatkan al-Qur’an dan al-Sunnah pada posisi yang sejajar dengan konsep, teori, dan temuan sains padahal hingga di bangunan paradigma “ spider web ”-nya, kedua sumber itu berposisi sebagai “sentral keilmuan”. The involvement of UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta in the integration of scientific discourse, led to the development of distinctively scientific paradigm, namely integration-interconnection. A decade running, the university has developed a new academic tradition, characterized by patterns of development in the field of research and the products of scientific work of the academic community. This article reveal the scientific development as shown in the workof the lecturers. With the perspective of philosophy of science, this study sees the implementation of UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta paradigm on the level of science development pattern. Therefore the object of the study is the books of lecturers through critical survey methods, a model of research by reading, understanding the purpose, comparing and identifying certain aspects in the frame of the reader. In general, the works of the lecturers is to strengthen, develop, and detailing the scientific paradigm, which he developed. However, there are some works which is the application of the four models of the application of scientific development, namely complementation, confirmations, contributions, and comparisons. This pattern turns placing al-Quran and al-Sunnah in a position parallel with the concepts, theories, and scientific findings, while in the paradigm building of “spider web”, both sources playsas “central of science”.
{"title":"Tren Pengembangan Ilmu di UIN Sunan Kalijaga YOGYAKARTA","authors":"Moh. Muslih","doi":"10.21274/epis.2017.12.1.103-139","DOIUrl":"https://doi.org/10.21274/epis.2017.12.1.103-139","url":null,"abstract":"Pergumulan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam diskursus integrasi keilmuan, berujung pada pembangunan paradigma keilmuan yang berciri-khas, yaitu integrasi-interkoneksi. Satu dasawarsa berjalan, universitasitu telah mengembangkan tradisi akademik baru, yang ditandai denganpola pengembangan bidang penelitian dan produk-produk karya ilmiah sivitas akademikanya. Artikel ini mengungkap pengembangan keilmuan sebagaimana ditunjukkan pada karya dosen-dosennya. Dengan perspektif filsafat ilmu, kajian ini melihat implementasi paradigma UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tataran pola pengembangan ilmu. Oleh karena itu, objek kajiannya adalah buku-buku karya dosen melalui metode survei kritis, satu model penelitian dengan melakukan pembacaan, memahami maksud, membandingkan dan mengindentifikasi aspek-aspek tertentu dalam kerangka pembacanya. Secara umum, karya-karya dosen bercorak memperkokoh, mengembangkan, dan mem- breakdown paradigma keilmuan yang dikembangkannya. Meski demikian, ada beberapa karya yang merupakan penerapan dari empat model aplikasi pengembangan keilmuan,yaitu komplementasi, konfirmasi, kontribusi, dan komparasi. Pola ini ternyata menempatkan al-Qur’an dan al-Sunnah pada posisi yang sejajar dengan konsep, teori, dan temuan sains padahal hingga di bangunan paradigma “ spider web ”-nya, kedua sumber itu berposisi sebagai “sentral keilmuan”. The involvement of UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta in the integration of scientific discourse, led to the development of distinctively scientific paradigm, namely integration-interconnection. A decade running, the university has developed a new academic tradition, characterized by patterns of development in the field of research and the products of scientific work of the academic community. This article reveal the scientific development as shown in the workof the lecturers. With the perspective of philosophy of science, this study sees the implementation of UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta paradigm on the level of science development pattern. Therefore the object of the study is the books of lecturers through critical survey methods, a model of research by reading, understanding the purpose, comparing and identifying certain aspects in the frame of the reader. In general, the works of the lecturers is to strengthen, develop, and detailing the scientific paradigm, which he developed. However, there are some works which is the application of the four models of the application of scientific development, namely complementation, confirmations, contributions, and comparisons. This pattern turns placing al-Quran and al-Sunnah in a position parallel with the concepts, theories, and scientific findings, while in the paradigm building of “spider web”, both sources playsas “central of science”.","PeriodicalId":31250,"journal":{"name":"Episteme Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman","volume":"12 1","pages":"103-139"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-06-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41545866","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2016-12-13DOI: 10.21274/EPIS.2016.11.2.339-374
