Pub Date : 2021-09-20DOI: 10.58823/jham.v14i14.109
Asep Mulyana
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bertujuan untuk membangun pasar tunggal dan basis produksi di ASEAN sebelum tahun 2015. Untuk tujuan ini, hambatan arus modal, barang, jasa, investasi dan tenaga kerja terampil di ASEAN akan dipotong. Beberapa wilayah khusus yang memiliki prioritas dalam liberalisasi ini adalah makanan, kehutanan, dan pertanian. Di bidang pertanian, kita dihadapkan dengan beberapa masalah utama, yaitu tanah, infrastruktur, benih dan pupuk, tenaga kerja pertanian, hubungan harga dan distribusi, asuransi pertanian, produktivitas, dan lembaga petani. Dalam kondisi petani dan pertanian kita yang lemah, MEA dapat berdampak pada marjinalisasi petani. Dalam studi ini, pemerintah belum menciptakan kebijakan pertanian yang harmonis dengan kebijakan perdagangan. Kebijakan yang ada masih bersifat sektoral dan parsial. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memiliki peta jalan dalam menghadapi MEA, termasuk menyiapkan kerangka peraturan nasional yang merupakan perspektif integral, konsisten, dan hak asasi manusia di sektor pertanian.
{"title":"MEA dan Kondisi Petani Padi Kita: Sebuah Studi Awal","authors":"Asep Mulyana","doi":"10.58823/jham.v14i14.109","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v14i14.109","url":null,"abstract":"Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bertujuan untuk membangun pasar tunggal dan basis produksi di ASEAN sebelum tahun 2015. Untuk tujuan ini, hambatan arus modal, barang, jasa, investasi dan tenaga kerja terampil di ASEAN akan dipotong. Beberapa wilayah khusus yang memiliki prioritas dalam liberalisasi ini adalah makanan, kehutanan, dan pertanian. Di bidang pertanian, kita dihadapkan dengan beberapa masalah utama, yaitu tanah, infrastruktur, benih dan pupuk, tenaga kerja pertanian, hubungan harga dan distribusi, asuransi pertanian, produktivitas, dan lembaga petani. Dalam kondisi petani dan pertanian kita yang lemah, MEA dapat berdampak pada marjinalisasi petani. Dalam studi ini, pemerintah belum menciptakan kebijakan pertanian yang harmonis dengan kebijakan perdagangan. Kebijakan yang ada masih bersifat sektoral dan parsial. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memiliki peta jalan dalam menghadapi MEA, termasuk menyiapkan kerangka peraturan nasional yang merupakan perspektif integral, konsisten, dan hak asasi manusia di sektor pertanian.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"101 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128231880","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Artikel ini membahas belum terpenuhinya hak atas informasi di Papua. Kondisi tersebut dipaparkan diawali dengan penjelasan tentang realitas sosial masyarakat di Papua, khususnya terkait kekerasan yang terjadi baik secara sosial, politik dan juga ekonomi. Kemudian artikel ini memaparkan adanya reformasi lokal yang memiliki beberapa catatan kegagalan dan keberhasilannya sendiri. Bagian berikutnya memaparkan kondisi geografis Papua dan kendala yang dihadapi Media di Papua berdasarkan kondisi geografis tersebut. Ketiga subtema itu dipaparkan sebagai pengantar bagi kondisi media dan pers di Papua. Pada bagian selanjutnya sejarah pers di Papua sebelum era reformasi, dilanjutkan dengan pers pada saat era reformasi juga dijelaskan. Problematika Pers di Papua dipaparkan pada bagian ini termasuk ancaman bagi pers itu sendiri. Setidaknya terdapat dua ancaman yang nyata bagi kondisi pers dan media di Papua. Ancaman Eksternal dan ancaman hukum. Artikel ini juga memaparkan situasi bisnis pers yang setidaknya berkorelasi dengan isi Media di Papua yang memprihatinkan. Hal lain yang juga digambarkan dalam artikel ini adalah tantangan yang dihadapi oleh media dan pers di Papua, yaitu potensi konflik yang timbul dimasyarakat dan sulitnya membuat berita. Kondisi lainnya yang juga terjadi adalah pembatasan akses bagi wartawan luar negeri yang juga terjadi. Tantangan – tantangan tersebut mengakibatkan media dan pers di Papua sulit bergerak dan menjalankan perannya sebagai the forth estate, lebih jauh lagi, kondisi tersebut menyebabkan hak atas informasi semakin sulit terpenuhi di Papua. Pada akhirnya menutup kebebasan pers dan akses terhadap informasi di Papua, semakin membuat situasi Papua tidak kondusif dan menghambat upaya mengurangi kekerasan yang terjadi disana.
