Pub Date : 2022-11-07DOI: 10.34005/veritas.v8i2.2088
Efridani Lubis, B. Haryanto, M. Muhajir, Sinta Elviyanti, Nurul Alfiyani Hidayah
Pemanfaatan zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf (ZISWA) selama ini ditujukan untuk memastikan kaum mustahik terpenuhi kebutuhan dasarnya. Pemikiran bahwa kaum mustahik dimaksud juga perlu diberdayakan secara produktif sehingga lingkaran kemiskinan bisa diputus dengan memberikan sumber pendapatan yang jelas dan terukur, mengembangkan pemikiran pemanfaatan ZISWA untuk sektor produktif namun tetap sasarannya adalah mustahik yang telah melakukan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang masih terbatas pada aspek bantuan manajemen bisnisnya. Tulisan ini bermaksud mengkaji potensi ZISWA untuk dimanfaatkan bagi bantuan pembiayaan sertifikasi halal bagi UMKM. Pertimbangan utamanya adalah halal merupakan syarat Syariah untuk konsumsi ummat muslim yang tidak bisa ditawar karena merupakan kewajiban yang ditetapkan dalam Al Qur’an. Menggunakan metode penelitian normatif yuridis didukung oleh kuesioner kepada UMKM, hasil penelitian menunjukkan bahwa ZISWA dimungkinkan untuk dimanfaatkan untuk bantuan pembiayaan sertifikasi halal apabila ZISWA telah didayagunakan untuk mustahiq yang memerlukannya dan sudah terpenuhi dan ternyata masih terdapat kelebihan. Untuk itu, perlu dengan hati-hati dan terukur untuk memastikan keterpenuhan dimaksud. Selain itu dilakukan seleksi sektor produktif yang akan memanfaatkan ZISWA adalah sektor yang menjanjikan keuntungan. Oleh karena itu masih perlu peraturan teknis untuk mengukur dan memastikan keterpenuhan syarat-syarat dimaksud.
{"title":"TELAAH PENGATURAN EFEKTIF PEMANFAATAN ZISWA UNTUK BANTUAN SERTIFIKASI HALAL BAGI UMKM","authors":"Efridani Lubis, B. Haryanto, M. Muhajir, Sinta Elviyanti, Nurul Alfiyani Hidayah","doi":"10.34005/veritas.v8i2.2088","DOIUrl":"https://doi.org/10.34005/veritas.v8i2.2088","url":null,"abstract":"Pemanfaatan zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf (ZISWA) selama ini ditujukan untuk memastikan kaum mustahik terpenuhi kebutuhan dasarnya. Pemikiran bahwa kaum mustahik dimaksud juga perlu diberdayakan secara produktif sehingga lingkaran kemiskinan bisa diputus dengan memberikan sumber pendapatan yang jelas dan terukur, mengembangkan pemikiran pemanfaatan ZISWA untuk sektor produktif namun tetap sasarannya adalah mustahik yang telah melakukan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang masih terbatas pada aspek bantuan manajemen bisnisnya. Tulisan ini bermaksud mengkaji potensi ZISWA untuk dimanfaatkan bagi bantuan pembiayaan sertifikasi halal bagi UMKM. Pertimbangan utamanya adalah halal merupakan syarat Syariah untuk konsumsi ummat muslim yang tidak bisa ditawar karena merupakan kewajiban yang ditetapkan dalam Al Qur’an. Menggunakan metode penelitian normatif yuridis didukung oleh kuesioner kepada UMKM, hasil penelitian menunjukkan bahwa ZISWA dimungkinkan untuk dimanfaatkan untuk bantuan pembiayaan sertifikasi halal apabila ZISWA telah didayagunakan untuk mustahiq yang memerlukannya dan sudah terpenuhi dan ternyata masih terdapat kelebihan. Untuk itu, perlu dengan hati-hati dan terukur untuk memastikan keterpenuhan dimaksud. Selain itu dilakukan seleksi sektor produktif yang akan memanfaatkan ZISWA adalah sektor yang menjanjikan keuntungan. Oleh karena itu masih perlu peraturan teknis untuk mengukur dan memastikan keterpenuhan syarat-syarat dimaksud.","PeriodicalId":37834,"journal":{"name":"Veritas","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-11-07","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45525142","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-11-07DOI: 10.34005/veritas.v8i2.2062
Elbinel Sindabuke, Efridani Lubis, Nanang Solihin
Anak adalah karunia yang terbesar bagi keluarga, agama, bangsa dan negara. Anak merupakan cikal bakal lahirnya generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Anak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan, banyak anak yang menjadi korban kekerasan dan mengalami perlakuan salah seperti halnya penganiayaan terhadap anak serta perbuatan cabul terhadap anak. Bukan hanya korban kekerasan yang terjadi terhadap anak, yang paling memperihatinkan sekarang bahwa ketika anak itu sendiri yang menjadi pelaku tindak pidana. Permasalahan yang diteliti adalah: 1) bagaimana pengaturan mengenai anak yang melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak dibawah umur, 2) apa yang menjadi kendala Majelis Hakim dalam memutus perkara pencabulan yang dilakukan oleh anak dibawah umur pada Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor: 3/Pid.Sus-Anak/2020/PN.Bdg, 3) bagaimana kebijakan hukum pidana bagi anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan?. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif yang mengkaji data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan terhadap anak yang melakukan tindak pidana pencabulan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 64 KUHP. Kendala Majelis Hakim dalam memutus perkara pencabulan yang dilakukan oleh anak dibawah umur pada Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor: 3/Pid.Sus-Anak/2020/PN.Bdg. yaitu harus melihat tiga (3) asas yang terdapat dalam hukum yaitu: asas keadilan, asas kemanfaatan, asas kepastian hukum. Sedangkan terhadap anak yang menjadi pelaku pencabulan dilindungi menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. Selain itu Majelis Hakim harus memperhatikan masa depan anak walaupun anak tersebut melakukan tindak pidana, hakim tidak bisa menjatuhkan hukuman maksimal yang di tuntutkan oleh jaksa penuntut umum. Kebijakan hukum dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana pencabulan, hakim wajib memperhatikan kebutuhan-kebutuhan si anak terutama hak-haknya sebagai seorang anak.
