Pub Date : 2021-01-04DOI: 10.14710/POLITIKA.12.1.2021.68-87
Romel Masykuri, M. F. S. Ramadlan
Politik pelabelan merefleksikan dan mengekspresikan polarisasi dan kontestasi di antara kelompok Islam dalam politik. Label politik menjadi instrumen dan strategi untuk membangun citra dan persepsi dalam kontestasi dan konstelasi politik di Indonesia. Artikel ini menjelaskan bagaimana kontestasi di antara kelompok Islam termanifestasi melalui label untuk merebut klaim dan legitimasi politik. Metode process-tracing dan analisis konten digunakan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan label di antara kelompok Islam. Selama 2014-2019, ada dua isu penting terkait politik pelabelan. Pertama, label berhubungan dengan konteks, hubungan kausalitas, dan tujuan atau konsekuensi dari pelabelan. Label merefleksikan pembingkaian tertentu dan pembeda antara kelompok. Kedua, segregasi dan polarisasi politik di antara kelompok-kelompok Islam selama 2014-2019 di Indonesia termanifestasi melalui konstruksi dan produksi berbagai label. Melalui label, sentimen agama dan perbedaan antar kelompok Islam menjadi instrumen untuk mobilisasi atau menggerus dukungan politik lawan dalam politik elektoral.
{"title":"Analisis Manifestasi Segragasi Politik Pelabelan dan Polarisasi di antara Kelompok Islam Sepanjang 2014-2019","authors":"Romel Masykuri, M. F. S. Ramadlan","doi":"10.14710/POLITIKA.12.1.2021.68-87","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/POLITIKA.12.1.2021.68-87","url":null,"abstract":"Politik pelabelan merefleksikan dan mengekspresikan polarisasi dan kontestasi di antara kelompok Islam dalam politik. Label politik menjadi instrumen dan strategi untuk membangun citra dan persepsi dalam kontestasi dan konstelasi politik di Indonesia. Artikel ini menjelaskan bagaimana kontestasi di antara kelompok Islam termanifestasi melalui label untuk merebut klaim dan legitimasi politik. Metode process-tracing dan analisis konten digunakan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan label di antara kelompok Islam. Selama 2014-2019, ada dua isu penting terkait politik pelabelan. Pertama, label berhubungan dengan konteks, hubungan kausalitas, dan tujuan atau konsekuensi dari pelabelan. Label merefleksikan pembingkaian tertentu dan pembeda antara kelompok. Kedua, segregasi dan polarisasi politik di antara kelompok-kelompok Islam selama 2014-2019 di Indonesia termanifestasi melalui konstruksi dan produksi berbagai label. Melalui label, sentimen agama dan perbedaan antar kelompok Islam menjadi instrumen untuk mobilisasi atau menggerus dukungan politik lawan dalam politik elektoral.","PeriodicalId":32705,"journal":{"name":"Politika Jurnal Ilmu Politik","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-01-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45030800","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-01-04DOI: 10.14710/POLITIKA.12.2.2021.310-332
R. Sinaga, Adam Adam
Studi ini beranjak dari fenomena meningkatnya jumlah calon legislatif (caleg) etnis Tionghoa di tiga pemilu (2004, 2009, 2014) pada konteks pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Utara. Permasalahan dalam studi ini terjadi persaingan yang semakin kuat antara sesama caleg etnis Tionghoa pada daerah pemilihan (dapil) sumatra utara (Sumut) 1 yang menimbulkan munculnya pertanyaan penelitian dalam studi ini mengapa caleg etnis Tionghoa memilih maju di dapil Sumut 1 dan bagaimana mobilisasi suara dilakukan?. Untuk menemukan jawaban terhadap penelitian ini maka studi ini menetapkan penelitian kualitatif dengan metode pengumpulan data wawancara, studi pustaka dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menemukan temuan yang berbeda dari penelitian terdahulu yang menyebutkan kebangkitan semangat etnis di era pasca-Soeharto tidak terjadi di kota Medan secara spesifik pada lokasi studi ini. Temuan yang didapatkan terjadi fragmentasi politik di kalangan etnis Tionghoa yang dibentuk oleh Habitus yang ada pada area masing-masing. Tingginya persaingan sesama caleg etnis Tionghoa di dapil Sumut 1 sebagai pertanda bahwa demokrasi dengan sistem pemilu proporsional terbuka mengurangi peningkatan sentimen etnis dalam pemilu. Pada sisi lainnya area domisili dan mobilitas bisnis yang tinggi seperti Kota Medan dianggap sebagai dapil yang bergengsi untuk mengukur kemampuan keterampilan politik di pemilu.
