Pub Date : 2023-04-27DOI: 10.21460/gema.2023.81.996
J. Simon
AbstractWhat are the pertinent indicators of the Church being lived by the GPI in the middle of a disruption related to its identity between oneness and independence, as well as the difficulties of the international context and nationality? is the question that this essay’s introduction poses. This article employs a qualitative approach to address this query, attempting to build a meaning for the church in the age of disruption by analytically interpreting the data obtained. The findings of this research demonstrate that GPI’s courage is walking with God to maintain the independence and unity of being a brother-sisterhood in God’s open banquet by fostering the concept of brother-sisterhood within its own body and assisting in the resolution of national and international problems. It is clear that GPI deserves to display the distinctive characteristics of the Church, including its commitment to multiculturalism, freedom, and Indonesian public liquidity. AbstrakTulisan ini dimulai dengan sebuah pertanyaan, apa tanda-tanda Gereja yang relevan dihidupi oleh GPI di tengah disrupsi terkait identitas dirinya di antara keesaan dan kemandirian, dan tantangan konteks globaldan kebangsaan? Untuk menjawab pertanyaan ini, pembahasan tulisan ini menggunakan metode kualitatif, dengan berusaha menginterpretasi secara analitis ke atas data-data yang ditemukan untuk mengonstruksi makna menggereja di era disrupsi. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa keberanian (courage) GPI adalah berjalan bersama Allah untuk meneruskan keesaan dan kemandirian menjadi persaudaraan dalam perjamuan Allah yang terbuka dengan mengusung gagasan persaudaraan di tubuhnya sendiri dan turut mengatasi tantangan kebangsaan dan global hingga ke titik omega. Dapat disimpulkan bahwa GPI layak mengusung tanda-tanda Gereja yang khas, yaitu: persaudaraan, keesaan, kemandirian, multikultural dan keindonesiaan-kepublikan-kecairan.
摘要GPI在教会的统一性和独立性之间的认同以及国际背景和国籍的困难中所生活的相关指标是什么?是这篇文章的引言提出的问题。本文采用定性的方法来解决这个问题,试图通过分析解释所获得的数据,为混乱时代的教会建立一个意义。本研究结果表明,GPI的勇气是与神同行,在神开放的宴席上,通过在自己的身体内培养兄弟情谊的概念,并协助解决国家和国际问题,保持兄弟情谊的独立性和统一性。很明显,GPI应该展示教会的独特特征,包括它对多元文化、自由和印度尼西亚公共流动性的承诺。摘要/ abstract摘要/ abstract摘要/ abstract摘要/ abstract摘要/ abstract摘要/ abstract摘要/ abstractUntuk menjawab pertanyaan ini, pembahasan tulisan ini menggunakan方法定性,dengan berusaha menginterpretasi secara analytiis数据-数据yang ditemukan Untuk mengonstrksi makna menggeraja di era disrupsi。哈西尔penelitian ini memperlihatkan bahwa keberanian(勇气)GPI adalah berjalan bersama Allah untuk meneruskan keesaan dan kemandirian menjadi persaudaraan dalam perjaman Allah yang terbuka dengan mengusung gagasan persaudaraan di tubuhnya sendiri dan turut mengatasi tantangan kebangsaan dan全球兴格克蒂克欧米伽。Dapat dispulkan bahwa GPI layak mengusung tanda-tanda Gereja yang khas, yitu: persaudaraan, keesaan, kmandirian,多元文化dan keindonesia -kepublikan- keecairan。
{"title":"Ecclesia in Transitu, Di Antara Alfa dan Omega: GPI dan Notae Ecclesiae yang Baru","authors":"J. Simon","doi":"10.21460/gema.2023.81.996","DOIUrl":"https://doi.org/10.21460/gema.2023.81.996","url":null,"abstract":"AbstractWhat are the pertinent indicators of the Church being lived by the GPI in the middle of a disruption related to its identity between oneness and independence, as well as the difficulties of the international context and nationality? is the question that this essay’s introduction poses. This article employs a qualitative approach to address this query, attempting to build a meaning for the church in the age of disruption by analytically interpreting the data obtained. The findings of this research demonstrate that GPI’s courage is walking with God to maintain the independence and unity of being a brother-sisterhood in God’s open banquet by fostering the concept of brother-sisterhood within its own body and assisting in the resolution of national and international problems. It is clear that GPI deserves to display the distinctive characteristics of the Church, including its commitment to multiculturalism, freedom, and Indonesian public liquidity.\u0000AbstrakTulisan ini dimulai dengan sebuah pertanyaan, apa tanda-tanda Gereja yang relevan dihidupi oleh GPI di tengah disrupsi terkait identitas dirinya di antara keesaan dan kemandirian, dan tantangan konteks globaldan kebangsaan? Untuk menjawab pertanyaan ini, pembahasan tulisan ini menggunakan metode kualitatif, dengan berusaha menginterpretasi secara analitis ke atas data-data yang ditemukan untuk mengonstruksi makna menggereja di era disrupsi. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa keberanian (courage) GPI adalah berjalan bersama Allah untuk meneruskan keesaan dan kemandirian menjadi persaudaraan dalam perjamuan Allah yang terbuka dengan mengusung gagasan persaudaraan di tubuhnya sendiri dan turut mengatasi tantangan kebangsaan dan global hingga ke titik omega. Dapat disimpulkan bahwa GPI layak mengusung tanda-tanda Gereja yang khas, yaitu: persaudaraan, keesaan, kemandirian, multikultural dan keindonesiaan-kepublikan-kecairan.","PeriodicalId":327010,"journal":{"name":"GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129848080","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-04-27DOI: 10.21460/gema.2023.81.933