{"title":"OPTIMALISASI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PENCABULAN ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPASTIAN HUKUM (STUDI PUTUSAN NOMOR 3/PID.SUS-ANAK/2020/PN.BDG)","authors":"Elbinel Sindabuke, Efridani Lubis, Nanang Solihin","doi":"10.34005/veritas.v8i2.2062","DOIUrl":"https://doi.org/10.34005/veritas.v8i2.2062","url":null,"abstract":"Anak adalah karunia yang terbesar bagi keluarga, agama, bangsa dan negara. Anak merupakan cikal bakal lahirnya generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Anak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan, banyak anak yang menjadi korban kekerasan dan mengalami perlakuan salah seperti halnya penganiayaan terhadap anak serta perbuatan cabul terhadap anak. Bukan hanya korban kekerasan yang terjadi terhadap anak, yang paling memperihatinkan sekarang bahwa ketika anak itu sendiri yang menjadi pelaku tindak pidana. Permasalahan yang diteliti adalah: 1) bagaimana pengaturan mengenai anak yang melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak dibawah umur, 2) apa yang menjadi kendala Majelis Hakim dalam memutus perkara pencabulan yang dilakukan oleh anak dibawah umur pada Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor: 3/Pid.Sus-Anak/2020/PN.Bdg, 3) bagaimana kebijakan hukum pidana bagi anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan?. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif yang mengkaji data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan terhadap anak yang melakukan tindak pidana pencabulan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 64 KUHP. Kendala Majelis Hakim dalam memutus perkara pencabulan yang dilakukan oleh anak dibawah umur pada Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor: 3/Pid.Sus-Anak/2020/PN.Bdg. yaitu harus melihat tiga (3) asas yang terdapat dalam hukum yaitu: asas keadilan, asas kemanfaatan, asas kepastian hukum. Sedangkan terhadap anak yang menjadi pelaku pencabulan dilindungi menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. Selain itu Majelis Hakim harus memperhatikan masa depan anak walaupun anak tersebut melakukan tindak pidana, hakim tidak bisa menjatuhkan hukuman maksimal yang di tuntutkan oleh jaksa penuntut umum. Kebijakan hukum dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana pencabulan, hakim wajib memperhatikan kebutuhan-kebutuhan si anak terutama hak-haknya sebagai seorang anak.","PeriodicalId":37834,"journal":{"name":"Veritas","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-11-07","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47521578","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-11-07DOI: 10.34005/veritas.v8i2.2067
Benny Fremmy, Efridani Lubis, Mulyono Mulyono
Putusan Hakim sebagai proses akhir dalam penegakan hukum merupakan kegiatan yang paling problematis, dilematis dan mempunyai tingkat kontroversi yang tinggi. Upaya untuk mencari, menemukan, dan menerapkan hukum inilah yang kerapkali menimbulkan rasa tidak puas terhadap para pihak hingga di kalangan masyarakat. Dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pidana, akan sangat menentukan apakah putusan seorang hakim dianggap adil, atau menentukan apakah putusannya dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Putusan hakim seringkali dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan karena melampau kewenangannya (ultra petita). Permasalahan yang diteliti adalah: 1) Apa yang dimaksud dengan asas ultra petitum dalam sistem pidana Indonesia, 2) bagaimana penerapan asas ultra petitum di Indonesia, 3) bagaimana penerapan ultra petita hakim dalam tindak pidana narkotika pada putusan pengadilan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif, penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu keadaan yang menjadi objek penelitian dengan mendasarkan penelitian pada ketentuan hukum normatif. Hasil penelitian menggambarkan bahwa asas ultra petitum dalam sistem pidana Indonesia adalah suatu putusan atas perkara yang melebihi yang dituntut atau diminta Jaksa Penuntut Umum. Penerapan asas ultra petitum bahwa seorang hakim dalam memvonis tidak boleh melebihi aturan yang didalamnya mengatur ancaman hukuman atas sebuah tindak pidana. Penerapan ultra petita hakim dalam tindak pidana narkotika pada Putusan Pengadilan Nomor: 240/PID.SUS/2021/PN.Tng telah sejalan dengan teori kepastian hukum dan asas legalitas yang dimana kepastian hukum mengandung arti bahwa seorang hakim dalam memvonis tidak boleh melebihi aturan yang di dalamnya mengatur ancaman hukuman atas sebuah tindak pidana. Sedangkan asas legalitas bertujuan untuk mengetahui ketika majelis hakim menjatuhkan vonis mengacu pada undang-undang dan pasal-pasal yang sudah sesuai dengan hukum yang berlaku. Putusan pengadilan yang dijatuhkan oleh hakim harus berdasarkan kepada surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum yang berisi fakta-fakta yang terjadi dalam suatu tindak pidana (delik), beserta aturan-aturan hukum yang dilanggar oleh terdakwa. Penuntut Umum harus teliti dan cermat dalam membuat isi daripada surat dakwaan, dimana harus memenuhi baik syarat formil maupun materil surat dakwaan tersebut seperti yang disebutkan di dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP. Surat dakwaan akan menjadi dasar bagi pemeriksaan di persidangan dan pengambilan keputusan oleh hakim.. Namun dalam prakteknya ditemukan banyak putusan perkara pidana yang diputus oleh hakim, dimana dalam proses hukumnya tidak mengindahkan azas-azas dan hukum acara pidana serta dakwaan JPU berbeda pula dengan fakta-fakta persidangan.
