Tulisan ini mengatakan pernikahan beda agama merupakan fakta sosial yang tak terbantahkan di negeri Indonesia yang plural. Tapi fakta tersebut menjadi problem tersendiri bagi pelakunya karena status pernikahan mereka sering tidak dicatat atau tidak mendapat pengakuan dari negara. Di Indonesia pengakuan pernikahan dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) yang berfungsi mencatat perkawinan pasangan yang sama-sama beragama Islam. Sedangkan dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DKCS) berfungsi mencatatkan perkawinan kalangan yang bukan beragama Islam, seperti Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha serta Khonghucu. Sementara agama yang di luar itu, dianggap tidak berhak mengesahkan lembaga perkawinan. Padahal, sebetulnya, sesuai dengan aturan tentang civil registration PBB, pencatatan merupakan kewajiban negara untuk menjamin terpenuhinya hak-hak sipil warga atau citizen.Asumsi-asumsi tentang agama resmi dan yang tidak resmi sudah seharusnya ditinggalkan. Karena ternyata merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam masyarakat bangsa yang majemuk dan bhinneka ini. Perlu dilakukan revisi terhadap sejumlah peraturan atau undang-undang, antara lain UU Perkawinan Tahun 1974, agar segala bentuk diskriminasi atas dasar etnis, ras, budaya dan agama, terutama pencatatan perkawinan bagi pemeluk agama dan keyakinan tidak terjadi lagi. Di level praktik, perlu dilakukan penyuluhan kepada pegawai-pegawai KUA dan DKCS tentang kesadaran pentingnya pencatatan nikah beda agama sebagai hak-hak asasi manusia.
{"title":"Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia","authors":"Ahmad Nurcholish","doi":"10.58823/jham.v11i11.92","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v11i11.92","url":null,"abstract":"Tulisan ini mengatakan pernikahan beda agama merupakan fakta sosial yang tak terbantahkan di negeri Indonesia yang plural. Tapi fakta tersebut menjadi problem tersendiri bagi pelakunya karena status pernikahan mereka sering tidak dicatat atau tidak mendapat pengakuan dari negara. Di Indonesia pengakuan pernikahan dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) yang berfungsi mencatat perkawinan pasangan yang sama-sama beragama Islam. Sedangkan dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DKCS) berfungsi mencatatkan perkawinan kalangan yang bukan beragama Islam, seperti Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha serta Khonghucu. Sementara agama yang di luar itu, dianggap tidak berhak mengesahkan lembaga perkawinan. Padahal, sebetulnya, sesuai dengan aturan tentang civil registration PBB, pencatatan merupakan kewajiban negara untuk menjamin terpenuhinya hak-hak sipil warga atau citizen.Asumsi-asumsi tentang agama resmi dan yang tidak resmi sudah seharusnya ditinggalkan. Karena ternyata merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam masyarakat bangsa yang majemuk dan bhinneka ini. Perlu dilakukan revisi terhadap sejumlah peraturan atau undang-undang, antara lain UU Perkawinan Tahun 1974, agar segala bentuk diskriminasi atas dasar etnis, ras, budaya dan agama, terutama pencatatan perkawinan bagi pemeluk agama dan keyakinan tidak terjadi lagi. Di level praktik, perlu dilakukan penyuluhan kepada pegawai-pegawai KUA dan DKCS tentang kesadaran pentingnya pencatatan nikah beda agama sebagai hak-hak asasi manusia.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"114 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"117260560","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Kompetisi dalam setiap pemilihan umum sering dimaknai oleh para pihak sesuai dengan kebutuhan politik yang mereka targetkan; dan sekaligus ditentukan oleh konteks dan karakter sosial masyarakatnya. Pemilu 2004, 2009 dan 2014 memiliki konteksnya masing-masing untuk Aceh. Konteks yang dimaksud adalah konteks dalam periode konflik, pasca konflik dan pada masa perawatan perdamaian. Dalam ketiga periode itu terlihat bahwa sikap politik pun berubah sejalan dengan perubahan konteks dan kepentingan.