Sartika Lestari
AbstractAs flourishing is a crucial component of Christian theology, it cannot be divorced from the daily lives of Christians. The purpose of this article is to provide a theological foundation for further discussion by examining how the bible discusses the signifi cance of flourishing. The endeavour to flourish in this essay will be evaluated in light of how social media usage, which is now crucial to daily life, is used. Christians can create a thriving existence through the use of social media, particularly Facebook and Instagram, in the context of social media use. Based on the findings of literature reviews on theories relating to the concept of thriving as well as the impact and potential use of social media for blooming life, the research in this paper will be carried out using descriptive-analytical methodologies. A description of blossoming life and its role in Christian theology will be given in the first section. Since well-being is an abstract idea as well, it requires a theory that can be applied to examine it more closely. Due to this, the examination of how social media use can promote the growth of life is covered in the second part's section on that topic. The analysis in this section will be conducted using Martin Seligman's theory of well-being, which will aid in identifying and quantifying the key elements of well-being from an empirical standpoint. Also, in an effort to infuse life with utilizing social media, the final section of this article will propose gratitude as a type of theologically based virtue that can be applied to using social media. AbstrakKehidupan yang mekar (flourishing) merupakan bagian penting dalam teologi kristen dan oleh karena itu tidak dapat dilepaskan dari kehidupan orang-orang kristen setiap hari. Artikel ini akan mengkaji bagaimana alkitab berbicara mengenai pentingnya kehidupan yang mekar sebagai dasar teologis untuk percakapan yang lebih lanjut. Upaya untuk memekarkan kehidupan dalam artikel ini akan dilihat dalam kaitannya dengan penggunaan media sosial, yang saat ini telah menjadi salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia. Penggunaan media sosial, oleh beberapa penelitian terdahulu diklaim memiliki dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan penggunanya, sehingga penting untuk mengkaji bagaimana orang-orang kristen dapat membangun kehidupan yang mekar di tengah-tengah konteks penggunaan media sosial, secara khusus Facebook dan Instagram. Penelitian dalam makalah ini akan dilakukan dengan metode secara deskriptif-analitis berdasarkan hasil studi kepustakaan tentang teori-teori yang berkaitan dengan konsep flourishing dan juga dampak serta potensi penggunaan media sosial bagi kehidupan yang mekar. Pada bagian pertama akan dipaparkan mengenai gambaran tentang kehidupan yang mekar dan tempatnya dalam teologi kristen. Kehidupan yang mekar, yang pada dasarnya merujuk pada konsep kesejahteraan yang utuh dan kompleks, juga merupakan konsep yang abstrak, sehingga diperlukan teori yang dapat dig
摘要兴盛是基督教神学的重要组成部分,它与基督徒的日常生活密不可分。本文的目的是通过考察《圣经》如何讨论繁荣的意义,为进一步的讨论提供一个神学基础。在这篇文章中蓬勃发展的努力将根据如何使用社交媒体来评估,社交媒体现在对日常生活至关重要。在社交媒体使用的背景下,基督徒可以通过使用社交媒体,特别是Facebook和Instagram,创造一个繁荣的存在。基于对蓬勃发展概念相关理论的文献综述以及社交媒体对盛开生活的影响和潜在用途的研究结果,本文将使用描述性分析方法进行研究。在第一部分中,我们将描述生命的绽放及其在基督教神学中的作用。既然幸福也是一个抽象的概念,它就需要一种理论,可以用来更仔细地研究它。因此,关于社交媒体使用如何促进生活增长的研究将在该主题的第二部分部分中进行。本节的分析将使用马丁·塞利格曼的幸福理论进行,这将有助于从经验的角度确定和量化幸福的关键要素。此外,为了使生活融入社交媒体,本文的最后一部分将提出感恩作为一种基于神学的美德,可以应用于使用社交媒体。摘要:kehidupan yang mekar(繁荣)merupakan bagian penting dalam teologi kristen dan oleh karena itu tidak dapat dilepaskan dari kehidupan orange - orange kristen setiap hari。Artikel ini akan mengkaji bagaimana alkitab berbicara mengeni peningnya kehidupan yang mekar sebagai dasar technology untuk perakapan yang lebih lanjut。Upaya untuk memekarkan kehidupan dalam artikel ini akan dilihat dalam kaitannya dengan penggunaan媒体社交,yang saat ini telah menjadi salah satu unsur unsuing dalam kehidupan manusia。Penggunaan media social, oleh beberapa penelitian terdahulu diklaim memiliki dampak yang signifiki terhadap kesejahteraan penggunanya, sehinga penting untuk mengkaji bagaimana orangang kristen dapat membangun kehidupan yang mekar di tengah-tengah konteks Penggunaan media social, secara khusus Facebook和Instagram。Penelitian dalam makalah ini akan dilakukan dengan mekar研究kepusstakaan tententeni -teori yang berkaan dengan konsep繁荣dan juga danpak serta潜力penggunaan媒体社会bagi kehidupan yang mekar。巴巴多斯·巴巴多斯·巴巴多斯:巴巴多斯,巴巴多斯,巴巴多斯,巴巴多斯,巴巴多斯,巴巴多斯,巴巴多斯,巴巴多斯,巴巴多斯。Kehidupan yang mekar, yang pada dasarnya merujuk paada konsep kesejahteraan yang utuh dankompleks, juga merupakan konsep yang abstrak, sehinga diperlukan teori yang dapat digunakan untuk melihatnya secara lebih specik。Untuk itpaadbagian kedua, dalam kaitannya dengan penggunaan media social, akan dipaparkan analistentendanbagaimana penggunaan media social, apatbawa paadmekarnya kehidupan。这句话的意思是:“我的祖国,我的祖国,我的祖国,我的祖国,我的祖国,我的祖国。”Selanjutnya bagian akhir dari artikel ini akan menyarankan rasa syukur sebagai bentuk kebajikan yang didukung secara technology yang dapat diterapkan dalam menggunakan media social demi upaya untuk memekarkan kehidupan dalam menggunakan media social。