{"title":"Fragmentasi Politik dan Habitus: Kasus Persaingan Sesama Calon Legislatif Etnis Tionghoa di Tiga Pemilu","authors":"R. Sinaga, Adam Adam","doi":"10.14710/POLITIKA.12.2.2021.310-332","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/POLITIKA.12.2.2021.310-332","url":null,"abstract":"Studi ini beranjak dari fenomena meningkatnya jumlah calon legislatif (caleg) etnis Tionghoa di tiga pemilu (2004, 2009, 2014) pada konteks pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Utara. Permasalahan dalam studi ini terjadi persaingan yang semakin kuat antara sesama caleg etnis Tionghoa pada daerah pemilihan (dapil) sumatra utara (Sumut) 1 yang menimbulkan munculnya pertanyaan penelitian dalam studi ini mengapa caleg etnis Tionghoa memilih maju di dapil Sumut 1 dan bagaimana mobilisasi suara dilakukan?. Untuk menemukan jawaban terhadap penelitian ini maka studi ini menetapkan penelitian kualitatif dengan metode pengumpulan data wawancara, studi pustaka dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menemukan temuan yang berbeda dari penelitian terdahulu yang menyebutkan kebangkitan semangat etnis di era pasca-Soeharto tidak terjadi di kota Medan secara spesifik pada lokasi studi ini. Temuan yang didapatkan terjadi fragmentasi politik di kalangan etnis Tionghoa yang dibentuk oleh Habitus yang ada pada area masing-masing. Tingginya persaingan sesama caleg etnis Tionghoa di dapil Sumut 1 sebagai pertanda bahwa demokrasi dengan sistem pemilu proporsional terbuka mengurangi peningkatan sentimen etnis dalam pemilu. Pada sisi lainnya area domisili dan mobilitas bisnis yang tinggi seperti Kota Medan dianggap sebagai dapil yang bergengsi untuk mengukur kemampuan keterampilan politik di pemilu.","PeriodicalId":32705,"journal":{"name":"Politika Jurnal Ilmu Politik","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-01-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45541134","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-01-04DOI: 10.14710/POLITIKA.12.1.2021.158-173
Ernestus Lalong Teredi
Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang diselenggarakan pada tahun 1999 merupakan momentum bangkitnya perjuangan masyarakat adat di Indonesia. Kebangkitan ini, disebabkan krisis dari berbagai kebijakan sebelumnya yang mengabaikan kehidupan masyarakat adat. Dari lanskap genealogi tersebut, tulisan ini memeriksa bagaimana dinamika dan strategi gerakan politik keterlibatan masyarakat adat di Indonesia. Tulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis wacana. Temuan dalam tulisan ini, politik keterlibatan AMAN hadir karena krisis kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat adat. Mengisi krisis kebijakan tersebut, maka terdapat tiga pola politik keterlibatan AMAN yang dilakukan secara kontinu selama ini. Pertama keterlibatan akar rumput dengan tujuan menghidupkan kritisisme dan mengidentifikasi persoalan dalam kehidupan masyarakat adat. Kedua, ikut mengadvokasi kebijakan publik, yang bertujuan untuk menghadirkan kebijakan yang berpihak pada masyarakat adat. Ketiga, terlibat dalam pentas elektoral, dengan misi menghadirkan perwakilan yang paham persoalan dasar masyarakat adat. Dari keseluruhan temuan tersebut, benang merah yang dapat diambil yaitu pola gerakan politik keterlibatan AMAN berhasil membangun sikap kritis dan perlawanan dari komunitas masyarakat adat. Di sisi lain, gerakan politik keterlibatan AMAN mampu merumuskan kebijakan yang berpihak pada masyarakat adat serta mengutus kader ke jajaran politik struktural.