{"title":"OPTIMALISASI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN BUKTI DI PERSIDANGAN (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR: 240/PID.SUS/2021/PN.TNG)","authors":"Benny Fremmy, Efridani Lubis, Mulyono Mulyono","doi":"10.34005/veritas.v8i2.2067","DOIUrl":"https://doi.org/10.34005/veritas.v8i2.2067","url":null,"abstract":"Putusan Hakim sebagai proses akhir dalam penegakan hukum merupakan kegiatan yang paling problematis, dilematis dan mempunyai tingkat kontroversi yang tinggi. Upaya untuk mencari, menemukan, dan menerapkan hukum inilah yang kerapkali menimbulkan rasa tidak puas terhadap para pihak hingga di kalangan masyarakat. Dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pidana, akan sangat menentukan apakah putusan seorang hakim dianggap adil, atau menentukan apakah putusannya dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Putusan hakim seringkali dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan karena melampau kewenangannya (ultra petita). Permasalahan yang diteliti adalah: 1) Apa yang dimaksud dengan asas ultra petitum dalam sistem pidana Indonesia, 2) bagaimana penerapan asas ultra petitum di Indonesia, 3) bagaimana penerapan ultra petita hakim dalam tindak pidana narkotika pada putusan pengadilan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif, penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu keadaan yang menjadi objek penelitian dengan mendasarkan penelitian pada ketentuan hukum normatif. Hasil penelitian menggambarkan bahwa asas ultra petitum dalam sistem pidana Indonesia adalah suatu putusan atas perkara yang melebihi yang dituntut atau diminta Jaksa Penuntut Umum. Penerapan asas ultra petitum bahwa seorang hakim dalam memvonis tidak boleh melebihi aturan yang didalamnya mengatur ancaman hukuman atas sebuah tindak pidana. Penerapan ultra petita hakim dalam tindak pidana narkotika pada Putusan Pengadilan Nomor: 240/PID.SUS/2021/PN.Tng telah sejalan dengan teori kepastian hukum dan asas legalitas yang dimana kepastian hukum mengandung arti bahwa seorang hakim dalam memvonis tidak boleh melebihi aturan yang di dalamnya mengatur ancaman hukuman atas sebuah tindak pidana. Sedangkan asas legalitas bertujuan untuk mengetahui ketika majelis hakim menjatuhkan vonis mengacu pada undang-undang dan pasal-pasal yang sudah sesuai dengan hukum yang berlaku. Putusan pengadilan yang dijatuhkan oleh hakim harus berdasarkan kepada surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum yang berisi fakta-fakta yang terjadi dalam suatu tindak pidana (delik), beserta aturan-aturan hukum yang dilanggar oleh terdakwa. Penuntut Umum harus teliti dan cermat dalam membuat isi daripada surat dakwaan, dimana harus memenuhi baik syarat formil maupun materil surat dakwaan tersebut seperti yang disebutkan di dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP. Surat dakwaan akan menjadi dasar bagi pemeriksaan di persidangan dan pengambilan keputusan oleh hakim.. Namun dalam prakteknya ditemukan banyak putusan perkara pidana yang diputus oleh hakim, dimana dalam proses hukumnya tidak mengindahkan azas-azas dan hukum acara pidana serta dakwaan JPU berbeda pula dengan fakta-fakta persidangan.","PeriodicalId":37834,"journal":{"name":"Veritas","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-11-07","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43716819","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-11-07DOI: 10.34005/veritas.v8i2.2066
Agustin Firmansyah, Heru Widodo, Damrah Mamang
Meningkatnya penyalahgunaan narkotika sudah sangat meresahkan dan perlu penanganan yang maksimal. Polri dalam melaksanakan tugasnya seringkali melakukan diskresi, praktik penerapan diskresi oleh aparat penegak hukum sangat bergantung pada subyektivitas yang bersangkutan. Bila aparat penegak hukum menghayati nilai-nilai moral dan etika, maka penerapan diskresi akan melahirkan rasa keadilan dan ketenteraman dalam masyarakat. Permasalahan yang diteliti adalah: 1) bagaimana penerapan diskresi kepolisian terhadap tindak pidana narkotika di tingkat penyidikan dalam peraturan perundang-undangan, 2) apa pertimbangan penyidik kepolisian dalam menerapkan diskresi terhadap tindak pidana narkotika, 3) apa akibat hukum dari tindakan diskresi penyidik kepolisan terhadap tindak pidana narkotika. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif yaitu merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan menggunakan bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder bahan hukum tersier yang didapat dari penelitian kepustakaan (library research). Hasil penelitian menggambarkan bahwa penerapan diskresi kepolisian terhadap tindak pidana narkotika di tingkat penyidikan di atur dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) huruf l dan ayat (2) Undang-Undang Kepolisian, Pasal 7 ayat (1) huruf J KUHAP, serta diperjelas dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manejement Penyidikan Tindak Pidana, Peraturan Badan Reserse Kriminal No. 1, 2, 3, dan 4 tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur. Peraturan Kepala Kepolisian No. 3 Tahun 2015 Tentang Pemolisian Masyarakat, dan Surat Kapolri Nomor Polisi B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 4 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui ADR. Dasar pertimbangan penyidik dalam menerapkan diskresi kepolisian terhadap tindak pidana narkotika didasarkan pada beberapa factor yaitu faktor internal dan eksternal, dalam faktor internal terdapat jaminan hukum yang mengatur tentang penggunaaan kewenangan diskresi dalam penyelesaian perkara tindak pidana sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan adanya instruksi dari pimpinan untuk mengupayakan diskresi terlebih dahulu sebelum kasus tersebut berlanjut ketahap selanjutnya, untuk factor eksternalnya adanya dukungan dari masyaraka setempat untuk menggunaka upaya diskresi dalam penyelesaian kasus penyalahgunaan narkotika. Akibat hukum dari tindakan diskresi penyidik terhadap tindak pidana narkotika, hukuman pidana setiap anggota polisi yang melakukan perbuatan pidana diselesaikan melalui Peradilan Umum. Hukuman disiplin setiap anggota polisi yang melakukan pelanggaran disiplin disidang melalui siding disiplin, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri. Kode Etik Profesi Pelanggaran terhadap etika profesi diselenggarakan melalui sidang Komisi Kode Etik Polri.