{"title":"Memekarkan Hidup dalam Bermedia Sosial: Sebuah Kajian Teologis-Psikologis di Tengah Konteks Revolusi Komunikasi Digital","authors":"Sartika Lestari","doi":"10.21460/gema.2023.81.933","DOIUrl":"https://doi.org/10.21460/gema.2023.81.933","url":null,"abstract":"AbstractAs flourishing is a crucial component of Christian theology, it cannot be divorced from the daily lives of Christians. The purpose of this article is to provide a theological foundation for further discussion by examining how the bible discusses the signifi cance of flourishing. The endeavour to flourish in this essay will be evaluated in light of how social media usage, which is now crucial to daily life, is used. Christians can create a thriving existence through the use of social media, particularly Facebook and Instagram, in the context of social media use. Based on the findings of literature reviews on theories relating to the concept of thriving as well as the impact and potential use of social media for blooming life, the research in this paper will be carried out using descriptive-analytical methodologies. A description of blossoming life and its role in Christian theology will be given in the first section. Since well-being is an abstract idea as well, it requires a theory that can be applied to examine it more closely. Due to this, the examination of how social media use can promote the growth of life is covered in the second part's section on that topic. The analysis in this section will be conducted using Martin Seligman's theory of well-being, which will aid in identifying and quantifying the key elements of well-being from an empirical standpoint. Also, in an effort to infuse life with utilizing social media, the final section of this article will propose gratitude as a type of theologically based virtue that can be applied to using social media.\u0000AbstrakKehidupan yang mekar (flourishing) merupakan bagian penting dalam teologi kristen dan oleh karena itu tidak dapat dilepaskan dari kehidupan orang-orang kristen setiap hari. Artikel ini akan mengkaji bagaimana alkitab berbicara mengenai pentingnya kehidupan yang mekar sebagai dasar teologis untuk percakapan yang lebih lanjut. Upaya untuk memekarkan kehidupan dalam artikel ini akan dilihat dalam kaitannya dengan penggunaan media sosial, yang saat ini telah menjadi salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia. Penggunaan media sosial, oleh beberapa penelitian terdahulu diklaim memiliki dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan penggunanya, sehingga penting untuk mengkaji bagaimana orang-orang kristen dapat membangun kehidupan yang mekar di tengah-tengah konteks penggunaan media sosial, secara khusus Facebook dan Instagram. Penelitian dalam makalah ini akan dilakukan dengan metode secara deskriptif-analitis berdasarkan hasil studi kepustakaan tentang teori-teori yang berkaitan dengan konsep flourishing dan juga dampak serta potensi penggunaan media sosial bagi kehidupan yang mekar. Pada bagian pertama akan dipaparkan mengenai gambaran tentang kehidupan yang mekar dan tempatnya dalam teologi kristen. Kehidupan yang mekar, yang pada dasarnya merujuk pada konsep kesejahteraan yang utuh dan kompleks, juga merupakan konsep yang abstrak, sehingga diperlukan teori yang dapat dig","PeriodicalId":327010,"journal":{"name":"GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian","volume":"22 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126591401","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-04-27DOI: 10.21460/gema.2023.81.975
Agustinus Setiawidi
AbstractThe bronze serpent that rescued the Israelites in Numbers 21:4–9 has frequently been the subject of dogmatic or typological theological interpretation. This viewpoint puts the love of God in Christ as the center of attention. Anyone who has sinned but still trusts in God’s compassion will be pardoned and saved without the need for verbal confession. I put forth a theology of vocal confession using the Carmichael’s primary history framework. Even though God always knows and pardons, sinful humans will only find forgiveness through vocal confession, not by remaining quiet because God already knows what we are doing. The emphasis changed from divine healing to the verbal acknowledgement that was necessary for healing itself as a consequence. AbstrakSecara teologis ular tembaga yang menyelamatkan orang-orang Israel dalam Bilangan 21:4-9, selama ini sering ditafsir dan dipahami dari perspektif tipologis-dogmatis. Dengan perspektif tersebut, penyembuhansebagai wujud kasih Allah melalui Kristus menjadi fokus. Melalui kerangka sejarah pokok (primary history) yang digagas oleh Carmichael, saya menawarkan sebuah teologi biblika tentang pengakuan dosa verbal. Meskipun Allah maha tahu dan maha pengampun, manusia yang berbuat dosa akan merasakan pengampunan bukan dengan cara berdiam diri – dengan asumsi bahwa Allah pasti sudah tahu apa yang kita lakukan – melainkan dengan kekuatan pengakuan verbal kita. Alhasil, fokus bergeser dari penyembuhan ilahi kepada pengakuan verbal yang menjadi prasyarat kesembuhan itu sendiri.