{"title":"Strategi Gerakan Politik Keterlibatan: Tiga Pola Kerja Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)","authors":"Ernestus Lalong Teredi","doi":"10.14710/POLITIKA.12.1.2021.158-173","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/POLITIKA.12.1.2021.158-173","url":null,"abstract":"Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang diselenggarakan pada tahun 1999 merupakan momentum bangkitnya perjuangan masyarakat adat di Indonesia. Kebangkitan ini, disebabkan krisis dari berbagai kebijakan sebelumnya yang mengabaikan kehidupan masyarakat adat. Dari lanskap genealogi tersebut, tulisan ini memeriksa bagaimana dinamika dan strategi gerakan politik keterlibatan masyarakat adat di Indonesia. Tulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis wacana. Temuan dalam tulisan ini, politik keterlibatan AMAN hadir karena krisis kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat adat. Mengisi krisis kebijakan tersebut, maka terdapat tiga pola politik keterlibatan AMAN yang dilakukan secara kontinu selama ini. Pertama keterlibatan akar rumput dengan tujuan menghidupkan kritisisme dan mengidentifikasi persoalan dalam kehidupan masyarakat adat. Kedua, ikut mengadvokasi kebijakan publik, yang bertujuan untuk menghadirkan kebijakan yang berpihak pada masyarakat adat. Ketiga, terlibat dalam pentas elektoral, dengan misi menghadirkan perwakilan yang paham persoalan dasar masyarakat adat. Dari keseluruhan temuan tersebut, benang merah yang dapat diambil yaitu pola gerakan politik keterlibatan AMAN berhasil membangun sikap kritis dan perlawanan dari komunitas masyarakat adat. Di sisi lain, gerakan politik keterlibatan AMAN mampu merumuskan kebijakan yang berpihak pada masyarakat adat serta mengutus kader ke jajaran politik struktural.","PeriodicalId":32705,"journal":{"name":"Politika Jurnal Ilmu Politik","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-01-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44881990","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2020-10-06DOI: 10.14710/POLITIKA.12.1.2021.128-143
M. Taufiqurrohman
Sejak dekade awal reformasi, sejumlah besar partai politik (parpol) telah didirikan. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia di era pasca-Soeharto tidak dapat menghalangi munculnya fragmentasi politik. Dengan mempertimbangkan sistem multi-partai ideal Sartori, pemerintah yang efisien harus mengadopsi pluralisme moderat di parlemen. Alih-alih mampu mendorong pluralisme moderat, hasil pemilihan umum (Pemilu) Indonesia setelah reformasi justru menghasilkan pluralisme ekstrem dengan partai-partai pemenang minoritas yang mengakibatkan pemerintahan yang lemah. Meskipun tidak ada ketentuan konstitusional tentang ambang batas pemilihan ini, dalam praktiknya, ambang batas pemilihan dipandang sebagai alternatif untuk menyederhanakan sistem multi-partai yang kompleks. Di sisi lain, penentuan jumlah persentase ambang batas pemilihan dilakukan tanpa metode dan argumen yang memadai. Dari Pemilu ke Pemilu persentase ambang batas pemilihan selalu berbeda-beda. Selain itu, para pembuat kebijakan hanya berpendapat bahwa semakin tinggi ambang pemilihan proses politik dan pengambilan keputusan akan lebih sederhana dan lebih efisien, tanpa dapat menjelaskan secara terukur angka ideal untuk setiap pemilihan dalam keadaan apa pun. Akibatnya, sistem ini dapat mengabaikan aspirasi pemilih yang suaranya sudah hangus tanpa sempat dihitung untuk konversi kursi DPR.