Ah Mansur
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan model pengajaran kejujuran menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dengan menyasar enam indikator: disiplin, amanah, komitmen, konsisten, adil, dan berkata benar. Melalui enam indikator tersebut tingkat kejujuran seseorang diukur; apakah seseorang dapat dikategorikan sebagai seorang yang jujur atau sebaliknya. Model pengajaran ini sangat cocok diterapkan di pondok pesantren atau sekolah berasrama. Karena model ini mengharuskan adanya peran maksimal orang tua dan pendidik secara simultan dan berkelanjutan. Di pesantren atau di asrama peran orang tua digantikan oleh pembimbing akademik selaku pengasuh dan sekaligus berperan sebagai pendidik yang bertindak sebagai model karakter yang diinginkan. Penelitian ini adalah penelitian tindakan ( action research ) menggunakan metode eksprimen semu ( quasi experiment ) dan berpedoman pada konsep penelitian tindakan yang dikembangkan oleh Kurt Lewin, dengan melaksanakan tiga siklus treatment . Masing-masing siklus dilakukan selama satu bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Model Pengajaran Kejujuran Menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) berpengaruh sangat signifikan. Di mana nilai karakter jujur sebelum treatment ditunjukkan dengan nilai rata-rata1,71, dan karakter jujur setelah treatment ditunjukkan dengan nilai rata-rata 3,58. Peningkatan ini sangat drastis karena nilai-nilai kejujuran diinternalisasikan secara massif dengan melibatkan pembimbing akademik sebagai model atau figur dan kolaborator sebagai pengamat. Di samping itu penelitian ini melibatkan hampir semua media dan program pondok yang sudah ada. Berdasarkan hasil penelitian ini maka direkomendasikan agar lembaga pendidikan umum maupun swasta, khususnya yang berasrama dapat menggunakan model pengajaran kejujuran menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). This study aimed to develop a model of honesty teaching by using Informationand Communication Technology (ICT) by targeting the six indicators: discipline, responsible, commitments, consistent, fair, and honest. Through the six indicators measured someone’s honesty; whether a person can be categorized as an honestman, or otherwise. This teaching model is very suitable to be applied in a pesantren or a boarding school. Because this model requires the maximum role of parents and educators simultaneously and continuously. In boarding schools or in the dorm role of parents is replaced by counselors as care giver role is as an educator who acts as a model for the character you want. This research is action research by using quasi-experimental methods and guided by the concept of action research developed by Kurt Lewin, to carry out three cycles of treatment. Each cycle is done for one month. The results showed that Honesty Teaching Modelby Using Information and Communication Technology (ICT) is very significant effect. Where the value of honest character before treatments are indicated by an average value of 1.71,
{"title":"Model Pengajaran Kejujuran Menggunakan Teknologi Informasi Dan Komunikasi (Tik) Di Pondok Pesantren Al-azhaar Lubuklinggau","authors":"Ah Mansur","doi":"10.21274/EPIS.2016.11.2.339-374","DOIUrl":"https://doi.org/10.21274/EPIS.2016.11.2.339-374","url":null,"abstract":"Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan model pengajaran kejujuran menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dengan menyasar enam indikator: disiplin, amanah, komitmen, konsisten, adil, dan berkata benar. Melalui enam indikator tersebut tingkat kejujuran seseorang diukur; apakah seseorang dapat dikategorikan sebagai seorang yang jujur atau sebaliknya. Model pengajaran ini sangat cocok diterapkan di pondok pesantren atau sekolah berasrama. Karena model ini mengharuskan adanya peran maksimal orang tua dan pendidik secara simultan dan berkelanjutan. Di pesantren atau di asrama peran orang tua digantikan oleh pembimbing akademik selaku pengasuh dan sekaligus berperan sebagai pendidik yang bertindak sebagai model karakter yang diinginkan. Penelitian ini adalah penelitian tindakan ( action research ) menggunakan metode eksprimen semu ( quasi experiment ) dan berpedoman pada konsep penelitian tindakan yang dikembangkan oleh Kurt Lewin, dengan melaksanakan tiga siklus treatment . Masing-masing siklus dilakukan selama satu bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Model