摘要民数记21:4-9中拯救以色列人的铜蛇经常成为教条主义或预表神学解释的主题。这种观点把神在基督里的爱作为关注的中心。任何一个犯了罪但仍然相信神的怜悯的人,不需要口头忏悔,就会得到赦免和拯救。我用卡迈克尔的初级历史框架提出了一种声音忏悔的神学。尽管上帝总是知道并宽恕,有罪的人只能通过大声忏悔来获得宽恕,而不是保持沉默,因为上帝已经知道我们在做什么。重点从神圣的治疗转变为口头承认,这对治疗本身是必要的。[摘要]科学技术的发展与发展:科学技术的发展与发展,科学技术的发展与发展。邓干的观点是,penyembuhansebagai wujud kasih Allah melalui kristusmenjadi focus。【原生史】杨德加斯·奥勒·卡迈克尔,《科学与技术》,《科学与技术》,《科学与技术》,《科学与技术》。安拉maha tahu dan maha pengampun,是一种有意义的语言,是一种有意义的语言,是一种有意义的语言。阿哈齐尔,你知道的,我知道的,我知道的,我知道的,我知道的。
{"title":"Menggeser Fokus: Dari Penyembuhan kepada Pengakuan Verbal (Sebuah Tafsir Ulang Atas Bilangan 21:4-9 dan Kontribusinya bagi Teologi)","authors":"Agustinus Setiawidi","doi":"10.21460/gema.2023.81.975","DOIUrl":"https://doi.org/10.21460/gema.2023.81.975","url":null,"abstract":"AbstractThe bronze serpent that rescued the Israelites in Numbers 21:4–9 has frequently been the subject of dogmatic or typological theological interpretation. This viewpoint puts the love of God in Christ as the center of attention. Anyone who has sinned but still trusts in God’s compassion will be pardoned and saved without the need for verbal confession. I put forth a theology of vocal confession using the Carmichael’s primary history framework. Even though God always knows and pardons, sinful humans will only find forgiveness through vocal confession, not by remaining quiet because God already knows what we are doing. The emphasis changed from divine healing to the verbal acknowledgement that was necessary for healing itself as a consequence. \u0000AbstrakSecara teologis ular tembaga yang menyelamatkan orang-orang Israel dalam Bilangan 21:4-9, selama ini sering ditafsir dan dipahami dari perspektif tipologis-dogmatis. Dengan perspektif tersebut, penyembuhansebagai wujud kasih Allah melalui Kristus menjadi fokus. Melalui kerangka sejarah pokok (primary history) yang digagas oleh Carmichael, saya menawarkan sebuah teologi biblika tentang pengakuan dosa verbal. Meskipun Allah maha tahu dan maha pengampun, manusia yang berbuat dosa akan merasakan pengampunan bukan dengan cara berdiam diri – dengan asumsi bahwa Allah pasti sudah tahu apa yang kita lakukan – melainkan dengan kekuatan pengakuan verbal kita. Alhasil, fokus bergeser dari penyembuhan ilahi kepada pengakuan verbal yang menjadi prasyarat kesembuhan itu sendiri.","PeriodicalId":327010,"journal":{"name":"GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian","volume":"70 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122354881","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-04-27DOI: 10.21460/gema.2023.81.1012
Rommi Matheos
AbstractThe idea of a hospitable mission is examined in this essay according to Amos Yong. He contends that the Incarnation and Pentecost, two significant events, are examples of how God’s kindness is displayed (Acts 2). God welcomes and embraces creation through the event of the Incarnation, whereas God lends Godself to creation through the event of Pentecost. The Pentecostal event is where the church’s ministry of hospitality began. The early Church experienced the new and ongoing presence of Jesus, and the Holy Spirit was instrumental in giving believers certainty of this presence. The hospitable theology of the Church’s mission, whose starting point came from the event of Christ’s Creative Transformation, is reconstructed using John B. Cobb, Jr.’s concept of Christ as Creative Transformation as a lens. AbstrakArtikel ini mengkaji konsep misi yang ramah menurut pendapat Amos Yong. Ia berpendapat bahwa hospitalitas Allah diwujudkan dalam dua peristiwa penting yaitu peristiwa Inkarnasi dan Pentakosta (Kis. 2). Melalui peristiwa Inkarnasi Allah menyambut/merengkuh ciptaan, sedangkan melalui peristiwa Pentakosta Allah memberikan diri-Nya kepada ciptaan. Misi Gereja yang ramah memiliki titik permulaannya pada peristiwa Pentakosta. Roh Kudus berfungsi untuk memberikan kepastian akan kehadiran Yesus secara baru dan terus menerus yang mewujud dalam kehidupan Gereja mula-mula. Konsep Kristus sebagai transformasi kreatif (Christ as Creative Transformation) dari John B. Cobb, Jr digunakan sebagai lensa untuk merekonstruksi teologi misi Gereja yang ramah yang titik permulaannya bermuasal dari peristiwa Pentakosta.