{"title":"Pemilu:Pemaknaan Demokrasi dari Aceh","authors":"Otto Nur Abdullah, Rima Salim","doi":"10.58823/jham.v10i10.82","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v10i10.82","url":null,"abstract":"Kompetisi dalam setiap pemilihan umum sering dimaknai oleh para pihak sesuai dengan kebutuhan politik yang mereka targetkan; dan sekaligus ditentukan oleh konteks dan karakter sosial masyarakatnya. Pemilu 2004, 2009 dan 2014 memiliki konteksnya masing-masing untuk Aceh. Konteks yang dimaksud adalah konteks dalam periode konflik, pasca konflik dan pada masa perawatan perdamaian. Dalam ketiga periode itu terlihat bahwa sikap politik pun berubah sejalan dengan perubahan konteks dan kepentingan.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"10 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132583752","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Meningkatnya kasus-kasus kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) di Indonesia menjadikan diskursus tentang KBB ini menjadi perhatian banyak pihak, pemerintah, masyarakat sipil, akademisi dan pihak-pihak berkepentingan lainnya. Kebaruan wacana KBB sendiri menjadikan tema ini tidak cukup banyak dipahami, bahkan oleh para penggiat HAM dari pelbagai elemen pemerintah atau masyarakat. Kebutuhan untuk sumber daya informasi terhadap tema KBB ini menjadikan dua buku yang direview dalam tulisan ini menjadi sangat relevan dan penting, karena buku yang ditulis oleh Tore Lindholm, dkk., Fasilitasi Kebebasan Beragama: Seberapa Jauh? telah mampu menghasilkan sebuah kajian mendalam tentang KBB, dari pelbagai sudut pandang, sumber dan latar belakang penulis. Di sisi yang lain, buku kedua yang ditulis oleh Ahmad Sueady, dkk., Islam, HAM dan Konstitusi, merupakan sumber penting untuk lebih menerjemahkan tema-tema KBB yang telah dibahas dalam buku pertama dalam konteks Indonesia. Berdasarkan dua buku tersebut, artikel ini mencoba untuk melihat norma-norma ideal dalam KBB, sekilas tentang praktik yang ada secara komparatif dan bagaimana nilai-nilai itu berhadapan dengan lokalitas budaya atau tradisi.
{"title":"Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas","authors":"Muhammad Hafiz","doi":"10.58823/jham.v11i11.88","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v11i11.88","url":null,"abstract":"Meningkatnya kasus-kasus kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) di Indonesia menjadikan diskursus tentang KBB ini menjadi perhatian banyak pihak, pemerintah, masyarakat sipil, akademisi dan pihak-pihak berkepentingan lainnya. Kebaruan wacana KBB sendiri menjadikan tema ini tidak cukup banyak dipahami, bahkan oleh para penggiat HAM dari pelbagai elemen pemerintah atau masyarakat. Kebutuhan untuk sumber daya informasi terhadap tema KBB ini menjadikan dua buku yang direview dalam tulisan ini menjadi sangat relevan dan penting, karena buku yang ditulis oleh Tore Lindholm, dkk., Fasilitasi Kebebasan Beragama: Seberapa Jauh? telah mampu menghasilkan sebuah kajian mendalam tentang KBB, dari pelbagai sudut pandang, sumber dan latar belakang penulis. Di sisi yang lain, buku kedua yang ditulis oleh Ahmad Sueady, dkk., Islam, HAM dan Konstitusi, merupakan sumber penting untuk lebih menerjemahkan tema-tema KBB yang telah dibahas dalam buku pertama dalam konteks Indonesia. Berdasarkan dua buku tersebut, artikel ini mencoba untuk melihat norma-norma ideal dalam KBB, sekilas tentang praktik yang ada secara komparatif dan bagaimana nilai-nilai itu berhadapan dengan lokalitas budaya atau tradisi.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"6 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131614535","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Setiap orang memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk mengamalkan agama dan kepercayaannya. Hak ini dijamin oleh instrumen Hak Asasi Manusia. Tidak ada seorangpun yang boleh dipaksa untuk memilih agama. Tidak ada yang berhak mengurangi, membatasi atau menghilangkan hak seseorang untuk memeluk agamanya. Karena hak beragama dan berkeyakinan adalah non-derogable right, suatu hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Penulis, yang merupakan Special