{"title":"Meninjau Penerapan Ambang Batas Pemilihan pada Sistem Pemilihan Umum Proporsional di Indonesia","authors":"M. Taufiqurrohman","doi":"10.14710/POLITIKA.12.1.2021.128-143","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/POLITIKA.12.1.2021.128-143","url":null,"abstract":"Sejak dekade awal reformasi, sejumlah besar partai politik (parpol) telah didirikan. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia di era pasca-Soeharto tidak dapat menghalangi munculnya fragmentasi politik. Dengan mempertimbangkan sistem multi-partai ideal Sartori, pemerintah yang efisien harus mengadopsi pluralisme moderat di parlemen. Alih-alih mampu mendorong pluralisme moderat, hasil pemilihan umum (Pemilu) Indonesia setelah reformasi justru menghasilkan pluralisme ekstrem dengan partai-partai pemenang minoritas yang mengakibatkan pemerintahan yang lemah. Meskipun tidak ada ketentuan konstitusional tentang ambang batas pemilihan ini, dalam praktiknya, ambang batas pemilihan dipandang sebagai alternatif untuk menyederhanakan sistem multi-partai yang kompleks. Di sisi lain, penentuan jumlah persentase ambang batas pemilihan dilakukan tanpa metode dan argumen yang memadai. Dari Pemilu ke Pemilu persentase ambang batas pemilihan selalu berbeda-beda. Selain itu, para pembuat kebijakan hanya berpendapat bahwa semakin tinggi ambang pemilihan proses politik dan pengambilan keputusan akan lebih sederhana dan lebih efisien, tanpa dapat menjelaskan secara terukur angka ideal untuk setiap pemilihan dalam keadaan apa pun. Akibatnya, sistem ini dapat mengabaikan aspirasi pemilih yang suaranya sudah hangus tanpa sempat dihitung untuk konversi kursi DPR.","PeriodicalId":32705,"journal":{"name":"Politika Jurnal Ilmu Politik","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-10-06","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49354425","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2020-09-03DOI: 10.14710/politika.11.2.2020.219-238
Saiful Mujani, Deni Irvani
Sebuah kebijakan publik akan efektif jika publik mendukungnya. Hal yang sama berlaku dalam konteks wabah Covid-19. Sejauh ini belum ada studi tentang kebijakan pemerintah Indonesia, khususnya terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan kepatuhan warga terhadapnya. Tulisan ini mengisi kekosongan tersebut dengan bertumpu pada hasil penelitian opini publik nasional tentang sikap dan perilaku publik terkait PSBB dan protokol kesehatan. Hasilnya adalah perilaku dan sikap pada kebijakan tersebut berhubungan dengan latar belakang perilaku politik, kepercayaan pada kemampuan pemerintah menangani Covid-19, status pekerjaan, pendapatan, pendidikan, agama, dan gender. PSBB tidak akan efektif karena jumlah warga yang harus bekerja di luar rumah sangat banyak. Sebaliknya, memberikan subsidi pada warga agar tidak bekerja selama pandemi tetapi tidak jelas kapan akan berakhir, tentu bukan kebijakan yang realistis. Untuk itu, kebijakan mengubah PSBB dengan kembali membolehkan warga bekerja seperti sebelum masa Covid-19 dan disertai protokol kesehatan yang ketat adalah solusi yang lebih realistis. Sosialisasi mendesaknya protokol kesehatan harus dilakukan lewat berbagai kelompok masyarakat dan lewat tokoh-tokoh berpengaruh karena mereka cenderung lebih didengar.
