Memperkuat adat bisa bermata dua jika hanya terfokus pada romantisasi “ideologi harmoni” tanpa memeriksa relasi produksi dan kelas dalam masyarakat adat kontemporer. Merespon kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh negara dan investasi, gerakan masyarakat adat di Tanah Papua harus mampu merefleksikan diri dalam hubungan dengan perubahan di internal diri mereka merespon perubahan yang diangkut oleh pembangunan dan investasi. Hanya dengan memahami konteks inilah masyarakat adat di Papua akan mampu untuk mengambil langkah-langkah aksi dalam menegakkan martabatnya.
{"title":"Menancapkan Tiang-Tiang “Kayu Besi”: Adat dan Strategi Para Elit di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat","authors":"I. N. Suryawan","doi":"10.14203/JMB.V20I3.644","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/JMB.V20I3.644","url":null,"abstract":"Memperkuat adat bisa bermata dua jika hanya terfokus pada romantisasi “ideologi harmoni” tanpa memeriksa relasi produksi dan kelas dalam masyarakat adat kontemporer. Merespon kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh negara dan investasi, gerakan masyarakat adat di Tanah Papua harus mampu merefleksikan diri dalam hubungan dengan perubahan di internal diri mereka merespon perubahan yang diangkut oleh pembangunan dan investasi. Hanya dengan memahami konteks inilah masyarakat adat di Papua akan mampu untuk mengambil langkah-langkah aksi dalam menegakkan martabatnya.","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"22 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"82745484","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Indonesia sekarang ini sedang menghadapi gelombang politik identitas baik di Pusat maupun di daerah-daerah. Selama ini, pemilihan kepala daerah sering menjadi arena politik identitas baik oleh kelompok yang dominan maupun yang tersubordinat, terutama dengan menggunakan isu agama. Kebanyakan pengamat politik identitas memfokuskan kajian pada penggunaan isu agama dalam ranah Pilkada seperti yang terjadi di DKI pada tahun 2017. Berbeda dengan studi-studi tersebut, artikel ini mengkaji penggunaan identitas etnik dalam Pilkada serentak di Provinsi Papua pada tahun 2018. Tujuan yang bersifat konseptual dari penelitian ini adalah sejauhamana penggunaan politik identitas dalam pilkada di Papua memperkuat atau memperlemah tata kelola pemerintahan dan daya hidup orang asli Papua pada masa mendatang. Sumber data dari penulisan artikel ini adalah pengamatan, wawancara, diskusi kelompok terpumpun di Jayapura pada bulan Mei dan Juni 2018 serta studi pustaka. Argumentasi yang dibangun dalam artikel ini adalah politik identitas sudah melekat pada pengalaman orang Papua dalam masa kolonial, Orde Baru, maupun Otonomi Khusus. Setelah Otsus, identitas kesukuan menguat kembali mengalahkan ke-Papua-an dalam ranah baru politik lokal. Sebagai akibatnya, Pemilu ditempatkan sebaai strategi dan siasat elit untuk memperebutkan sumber daya daripada membangun tata kelola pemerintahan dan meningkatkan daya hidup orang Papua. Indonesia is currently dealing with a wave of identity politics both at the national and at the regional level. During this time, the election of governor or regencies’ head was often the arena of identity politics by both dominant and subordinate groups, mainly by using religious issues. Most present studies of identity politics focus on the use of religious issues in the 2017 Jakarta gubernatorial election. Different from these studies, this research investigates the use of ethnic identity in the 2018 Papua gubernatorial election. Conceptual objectives of this research are how far the use of identity politics in the elections in Papua strengthens or weakens local governance and the life forces of indigenous Papuans in the future. This research uses observations, interviews and focuses group discussions in Jayapura and Wamena, between May and June 2018s. The argument of this study is that identity politics is inherent in the experience of Papuans in the colonial period, the New Order, and Special Autonomy. After Special Autonomy of Papua, tribal identity strengthens to defeat Papua in the new realm of local politics. As a result, most Papuan political elite place elections as a strategy for fighting over resources rather than building governance and improving the life forces of the indigenous Papuans.