Rapporteur Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM, menekankan bahwa Konstitusi dan Undang- Undang yang berlaku di Indonesia memberi jaminan bahwa memilih, memeluk, mengimani dan menjalankan ibadat suatu agama dan kepercayaan adalah hak bagi setiap individu.Secara jelas, Penulis menjabarkan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dapat dipilah kedalam kategori: forum internum (privat freedom) dan forum externum (public freedom), kewajiban negara terkait forum internum dan forum externum serta bentuk dan jenis pelanggarannya yang terjadi di Indonesia.Penulis melengkapi artikel ini dengan data-data terkini dan komprehensif terkait pelanggaran atas Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, yang tidak saja dihasilkan oleh Komnas HAM, namun juga oleh lembaga masyarakat Sipil yang menaruh perhatian khusus pada isu ini.Tulisan ini ditutup dengan rekomendasi yang patut dijadikan pertimbangan bagi Pemerintah baik pihak eksekutif maupun legislatif dan terutama Kepolisian Republik Indonesia dalam menjalankan kewajibannya terkait pemenuhan dan perlindungan Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan bagi Warga Negara Indonesia.
{"title":"Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia","authors":"Imdadun Rahmat","doi":"10.58823/jham.v11i11.86","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v11i11.86","url":null,"abstract":"Setiap orang memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk mengamalkan agama dan kepercayaannya. Hak ini dijamin oleh instrumen Hak Asasi Manusia. Tidak ada seorangpun yang boleh dipaksa untuk memilih agama. Tidak ada yang berhak mengurangi, membatasi atau menghilangkan hak seseorang untuk memeluk agamanya. Karena hak beragama dan berkeyakinan adalah non-derogable right, suatu hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Penulis, yang merupakan Special Rapporteur Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM, menekankan bahwa Konstitusi dan Undang- Undang yang berlaku di Indonesia memberi jaminan bahwa memilih, memeluk, mengimani dan menjalankan ibadat suatu agama dan kepercayaan adalah hak bagi setiap individu.Secara jelas, Penulis menjabarkan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dapat dipilah kedalam kategori: forum internum (privat freedom) dan forum externum (public freedom), kewajiban negara terkait forum internum dan forum externum serta bentuk dan jenis pelanggarannya yang terjadi di Indonesia.Penulis melengkapi artikel ini dengan data-data terkini dan komprehensif terkait pelanggaran atas Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, yang tidak saja dihasilkan oleh Komnas HAM, namun juga oleh lembaga masyarakat Sipil yang menaruh perhatian khusus pada isu ini.Tulisan ini ditutup dengan rekomendasi yang patut dijadikan pertimbangan bagi Pemerintah baik pihak eksekutif maupun legislatif dan terutama Kepolisian Republik Indonesia dalam menjalankan kewajibannya terkait pemenuhan dan perlindungan Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan bagi Warga Negara Indonesia.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"12 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124787511","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
ulisan ini ingin mendiskusikan berbagai persoalan yang muncul dalam kaitannya dengan pendirian rumah ibadah di Indonesia, mulai dari persoalan filosofis, sosiologis, hingga politik hukum dan implikasinya terjahap jaminan kebebasan beragama di Indonesia.Dari diskusi tersebut diharapkan akan diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai faktor yang paling dominan mempengaruhi terhalangnya jalan keluar permanen problem pendirian rumah ibadah baik di tingkat pusat maupun di berbagai daerah. Selama ini terdapat analisis yang berkembang dan bahwa problem rumah ibadah sangat dipengaruhi oleh ketidaktegasan pemerintah dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan yang ada. Namun hal ini belum pernah dibuktikan secara akademik dan lebih merupakan analisis politik. Oleh karenanya, tulisan ini akan berusaha menemukan berbagai keterkaitan dari elemen-elemen yang ada termasuk membedah secara menyeluruh aturan-aturan hukum yang dimaksud.