{"title":"Sikap dan Perilaku Warga terhadap Kebijakan Penanganan Wabah Covid-19","authors":"Saiful Mujani, Deni Irvani","doi":"10.14710/politika.11.2.2020.219-238","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/politika.11.2.2020.219-238","url":null,"abstract":"Sebuah kebijakan publik akan efektif jika publik mendukungnya. Hal yang sama berlaku dalam konteks wabah Covid-19. Sejauh ini belum ada studi tentang kebijakan pemerintah Indonesia, khususnya terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan kepatuhan warga terhadapnya. Tulisan ini mengisi kekosongan tersebut dengan bertumpu pada hasil penelitian opini publik nasional tentang sikap dan perilaku publik terkait PSBB dan protokol kesehatan. Hasilnya adalah perilaku dan sikap pada kebijakan tersebut berhubungan dengan latar belakang perilaku politik, kepercayaan pada kemampuan pemerintah menangani Covid-19, status pekerjaan, pendapatan, pendidikan, agama, dan gender. PSBB tidak akan efektif karena jumlah warga yang harus bekerja di luar rumah sangat banyak. Sebaliknya, memberikan subsidi pada warga agar tidak bekerja selama pandemi tetapi tidak jelas kapan akan berakhir, tentu bukan kebijakan yang realistis. Untuk itu, kebijakan mengubah PSBB dengan kembali membolehkan warga bekerja seperti sebelum masa Covid-19 dan disertai protokol kesehatan yang ketat adalah solusi yang lebih realistis. Sosialisasi mendesaknya protokol kesehatan harus dilakukan lewat berbagai kelompok masyarakat dan lewat tokoh-tokoh berpengaruh karena mereka cenderung lebih didengar.","PeriodicalId":32705,"journal":{"name":"Politika Jurnal Ilmu Politik","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-09-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46977190","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2020-06-22DOI: 10.14710/politika.5.1.2014.1-14
Frans WILMAT MUSKANAN
Masalah Korupsi merupakan masalah yang sangan serius dan sangat sulit untuk diberantas, atas dasar pertimbangan tersebut maka KPK dibentuk untuk melakukan berbagai tindakan terhadapat setiap perkara korupsi yang berkaitan dengan masalah grand corruptions. Sebagai garda terdepan dalam memberantas korupsi, KPKdiberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan untuk menindak lanjuti setiap perkara korupsi yang dilaporkan ke KPK, sehingga korupsi yang terjadi di Indonesia dapat ditekan tingkat penyebarannya. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis sehingga dapat mengetahui kinerja dari direktorat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK dalam mendak lanjuti setiap perkara korupsi. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja dari direktorat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi sudah optimal dilihat dari hasil tindak lanjut disetiap direktorat menunjukan penyelsaian perkara diatas 50%, namun dari hasil tindak lanjut yang dilakukan oleh setiap direktorat masi terdapat tunggakan perkara yang perlu ditindak lanjuti ditahun berikut, hal ini disebabkan oleh kurangnya sumber daya manusia, kompetensi dan sarana prasarana penunjang.
{"title":"KINERJA DIREKTORAT PENYELIDIKAN, PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM MENINDAK LANJUTI LAPORAN TINDAK PIDANA KORUPSI PERIODE 2012-2013","authors":"Frans WILMAT MUSKANAN","doi":"10.14710/politika.5.1.2014.1-14","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/politika.5.1.2014.1-14","url":null,"abstract":"Masalah Korupsi merupakan masalah yang sangan serius dan sangat sulit untuk diberantas, atas dasar pertimbangan tersebut maka KPK dibentuk untuk melakukan berbagai tindakan terhadapat setiap perkara korupsi yang berkaitan dengan masalah grand corruptions. Sebagai garda terdepan dalam memberantas korupsi, KPKdiberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan untuk menindak lanjuti setiap perkara korupsi yang dilaporkan ke KPK, sehingga korupsi yang terjadi di Indonesia dapat ditekan tingkat penyebarannya. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis sehingga dapat mengetahui kinerja dari direktorat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK dalam mendak lanjuti setiap perkara korupsi. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja dari direktorat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi sudah optimal dilihat dari hasil tindak lanjut disetiap direktorat menunjukan penyelsaian perkara diatas 50%, namun dari hasil tindak lanjut yang dilakukan oleh setiap direktorat masi terdapat tunggakan perkara yang perlu ditindak lanjuti ditahun berikut, hal ini disebabkan oleh kurangnya sumber daya manusia, kompetensi dan sarana prasarana penunjang. ","PeriodicalId":32705,"journal":{"name":"Politika Jurnal Ilmu Politik","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-06-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41352400","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2020-04-26DOI: 10.14710/POLITIKA.12.1.2021.144-157