{"title":"PEMILIHAN GUBERNUR PAPUA 2018: POLITIK IDENTITAS, TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAN DAYA HIDUP ORANG PAPUA","authors":"Cahyo Pamungkas, Devi Triindriasari","doi":"10.14203/JMB.V20I3.721","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/JMB.V20I3.721","url":null,"abstract":"Indonesia sekarang ini sedang menghadapi gelombang politik identitas baik di Pusat maupun di daerah-daerah. Selama ini, pemilihan kepala daerah sering menjadi arena politik identitas baik oleh kelompok yang dominan maupun yang tersubordinat, terutama dengan menggunakan isu agama. Kebanyakan pengamat politik identitas memfokuskan kajian pada penggunaan isu agama dalam ranah Pilkada seperti yang terjadi di DKI pada tahun 2017. Berbeda dengan studi-studi tersebut, artikel ini mengkaji penggunaan identitas etnik dalam Pilkada serentak di Provinsi Papua pada tahun 2018. Tujuan yang bersifat konseptual dari penelitian ini adalah sejauhamana penggunaan politik identitas dalam pilkada di Papua memperkuat atau memperlemah tata kelola pemerintahan dan daya hidup orang asli Papua pada masa mendatang. Sumber data dari penulisan artikel ini adalah pengamatan, wawancara, diskusi kelompok terpumpun di Jayapura pada bulan Mei dan Juni 2018 serta studi pustaka. Argumentasi yang dibangun dalam artikel ini adalah politik identitas sudah melekat pada pengalaman orang Papua dalam masa kolonial, Orde Baru, maupun Otonomi Khusus. Setelah Otsus, identitas kesukuan menguat kembali mengalahkan ke-Papua-an dalam ranah baru politik lokal. Sebagai akibatnya, Pemilu ditempatkan sebaai strategi dan siasat elit untuk memperebutkan sumber daya daripada membangun tata kelola pemerintahan dan meningkatkan daya hidup orang Papua. \u0000 \u0000Indonesia is currently dealing with a wave of identity politics both at the national and at the regional level. During this time, the election of governor or regencies’ head was often the arena of identity politics by both dominant and subordinate groups, mainly by using religious issues. Most present studies of identity politics focus on the use of religious issues in the 2017 Jakarta gubernatorial election. Different from these studies, this research investigates the use of ethnic identity in the 2018 Papua gubernatorial election. Conceptual objectives of this research are how far the use of identity politics in the elections in Papua strengthens or weakens local governance and the life forces of indigenous Papuans in the future. This research uses observations, interviews and focuses group discussions in Jayapura and Wamena, between May and June 2018s. The argument of this study is that identity politics is inherent in the experience of Papuans in the colonial period, the New Order, and Special Autonomy. After Special Autonomy of Papua, tribal identity strengthens to defeat Papua in the new realm of local politics. As a result, most Papuan political elite place elections as a strategy for fighting over resources rather than building governance and improving the life forces of the indigenous Papuans.","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"64 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"88667753","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Strata (sosial/ekonomi) masyarakat dan hubungan antar strata dalam kegiatan pemberdayaan berbasis komunitas (Community Driven Development/CDD) seperti contoh dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) memberikan pembelajaran penting tentang bagaimana: 1) Menentukan tatacara dan keseimbangan dalam mengambil keputusan publik; 2) Membuat kita awas terhadap ketergantungan, kekuasaan dan sumber-sumber dari kekuasaan; dan 3) Menentukan mudah dan sulitnya proses yang demokratis atau keberpihakan ke bawah. Hasil penelitian pada kelompok masyarakat suku asli Papua di Kabupaten Merauke (Suku Yei dan Suku Marind-anim) memperlihatkan bahwa strata sosial pada lapisan masyarakat paling atas (elit kampung/marga mayoritas/warga yang cakap) sangat mendominasi jalannya program—dari tingkat perencanaan hingga implementasi program—dan menjadi perwakilan harapan-harapan yang muncul dari kelompok lapisan bawah (marga kecil/kelompok perempuan/non elit). Lapisan masyarakat bawah yang (masih) biasa berburu dan meramu dan berorientasi hidup adalah ‘panen setiap hari’ (kemudahan akses makanan dari alam) tidak mudah (tidak rela) ikut berpartisipasi memberikan usulan atau kerja, kecuali di imingi imbalan sejumlah uang. Oleh karenanya lapisan atas yang menjalankan dan menguasai bantuan dana kemudian mengadopsi sistem ‘berbagi uang, berbagi ruang’ dalam menjalankan kegiatan pemberdayaan. Di satu sisi, program kegiatan berusaha adil memberikan kemanfaatan pada seluruh masyarakat, di sisi yang lain, bantuan dana dipandang sebagai insentif material kepada masyarakat dan pengurus atas partisipasi yang dilakukannya. Akibat dari keseluruhan proses yang berjalan ini, memunculkan trend alokasi kegiatan dan lokasi pembangunan yang seringkali saling bertabrakan kepentingan, disertai kecenderungan biaya kegiatan yang lebih mahal (korupsi), dan akhirnya mempersulit penguatan proses demokratisasi.