摘要本文根据阿莫斯·杨的观点,对好客使命的概念进行了考察。他认为道成肉身和五旬节,这两个重要的事件,是上帝如何展示慈爱的例子(使徒行传2章)。上帝通过道成肉身的事件欢迎并拥抱受造界,而上帝通过五旬节的事件将自己借给受造界。五旬节的活动是教会好客事工的开始。早期教会经历了新的和持续的耶稣的存在,圣灵是帮助信徒确定这种存在的工具。教会使命的好客神学,其起点来自基督的创造性转化事件,是用约翰B.柯布,Jr.的基督作为创造性转化的概念作为一个镜头重建。[摘要]文章来源:中国科学院,中国科学院,中国科学院,中国科学院。i berpendapat bahwa hospitalitas Allah diwujudkan dalam dua peristiwa penting yitu peristiwa Inkarnasi dan Pentakosta (Kis. 2). Melalui peristiwa Inkarnasi Allah menyambut/merengkuh ciptaan, sedangkan Melalui peristiwa Pentakosta Allah memberikan diri-Nya kepaada ciptaan。Misi Gereja yang ramah memoriliki titik permulanya padistiwa Pentakosta。卢库德斯berfunsi untuk成员kepastian akan kehadiran Yesus secara baru dan terus menerus yang mewujud dalam kehidupan Gereja mula-mula。Konsep Kristus sebagai transformasi kreatif(基督作为创造性的转变)dari John B. Cobb, Jr . digunakan sebagai lensa untuk merekonstruksi teologii misi Gereja yang ramah yang titik permulaannya bermuasal dari peristiwa Pentakosta。
{"title":"Tuan Rumah yang Ramah, Tamu yang Rapuh, dan Kaum Peziarah: Misi Gereja yang Hospitabel Bertitik Tolak dari Peristiwa Pentakosta (Kis. 2:1-13)","authors":"Rommi Matheos","doi":"10.21460/gema.2023.81.1012","DOIUrl":"https://doi.org/10.21460/gema.2023.81.1012","url":null,"abstract":"AbstractThe idea of a hospitable mission is examined in this essay according to Amos Yong. He contends that the Incarnation and Pentecost, two significant events, are examples of how God’s kindness is displayed (Acts 2). God welcomes and embraces creation through the event of the Incarnation, whereas God lends Godself to creation through the event of Pentecost. The Pentecostal event is where the church’s ministry of hospitality began. The early Church experienced the new and ongoing presence of Jesus, and the Holy Spirit was instrumental in giving believers certainty of this presence. The hospitable theology of the Church’s mission, whose starting point came from the event of Christ’s Creative Transformation, is reconstructed using John B. Cobb, Jr.’s concept of Christ as Creative Transformation as a lens.\u0000AbstrakArtikel ini mengkaji konsep misi yang ramah menurut pendapat Amos Yong. Ia berpendapat bahwa hospitalitas Allah diwujudkan dalam dua peristiwa penting yaitu peristiwa Inkarnasi dan Pentakosta (Kis. 2). Melalui peristiwa Inkarnasi Allah menyambut/merengkuh ciptaan, sedangkan melalui peristiwa Pentakosta Allah memberikan diri-Nya kepada ciptaan. Misi Gereja yang ramah memiliki titik permulaannya pada peristiwa Pentakosta. Roh Kudus berfungsi untuk memberikan kepastian akan kehadiran Yesus secara baru dan terus menerus yang mewujud dalam kehidupan Gereja mula-mula. Konsep Kristus sebagai transformasi kreatif (Christ as Creative Transformation) dari John B. Cobb, Jr digunakan sebagai lensa untuk merekonstruksi teologi misi Gereja yang ramah yang titik permulaannya bermuasal dari peristiwa Pentakosta.","PeriodicalId":327010,"journal":{"name":"GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian","volume":"48 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124607369","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-04-27DOI: 10.21460/gema.2023.81.1008
Al. Andang L. Binawan
AbstractBy examining the lacunae iuris, or legal “holes,” in the theoretical sense of Indonesian law on religious freedom, this article falls short of normative juridical research. In particular, the seven points linked tothe law of religious freedom—the meaning of religion, the meaning of divinity, the meaning of freedom, its contents, its subject, its boundaries, and the role of the state—will be examined in more depth in this article. This research employs the legal approach method, contrasting ideas of Indonesian laws with international law, which is also acknowledged as a fundamental component of Indonesian law. When these seven points of the law of religious freedom are compared, it becomes clear that Indonesia’s law of religious freedom has some significant gaps, particularly in the areas where freedom is still restricted and where it relates to concepts of divinity and religion that are also severely constrained. The findings of this research may serve as the foundation for initiatives aimed at enhancing Indonesia’s freedom law and ensuring greater justice and certainty. AbstrakArtikel ini adalah sebuah penelitian yuridis normatif dengan mencermati lacunae iuris atau ‘lubang’ hukum dalam arti teoretis dari hukum kebebasan agama di Indonesia. Tujuan artikel ini adalah melihat lacunae iuris itu secara lebih detail, terutama yang tampak dalam tujuh pokok terkait hukum kebebasan beragama itu, yaitu makna agama, makna ketuhanan, makna kebebasan, isinya, subjeknya, pembatasannya, dan peran negara. Metode penelitian ini adalah statute approach, dengan cara membandingkan isi (notions) hukum yang berlaku di Indonesia dengan hukum internasional yang juga diakui sebagai bagian integral hukum. Hasil perbandingan dari isi dari tujuh pokok hukum kebebasan beragama, lacunae iuris hukum kebebasan beragama di Indonesia tampak sangat jelas, terutama dalam isi kebebasan yang masih sempit, terkait dengan konsep tentang ketuhanan dan konsep tentang agama yang sangat terbatas. Hal ini bisa menjadi dasar untuk upaya perbaikan hukum kebebasan di Indonesia agar bisa memberi kepastian dan keadilan yang lebih baik.