Pengajaran Kejujuran Menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) berpengaruh sangat signifikan. Di mana nilai karakter jujur sebelum treatment ditunjukkan dengan nilai rata-rata1,71, dan karakter jujur setelah treatment ditunjukkan dengan nilai rata-rata 3,58. Peningkatan ini sangat drastis karena nilai-nilai kejujuran diinternalisasikan secara massif dengan melibatkan pembimbing akademik sebagai model atau figur dan kolaborator sebagai pengamat. Di samping itu penelitian ini melibatkan hampir semua media dan program pondok yang sudah ada. Berdasarkan hasil penelitian ini maka direkomendasikan agar lembaga pendidikan umum maupun swasta, khususnya yang berasrama dapat menggunakan model pengajaran kejujuran menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). This study aimed to develop a model of honesty teaching by using Informationand Communication Technology (ICT) by targeting the six indicators: discipline, responsible, commitments, consistent, fair, and honest. Through the six indicators measured someone’s honesty; whether a person can be categorized as an honestman, or otherwise. This teaching model is very suitable to be applied in a pesantren or a boarding school. Because this model requires the maximum role of parents and educators simultaneously and continuously. In boarding schools or in the dorm role of parents is replaced by counselors as care giver role is as an educator who acts as a model for the character you want. This research is action research by using quasi-experimental methods and guided by the concept of action research developed by Kurt Lewin, to carry out three cycles of treatment. Each cycle is done for one month. The results showed that Honesty Teaching Modelby Using Information and Communication Technology (ICT) is very significant effect. Where the value of honest character before treatments are indicated by an average value of 1.71,","PeriodicalId":31250,"journal":{"name":"Episteme Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman","volume":"11 1","pages":"339-374"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-12-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"67938824","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2016-12-13DOI: 10.21274/EPIS.2016.11.2.435-463
S. Syahrizal
Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan dan persamaan antara kurikulum pendidikan dasar Islam yang dipaparkan Ibnu Suhnūn dengan kurikulum pendidikan dasar Islam yang dikemukakan al-Qābisi dan menganalisis implementasi pemikiran keduanya dalam rangka pengembangan pendidikan dasar Islam dalam konteks keindonesiaan. Berdasarkan metode deskriptif, content analysis, analisis komparatif dan analisis sintesis maka hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu Suhnūn dan al-Qābisi tentang kurikulum pendidikan dasar Islam memiliki perbedaan dan persamaan. Perbedaannya mencakup aspek klasifīkasi isi kurikulum pendidikan dasar Islam dan rincian mata pelajaran al-Qur'an. Sedangkan persamaannya meliputi aspek pengertian, klasifīkasi, keseimbangan, kategori, tujuan dan corak kurikulum pendidikan dasar Islam. Kurikulum pendidikan dasar Islam versi Ibnu Suhnūn dan al-Qābisi memungkinkan untuk diimplementasikan dalam rangka pengembangan kurikulum pendidikan dasar Islam di Indonesia. Hal ini karena kurikulum pendidikan dasar Islam yang didesain oleh kedua tokoh pendidikan Islam klasik tersebut masih relevan hingga dewasa ini. Meskipun ada beberapa kekurangan lantaran faktor lini masa, kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan sebagainya, namun tetap bisa disempurnakan sesuai dengan tuntutan dan kemajuan zaman.This study aimed to analyzing the differences and the similarities between Islamic elementary school curriculum of Ibnu Suhnūn and al-Qābisi, and to analyze the implementation both of them in the Islamic elementary school of Indonesia. Based on descriptive, content, comparative, and synthesis analysis, the result of study showed that Ibnu Suhnūn and al-Qābisi's thought on Islamic elementary school curriculum has the differences and the similarities.The differences include classifying contain of it and detailing Qur'anic subject aspect. While the similiarities include the defīning, classifying, balancing, categorizing, purposing and patterning of Islamic elementary school curriculum aspect. Ibnu Suhnūn and al-Qābisi's thought was enabled to be implementated in order to develop the curriculum of Islamic elementary school in Indonesia. Because the concept of them are still relevant in contemporary era. Eventhough any weaknesses because some factors, such as different in term of time, the progress of sciences and technology, etc, but can be enhanced in accordance with the demands and the progress of time.