{"title":"TINJAUAN HUKUM IMPLEMENTASI DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA","authors":"Agustin Firmansyah, Heru Widodo, Damrah Mamang","doi":"10.34005/veritas.v8i2.2066","DOIUrl":"https://doi.org/10.34005/veritas.v8i2.2066","url":null,"abstract":"Meningkatnya penyalahgunaan narkotika sudah sangat meresahkan dan perlu penanganan yang maksimal. Polri dalam melaksanakan tugasnya seringkali melakukan diskresi, praktik penerapan diskresi oleh aparat penegak hukum sangat bergantung pada subyektivitas yang bersangkutan. Bila aparat penegak hukum menghayati nilai-nilai moral dan etika, maka penerapan diskresi akan melahirkan rasa keadilan dan ketenteraman dalam masyarakat. Permasalahan yang diteliti adalah: 1) bagaimana penerapan diskresi kepolisian terhadap tindak pidana narkotika di tingkat penyidikan dalam peraturan perundang-undangan, 2) apa pertimbangan penyidik kepolisian dalam menerapkan diskresi terhadap tindak pidana narkotika, 3) apa akibat hukum dari tindakan diskresi penyidik kepolisan terhadap tindak pidana narkotika. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif yaitu merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan menggunakan bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder bahan hukum tersier yang didapat dari penelitian kepustakaan (library research). Hasil penelitian menggambarkan bahwa penerapan diskresi kepolisian terhadap tindak pidana narkotika di tingkat penyidikan di atur dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) huruf l dan ayat (2) Undang-Undang Kepolisian, Pasal 7 ayat (1) huruf J KUHAP, serta diperjelas dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manejement Penyidikan Tindak Pidana, Peraturan Badan Reserse Kriminal No. 1, 2, 3, dan 4 tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur. Peraturan Kepala Kepolisian No. 3 Tahun 2015 Tentang Pemolisian Masyarakat, dan Surat Kapolri Nomor Polisi B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 4 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui ADR. Dasar pertimbangan penyidik dalam menerapkan diskresi kepolisian terhadap tindak pidana narkotika didasarkan pada beberapa factor yaitu faktor internal dan eksternal, dalam faktor internal terdapat jaminan hukum yang mengatur tentang penggunaaan kewenangan diskresi dalam penyelesaian perkara tindak pidana sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan adanya instruksi dari pimpinan untuk mengupayakan diskresi terlebih dahulu sebelum kasus tersebut berlanjut ketahap selanjutnya, untuk factor eksternalnya adanya dukungan dari masyaraka setempat untuk menggunaka upaya diskresi dalam penyelesaian kasus penyalahgunaan narkotika. Akibat hukum dari tindakan diskresi penyidik terhadap tindak pidana narkotika, hukuman pidana setiap anggota polisi yang melakukan perbuatan pidana diselesaikan melalui Peradilan Umum. Hukuman disiplin setiap anggota polisi yang melakukan pelanggaran disiplin disidang melalui siding disiplin, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri. Kode Etik Profesi Pelanggaran terhadap etika profesi diselenggarakan melalui sidang Komisi Kode Etik Polri.","PeriodicalId":37834,"journal":{"name":"Veritas","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-11-07","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41564523","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-11-07DOI: 10.34005/veritas.v8i2.2061
Asep Nugroho, Abdul Harris Semendawai, Siti Nur Intihani
Pelanggaran Lalu Lintas adalah perbuatan yang bertentangan dengan lalu lintas dan peraturan pelaksanaannya, baik yang dapat ataupun yang tidak dapat menimbulkan kerugian jiwa atau benda. Permasalahan yang diteliti adalah: bagaimana pengaturan tindak pidana kealpaan yang menyebabkan orang lain meninggal dalam peraturan-perundangan, lalu bagaimana penerapan, kendala, dan upaya restoratif justice dalam tindak pidana kealpaan kecelakaan lalu lintas golongan berat di wilayah Polresta Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif yang mengkaji data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan tindak pidana kealpaan dalam berkendaraan yang menyebabkan orang lain meninggal diatur dalam Pasal 310 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Jo. Pasal 63 ayat (2) KUHP. Kendala penerapan restoratif justice dalam kecelakaan lalu lintas golongan berat di wilayah Polresta Bandung yaitu: 1) belum ada payung hukumnya, 2) Besaran ganti rugi kadang-kadang dijadikan sebagai alat untuk mencari keuntungan bagi pihak tertentu dalam proses perdamaian pada peristiwa pidana kecelakaan lalu-lintas di wilayah hukum Polresta Bandung, 3) Keterbatasan kemapuan ekonomi pelaku tindak pidana lalu lintas golongan berat 4) Keterlibatan pihak-pihak yang tidak terkait langsung dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas. Upaya yang dapat dilakukan yaitu menginterprestasikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu Pasal 7 ayat (1) huruf j, Pasal 16 ayat (1) huruf l dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dan berkoordinasi dengan atasan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana kecelakaan lalu lintas golongan berat yang mana antara para pihak telah melakukan perdamaian secara kekeluargaan.
{"title":"ANALISIS YURIDIS PENERAPAN RESTORATIF JUSTICE DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS GOLONGAN BERAT YANG MENYEBABKAN ORANG LAIN MENINGGAL DUNIA MENURUT UU NOMOR 22 TAHUN 2009 DALAM PERSPEKTIF KEADILAN","authors":"Asep Nugroho, Abdul Harris Semendawai, Siti Nur Intihani","doi":"10.34005/veritas.v8i2.2061","DOIUrl":"https://doi.org/10.34005/veritas.v8i2.2061","url":null,"abstract":"Pelanggaran Lalu Lintas adalah perbuatan yang bertentangan dengan lalu lintas dan peraturan pelaksanaannya, baik yang dapat ataupun yang tidak dapat menimbulkan kerugian jiwa atau benda. Permasalahan yang diteliti adalah: bagaimana pengaturan tindak pidana kealpaan yang menyebabkan orang lain meninggal dalam peraturan-perundangan, lalu bagaimana penerapan, kendala, dan upaya restoratif justice dalam tindak pidana kealpaan kecelakaan lalu lintas golongan berat di wilayah Polresta Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif yang mengkaji data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan tindak pidana kealpaan dalam berkendaraan yang menyebabkan orang lain meninggal diatur dalam Pasal 310 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Jo. Pasal 63 ayat (2) KUHP. Kendala penerapan restoratif justice dalam kecelakaan lalu lintas golongan berat di wilayah Polresta Bandung yaitu: 1) belum ada payung hukumnya, 2) Besaran ganti rugi kadang-kadang dijadikan sebagai alat untuk mencari keuntungan bagi pihak tertentu dalam proses perdamaian pada peristiwa pidana kecelakaan lalu-lintas di wilayah hukum Polresta Bandung, 3) Keterbatasan kemapuan ekonomi pelaku tindak pidana lalu lintas golongan berat 4) Keterlibatan pihak-pihak yang tidak terkait langsung dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas. Upaya yang dapat dilakukan yaitu menginterprestasikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu Pasal 7 ayat (1) huruf j, Pasal 16 ayat (1) huruf l dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dan berkoordinasi dengan atasan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana kecelakaan lalu lintas golongan berat yang mana antara para pihak telah melakukan perdamaian secara kekeluargaan.","PeriodicalId":37834,"journal":{"name":"Veritas","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-11-07","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43693502","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-11-07DOI: 10.34005/veritas.v8i2.2063
Herni Zubir, Zainal Arifin Hoesein, S. Riyanto