摘要本文通过考察印尼宗教自由法律理论意义上的法律“漏洞”,发现其在规范司法研究上的不足。特别是,与宗教自由有关的七个要点——宗教的含义、神性的含义、自由的含义、自由的内容、自由的主体、自由的边界和国家的作用——将在本文中进行更深入的探讨。本研究采用法律途径的方法,将印尼法律与国际法的思想进行对比,国际法也被认为是印尼法律的基本组成部分。当比较宗教自由法的这七点时,很明显,印度尼西亚的宗教自由法存在一些重大差距,特别是在自由仍然受到限制的领域,以及与神性和宗教概念有关的领域,这些概念也受到严重限制。这项研究的结果可以作为旨在加强印度尼西亚自由法和确保更大的正义和确定性的倡议的基础。[摘要]在印度尼西亚,人们可以在“印尼”、“印度尼西亚”、“印度尼西亚”、“印度尼西亚”、“印度尼西亚”、“印度尼西亚”、“印度尼西亚”、“印度尼西亚”、“印度尼西亚”、“印度尼西亚”、“印度尼西亚”、“印度尼西亚”、“印度尼西亚”、“印度尼西亚”、“印度尼西亚”、“印度尼西亚”、“印度尼西亚”。Tujuan artikel ini adalah melihat lacunae iuris itu secara lebih detail, terutama yang tampak dalam tujuh pokok terkait hukum kebebasan beragama itu, yitu makna agama, makna ketuhanan, makna kebebasan, isinya, subjeknya, pembatasannya, dan peran negara。Metode penelitian ini adalah规约方法,dengan cara membandingkan isi(概念)hukum yang berlaku di Indonesia dengan hukum international yang juga diakui sebagai bagian integral hukum。在印尼,有许多人认为这是一件很有意义的事情,他们认为这是一件很有意义的事情,他们认为这是一件很重要的事情。halini bisa menjadi dasar untuk upaya perbaikan hukum kebebasan di Indonesia agar bisa成员kepastian dan keadilan yang lebih baik。
{"title":"Lacunae Iuris dalam Hukum Kebebasan Beragama di Indonesia","authors":"Al. Andang L. Binawan","doi":"10.21460/gema.2023.81.1008","DOIUrl":"https://doi.org/10.21460/gema.2023.81.1008","url":null,"abstract":"AbstractBy examining the lacunae iuris, or legal “holes,” in the theoretical sense of Indonesian law on religious freedom, this article falls short of normative juridical research. In particular, the seven points linked tothe law of religious freedom—the meaning of religion, the meaning of divinity, the meaning of freedom, its contents, its subject, its boundaries, and the role of the state—will be examined in more depth in this article. This research employs the legal approach method, contrasting ideas of Indonesian laws with international law, which is also acknowledged as a fundamental component of Indonesian law. When these seven points of the law of religious freedom are compared, it becomes clear that Indonesia’s law of religious freedom has some significant gaps, particularly in the areas where freedom is still restricted and where it relates to concepts of divinity and religion that are also severely constrained. The findings of this research may serve as the foundation for initiatives aimed at enhancing Indonesia’s freedom law and ensuring greater justice and certainty.\u0000AbstrakArtikel ini adalah sebuah penelitian yuridis normatif dengan mencermati lacunae iuris atau ‘lubang’ hukum dalam arti teoretis dari hukum kebebasan agama di Indonesia. Tujuan artikel ini adalah melihat lacunae iuris itu secara lebih detail, terutama yang tampak dalam tujuh pokok terkait hukum kebebasan beragama itu, yaitu makna agama, makna ketuhanan, makna kebebasan, isinya, subjeknya, pembatasannya, dan peran negara. Metode penelitian ini adalah statute approach, dengan cara membandingkan isi (notions) hukum yang berlaku di Indonesia dengan hukum internasional yang juga diakui sebagai bagian integral hukum. Hasil perbandingan dari isi dari tujuh pokok hukum kebebasan beragama, lacunae iuris hukum kebebasan beragama di Indonesia tampak sangat jelas, terutama dalam isi kebebasan yang masih sempit, terkait dengan konsep tentang ketuhanan dan konsep tentang agama yang sangat terbatas. Hal ini bisa menjadi dasar untuk upaya perbaikan hukum kebebasan di Indonesia agar bisa memberi kepastian dan keadilan yang lebih baik.","PeriodicalId":327010,"journal":{"name":"GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian","volume":"5 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132073120","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-04-03DOI: 10.21460/gema.2023.81.1030
W. Wibowo
AbstractTheological education (or divinity studies according to the nomenclature of the Ministry of Education, Culture, Research and Technology) is in a tension between the interest of the Church as a subject, that of the government with its various rules, and the call to answer and provide solutions for society. A practice of theological education often produces either graduates or theological thinking that is only intended for an exclusive community, namely a particular faith community. Using Hannah Arendt's thoughts on homo faber and animal laborans, it is seen that theological education that does not produce a change in society is still in the animal labor stage. For this reason, several conditions are needed for the theological education process to produce homo faber, including criticality, creativity, and freedom. AbstrakPendidikan teologi (atau filsafat keilahian jika mengikuti nomenklatur Kemendikbudristek) berada dalam tegangan antara kebutuhan Gereja sebagai pemilik, pemerintah dengan beragam aturannya, dan kemampuan menjawab dan memberi solusi bagi masyarakat. Tidak jarang pendidikan teologi hanya menghasilkan 'produk' entah lulusan atau teologi yang hanya diperuntukkan bagi komunitas eksklusif, yaitu komunitas anggota gereja. Dengan menggunakan pemikiran Hannah Arendt tentang homo faber dan animal laborans, terlihat bahwa pendidikan teologi yang tidak menghasilkan 'produk'- yang membawa perubahan dalam kebebasan masih berada dalam tahap animal laborans, sekedar bekerja tanpa menghasilkan perubahan. Untuk itu beberapa syarat diperlukan agar proses pendidikan teologi menghasilkan homo faber antara lain kekritisan, kreativitas dan kebebasan.