Muhtar Haboddin, Laode Machdani Afala
Artikel ini menjelaskan tentang pentingnya power sharing dalam meraih kekuasaan jabatan gubernur Sulawesi Selatan. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan teknik pengumpulan data berdasarkan pembacaan atas sejumlah literatur yang berkaitan dengan pembagian kekuasaan. Power sharing dalam konteks ini dibentuk melalui koalisi antara bangsawan Bugis dan Makassar. Bangsawan merupakan kelas sosial teratas dalam pelapisan sosial masyarakat. Dalam masyarakat majemuk seperti Sulawesi Selatan, berbagi kekuasaan antar kelompok etnis merupakan keharusan dalam politik. Itu tidak hanya dimaksudkan untuk menciptakan harmoni dan keteraturan, tetapi juga sebagai strategi dalam mendapatkan kekuasaan gubernur. Ini dibuktikan dengan kemenangan Nurdin Abdullah-Andi Sudirman Sulaiman dalam pemilihan gubernur 2018. Mereka mewakili kemenangan Makassar dan Bugis di satu sisi, sementara di sisi lain mereka telah mengembalikan kaum bangsawan dalam pusaran kekuasaan. Politik pembagian kekuasaan di antara kelompok-kelompok etnis mendorong orang untuk menyatukan suara mereka dengan mengikuti jalur etnis untuk mempertahankan keberadaan mereka dalam kekuasaan. Koalisi etnis yang dikombinasikan dengan koalisi antara bangsawan membuat artikel ini berbeda dengan artikel sebelumnya yang hanya mengeksplorasi politik pembagian kekuasaan berdasarkan etnis dan agama, tapi melupakan pentinganya status sosial dalam kontetasi politik. Bangsawan merupakan status tertinggi dalam struktur masyarakat Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, koalisi antarbangsawan merupakan pilihan cerdas dalam masyarakat majemuk yang merindukan kehadiran kaum bangsawan sebagai pemimpin gubernur.
{"title":"Power Sharing dalam Pemilihan Gubernur di Sulawesi Selatan","authors":"Muhtar Haboddin, Laode Machdani Afala","doi":"10.14710/POLITIKA.12.1.2021.144-157","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/POLITIKA.12.1.2021.144-157","url":null,"abstract":"Artikel ini menjelaskan tentang pentingnya power sharing dalam meraih kekuasaan jabatan gubernur Sulawesi Selatan. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan teknik pengumpulan data berdasarkan pembacaan atas sejumlah literatur yang berkaitan dengan pembagian kekuasaan. Power sharing dalam konteks ini dibentuk melalui koalisi antara bangsawan Bugis dan Makassar. Bangsawan merupakan kelas sosial teratas dalam pelapisan sosial masyarakat. Dalam masyarakat majemuk seperti Sulawesi Selatan, berbagi kekuasaan antar kelompok etnis merupakan keharusan dalam politik. Itu tidak hanya dimaksudkan untuk menciptakan harmoni dan keteraturan, tetapi juga sebagai strategi dalam mendapatkan kekuasaan gubernur. Ini dibuktikan dengan kemenangan Nurdin Abdullah-Andi Sudirman Sulaiman dalam pemilihan gubernur 2018. Mereka mewakili kemenangan Makassar dan Bugis di satu sisi, sementara di sisi lain mereka telah mengembalikan kaum bangsawan dalam pusaran kekuasaan. Politik pembagian kekuasaan di antara kelompok-kelompok etnis mendorong orang untuk menyatukan suara mereka dengan mengikuti jalur etnis untuk mempertahankan keberadaan mereka dalam kekuasaan. Koalisi etnis yang dikombinasikan dengan koalisi antara bangsawan membuat artikel ini berbeda dengan artikel sebelumnya yang hanya mengeksplorasi politik pembagian kekuasaan berdasarkan etnis dan agama, tapi melupakan pentinganya status sosial dalam kontetasi politik. Bangsawan merupakan status tertinggi dalam struktur masyarakat Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, koalisi antarbangsawan merupakan pilihan cerdas dalam masyarakat majemuk yang merindukan kehadiran kaum bangsawan sebagai pemimpin gubernur.","PeriodicalId":32705,"journal":{"name":"Politika Jurnal Ilmu Politik","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-04-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43117101","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-10-31DOI: 10.14710/politika.10.2.2019.135-156
Fabian Pratama Kusumah