{"title":"Analisis Strata Sosial-Ekonomi-Politik Dalam Program Pembangunan Berbasis Masyarakat (PNPM Respek) di Kabupaten Merauke","authors":"P. Yuniarto","doi":"10.14203/JMB.V20I3.722","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/JMB.V20I3.722","url":null,"abstract":"Strata (sosial/ekonomi) masyarakat dan hubungan antar strata dalam kegiatan pemberdayaan berbasis komunitas (Community Driven Development/CDD) seperti contoh dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) memberikan pembelajaran penting tentang bagaimana: 1) Menentukan tatacara dan keseimbangan dalam mengambil keputusan publik; 2) Membuat kita awas terhadap ketergantungan, kekuasaan dan sumber-sumber dari kekuasaan; dan 3) Menentukan mudah dan sulitnya proses yang demokratis atau keberpihakan ke bawah. Hasil penelitian pada kelompok masyarakat suku asli Papua di Kabupaten Merauke (Suku Yei dan Suku Marind-anim) memperlihatkan bahwa strata sosial pada lapisan masyarakat paling atas (elit kampung/marga mayoritas/warga yang cakap) sangat mendominasi jalannya program—dari tingkat perencanaan hingga implementasi program—dan menjadi perwakilan harapan-harapan yang muncul dari kelompok lapisan bawah (marga kecil/kelompok perempuan/non elit). Lapisan masyarakat bawah yang (masih) biasa berburu dan meramu dan berorientasi hidup adalah ‘panen setiap hari’ (kemudahan akses makanan dari alam) tidak mudah (tidak rela) ikut berpartisipasi memberikan usulan atau kerja, kecuali di imingi imbalan sejumlah uang. Oleh karenanya lapisan atas yang menjalankan dan menguasai bantuan dana kemudian mengadopsi sistem ‘berbagi uang, berbagi ruang’ dalam menjalankan kegiatan pemberdayaan. Di satu sisi, program kegiatan berusaha adil memberikan kemanfaatan pada seluruh masyarakat, di sisi yang lain, bantuan dana dipandang sebagai insentif material kepada masyarakat dan pengurus atas partisipasi yang dilakukannya. Akibat dari keseluruhan proses yang berjalan ini, memunculkan trend alokasi kegiatan dan lokasi pembangunan yang seringkali saling bertabrakan kepentingan, disertai kecenderungan biaya kegiatan yang lebih mahal (korupsi), dan akhirnya mempersulit penguatan proses demokratisasi.","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"8 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"82047085","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pembangunan pada era otonomi khusus di Papua bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua dan sumber daya yang digunakan dalam pembangunan ini difokuskan pada sumber daya yang berasal dari luar Papua, terutama pada dana otonomi khusus dari pemerintah pusat. Sumber daya yang berasal dari dalam Papua sendiri, seperti misalkan modal sosial dan budaya orang asli Papua, cenderung diabaikan. Setelah sekian lama pelaksanaannya, pembangunan di sana masih belum banyak meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua terutama yang berada di wilayah pegunungan tengah di Papua. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan studi kasus dan menggunakan metode kualitatif (analisa deskriptif). Studi dilakukan pada orang asli Papua di Distrik Tiom, Kabupaten Lanny Jaya, salah satu kabupaten di daerah pegunungan tengah. Hasil studi menunjukkan bahwa mulai ada perubahan sosial, budaya dan ekonomi orang asli Papua di Tiom setelah 9 tahun pembangunan yang intensif di sana atau sejak pemekaran Kabupaten Lanny Jaya dari Kabupaten Jayawijaya pada tahun 2008 tetapi mereka belum berada pada tingkat peradaban yang setara dengan kelompok masyarakat pendatang di sana.
{"title":"KEHIDUPAN ORANG ASLI PAPUA DI DISTRIK TIOM SETELAH PEMEKARAN KABUPATEN LANNY JAYA","authors":"Y. Sitorus","doi":"10.14203/JMB.V20I3.698","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/JMB.V20I3.698","url":null,"abstract":"Pembangunan pada era otonomi khusus di Papua bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua dan sumber daya yang digunakan dalam pembangunan ini difokuskan pada sumber daya yang berasal dari luar Papua, terutama pada dana otonomi khusus dari pemerintah pusat. Sumber daya yang berasal dari dalam Papua sendiri, seperti misalkan modal sosial dan budaya orang asli Papua, cenderung diabaikan. Setelah sekian lama pelaksanaannya, pembangunan di sana masih belum banyak meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua terutama yang berada di wilayah pegunungan tengah di Papua. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan studi kasus dan menggunakan metode kualitatif (analisa deskriptif). Studi dilakukan pada orang asli Papua di Distrik Tiom, Kabupaten Lanny Jaya, salah satu kabupaten di daerah pegunungan tengah. Hasil studi menunjukkan bahwa mulai ada perubahan sosial, budaya dan ekonomi orang asli Papua di Tiom setelah 9 tahun pembangunan yang intensif di sana atau sejak pemekaran Kabupaten Lanny Jaya dari Kabupaten Jayawijaya pada tahun 2008 tetapi mereka belum berada pada tingkat peradaban yang setara dengan kelompok masyarakat pendatang di sana.","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"267 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"79815011","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
This paper examines people from the bottom in responding new policies on nature conservation. They create their own territory based on the memories about their ancestors. The goal to preserve the nature and culture is even to be more integrated to the market exchanges. The research is conducted in Raja Ampat. A new kabupaten that defines their entire area as a protected place from natural exploitation. This approach is different from the previous treatment to nature of Raja Ampat. To earn cash means to destroy the forest. Rather, through ecotourism, the project expects to give a hope to the people. While preserving the nature, people even can get economic advantage. This paper is based on an ethnographic account. I hiked to the several important spots that also become the place of local people's ancestor. The aim was to get to know people's interaction with the nature and animals. Also, their social relations with other family clan and international NGO's.