摘要神学教育(或根据教育、文化、研究和技术部的命名的神学研究)处于教会作为主体的利益,政府的各种规则的利益,以及回答和提供社会解决方案的呼吁之间的紧张关系。神学教育的实践通常产生的要么是毕业生,要么是神学思想,这些思想只针对一个独特的群体,即一个特定的信仰群体。运用汉娜·阿伦特关于人与动物劳动者的思想可以看出,没有在社会中产生变化的神学教育仍处于动物劳动者阶段。因此,神学教育过程中需要几个条件,包括批判性、创造性和自由。摘要/ abstract摘要:pendidikan teologi (atau filsafat keilahian jika mengikuti nomenklatur Kemendikbudristek) berada dalam tegangan antara kebutuhan Gereja sebagai pemilik, peremerintah dengan beragam aturannya, dan kemampuan menjawab dan memberi solusi bagi masyarakat。天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津天津。dunkan menggunakan pemikiran Hannah Arendt tentang homo faber dan animal laborans, terlihat bahwa pendidikan teologi yang tidak menghasilkan 'produk'- yang membawa perubahan dalam kebebasan masih berada dalam tahap animal laborans, sekedar bekerja tanpa menghasilkan perubahan。Untuk itu beberapa syarat diperlukan agar proses pendidikan teologi menghasilkan homo faber antara lain kekritisan, kreativitas and kebebasan。
{"title":"Homo Faber dan Animal Laborans dalam Dunia Pendidikan Teologi di Indonesia: Refleksi dari Pemikiran Hannah Arendt","authors":"W. Wibowo","doi":"10.21460/gema.2023.81.1030","DOIUrl":"https://doi.org/10.21460/gema.2023.81.1030","url":null,"abstract":"AbstractTheological education (or divinity studies according to the nomenclature of the Ministry of Education, Culture, Research and Technology) is in a tension between the interest of the Church as a subject, that of the government with its various rules, and the call to answer and provide solutions for society. A practice of theological education often produces either graduates or theological thinking that is only intended for an exclusive community, namely a particular faith community. Using Hannah Arendt's thoughts on homo faber and animal laborans, it is seen that theological education that does not produce a change in society is still in the animal labor stage. For this reason, several conditions are needed for the theological education process to produce homo faber, including criticality, creativity, and freedom.\u0000AbstrakPendidikan teologi (atau filsafat keilahian jika mengikuti nomenklatur Kemendikbudristek) berada dalam tegangan antara kebutuhan Gereja sebagai pemilik, pemerintah dengan beragam aturannya, dan kemampuan menjawab dan memberi solusi bagi masyarakat. Tidak jarang pendidikan teologi hanya menghasilkan 'produk' entah lulusan atau teologi yang hanya diperuntukkan bagi komunitas eksklusif, yaitu komunitas anggota gereja. Dengan menggunakan pemikiran Hannah Arendt tentang homo faber dan animal laborans, terlihat bahwa pendidikan teologi yang tidak menghasilkan 'produk'- yang membawa perubahan dalam kebebasan masih berada dalam tahap animal laborans, sekedar bekerja tanpa menghasilkan perubahan. Untuk itu beberapa syarat diperlukan agar proses pendidikan teologi menghasilkan homo faber antara lain kekritisan, kreativitas dan kebebasan.","PeriodicalId":327010,"journal":{"name":"GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian","volume":"29 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114880811","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-10-25DOI: 10.21460/gema.2022.72.911
Eman Singgih
AbstractWary of hate speeches and intolerant acts by leaders of radical groups and repeated terrorist attacks in Indonesia, in the second period of Joko Widodo’s presidency, two of these radical groups (HTI and FPI)are disbanded, their leaders apprehended and sentenced, and the terrorist cells are hunted and destroyed. The government launches a program of de-radicalization, using security and legal approaches. At the same timethe Ministry of Religious Aff airs realizes that these approaches are not sufficient, and promotes a program which is termed as ‘religious moderation’ in the form of a directive. The program is intended to neutralize religious radicalism through awareness of the religiously plural context of Indonesia, and the fact that all religions of Indonesia have accepted Pancasila as the state ideology. The three responses are on the whole appreciative toward this program, but raise critical remarks on some aspects of this program, which remind them of the totalitarian era of the past. AbstrakDalam rangka mengatasi wacana kebencian, tindakan intoleran dan aksi-aksi teror dari kelompok-kelompok radikal di Indonesia, maka pada periode kedua dari pemerintahan presiden Joko Widodo (2019-2024), dua dari kelompok kelompok ini yaitu HTI dan FPI dibubarkan, pemimpin-pemimpinnya diadili dan dipenjarakan.Banyak sel-sel teroris diburu dan dihancurkan. Tindakan pemerintah ini dilakukan dalam rangka deradikalisasi. Namun Kementerian Agama RI menyadari bahwa pendekatan keamanan dan legal saja tidak mencukupi, oleh karena itu mereka mempromosikan program yang disebut ‘moderasi beragama’ dalam bentuk buku pedoman. Program ini bertujuan menetralisir radikalisme agama melalui kesadaran akan konteks kemajemukan agama dari Indonesia, dan fakta bahwa semua agama di Indonesia telah menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Tiga tanggapan secara umum menyambut program ini, tetapi sekaligus memberi catatan-catatan kritis terhadap beberapa aspek dari program ini, yang dikhawatirkan dapat mengembalikan praktik labelisasi dan indoktrinasi yang bersifat wajib bagi semua dari masa Orde Baru.