Artikel ini bertujuan untuk mengetahui pemetaan aktor pro dan kontra kebijakan impor beras dalam era pemerintahan Jokowi. Dari pemetaan aktor tersebut menunjukkan kepentingan para aktor yang terlibat. Metode penelitian yang digunakan adalah studi pustaka yang didapat dari jurnal, dokumen pemerintah dan berita secara online. Kebijakan impor beras di era pemerintahan Jokowi merupakan hasil dari pertarungan empat aktor yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Bulog, serta Dewan Perwakilan Rakyat. Penelitian ini menemukan adanya dinamika pro dan kontra pada Kementerian Perdagangan saat reshuffle, serta Menteri Perdagangan dan Bulog saat pergantian direktur utama. Sedangkan Kementerian Pertanian dan Dewan Perwakilan Rakyat cenderung konsisten dalam menyikapi kebijakan impor beras. Terjadinya dinamika pro dan kontra membuktikan bahwa setiap aktor memiliki kepentingan yang ingin ditransformasikan menjadi sebuah kebijakan. Perbedaan data digunakan oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian sebagai dasar legitimasi untuk mencapai kepentingan dalam kebijakan impor beras. Polemik impor beras yang terjadi pada era pemerintahan Jokowi tidak menutup kemungkinan terjadinya kasus korupsi maupun kasus mafia pangan seperti pada kasus impor beras sebelum era pemerintahan Jokowi.
{"title":"Ekonomi Politik dalam Kebijakan Impor Beras: Membaca Arah Kebijakan Pemerintah 2014-2019","authors":"Fabian Pratama Kusumah","doi":"10.14710/politika.10.2.2019.135-156","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/politika.10.2.2019.135-156","url":null,"abstract":"Artikel ini bertujuan untuk mengetahui pemetaan aktor pro dan kontra kebijakan impor beras dalam era pemerintahan Jokowi. Dari pemetaan aktor tersebut menunjukkan kepentingan para aktor yang terlibat. Metode penelitian yang digunakan adalah studi pustaka yang didapat dari jurnal, dokumen pemerintah dan berita secara online. Kebijakan impor beras di era pemerintahan Jokowi merupakan hasil dari pertarungan empat aktor yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Bulog, serta Dewan Perwakilan Rakyat. Penelitian ini menemukan adanya dinamika pro dan kontra pada Kementerian Perdagangan saat reshuffle, serta Menteri Perdagangan dan Bulog saat pergantian direktur utama. Sedangkan Kementerian Pertanian dan Dewan Perwakilan Rakyat cenderung konsisten dalam menyikapi kebijakan impor beras. Terjadinya dinamika pro dan kontra membuktikan bahwa setiap aktor memiliki kepentingan yang ingin ditransformasikan menjadi sebuah kebijakan. Perbedaan data digunakan oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian sebagai dasar legitimasi untuk mencapai kepentingan dalam kebijakan impor beras. Polemik impor beras yang terjadi pada era pemerintahan Jokowi tidak menutup kemungkinan terjadinya kasus korupsi maupun kasus mafia pangan seperti pada kasus impor beras sebelum era pemerintahan Jokowi. ","PeriodicalId":32705,"journal":{"name":"Politika Jurnal Ilmu Politik","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-10-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.14710/politika.10.2.2019.135-156","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49627325","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-10-31DOI: 10.14710/politika.10.2.2019.211-219
Widya Priyahita Pudjibudojo
This article is a combination of scientific and policy papers. It will critically review how the Rohingya refugees were handled in Southeast Asia. The method used is qualitative policy analysis. The author will compare the statements contained in the ASEAN Charter, the Blueprint of the ASEAN Political-Security Community, and the ASEAN Declaration of Human Rights (AHRD) as legal umbrellas which guarantee the fulfilment of human rights in Southeast Asia with the policy responses of ASEAN and some of its members (Indonesia, Thailand, and Malaysia) toward the flow of Rohingya refugees. The policy analysis will target the substance and implications of the refugees. In general, there are two approaches to refugee policies, ‘security’ with an orientation toward state sovereignty and ‘humanism (human security)’ which is pro-refugee. The author uses the second approach as a framework and a standing position. Based on the results of the analysis, the security approach is far more dominant in the handling of Rohingya than humanism. The wave of Rohingya refugees is read as a security threat, economic burden, potential cultural issue, and other negative things that ultimately put the refugees in a worse position. The author criticizes this and suggests a number of recommendations to pursue a more humanistic approach.