{"title":"The Invention of Territories and Hopes in the Era of Ecotourism in West Papua","authors":"H. Kadir","doi":"10.14203/JMB.V20I3.758","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/JMB.V20I3.758","url":null,"abstract":"This paper examines people from the bottom in responding new policies on nature conservation. They create their own territory based on the memories about their ancestors. The goal to preserve the nature and culture is even to be more integrated to the market exchanges. The research is conducted in Raja Ampat. A new kabupaten that defines their entire area as a protected place from natural exploitation. This approach is different from the previous treatment to nature of Raja Ampat. To earn cash means to destroy the forest. Rather, through ecotourism, the project expects to give a hope to the people. While preserving the nature, people even can get economic advantage. This paper is based on an ethnographic account. I hiked to the several important spots that also become the place of local people's ancestor. The aim was to get to know people's interaction with the nature and animals. Also, their social relations with other family clan and international NGO's.","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"14 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"75292790","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
In sociolinguistic perspective, the language use could be studied in various domains. One of them is religious domain. The use of language in religious practice, in this case Protestant Christianity in areas where the research location is relatively uniform from one place to another. Bahasa Indonesia (BI) is the dominant language in all liturgy elements. In six areas studied Indonesian hegemony is very strong, not only on state activities and education, but also on religious activities, especially Protestant Christianity. Meanwhile, local languages or local languages fill only a few liturgical elements within a limited scope, ie at 'sermons' and 'chants and choirs'. In some cases, however, the use of local languages can occur during most of these religious occasions, for example in the ceremony of thanksgiving (new gratefulness of the rice). This paper aims to explain the language use in Christianity, especially in some churches in some border areas of Indonesia namely in Alor (East Nusa Tenggara), South Sorong (West Papua), Halmahera (North Maluku), Nunukan-Sebatik (North Kalimantan), Enggano (Bengkulu), and Banda Aceh (Aceh). The data provided is based on the field researches during 2005 – 2014 (for the areas of Alor, South Sorong, Halmahera, dan Nunukan-Sebatik) and it has been enriched by related current secondary data. Meanwhile, on Enggano and Banda Aceh use respectively the data collected in 2015 and 2016. Dalam perspektif sosiolinguistik, pemakaian bahasa dapat dikaji dalam berbagai ranah. Salah satu ranah di antaranya yaitu agama. Pemakaian bahasa dalam praktik keagamaan, dalam hal ini Kristen Protestan di daerah-daerah yang menjadi lokasi penelitian relatif seragam dari satu tempat ke tempat yang lain. Bahasa Indonesia (BI) merupakan bahasa dominan dalam semua elemen liturgy. Pada enam daerah yang diteliti hegemoni bahasa Indonesia sangatlah kuat, tidak hanya pada kegiatan-kegiatan kenegaraan dan pendidikan, tetapi juga pada kegiatan-kegiatan keagamaan, khususnya agama Kristen Protestan. Sementara itu, bahasa daerah atau bahasa lokal hanya mengisi beberapa elemen liturgi saja dalam lingkup terbatas, yakni pada saat ‘khotbah’ dan ‘nyanyian dan koor’. Kendatipun demikian, pada beberapa kasus tertentu pemakaian bahasa lokal dapat terjadi pada hampir sepanjang acara keagamaan tadi, misalnya dalam acara ibadah pengucapan syukur (syukuran padi baru). Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan pemakaian bahasa dalam liturgi Kristen khususnya pada beberapa gereja di wilayah perbatasan Indonesia yakni di Alor (Provinsi Nusa Tenggara Timur), Sorong Selatan (Provinsi Papua Barat), Halmahera (Provinsi Maluku Utara), Nunukan-Sebatik (Provinsi Kalimantan Utara), Enggano (Provinsi Bengkulu) dan Banda Aceh (Provinsi Aceh). Data yang digunakan didasarkan pada penelitian yang dilaksanakan selang tahun 2005 – 2014 (untuk wilayah Alor, Sorong Selatan, Halmahera, dan Nunukan-Sebatik) dan dilengkapi juga dengan data sekunder terkini. Sementara itu wilaya
从社会语言学的角度来看,语言使用可以从多个领域进行研究。其中之一是宗教领域。语言在宗教实践中的使用,在这个例子中,新教基督教在研究地点相对统一的地区,从一个地方到另一个。印尼语(BI)是所有礼仪元素的主导语言。在研究的六个领域中,印度尼西亚的霸权非常强大,不仅在国家活动和教育方面,而且在宗教活动方面,特别是基督教新教方面。与此同时,当地语言或地方语言只在有限的范围内填补了少数礼仪元素,即“讲道”和“圣歌”。然而,在某些情况下,在大多数这些宗教场合中,例如在感恩仪式(对大米的新感激)中,可以使用当地语言。本文旨在解释基督教中的语言使用,特别是在印度尼西亚一些边境地区的一些教堂,即Alor(东努沙登加拉),South Sorong(西巴布亚),Halmahera(北马鲁古),Nunukan-Sebatik(北加里曼丹),Enggano (Bengkulu)和Banda Aceh(亚齐)。所提供的数据是基于2005年至2014年期间的实地研究(对Alor, South Sorong, Halmahera, dan Nunukan-Sebatik地区),并通过相关的当前二手数据进行了丰富。同时,恩加诺和班达亚齐分别使用了2015年和2016年收集的数据。Dalam透视社会语言学,pemakaian bahasa dapat dikaji Dalam berbagai ranah。萨拉赫·萨图·阿加马。Pemakaian bahasa dalam praktik keagamaan, dalam hal ini Kristen Protestan di daerah-daerah yang menjadi lokasi penelitian亲戚seragam dari satu tempat ke tempat yang lain。印度尼西亚语(BI) merupakan Bahasa dominan dalam semua元素礼拜仪式。Pada enam daerah yang diteliti heongoni bahasa Indonesia sangatlah kuat, tidak hanya Pada kegiatan keegaraan kenegaraan dan pendidikan, tetapi juga Pada kegiatan kegiatan keagaman, khususnya agama Kristen Protestan。Sementara itu, bahasa daerah atau bahasa local handya mengisi beberapa元素liturgi saja dalam lingkup terbatas, yakni pada saat ' khotbah ' dan ' nyanyian dan koor '。Kendatipun demikian, pada beberapa kasus tertentu pemakaian bahasa本地的dapat terjadi padhair, sepanjang acara keagamaan tadi, misalnya dalam acara ibadah pengucapan syukur (syukuran padi baru)。Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bahasa dalam liturgi Kristen khususnya pada beberaian gereja di wilayah perbatasan印度尼西亚yakni di Alor(省努沙登加拉Timur), Sorong Selatan(省巴布亚巴拉特),Halmahera(省马鲁古乌塔拉),Nunukan-Sebatik(省加里曼丹乌塔拉),Enggano(省本库鲁)和Banda Aceh(省亚齐)。数据yang digunakan didasarkan padpenelitian yang dilaksanakan selang tahun 2005 - 2014 (untuk wilayah Alor, Sorong Selatan, Halmahera, dan Nunukan-Sebatik) dan dilengkapi juga dengan数据sekkini。Sementara itu wilayah Enggano dan Aceh masing-masing menggunakan数据2015 - 2016。