摘要印度尼西亚激进组织领导人发表仇恨言论和不容忍行为,恐怖袭击事件频发,在佐科·维多多第二任期,两个激进组织(HTI和FPI)被解散,其领导人被逮捕和判刑,恐怖组织被追捕和摧毁。政府启动了一项利用安全和法律手段去激进化的计划。与此同时,宗教事务部意识到这些方法是不够的,并以指示的形式推行了一项被称为“宗教节制”的计划。该计划旨在通过意识到印度尼西亚的宗教多元背景,以及印度尼西亚所有宗教都接受潘卡西拉作为国家意识形态的事实,来中和宗教激进主义。这三个人的回答总体上对这个项目表示赞赏,但对这个项目的某些方面提出了批评,这让他们想起了过去的极权主义时代。AbstrakDalam rangka mengatasi wacana kebencian, tindakan intoleran丹aksi-aksi teror达里语kelompok-kelompok radikal di印度尼西亚,马卡篇里面kedua达里语pemerintahan主席(2019 - 2024),Joko Widodo dua达里语kelompok kelompok ini yaitu HTI dan FPI dibubarkan pemimpin-pemimpinnya diadili丹dipenjarakan。Banyak self - self - terrorist diburu dan dihankurkan。Tindakan pemerintah ini dilakukan dalam rangka deradikalisasi。Namun Kementerian Agama RI menyadari bahwa pendekatan keamanan danlegal saja tidak mencukupi, oleh karena itu mereka mempromosikan程序yang disbut ' moderasi beragama ' dalam bentuk buku pedoman。程序ini bertujuan menetralisir radikalisme蜥蜴melalui kesadaran阿坎人konteks kemajemukan蜥蜴达里语印度尼西亚、丹fakta bahwa semua蜥蜴di印尼telah menerima Pancasila sebagai ideologi negara。Tiga tanggapan secara umum menyambut program ini, tetapi sekaligus memberi catatan-catatan kritis terhadap bebera a speak dari program ini, yang dikhawatirkan dapat mengbalalikan praktik labelisasi and indoktrinasi yang bersiat wajib bagi semua dari masa Orde Baru。
{"title":"Moderasi Beragama Sebagai Hidup yang Baik","authors":"Eman Singgih","doi":"10.21460/gema.2022.72.911","DOIUrl":"https://doi.org/10.21460/gema.2022.72.911","url":null,"abstract":"AbstractWary of hate speeches and intolerant acts by leaders of radical groups and repeated terrorist attacks in Indonesia, in the second period of Joko Widodo’s presidency, two of these radical groups (HTI and FPI)are disbanded, their leaders apprehended and sentenced, and the terrorist cells are hunted and destroyed. The government launches a program of de-radicalization, using security and legal approaches. At the same timethe Ministry of Religious Aff airs realizes that these approaches are not sufficient, and promotes a program which is termed as ‘religious moderation’ in the form of a directive. The program is intended to neutralize religious radicalism through awareness of the religiously plural context of Indonesia, and the fact that all religions of Indonesia have accepted Pancasila as the state ideology. The three responses are on the whole appreciative toward this program, but raise critical remarks on some aspects of this program, which remind them of the totalitarian era of the past. \u0000AbstrakDalam rangka mengatasi wacana kebencian, tindakan intoleran dan aksi-aksi teror dari kelompok-kelompok radikal di Indonesia, maka pada periode kedua dari pemerintahan presiden Joko Widodo (2019-2024), dua dari kelompok kelompok ini yaitu HTI dan FPI dibubarkan, pemimpin-pemimpinnya diadili dan dipenjarakan.Banyak sel-sel teroris diburu dan dihancurkan. Tindakan pemerintah ini dilakukan dalam rangka deradikalisasi. Namun Kementerian Agama RI menyadari bahwa pendekatan keamanan dan legal saja tidak mencukupi, oleh karena itu mereka mempromosikan program yang disebut ‘moderasi beragama’ dalam bentuk buku pedoman. Program ini bertujuan menetralisir radikalisme agama melalui kesadaran akan konteks kemajemukan agama dari Indonesia, dan fakta bahwa semua agama di Indonesia telah menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Tiga tanggapan secara umum menyambut program ini, tetapi sekaligus memberi catatan-catatan kritis terhadap beberapa aspek dari program ini, yang dikhawatirkan dapat mengembalikan praktik labelisasi dan indoktrinasi yang bersifat wajib bagi semua dari masa Orde Baru.","PeriodicalId":327010,"journal":{"name":"GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian","volume":"47 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-10-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114439228","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}