这项研究旨在分析之间的差异和相似之处伊斯兰教的基础教育课程中ibn Suhn al-Q提出伊斯兰基础教育课程的ūnābisi和分析实现的想法都是伊斯兰基础教育发展框架中keindonesiaan上下文。基于比较,描述性内容分析的方法,分析和综合分析研究结果表明,思想就ibn Suhnūn和al-Qābisi关于伊斯兰基础教育课程有差异和相似之处。区别包括klasif方面ī给伊斯兰基本教育课程的内容和细节伊斯兰教科目'an。而方程方面理解、klasifī,平衡,伊斯兰教令类别,目的和基础教育课程特色。伊斯兰基础教育课程版本ibn Suhnūn和al-Qābisi允许印尼伊斯兰基础教育课程发展框架中实施。这是因为这两位经典伊斯兰教育人物设计的伊斯兰基础教育课程至今仍有关联。尽管由于目前的环境因素、科学、技术等方面存在一些缺陷,但它们仍然可以根据时代的要求和进步进行完善。这对analyzing the study aimed分歧和伊斯兰小学学校之间similarities简历》ibn Suhnūn和al-Qābisi implementation两人》和to analyze),他们在印尼的伊斯兰所小学。改编自descriptive、内容分析、comparative和一个综合体。《study那里那个论点ibn Suhnūn和al-Qābisi伊斯兰思想上的简历有《分歧与similarities所小学。不同的地方包括全面的内容及详细的《古兰经》主题宁当《similiarities include the defī,classifying平衡、categorizing purposing》和伊斯兰教小学学校patterning简历aspect。伊本·Suhnūn和al-Qābisi的以为是enabled to be implementated简历》在订单到冲洗伊斯兰在印尼所小学。因为它们的概念在当代时代仍然存在。尽管有一些因素,但由于时代不同,科学与技术的进步等等,但它可以适应与需求和时间的进步。
{"title":"Kurikulum Pendidikan Dasar Islam Era Klasik: Komparasi Pemikiran Ibnu Suhnūn Dan Al-qābisi","authors":"S. Syahrizal","doi":"10.21274/EPIS.2016.11.2.435-463","DOIUrl":"https://doi.org/10.21274/EPIS.2016.11.2.435-463","url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan dan persamaan antara kurikulum pendidikan dasar Islam yang dipaparkan Ibnu Suhnūn dengan kurikulum pendidikan dasar Islam yang dikemukakan al-Qābisi dan menganalisis implementasi pemikiran keduanya dalam rangka pengembangan pendidikan dasar Islam dalam konteks keindonesiaan. Berdasarkan metode deskriptif, content analysis, analisis komparatif dan analisis sintesis maka hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu Suhnūn dan al-Qābisi tentang kurikulum pendidikan dasar Islam memiliki perbedaan dan persamaan. Perbedaannya mencakup aspek klasifīkasi isi kurikulum pendidikan dasar Islam dan rincian mata pelajaran al-Qur'an. Sedangkan persamaannya meliputi aspek pengertian, klasifīkasi, keseimbangan, kategori, tujuan dan corak kurikulum pendidikan dasar Islam. Kurikulum pendidikan dasar Islam versi Ibnu Suhnūn dan al-Qābisi memungkinkan untuk diimplementasikan dalam rangka pengembangan kurikulum pendidikan dasar Islam di Indonesia. Hal ini karena kurikulum pendidikan dasar Islam yang didesain oleh kedua tokoh pendidikan Islam klasik tersebut masih relevan hingga dewasa ini. Meskipun ada beberapa kekurangan lantaran faktor lini masa, kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan sebagainya, namun tetap bisa disempurnakan sesuai dengan tuntutan dan kemajuan zaman.This study aimed to analyzing the differences and the similarities between Islamic elementary school curriculum of Ibnu Suhnūn and al-Qābisi, and to analyze the implementation both of them in the Islamic elementary school of Indonesia. Based on descriptive, content, comparative, and synthesis analysis, the result of study showed that Ibnu Suhnūn and al-Qābisi's thought on Islamic elementary school curriculum has the differences and the similarities.The differences include classifying contain of it and detailing Qur'anic subject aspect. While the similiarities include the defīning, classifying, balancing, categorizing, purposing and patterning of Islamic elementary school curriculum aspect. Ibnu Suhnūn and al-Qābisi's thought was enabled to be implementated in order to develop the curriculum of Islamic elementary school in Indonesia. Because the concept of them are still relevant in contemporary era. Eventhough any weaknesses because some factors, such as different in term of time, the progress of sciences and technology, etc, but can be enhanced in accordance with the demands and the progress of time.","PeriodicalId":31250,"journal":{"name":"Episteme Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman","volume":"11 1","pages":"435-463"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-12-13","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"67939042","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}