{"title":"Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia","authors":"M. S. Azhari","doi":"10.58823/jham.v11i11.87","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v11i11.87","url":null,"abstract":"ulisan ini ingin mendiskusikan berbagai persoalan yang muncul dalam kaitannya dengan pendirian rumah ibadah di Indonesia, mulai dari persoalan filosofis, sosiologis, hingga politik hukum dan implikasinya terjahap jaminan kebebasan beragama di Indonesia.Dari diskusi tersebut diharapkan akan diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai faktor yang paling dominan mempengaruhi terhalangnya jalan keluar permanen problem pendirian rumah ibadah baik di tingkat pusat maupun di berbagai daerah. Selama ini terdapat analisis yang berkembang dan bahwa problem rumah ibadah sangat dipengaruhi oleh ketidaktegasan pemerintah dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan yang ada. Namun hal ini belum pernah dibuktikan secara akademik dan lebih merupakan analisis politik. Oleh karenanya, tulisan ini akan berusaha menemukan berbagai keterkaitan dari elemen-elemen yang ada termasuk membedah secara menyeluruh aturan-aturan hukum yang dimaksud.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"68 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128172146","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tulisan ini menguji hubungan antara hak asasi manusia, dinamika kekuatan, dan interaksi di antara para pemangku kepentingan terkait dengan kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada tahun 2010. Kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi adalah bagian yang sangat mendasar dalam proses untuk membangun kembali penghidupan, mata pencaharian, dan meningkatkan daya tahan masyarakat terhadap bencana, maka pendekatan berbasis hak asasi manusia berperan sangat penting untuk memastikan adanya partisipasi dan pemberdayaan individu dan masyarakat (penyandang hak) dan ditegakkannya prinsip non-diskriminasi dan akuntabilitas penyelenggara negara (pengemban kewajiban). Pendekatan berbasis hak asasi manusia berfungsi untuk mengatasi, memulihkan, dan memberikan solusi terhadap isu-isu hak asasi manusia dalam penanganan bencana sehingga mampu membantu para pemangku kepentingan untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi yang efektif, berkelanjutan, dan akuntabel.
{"title":"Pendekatan Berbasis HAM dalam Penanganan Bencana: Kasus Erupsi Gunung Merapi","authors":"Mimin Dwi Hartono","doi":"10.58823/jham.v8i8.73","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v8i8.73","url":null,"abstract":"Tulisan ini menguji hubungan antara hak asasi manusia, dinamika kekuatan, dan interaksi di antara para pemangku kepentingan terkait dengan kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada tahun 2010. Kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi adalah bagian yang sangat mendasar dalam proses untuk membangun kembali penghidupan, mata pencaharian, dan meningkatkan daya tahan masyarakat terhadap bencana, maka pendekatan berbasis hak asasi manusia berperan sangat penting untuk memastikan adanya partisipasi dan pemberdayaan individu dan masyarakat (penyandang hak) dan ditegakkannya prinsip non-diskriminasi dan akuntabilitas penyelenggara negara (pengemban kewajiban). Pendekatan berbasis hak asasi manusia berfungsi untuk mengatasi, memulihkan, dan memberikan solusi terhadap isu-isu hak asasi manusia dalam penanganan bencana sehingga mampu membantu para pemangku kepentingan untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi yang efektif, berkelanjutan, dan akuntabel.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"38 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114276902","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pemerintah sebagai representasi negara memiliki kewajiban untuk memenuhi dan memajukan hak warga negara atas pendidikan. Pemenuhan hak pendidikan tersebut diyakini akan berdampak pada pemenuhan hak-hak dasar lainnya seperti hak sipil dan politik. Pemerintah perlu menyelenggarakan pendidikan berbasis HAM melalui berbagai strategi pendekatan, seperti misalnya mewujudkan pendidikan gratis, pendidikan inklusif, dan metode pengajaran tanpa kekerasan.