{"title":"LANGUAGE AND RELIGION: THE USE OF LANGUAGE IN CHRISTIAN LITURGY ON SOME BORDER AREAS OF INDONESIA","authors":"F. Tondo","doi":"10.14203/JMB.V20I3.593","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/JMB.V20I3.593","url":null,"abstract":"In sociolinguistic perspective, the language use could be studied in various domains. One of them is religious domain. The use of language in religious practice, in this case Protestant Christianity in areas where the research location is relatively uniform from one place to another. Bahasa Indonesia (BI) is the dominant language in all liturgy elements. In six areas studied Indonesian hegemony is very strong, not only on state activities and education, but also on religious activities, especially Protestant Christianity. Meanwhile, local languages or local languages fill only a few liturgical elements within a limited scope, ie at 'sermons' and 'chants and choirs'. In some cases, however, the use of local languages can occur during most of these religious occasions, for example in the ceremony of thanksgiving (new gratefulness of the rice). \u0000This paper aims to explain the language use in Christianity, especially in some churches in some border areas of Indonesia namely in Alor (East Nusa Tenggara), South Sorong (West Papua), Halmahera (North Maluku), Nunukan-Sebatik (North Kalimantan), Enggano (Bengkulu), and Banda Aceh (Aceh). The data provided is based on the field researches during 2005 – 2014 (for the areas of Alor, South Sorong, Halmahera, dan Nunukan-Sebatik) and it has been enriched by related current secondary data. Meanwhile, on Enggano and Banda Aceh use respectively the data collected in 2015 and 2016. \u0000 \u0000 \u0000Dalam perspektif sosiolinguistik, pemakaian bahasa dapat dikaji dalam berbagai ranah. Salah satu ranah di antaranya yaitu agama. Pemakaian bahasa dalam praktik keagamaan, dalam hal ini Kristen Protestan di daerah-daerah yang menjadi lokasi penelitian relatif seragam dari satu tempat ke tempat yang lain. Bahasa Indonesia (BI) merupakan bahasa dominan dalam semua elemen liturgy. Pada enam daerah yang diteliti hegemoni bahasa Indonesia sangatlah kuat, tidak hanya pada kegiatan-kegiatan kenegaraan dan pendidikan, tetapi juga pada kegiatan-kegiatan keagamaan, khususnya agama Kristen Protestan. Sementara itu, bahasa daerah atau bahasa lokal hanya mengisi beberapa elemen liturgi saja dalam lingkup terbatas, yakni pada saat ‘khotbah’ dan ‘nyanyian dan koor’. Kendatipun demikian, pada beberapa kasus tertentu pemakaian bahasa lokal dapat terjadi pada hampir sepanjang acara keagamaan tadi, misalnya dalam acara ibadah pengucapan syukur (syukuran padi baru). \u0000Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan pemakaian bahasa dalam liturgi Kristen khususnya pada beberapa gereja di wilayah perbatasan Indonesia yakni di Alor (Provinsi Nusa Tenggara Timur), Sorong Selatan (Provinsi Papua Barat), Halmahera (Provinsi Maluku Utara), Nunukan-Sebatik (Provinsi Kalimantan Utara), Enggano (Provinsi Bengkulu) dan Banda Aceh (Provinsi Aceh). Data yang digunakan didasarkan pada penelitian yang dilaksanakan selang tahun 2005 – 2014 (untuk wilayah Alor, Sorong Selatan, Halmahera, dan Nunukan-Sebatik) dan dilengkapi juga dengan data sekunder terkini. Sementara itu wilaya","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"10 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"75634999","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Konstruksi realitas masyarakat Papua dalam media menghadirkan sebuah realitas baru di tengah masyarakat yang dianggap sebagai realitas sebenaranya. Realitas media tersebut tidak sepenuhnya relevan dengan realitas sesungguhnya yang terjadi pada masyarakat Papua. Framing setiap media tentu berbeda meskipun memberitakan permasalahan yang sama, yakni mengenai otonomi khusus di Papua Barat. Menggunakan metode deskriptif kualitatif, tulisan ini berupaya untuk memaparkan alasan dibalik konstruksi realitas yang dilakukan oleh media serta melakukan analisis terhadap framing yang dilakukan oleh media lokal Radar Sorong dan Antara Papua Barat terhadap pemberitaan otonomi khusus. Teori konstruksi sosial dan metode analisis framing milik Robert N. Entman menjadi pisau analisis dalam tulisan ini. Hasilnya menunjukkan bahwa framing Radar Sorong menekankan otonomi khusus di Papua Barat perlu dievaluasi, sementara itu berbanding terbalik dengan framing Antara Papua Barat yang justu mendukung penerapan otonomi khusus, meskipun dengan penekanan pada skema baru. Selain itu, terjadinya konstruksi realitas Papua dalam media serta framing terhadap pemberitaan otonomi khusus terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu kepentingan ekonomi dan politik, adanya hegemoni media dan rezim representasi juga pengaruh strukturasi dalam sebuah institusi media.