Penelitian Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Alat Bukti Keterangan Ahli Dalam Tindak Pidana Korupsi Studi Kasus Putusan Pengadilan Tipikor PN Bandung, ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan alat bukti keterangan ahli sebagai uoaya meyakinkan hakim dalam tindak pidana korupsi dengan studi kasus pada putusan Pengadilan Tipikor PN Bandung. Metode penelitiannya adalah deskriptif kualitatif dengan perumusan masalahnya bagaimana kedudukan dan nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan ahli dalam perkara tindak pidana korupsi di Indonesia?, bagaimana konstruksi alat bukti keterangan ahli sebagai dasar dalam pertimbangan hakim untuk menentukan kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi?, dan bagaimana kelemahan yang ada dalam alat bukti keterangan ahli sebagai dasar pertimbangan hakim untuk menentukan kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi saat ini? Teknik pengumpulan data menggunakan teknik stusdi pustaka dan wawancara, serta studi dokumen berupa putusan pengadilan Tipikor yang terkait dengan penelitian. Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa kedudukan keterangan ahli dalam pembuktian perkara pidana, termasuk perkara korupsi adalan bagian dari alat bukti yang dalam hal ini tersurat dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP. Keterangan ahli dibutuhkan guna membuat terang suatu perkara pidana korupsi, khususnya membantu dalam menentukan jumlah kerugian negara. Namun demikian adanya keterangan ahli bukan sebuah keharusan dan tidak harus ada dalam perkara tindak pidana korupsi. Jika alat bukti yang ada sudah dirasa cukup keterangan ahli tidak dihadirkan juga tidak ada konsekuensi yuridis. Kekuatan pembuktian keterangan ahli pada prinsipnya tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan saksi. Oleh karena itu, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada pembuktian ahli adalah “bebas” atau “vrijbewijskracht”. Dalam diri seorang ahli tidak melekat nilai kekuatan yang sempurna karena ahli hanya terbatas pada kemampuan akan keilmuannya sehingga hal ini diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Konstruksi alat bukti keterangan ahli sebagai dasar dalam pertimbangan hakim untuk menentukan kerugian keuangan negara tidak sekedar berbasis keadilan ahli semata, namun juga daya nalar ahli dan kemampuannya dalam dalam membuat terang perkara pidana. Sedangkan dalam hal penentuan kualifikasi dari seorang ahli pada perkembangannya digunakan bukti tertulis seperti sertifikasi maupun syarat pendidikan formal. Elemen pertama yang harus dipenuhi oleh keterangan ahli adalah kemampuan menyampaikan materi (dari suatu fakta atau bukti) secara pasti, keterangan ahli diperlukan jika dalam persidangan alat bukti yang lain tidak membantu dalam menemukan fakta. Elemen kedua, yang harus dipenuhi adalah seorang ahli harusl
{"title":"ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN TIPIKOR PENGADILAN NEGERI BANDUNG)","authors":"Herni Zubir, Zainal Arifin Hoesein, S. Riyanto","doi":"10.34005/veritas.v8i2.2063","DOIUrl":"https://doi.org/10.34005/veritas.v8i2.2063","url":null,"abstract":"Penelitian Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Alat Bukti Keterangan Ahli Dalam Tindak Pidana Korupsi Studi Kasus Putusan Pengadilan Tipikor PN Bandung, ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan alat bukti keterangan ahli sebagai uoaya meyakinkan hakim dalam tindak pidana korupsi dengan studi kasus pada putusan Pengadilan Tipikor PN Bandung. Metode penelitiannya adalah deskriptif kualitatif dengan perumusan masalahnya bagaimana kedudukan dan nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan ahli dalam perkara tindak pidana korupsi di Indonesia?, bagaimana konstruksi alat bukti keterangan ahli sebagai dasar dalam pertimbangan hakim untuk menentukan kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi?, dan bagaimana kelemahan yang ada dalam alat bukti keterangan ahli sebagai dasar pertimbangan hakim untuk menentukan kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi saat ini? Teknik pengumpulan data menggunakan teknik stusdi pustaka dan wawancara, serta studi dokumen berupa putusan pengadilan Tipikor yang terkait dengan penelitian. Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa kedudukan keterangan ahli dalam pembuktian perkara pidana, termasuk perkara korupsi adalan bagian dari alat bukti yang dalam hal ini tersurat dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP. Keterangan ahli dibutuhkan guna membuat terang suatu perkara pidana korupsi, khususnya membantu dalam menentukan jumlah kerugian negara. Namun demikian adanya keterangan ahli bukan sebuah keharusan dan tidak harus ada dalam perkara tindak pidana korupsi. Jika alat bukti yang ada sudah dirasa cukup keterangan ahli tidak dihadirkan juga tidak ada konsekuensi yuridis. Kekuatan pembuktian keterangan ahli pada prinsipnya tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan saksi. Oleh karena itu, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada pembuktian ahli adalah “bebas” atau “vrijbewijskracht”. Dalam diri seorang ahli tidak melekat nilai kekuatan yang sempurna karena ahli hanya terbatas pada kemampuan akan keilmuannya sehingga hal ini diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Konstruksi alat bukti keterangan ahli sebagai dasar dalam pertimbangan hakim untuk menentukan kerugian keuangan negara tidak sekedar berbasis keadilan ahli semata, namun juga daya nalar ahli dan kemampuannya dalam dalam membuat terang perkara pidana. Sedangkan dalam hal penentuan kualifikasi dari seorang ahli pada perkembangannya digunakan bukti tertulis seperti sertifikasi maupun syarat pendidikan formal. Elemen pertama yang harus dipenuhi oleh keterangan ahli adalah kemampuan menyampaikan materi (dari suatu fakta atau bukti) secara pasti, keterangan ahli diperlukan jika dalam persidangan alat bukti yang lain tidak membantu dalam menemukan fakta. Elemen kedua, yang harus dipenuhi adalah seorang ahli harusl","PeriodicalId":37834,"journal":{"name":"Veritas","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-11-07","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45153631","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-11-07DOI: 10.34005/veritas.v8i2.2068
T. Hidayat, Abdul Harris Semendawai, Habloel Mawadi
Salah satu tujuan dibentuknya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yaitu untuk terwujudnya pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, lancar dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa. Dalam upaya penegakan hukum lalu lintas di jalan raya, khususnya di wilayah perkotaan seperti di Kota Bandung terhadap pelanggar lalu lintas di jalan raya telah diterapkan Elektronik-Traffic Law Enforcement (E-TLE) yaitu sistem yang memotret pelanggaran di jalan raya melalui kamera CCTV, kamera pengintai tersebut tersambung langsung ke TMC. Permasalahan yang diteliti adalah : 1) bagaimana pengaturan E-TLE dan sanksinya dalam hukum positif Indonesia, 2) bagaimana pelaksanaan penegakan hukum pidana tilang elektronik (ETLE) terhadap pelanggar lalu lintas di Kota Bandung, 3) bagaimana kebijakan Poltabes Bandung merespon kendala yang di hadapi dalam penindakan e tilang. Metode penelitian ini menggunakan penelitian hukum secara yuridis empiris. Dalam penelitian ini penulis menjabarkan tentang Das Sollen Das Sein atau kesesuaian harapan penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas yang dikenakan sanksi pidana berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan dengan kenyataan yang terjadi dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas. Hasil penelitian menggambarkan bahwa pengaturan E-TLE yaitu Pasal 272 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor Di Jalan Dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan. Pelaksanaan tilang elektronik (ETLE) terhadap pelanggar lalu lintas di wilayah hukum Polrestabes Bandung Kota Bandung belum efektif karena pelaksanaan tilang elektronik (ETLE) belum sesuai dengan tujuan yang diharapkan dari program E-Tilang. E-Tilang yang seharusnya dilakukan berbasis elektronik (tanpa menggunakan surat tilang) pada prakteknya masih menggunakan surat tilang. Selain itu masih banyak masyarakat yang belum tahu mengenai prosedur penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas dengan E-Tilang sehingga banyak masyarakat yang kesulitan ketika akan melakukan proses pembayaran denda maupun pengambilan barang yang disita sebelummnya. Kendala yang di hadapi dalam penindakan e tilang yaitu belum optimalnya koordinasi antara Kepolisian, Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri dan Bank Rakyat Indonrsia (BRI) selaku instansi yang berkaitan langsung dalam program E-Tilang, kurangnya sosialisasi kepada masyarakat sehingga masih banyak masyarakat yang belum mengerti E-Tilang baik itu program maupun alur pelaksanaannya, kurangnya keperdulian masyarakat untuk belajar dan mencari tahu mengenai program E-Tilang dalam proses penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas.