{"title":"Criticizing the Handling of Rohingya Refugees in Southeast Asia by ASEAN and Its Members","authors":"Widya Priyahita Pudjibudojo","doi":"10.14710/politika.10.2.2019.211-219","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/politika.10.2.2019.211-219","url":null,"abstract":"This article is a combination of scientific and policy papers. It will critically review how the Rohingya refugees were handled in Southeast Asia. The method used is qualitative policy analysis. The author will compare the statements contained in the ASEAN Charter, the Blueprint of the ASEAN Political-Security Community, and the ASEAN Declaration of Human Rights (AHRD) as legal umbrellas which guarantee the fulfilment of human rights in Southeast Asia with the policy responses of ASEAN and some of its members (Indonesia, Thailand, and Malaysia) toward the flow of Rohingya refugees. The policy analysis will target the substance and implications of the refugees. In general, there are two approaches to refugee policies, ‘security’ with an orientation toward state sovereignty and ‘humanism (human security)’ which is pro-refugee. The author uses the second approach as a framework and a standing position. Based on the results of the analysis, the security approach is far more dominant in the handling of Rohingya than humanism. The wave of Rohingya refugees is read as a security threat, economic burden, potential cultural issue, and other negative things that ultimately put the refugees in a worse position. The author criticizes this and suggests a number of recommendations to pursue a more humanistic approach.","PeriodicalId":32705,"journal":{"name":"Politika Jurnal Ilmu Politik","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-10-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.14710/politika.10.2.2019.211-219","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48017124","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-10-31DOI: 10.14710/politika.10.2.2019.186-199
Angga Arrasyid Dian Purnama
This research is about the strategy used by the member legislature body 2014-2019 to keep the constituents’ vote in their election area after being elected as a legislative member. This research used a case study in the 1st election area of Central Java Province which includes Semarang City, Semarang District, Kendal District, and Salatiga City. By taking a member of DPR RI as the main sample and two members of DPR RI as a comparative sample or as group control. This research applies the qualitative approach supported by a quantitative approach with the survey method. This research finds the strategy which is used by the member of DPR RI to keep the constituent vote in their election area. It could be done through some strategies such as interactive dialogue, provision of assistance, installation of campaign attributes (banner/billboard/etc), utilization of party structure and base mass party, encouragement of another cadre from the party, community approach, social media and formation of the volunteer. All strategies have objectives to keep the constituent vote in an election area, and to gain the sympathy and vote from those who have not chosen them in the last legislative election. So it could be ended in re-elected the member of DPR RI in the next legislative election.
{"title":"Strategi Menjaga Konstituen: Studi Kasus Anggota DPR RI 2014-2019 Daerah Pemilihan Jawa Tengah I","authors":"Angga Arrasyid Dian Purnama","doi":"10.14710/politika.10.2.2019.186-199","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/politika.10.2.2019.186-199","url":null,"abstract":"This research is about the strategy used by the member legislature body 2014-2019 to keep the constituents’ vote in their election area after being elected as a legislative member. This research used a case study in the 1st election area of Central Java Province which includes Semarang City, Semarang District, Kendal District, and Salatiga City. By taking a member of DPR RI as the main sample and two members of DPR RI as a comparative sample or as group control. This research applies the qualitative approach supported by a quantitative approach with the survey method. This research finds the strategy which is used by the member of DPR RI to keep the constituent vote in their election area. It could be done through some strategies such as interactive dialogue, provision of assistance, installation of campaign attributes (banner/billboard/etc), utilization of party structure and base mass party, encouragement of another cadre from the party, community approach, social media and formation of the volunteer. All strategies have objectives to keep the constituent vote in an election area, and to gain the sympathy and vote from those who have not chosen them in the last legislative election. So it could be ended in re-elected the member of DPR RI in the next legislative election.","PeriodicalId":32705,"journal":{"name":"Politika Jurnal Ilmu Politik","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-10-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.14710/politika.10.2.2019.186-199","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47087440","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}