{"title":"Pemenuhan Hak-Hak Atas Pendidikan","authors":"Darmaningtyas Heranisty Nasution","doi":"10.58823/jham.v8i8.71","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v8i8.71","url":null,"abstract":"Pemerintah sebagai representasi negara memiliki kewajiban untuk memenuhi dan memajukan hak warga negara atas pendidikan. Pemenuhan hak pendidikan tersebut diyakini akan berdampak pada pemenuhan hak-hak dasar lainnya seperti hak sipil dan politik. Pemerintah perlu menyelenggarakan pendidikan berbasis HAM melalui berbagai strategi pendekatan, seperti misalnya mewujudkan pendidikan gratis, pendidikan inklusif, dan metode pengajaran tanpa kekerasan.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"104 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124771480","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Masyarakat hukum adat adalah entitas antropologis yang tumbuh secara alamiah pada suatu bagian muka bumi tertentu, dan terdiri dari berbagai komunitas primordial berukuran kecil yang warganya mempunyai hubungan darah satu sama lainnya. Kata-kata kunci untuk memahami masyarakat hukum adat adalah kekeluargaan dan kebersamaan. Sedangkan imperium dan negara nasional adalah entitas- entitas politik baru yang bersifat artifisial, yang dirancang untuk menguasai seluruh penduduk yang mendiami suatu daerah yang lebih luas, yang lazimnya mempunyai sumber daya alam yang kaya. Kata-kata kunci untuk memahami imperium dan negara nasional ini adalah kedaulatan dan kekuasaan.
{"title":"Arah Politik Hukum Nasional Terhadap Upaya Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat [Hukum Adat] Berdasarkan Uud Nkri","authors":"Saafroedin Bahar, R. Suryasaputra","doi":"10.58823/jham.v8i8.69","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v8i8.69","url":null,"abstract":"Masyarakat hukum adat adalah entitas antropologis yang tumbuh secara alamiah pada suatu bagian muka bumi tertentu, dan terdiri dari berbagai komunitas primordial berukuran kecil yang warganya mempunyai hubungan darah satu sama lainnya. Kata-kata kunci untuk memahami masyarakat hukum adat adalah kekeluargaan dan kebersamaan. Sedangkan imperium dan negara nasional adalah entitas- entitas politik baru yang bersifat artifisial, yang dirancang untuk menguasai seluruh penduduk yang mendiami suatu daerah yang lebih luas, yang lazimnya mempunyai sumber daya alam yang kaya. Kata-kata kunci untuk memahami imperium dan negara nasional ini adalah kedaulatan dan kekuasaan.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"98 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132552565","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara guna menjamin warganegaranya untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak, sebagaimana dalam DUHAM 1948 dan Konvensi ILO No.102 Tahun 1952. Jaminan sosial merupakan sebuah upaya untuk menciptakan sebuah kesejahteraan sosial antara lain dengan memberikan perlindungan sosial. Perlindungan sosial sendiri meliputi upaya untuk mengatasi dan memberantas kemiskinan, pemberian bantuan dan perlindungan kepada kelompok lanjut usia, mereka yang mengalami kecacatan, kelompok pengangguran, keluarga dan anak- anak, dan lain-lain.Semestinya iuran itu dibayar atau ditanggung oleh pemerintah, karena memang sudah menjadi kewajiban negara. Hasil kekayaan negara seharusnya digunakan untuk menyejahterakan rakyat Indonesia.