该法案的目标之一是2009年关于道路交通和道路运输的第22号法律,该法律旨在创造安全、安全、有序、顺畅的道路服务,并与其他交通方式相混淆,以促进国民经济、促进公共福利、加强国家联盟和团结,并能够访问崇高的民族尊严。为了执行道路交通法,特别是在城市等城市地区打击道路交通违法行为,已经应用了电子交通执法(E-TLE),这是一个通过闭路电视摄像头拍摄道路交通违法的系统,监控摄像头直接连接到TMC。调查的问题是:1)E-TLE法规及其制裁在印度尼西亚实证法中是如何的,2)针对该市交通违法者的电子蒂朗刑法(ETLE)的执行情况,3)波尔塔贝斯市的政策如何应对蒂朗印刷中面临的控制。本研究方法采用实证法学研究。在这项研究中,作者报告了Das Sollen Das Sein或根据2009年关于交通和道路运输的第22号法律对交通犯罪实施刑事制裁的执法希望与交通犯罪执法的现实相一致。研究表明,E-TLE条例是2009年关于道路交通和运输的第22号法律第272条和2012年关于道路机动车辆检查和道路交通与运输转移的第80号政府规则。在Polrestabes-万隆-万隆法律区实施针对交通违法行为的电子提朗(ETLE)并不有效,因为实施电子提朗不符合电子提朗计划的预期目的。在实践中,应该在电子基础上(不使用提朗字母)进行的电子报价仍然使用提朗文字。此外,许多人仍然不知道使用E-Tiang解决交通违法问题的程序,因此许多人在进行罚款程序或提取之前储存的东西时都很挣扎。除了电子邮件计划中的直接相关机构之外,警方、国家法院、国家检察官和印度尼西亚银行(BRI)之间没有对电子邮件所面临的控制进行最佳协调,缺乏对公众的社会化,以至于许多人仍然不理解电子邮件是该计划或其执行时间表,在解决交通违法行为的过程中,缺乏了解和了解电子跟踪计划的公共情报。
{"title":"EFEKTIFITAS PENINDAKAN TINDAK PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS MENGGUNAKAN E-TILANG (STUDI KASUS SATUAN LALU LINTAS POLRESTABES BANDUNG)","authors":"T. Hidayat, Abdul Harris Semendawai, Habloel Mawadi","doi":"10.34005/veritas.v8i2.2068","DOIUrl":"https://doi.org/10.34005/veritas.v8i2.2068","url":null,"abstract":"Salah satu tujuan dibentuknya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yaitu untuk terwujudnya pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, lancar dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa. Dalam upaya penegakan hukum lalu lintas di jalan raya, khususnya di wilayah perkotaan seperti di Kota Bandung terhadap pelanggar lalu lintas di jalan raya telah diterapkan Elektronik-Traffic Law Enforcement (E-TLE) yaitu sistem yang memotret pelanggaran di jalan raya melalui kamera CCTV, kamera pengintai tersebut tersambung langsung ke TMC. Permasalahan yang diteliti adalah : 1) bagaimana pengaturan E-TLE dan sanksinya dalam hukum positif Indonesia, 2) bagaimana pelaksanaan penegakan hukum pidana tilang elektronik (ETLE) terhadap pelanggar lalu lintas di Kota Bandung, 3) bagaimana kebijakan Poltabes Bandung merespon kendala yang di hadapi dalam penindakan e tilang. Metode penelitian ini menggunakan penelitian hukum secara yuridis empiris. Dalam penelitian ini penulis menjabarkan tentang Das Sollen Das Sein atau kesesuaian harapan penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas yang dikenakan sanksi pidana berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan dengan kenyataan yang terjadi dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas. Hasil penelitian menggambarkan bahwa pengaturan E-TLE yaitu Pasal 272 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor Di Jalan Dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan. Pelaksanaan tilang elektronik (ETLE) terhadap pelanggar lalu lintas di wilayah hukum Polrestabes Bandung Kota Bandung belum efektif karena pelaksanaan tilang elektronik (ETLE) belum sesuai dengan tujuan yang diharapkan dari program E-Tilang. E-Tilang yang seharusnya dilakukan berbasis elektronik (tanpa menggunakan surat tilang) pada prakteknya masih menggunakan surat tilang. Selain itu masih banyak masyarakat yang belum tahu mengenai prosedur penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas dengan E-Tilang sehingga banyak masyarakat yang kesulitan ketika akan melakukan proses pembayaran denda maupun pengambilan barang yang disita sebelummnya. Kendala yang di hadapi dalam penindakan e tilang yaitu belum optimalnya koordinasi antara Kepolisian, Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri dan Bank Rakyat Indonrsia (BRI) selaku instansi yang berkaitan langsung dalam program E-Tilang, kurangnya sosialisasi kepada masyarakat sehingga masih banyak masyarakat yang belum mengerti E-Tilang baik itu program maupun alur pelaksanaannya, kurangnya keperdulian masyarakat untuk belajar dan mencari tahu mengenai program E-Tilang dalam proses penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas.","PeriodicalId":37834,"journal":{"name":"Veritas","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-11-07","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49295979","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-11-07DOI: 10.34005/veritas.v8i2.2065
Rudhi Gindriansyah, M. T. Makarao, Moh. Zakky As
Penyelesaian sengketa pidana dengan pembalasan atas suatu tindak pidana terhadap pelaku yaitu dengan menjatuhkan hukuman penjara sebagai bentuk dari putusan pengadilan. Dalam perkembangannya terhadap penyelesaian sengketa yang dirasa lebih dapat memulihkan hak-hak terhadap korban dan mengakomodir kepentingan para pihak dengan memberikan keadilan dan kemanfaatan dilakukan penyelesaian secara musyawarah. Adanya kelemahan serta ketidakpuasan terhadap operasionalitas sistem peradilan pidana telah mendorong lembaga penegak hukum khususnya kepolisian untuk mencari solusi penyelesaian perkara alternatif dari sistem peradilan pidana yang ada dengan penyelesaian perkara di luar jalur penal, cara yang dimaksud yaitu dengan cara mediasi sebagai perwujudan dari restorative justice. Permasalahan yang diteliti adalah: 1) bagaimana pengaturan terkait restorative justice di dalam peraturan perundang-undangan?, 2) bagaimana penerapan restorative justice di tingkat penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan di Polrestabes Bandung?, 3) bagaimana hambatan dan upaya yang dilakukan oleh Polri khususnya Polrestabes Bandung dalam penerapan restorative justice pada proses penanganan perkara pidana ringan?. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif yang mengkaji data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan tentang pengaturan terkait dasar Polri dalam menerapkan konsep restorative justice belum ada aturan hukum setingkat undang-undang sehingga Polri dalam menerapkannya masih berpedoman pada undang-undang Polri dan kebijakan internal Polri di bidang Reserse yakni penerapan restorative justice untuk penanganan perkara ringan, sebagaimana tertuang di dalam TR Kabareskrim Polri Nomor: TR/1124/XI/2006. Penerapan restorative justice yang dilakukan Polri dalam proses penanganan perkara pidana di Polrestabes Bandung dapat dilihat dari 2 (dua) dimensi yakni: pertama: penanganan terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dalam pekerjaan, kedua : penangan perkara terkait kepentingan umum dan Harkamtibmas berdasarkan penilaian sendiri. Hambatan dan upaya yang dilakukan oleh Polrestabes Bandung dalam penerapan konsep restorative justice pada penanganan perkara pidana meliputi hambatan internal dan eksternal berupa kompetensi penyidik pada Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Bandung dibidang pengetahuan hukum, peraturan perundang-undangan, sistem peradilan pidana dan ketrampilan teknis dan taktis penyidikan masih belum optimal.
{"title":"TINJAUAN PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PROSES PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN DI TINGKAT PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN POLRESTABES BANDUNG","authors":"Rudhi Gindriansyah, M. T. Makarao, Moh. Zakky As","doi":"10.34005/veritas.v8i2.2065","DOIUrl":"https://doi.org/10.34005/veritas.v8i2.2065","url":null,"abstract":"Penyelesaian sengketa pidana dengan pembalasan atas suatu tindak pidana terhadap pelaku yaitu dengan menjatuhkan hukuman penjara sebagai bentuk dari putusan pengadilan. Dalam perkembangannya terhadap penyelesaian sengketa yang dirasa lebih dapat memulihkan hak-hak terhadap korban dan mengakomodir kepentingan para pihak dengan memberikan keadilan dan kemanfaatan dilakukan penyelesaian secara musyawarah. Adanya kelemahan serta ketidakpuasan terhadap operasionalitas sistem peradilan pidana telah mendorong lembaga penegak hukum khususnya kepolisian untuk mencari solusi penyelesaian perkara alternatif dari sistem peradilan pidana yang ada dengan penyelesaian perkara di luar jalur penal, cara yang dimaksud yaitu dengan cara mediasi sebagai perwujudan dari restorative justice. Permasalahan yang diteliti adalah: 1) bagaimana pengaturan terkait restorative justice di dalam peraturan perundang-undangan?, 2) bagaimana penerapan restorative justice di tingkat penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan di Polrestabes Bandung?, 3) bagaimana hambatan dan upaya yang dilakukan oleh Polri khususnya Polrestabes Bandung dalam penerapan restorative justice pada proses penanganan perkara pidana ringan?. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif yang mengkaji data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan \u0000tentang pengaturan terkait dasar Polri dalam menerapkan konsep restorative justice belum ada aturan hukum setingkat undang-undang sehingga Polri dalam menerapkannya masih berpedoman pada undang-undang Polri dan kebijakan internal Polri di bidang Reserse yakni penerapan restorative justice untuk penanganan perkara ringan, sebagaimana tertuang di dalam TR Kabareskrim Polri Nomor: TR/1124/XI/2006. Penerapan restorative justice yang dilakukan Polri dalam proses penanganan perkara pidana di Polrestabes Bandung dapat dilihat dari 2 (dua) dimensi yakni: pertama: penanganan terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dalam pekerjaan, kedua : penangan perkara terkait kepentingan umum dan Harkamtibmas berdasarkan penilaian sendiri. Hambatan dan upaya yang dilakukan oleh Polrestabes Bandung dalam penerapan konsep restorative justice pada penanganan perkara pidana meliputi hambatan internal dan eksternal berupa kompetensi penyidik pada Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Bandung dibidang pengetahuan hukum, peraturan perundang-undangan, sistem peradilan pidana dan ketrampilan teknis dan taktis penyidikan masih belum optimal.","PeriodicalId":37834,"journal":{"name":"Veritas","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-11-07","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42508885","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-11-07DOI: 10.34005/veritas.v8i2.2064
N. Nasrudin, M. T. Makarao, S. Riyanto
Penerapan program upaya Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) dalam rangka penanggulangan tindak pidana narkotika. Peran Satuan Narkoba Polres Cimahi dalam upaya optimalisasi pencegahan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Jenis penelitian dalam tesis ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif (descriptive research) dan eksplanatoris (explanatory research) yang berfokus menerangkan dan memperkuat peran SatNarkoba Polres Cimahi dalam pencegahan peredaran gelap Narkotika.Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) di Indonesia beberapa tahun ini menjadi masalah serius dan telah mencapai masalah keadaan yang memprihatinkan sehingga menjadi masalah nasional. Korban penyalahgunaan narkoba telah meluas sedemikian rupa sehingga melampaui batas-batas strata sosial, umur, jenis kelamin. Merambah tidak hanya perkotaan tetapi merambah sampai pedesaan dan melampaui batas Negara yang akibatnya sangat merugikan perorangan, masyarakat, Negara, khususnya generasi muda. Bahkan dapat menimbulkan bahaya lebih besar lagi bagi kehidupan dan nilai nilai budaya bangsa yang pada akhirnya dapat melemahkan ketahanan nasional.Trend perkembangan peredaran gelap Narkotika di wilayah Polres Cimahi saat ini sudah memasuki tahap yang sangat memprihatikan, baik dilihat dari kualitas maupun kuantitasnya, hal tersebut terlihat dengan banyaknya jumlah kasus yang ditangani Sat Narkoba Polres Cimahi serta jumlah barang bukti dan tersangka yang berhasil diamankan. Hal tersebut tentunya menuntut dilaksananya revitalisasi peran Polri khususnya Satuan Narkoba Polres Cimahi dalam pencegahan peredaran gelap Narkotika.