巴布亚媒体的现实结构为一个被认为是真实的社会带来了新的现实。这种媒体现实与巴布亚人的真实现实并不完全相关。每一种媒体的框架当然是不同的,尽管它宣扬了一个共同的问题,即西巴布亚的特殊自治。用描述性质的方法,这篇文章试图阐述媒体构建现实背后的原因,并分析当地媒体梭朗(真雷达Sorong)和西巴布亚(巴布亚西)之间对新闻自主的特别描述的分析。罗伯特·恩特曼(Robert N. Entman)的社会建设理论和框架分析方法成为了这篇文章中的一把刀。结果表明,雷达索龙框架在西巴布亚特别强调自主权之间的需要评估和框架,同时成反比西巴布亚的同时支持应用的自主权,即使有特别强调新方案。此外,建筑发生现实巴布亚以及媒体对宣扬特别自治的框架中发生,因为某些因素的影响,这是经济和政治利益,代表政权也影响媒体霸权strukturasi中一个媒体机构。
{"title":"PAPUA DALAM MEDIA (Analisis Framing Media Lokal Radar Sorong dan Antara Papua Barat Terhadap Pemberitaan Otonomi Khusus di Papua Barat)","authors":"Efa Rubawati","doi":"10.14203/JMB.V20I3.671","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/JMB.V20I3.671","url":null,"abstract":"Konstruksi realitas masyarakat Papua dalam media menghadirkan sebuah realitas baru di tengah masyarakat yang dianggap sebagai realitas sebenaranya. Realitas media tersebut tidak sepenuhnya relevan dengan realitas sesungguhnya yang terjadi pada masyarakat Papua. Framing setiap media tentu berbeda meskipun memberitakan permasalahan yang sama, yakni mengenai otonomi khusus di Papua Barat. Menggunakan metode deskriptif kualitatif, tulisan ini berupaya untuk memaparkan alasan dibalik konstruksi realitas yang dilakukan oleh media serta melakukan analisis terhadap framing yang dilakukan oleh media lokal Radar Sorong dan Antara Papua Barat terhadap pemberitaan otonomi khusus. Teori konstruksi sosial dan metode analisis framing milik Robert N. Entman menjadi pisau analisis dalam tulisan ini. Hasilnya menunjukkan bahwa framing Radar Sorong menekankan otonomi khusus di Papua Barat perlu dievaluasi, sementara itu berbanding terbalik dengan framing Antara Papua Barat yang justu mendukung penerapan otonomi khusus, meskipun dengan penekanan pada skema baru. Selain itu, terjadinya konstruksi realitas Papua dalam media serta framing terhadap pemberitaan otonomi khusus terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu kepentingan ekonomi dan politik, adanya hegemoni media dan rezim representasi juga pengaruh strukturasi dalam sebuah institusi media.","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"108 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-03-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"76368529","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Jumlah perempuan yang menjadi anggota parlemen pusat dan daerah selalu tidak representatif sejak Republik Indonesia berdaulat. Bahkan dengan diberlakukannya sistem kuota untuk perempuan dalam undang-undang politik agar ketimpangan gender di parlemen bisa berkurang, tetap saja secara kuantitas anggota parlemen perempuan tidak proporsional dibandingkan dengan jumlah anggota parlemen laki-laki. Penyebabnya bukan karena melulu terletak pada faktor internal perempuan sendiri, tetapi ada pada lembaga dan proses politik yang cenderung masih menonjolkan ciri-ciri politik yang maskulin dan patriarkhis. Selama sistem kuota tidak mengandung sanksi tegas, hanya sekedar himbauan seperti yang tertera pada undang-undang Pemilu, jumlah perempuan di parlemen tidak akan dapat bertambah secara berarti. Meski demikian, sistem kuota masih menjadi persoalan, anggota parlemen perempuan yang jumlahnya sedikit itu perlu bekerja sama untuk menelorkan kebijaksanaan yang pro-perempuan dan rakyat kebanyakan, karena kinerja mereka akan memperoleh dukungan yang kian luas dari masyarakat atas pentingnya posisi perempuan di parlemen.