1948年的《DUHAM》和1952年的《国际劳工组织公约》(ILO on on)中,社会保障是国家为保障公民获得适当生活必需品而制定的社会保障措施之一。社会保障是一种通过提供社会保护来创造社会福利的努力。个人的社会保护包括解决和消除贫困、向老年人、残疾人士、失业人员、家庭和儿童等人提供援助和保护。这些费用应该由政府支付或支付,因为它们是国家的责任。国家财富将用于祝福印尼人民。
{"title":"Pemberian Jaminan Sosial Dalam Hak Asasi Manusia","authors":"Stanley Yosep Adi Prasetyo","doi":"10.58823/jham.v8i8.76","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v8i8.76","url":null,"abstract":"Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara guna menjamin warganegaranya untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak, sebagaimana dalam DUHAM 1948 dan Konvensi ILO No.102 Tahun 1952. Jaminan sosial merupakan sebuah upaya untuk menciptakan sebuah kesejahteraan sosial antara lain dengan memberikan perlindungan sosial. Perlindungan sosial sendiri meliputi upaya untuk mengatasi dan memberantas kemiskinan, pemberian bantuan dan perlindungan kepada kelompok lanjut usia, mereka yang mengalami kecacatan, kelompok pengangguran, keluarga dan anak- anak, dan lain-lain.Semestinya iuran itu dibayar atau ditanggung oleh pemerintah, karena memang sudah menjadi kewajiban negara. Hasil kekayaan negara seharusnya digunakan untuk menyejahterakan rakyat Indonesia.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"101 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-02","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116333143","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Konflik agraria yang terjadi di Indonesia dipengaruhi oleh faktor kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh negara. Negara mengeluarkan kebijakan di sektor agraria yang tidak memihak kepada kepentingan masyarakat. Kebijakannya hanya menguntungkan pemilik modal besar. Memberi kemudahan bagi mereka untuk mengelola dan menguasai sumber- sumber daya agraria. Meminggirkan kepentingan masyarakat. Mengabaikan kebijakan pembaruan agraria yang menguntungkan pihak masyarakat dan sesuai dengan norma hak asasi manusia. Pengabaian kebijakan pembaruan agraria berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia pada sektor agraria.Konflikagraria yangterjadidiIndonesiadipengaruhiolehfaktorkebijakan-kebijakan yangdihasilkanolehnegara.Negaramengeluarkankebijakandisektoragrariayangtidak memihakkepadakepentinganmasyarakat.Kebijakannyahanyamenguntungkanpemilik modalbesar.Memberikemudahanbagimerekauntukmengeloladanmenguasaisumber- sumberdayaagraria.Meminggirkankepentingan masyarakat.Mengabaikankebijakan pembaruanagrariayangmenguntungkanpihakmasyarakatdansesuaidengannormahak asasimanusia.Pengabaiankebijakanpembaruanagrariaberdampakpadapelanggaran hakasasimanusiapada sektoragraria.
{"title":"Kebijakan Agraria dan Hak Asasi Manusia","authors":"Louvikar Alfan Cahasta","doi":"10.58823/jham.v7i7.66","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v7i7.66","url":null,"abstract":"Konflik agraria yang terjadi di Indonesia dipengaruhi oleh faktor kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh negara. Negara mengeluarkan kebijakan di sektor agraria yang tidak memihak kepada kepentingan masyarakat. Kebijakannya hanya menguntungkan pemilik modal besar. Memberi kemudahan bagi mereka untuk mengelola dan menguasai sumber- sumber daya agraria. Meminggirkan kepentingan masyarakat. Mengabaikan kebijakan pembaruan agraria yang menguntungkan pihak masyarakat dan sesuai dengan norma hak asasi manusia. Pengabaian kebijakan pembaruan agraria berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia pada sektor agraria.Konflikagraria yangterjadidiIndonesiadipengaruhiolehfaktorkebijakan-kebijakan yangdihasilkanolehnegara.Negaramengeluarkankebijakandisektoragrariayangtidak memihakkepadakepentinganmasyarakat.Kebijakannyahanyamenguntungkanpemilik modalbesar.Memberikemudahanbagimerekauntukmengeloladanmenguasaisumber- sumberdayaagraria.Meminggirkankepentingan masyarakat.Mengabaikankebijakan pembaruanagrariayangmenguntungkanpihakmasyarakatdansesuaidengannormahak asasimanusia.Pengabaiankebijakanpembaruanagrariaberdampakpadapelanggaran hakasasimanusiapada sektoragraria.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"55 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123579231","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}