{"title":"OPTIMALISASI PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA MELALUI PROGRAM PENCEGAHAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA (P4GN) STUDI KASUS DI WILAYAH POLRES CIMAHI","authors":"N. Nasrudin, M. T. Makarao, S. Riyanto","doi":"10.34005/veritas.v8i2.2064","DOIUrl":"https://doi.org/10.34005/veritas.v8i2.2064","url":null,"abstract":"Penerapan program upaya Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) dalam rangka penanggulangan tindak pidana narkotika. Peran Satuan Narkoba Polres Cimahi dalam upaya optimalisasi pencegahan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Jenis penelitian dalam tesis ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif (descriptive research) dan eksplanatoris (explanatory research) yang berfokus menerangkan dan memperkuat peran SatNarkoba Polres Cimahi dalam pencegahan peredaran gelap Narkotika.Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) di Indonesia beberapa tahun ini menjadi masalah serius dan telah mencapai masalah keadaan yang memprihatinkan sehingga menjadi masalah nasional. Korban penyalahgunaan narkoba telah meluas sedemikian rupa sehingga melampaui batas-batas strata sosial, umur, jenis kelamin. Merambah tidak hanya perkotaan tetapi merambah sampai pedesaan dan melampaui batas Negara yang akibatnya sangat merugikan perorangan, masyarakat, Negara, khususnya generasi muda. Bahkan dapat menimbulkan bahaya lebih besar lagi bagi kehidupan dan nilai nilai budaya bangsa yang pada akhirnya dapat melemahkan ketahanan nasional.Trend perkembangan peredaran gelap Narkotika di wilayah Polres Cimahi saat ini sudah memasuki tahap yang sangat memprihatikan, baik dilihat dari kualitas maupun kuantitasnya, hal tersebut terlihat dengan banyaknya jumlah kasus yang ditangani Sat Narkoba Polres Cimahi serta jumlah barang bukti dan tersangka yang berhasil diamankan. Hal tersebut tentunya menuntut dilaksananya revitalisasi peran Polri khususnya Satuan Narkoba Polres Cimahi dalam pencegahan peredaran gelap Narkotika.","PeriodicalId":37834,"journal":{"name":"Veritas","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-11-07","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42324620","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-09-14DOI: 10.34005/veritas.v8i2.2060
Agus Dastam, Zainal Arifin Hoesein, R. Yulianto
Pelecehan seksual dari dulu hingga saat ini sangat menarik perhatian publik, terlebih dalam waktu belakangan kini. Pelecehan seksual sendiri tidak hanya meninggalkan bekas pada fisik, akan tetapi juga pada psikis korban. Meningkatnya jumlah korban dari pelecehan seksual terus saja bertambah dari tahun ke tahun. Terlebih lagi saat kodisi pandemi seperti ini, tingkat kasus pelecehan seksual masih saja bertambah banyak. Banyakya korban pelecehan seksual adalah para perempuan khususnya di usia yang masih muda. Tidak jarang tindakan pelecehan seksual juga kerap terjadi di lingkungan sekolah bahkan pesantren. Pelaku dari tindakan tersebut adalah oknum tak bertanggung jawab, sedangkan yang menjadi korban adalah murid santriwati yang menimba ilmu di pesantren tersebut. Tidak hanya itu bahkan pelecehan seksual juga kerap terjadi di dalam lingkungan keluarga maupun sosial. Saat ini pun sangat diperlukan upaya penegakan hukum yang adil dan setimpal bagi para pelaku pelecehan seksual dan juga tindakan atau penanganan yang baik untuk korban pelecehan seksual.
{"title":"OPTIMALISASI PENJATUHAN HUKUMAN TERHADAP PELAKU PENCABULAN TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR DI WILAYAH HUKUM POLRESTABES BANDUNG","authors":"Agus Dastam, Zainal Arifin Hoesein, R. Yulianto","doi":"10.34005/veritas.v8i2.2060","DOIUrl":"https://doi.org/10.34005/veritas.v8i2.2060","url":null,"abstract":"Pelecehan seksual dari dulu hingga saat ini sangat menarik perhatian publik, terlebih dalam waktu belakangan kini. Pelecehan seksual sendiri tidak hanya meninggalkan bekas pada fisik, akan tetapi juga pada psikis korban. Meningkatnya jumlah korban dari pelecehan seksual terus saja bertambah dari tahun ke tahun. Terlebih lagi saat kodisi pandemi seperti ini, tingkat kasus pelecehan seksual masih saja bertambah banyak. Banyakya korban pelecehan seksual adalah para perempuan khususnya di usia yang masih muda. Tidak jarang tindakan pelecehan seksual juga kerap terjadi di lingkungan sekolah bahkan pesantren. Pelaku dari tindakan tersebut adalah oknum tak bertanggung jawab, sedangkan yang menjadi korban adalah murid santriwati yang menimba ilmu di pesantren tersebut. Tidak hanya itu bahkan pelecehan seksual juga kerap terjadi di dalam lingkungan keluarga maupun sosial. Saat ini pun sangat diperlukan upaya penegakan hukum yang adil dan setimpal bagi para pelaku pelecehan seksual dan juga tindakan atau penanganan yang baik untuk korban pelecehan seksual. \u0000 ","PeriodicalId":37834,"journal":{"name":"Veritas","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-09-14","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48020405","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}