{"title":"REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM LEMBAGA POLITIK DI INDONESIA","authors":"B. Rajab","doi":"10.14203/JMB.V20I2.626","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/JMB.V20I2.626","url":null,"abstract":"Jumlah perempuan yang menjadi anggota parlemen pusat dan daerah selalu tidak representatif sejak Republik Indonesia berdaulat. Bahkan dengan diberlakukannya sistem kuota untuk perempuan dalam undang-undang politik agar ketimpangan gender di parlemen bisa berkurang, tetap saja secara kuantitas anggota parlemen perempuan tidak proporsional dibandingkan dengan jumlah anggota parlemen laki-laki. Penyebabnya bukan karena melulu terletak pada faktor internal perempuan sendiri, tetapi ada pada lembaga dan proses politik yang cenderung masih menonjolkan ciri-ciri politik yang maskulin dan patriarkhis. Selama sistem kuota tidak mengandung sanksi tegas, hanya sekedar himbauan seperti yang tertera pada undang-undang Pemilu, jumlah perempuan di parlemen tidak akan dapat bertambah secara berarti. Meski demikian, sistem kuota masih menjadi persoalan, anggota parlemen perempuan yang jumlahnya sedikit itu perlu bekerja sama untuk menelorkan kebijaksanaan yang pro-perempuan dan rakyat kebanyakan, karena kinerja mereka akan memperoleh dukungan yang kian luas dari masyarakat atas pentingnya posisi perempuan di parlemen.","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"6 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-10-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"84656238","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Technology has penetrated into the transportation services sector in Indonesia. The existence of application-based ojek is a manifestation of technology adaptation into the transportation services sector. Its emergence replacing the ojek pangkalan’s existence as an alternative transportation. For members of ojek pangkalan who are able to adapt, they choose to become ojek online’s driver, while those who do not, choose to survive. However, the inability to adapt is getting worse with weakening the quality of their social capital. Ojek pangkalan’s entity as a community currently has a negative image in society because of their poor quality management system. This paper exploring community-based empowerment of ojek pangkalan and their economic resilience. This paper was conducted using qualitative approach. Data analyzed through the three-stage data encryption technique: open code, axial code and selective code. Arguments are formulated through analysis using social capital theory as a main theoretical framework. The opening of this article placing ojek pangkalan’s entity into the macro domain of urban studies. Ojek pangkalan will be drawn into the context discussion of a community. The main part of this article is exploring the social capital that Ojek Pangkalan Salemba have, which is the process of the establishment and how its role in making of economic resilience. Besides that, for the closing part, this article describe the constellation of ojek pangkalan’s existence in context of community-based empowerment.
{"title":"OJEK PANGKALAN VERSUS OJEK ONLINE (PEMBERDAYAAN BERBASIS KOMUNITAS DAN KETAHANAN EKONOMI OJEK PANGKALAN)","authors":"Rusydan Fathy","doi":"10.14203/JMB.V20I2.635","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/JMB.V20I2.635","url":null,"abstract":"Technology has penetrated into the transportation services sector in Indonesia. The existence of application-based ojek is a manifestation of technology adaptation into the transportation services sector. Its emergence replacing the ojek pangkalan’s existence as an alternative transportation. For members of ojek pangkalan who are able to adapt, they choose to become ojek online’s driver, while those who do not, choose to survive. However, the inability to adapt is getting worse with weakening the quality of their social capital. Ojek pangkalan’s entity as a community currently has a negative image in society because of their poor quality management system. This paper exploring community-based empowerment of ojek pangkalan and their economic resilience. This paper was conducted using qualitative approach. Data analyzed through the three-stage data encryption technique: open code, axial code and selective code. Arguments are formulated through analysis using social capital theory as a main theoretical framework. The opening of this article placing ojek pangkalan’s entity into the macro domain of urban studies. Ojek pangkalan will be drawn into the context discussion of a community. The main part of this article is exploring the social capital that Ojek Pangkalan Salemba have, which is the process of the establishment and how its role in making of economic resilience. Besides that, for the closing part, this article describe the constellation of ojek pangkalan’s existence in context of community-based empowerment.","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"34 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-10-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"75084563","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan status dan peran perempuan Jawa dalam teks sastra Indonesia dari masa penjajahan, masa kemerdekaan, masa sekarang dan perempuan Jawa dalam dunia nyata. Permasalahan yang akan dijawab adalah, bagaimana status dan peran perempuan Jawa dalam teks sastra dan dalam dunia nyata?. Adakah perubahan yang signifikan dari masa ke masa?. Adakah perbedaan antara status dan peran perempuan Jawa dalam teks sastra dan dalam dunia nyata?. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan survai. Deskriptif untuk perempuan Jawa dalam teks sastra. Survai untuk perempuan Jawa di dunia nyata. Teknik yang digunakan adalah teknik pustaka dan angket. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa status dan peran perempuan Jawa dalam teks sastra dan dalam dunia nyata mengalami perubahan dari masa ke masa. Perubahan tersebut meliputi pola pikir dan pola hidup. Dalam teks sastra ada tokoh bu Bei dalam Canting yang buta huruf dan bekerja di rumah, dan tokoh Dr. Larasati yang menamatkan S3 dan bekerja sebagai kepala kantor pemerintah. Keduanya memiliki status yang sama, yakni sebagai isteri, tetapi mempunyai peran yang tidak sama. Penelitian juga menyimpulkan tidak ada perbedaan antara status dan peran perempuan Jawa dalam teks sastra dan dalam dunia nyata karena sastra merupakan cermin masyarakat yang melingkupinya. This research aims to describe the status and roles of Javanese women in Indonesian literary texts from the colonial era, independence era, today’s era, and Javanese women in reality. The problems that need to be answered are the status and roles of Javanese women in Indonesian literary texts and in the reality, the significant change from an era to the others, and the differences between the status and roles of Javanese women in Indonesian literary texts and in the reality. The methods used in this research are descriptive method and survey. The descriptive method is for the Javanese women in literary texts, while the survey is for the Javanese women in the reality. The techniques used are bibliography technic and questionnaire. From the research result, it can be concluded that the status and roles of Javanese women in Indonesian literary texts and in the reality change from era to era. The changes consist of mindset and lifestyle. In literary text, there is Bu Bei from Canting who is an illiterate housewife and Dr. Larasati who has doctorate degree who works as the head of a government office. Both have the same status, which is as a wife, but they have different roles. This research’s conclusion is that there is no difference between the status and roles of Javanese women in Indonesian literary texts and in the reality because the literary texts are the reflection of the society
这项研究旨在描述印尼文学中爪哇妇女在殖民、自由、现在和现实世界中爪哇妇女的地位和作用。要回答的问题是,爪哇妇女在文学文本和现实世界中的地位和作用如何?过去有重大变化吗?爪哇妇女在文学和现实世界中的地位和角色有区别吗?本研究采用的方法是描述性和survai。文学中对爪哇妇女的描述。现实生活中的爪哇妇女的Survai。使用的技术是库和升降机技术。研究表明,爪哇妇女在文学文本和现实世界中的地位和作用随着时间的推移而变化。这些变化包括心态和生活模式。文学文本中有不识字和在家工作的bu Bei人物,还有终结S3并担任政府办公室主任的Larasati博士。他们都有相同的地位,妻子,但角色不同。研究还得出结论,爪哇文学和现实世界中的地位和角色之间没有区别,因为文学是围绕爪哇文化的社会的镜子。这项研究允许描述印尼殖民地时代、独立时代、今天和现实时代的日本妇女的地位和行为。problems》这种需要是to be answered The status(《文学》和印尼Javanese women in roles”和在《浓厚,改变现实,从一个时代到《地位和其他人之间的分歧,roles印尼Javanese women in(《文学》著作百科全书》真人秀。这项研究中使用的方法正在描述方法和调查。对现实中日本妇女的描述方法是对日本妇女的描述。使用的技术是圣经技术和提问。从研究结果来看,这可能会得出这样的结论:在印度尼西亚的文学文献中,在现实生活中不断变化的日本妇女的地位和行为。思想和生活方式的变化。从字面上讲,有一个由他的妻子和妻子拉腊萨蒂博士执业的政府部门负责人。他们都有相同的地位,这就像妻子一样,但他们有不同的角色。这项研究的结论是,在印度尼西亚的文学文献和现实中,日本妇女的地位和行为没有什么区别,因为文字文本是社会的反映
{"title":"STATUS DAN PERAN PEREMPUAN JAWA DALAM TEKS SASTRA INDONESIA DAN DUNIA NYATA The Status and the Roles of Javanese Women in Indonesian Literary Texts and in the Reality","authors":"E. Ismawati","doi":"10.14203/jmb.v20i2.612","DOIUrl":"https://doi.org/10.14203/jmb.v20i2.612","url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan status dan peran perempuan Jawa dalam teks sastra Indonesia dari masa penjajahan, masa kemerdekaan, masa sekarang dan perempuan Jawa dalam dunia nyata. Permasalahan yang akan dijawab adalah, bagaimana status dan peran perempuan Jawa dalam teks sastra dan dalam dunia nyata?. Adakah perubahan yang signifikan dari masa ke masa?. Adakah perbedaan antara status dan peran perempuan Jawa dalam teks sastra dan dalam dunia nyata?. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan survai. Deskriptif untuk perempuan Jawa dalam teks sastra. Survai untuk perempuan Jawa di dunia nyata. Teknik yang digunakan adalah teknik pustaka dan angket. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa status dan peran perempuan Jawa dalam teks sastra dan dalam dunia nyata mengalami perubahan dari masa ke masa. Perubahan tersebut meliputi pola pikir dan pola hidup. Dalam teks sastra ada tokoh bu Bei dalam Canting yang buta huruf dan bekerja di rumah, dan tokoh Dr. Larasati yang menamatkan S3 dan bekerja sebagai kepala kantor pemerintah. Keduanya memiliki status yang sama, yakni sebagai isteri, tetapi mempunyai peran yang tidak sama. Penelitian juga menyimpulkan tidak ada perbedaan antara status dan peran perempuan Jawa dalam teks sastra dan dalam dunia nyata karena sastra merupakan cermin masyarakat yang melingkupinya. \u0000This research aims to describe the status and roles of Javanese women in Indonesian literary texts from the colonial era, independence era, today’s era, and Javanese women in reality. The problems that need to be answered are the status and roles of Javanese women in Indonesian literary texts and in the reality, the significant change from an era to the others, and the differences between the status and roles of Javanese women in Indonesian literary texts and in the reality. The methods used in this research are descriptive method and survey. The descriptive method is for the Javanese women in literary texts, while the survey is for the Javanese women in the reality. The techniques used are bibliography technic and questionnaire. From the research result, it can be concluded that the status and roles of Javanese women in Indonesian literary texts and in the reality change from era to era. The changes consist of mindset and lifestyle. In literary text, there is Bu Bei from Canting who is an illiterate housewife and Dr. Larasati who has doctorate degree who works as the head of a government office. Both have the same status, which is as a wife, but they have different roles. This research’s conclusion is that there is no difference between the status and roles of Javanese women in Indonesian literary texts and in the reality because the literary texts are the reflection of the society","PeriodicalId":32703,"journal":{"name":"Jurnal Masyarakat dan Budaya","volume":"31 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-10-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"87205222","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}