{"title":"Potret Pers dan Media di Papua: Belum Hadir Memenuhi Hak Atas Informasi","authors":"Yosep Adi Prasetyo","doi":"10.58823/jham.v12i12.96","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v12i12.96","url":null,"abstract":"Artikel ini membahas belum terpenuhinya hak atas informasi di Papua. Kondisi tersebut dipaparkan diawali dengan penjelasan tentang realitas sosial masyarakat di Papua, khususnya terkait kekerasan yang terjadi baik secara sosial, politik dan juga ekonomi. Kemudian artikel ini memaparkan adanya reformasi lokal yang memiliki beberapa catatan kegagalan dan keberhasilannya sendiri. Bagian berikutnya memaparkan kondisi geografis Papua dan kendala yang dihadapi Media di Papua berdasarkan kondisi geografis tersebut. Ketiga subtema itu dipaparkan sebagai pengantar bagi kondisi media dan pers di Papua. Pada bagian selanjutnya sejarah pers di Papua sebelum era reformasi, dilanjutkan dengan pers pada saat era reformasi juga dijelaskan. Problematika Pers di Papua dipaparkan pada bagian ini termasuk ancaman bagi pers itu sendiri. Setidaknya terdapat dua ancaman yang nyata bagi kondisi pers dan media di Papua. Ancaman Eksternal dan ancaman hukum. Artikel ini juga memaparkan situasi bisnis pers yang setidaknya berkorelasi dengan isi Media di Papua yang memprihatinkan. Hal lain yang juga digambarkan dalam artikel ini adalah tantangan yang dihadapi oleh media dan pers di Papua, yaitu potensi konflik yang timbul dimasyarakat dan sulitnya membuat berita. Kondisi lainnya yang juga terjadi adalah pembatasan akses bagi wartawan luar negeri yang juga terjadi. Tantangan – tantangan tersebut mengakibatkan media dan pers di Papua sulit bergerak dan menjalankan perannya sebagai the forth estate, lebih jauh lagi, kondisi tersebut menyebabkan hak atas informasi semakin sulit terpenuhi di Papua. Pada akhirnya menutup kebebasan pers dan akses terhadap informasi di Papua, semakin membuat situasi Papua tidak kondusif dan menghambat upaya mengurangi kekerasan yang terjadi disana.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"40 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"117318308","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-09-20DOI: 10.58823/jham.v14i14.110
Rusman Widodo
Tindak kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap peserta didik di Indonesia menunjukkan angka yang cukup tinggi. Tercatat sebanyak 29,9% guru melakukan tindak kekerasan di sekolah. Penyebab guru melakukan tindak kekerasan antara lain karena pengetahuan yang kurang, persoalan psikologis, persepsi yang keliru dalam memandang peserta didik, tekanan kerja yang berat, dan anggapan tentang boleh melakukan kekerasan moderat untuk mendisiplinkan peserta didik. Fenomena kekerasan oleh guru ini telah menimbulkan keresahan yang serius di masyarakat. Guru sebagai pembela hak asasi manusia semestinya meninggalkan segala macam bentuk kekerasan dalam mendidik. Guru harus aktif mencari dan menemukan cara-cara yang inovatif dalam mengelola proses pembelajaran dan dalam mendisiplinkan peserta didik. Sebagai pembela hak asasi manusia, guru wajib untuk menaati dan mengimplementasikan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang termuat di berbagai aturan hukum dan hak asasi manusia, terutama aturan terkait hak atas pendidikan.
{"title":"Tanggung Jawab Guru Sebagai Human Rights Defender","authors":"Rusman Widodo","doi":"10.58823/jham.v14i14.110","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v14i14.110","url":null,"abstract":"Tindak kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap peserta didik di Indonesia menunjukkan angka yang cukup tinggi. Tercatat sebanyak 29,9% guru melakukan tindak kekerasan di sekolah. Penyebab guru melakukan tindak kekerasan antara lain karena pengetahuan yang kurang, persoalan psikologis, persepsi yang keliru dalam memandang peserta didik, tekanan kerja yang berat, dan anggapan tentang boleh melakukan kekerasan moderat untuk mendisiplinkan peserta didik. Fenomena kekerasan oleh guru ini telah menimbulkan keresahan yang serius di masyarakat. Guru sebagai pembela hak asasi manusia semestinya meninggalkan segala macam bentuk kekerasan dalam mendidik. Guru harus aktif mencari dan menemukan cara-cara yang inovatif dalam mengelola proses pembelajaran dan dalam mendisiplinkan peserta didik. Sebagai pembela hak asasi manusia, guru wajib untuk menaati dan mengimplementasikan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang termuat di berbagai aturan hukum dan hak asasi manusia, terutama aturan terkait hak atas pendidikan.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"255 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116010933","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-09-20DOI: 10.58823/jham.v14i14.107
Agus Suntoro
Pengaduan masyarakat ke Komnas HAM RI dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan, baik dalam aspek kuantitas dan kualitas. Jika sebelumnya aktor non – negara dalam hal ini korporasi tidak terlalu menonjol, justru dalam 5 (lima) tahun terakhir pengaduan terhadap dugaan pelanggaran HAM oleh sektor ini memiliki tren yang meningkat, baik dalam industri pertambangan, perkebunan, kehutanan, minyak dan gas. Dengan semakin menguatnya peran korporasi dan di sisi lain negara semakin sulit melakukan kontrol terhadap entitas ini, maka pendekatan HAM untuk memastikan perlindungan dan pemulihan terhadap masyarakat, khususnya yang terdampak menjadi relevan – tidak sekedar menuntut penghormatan korporasi terhadap peraturan perundang-undangan semata.
{"title":"Pendekatan HAM dalam Penyelesaian Konflik dengan Korporasi Pertambangan dan Migas","authors":"Agus Suntoro","doi":"10.58823/jham.v14i14.107","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v14i14.107","url":null,"abstract":"Pengaduan masyarakat ke Komnas HAM RI dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan, baik dalam aspek kuantitas dan kualitas. Jika sebelumnya aktor non – negara dalam hal ini korporasi tidak terlalu menonjol, justru dalam 5 (lima) tahun terakhir pengaduan terhadap dugaan pelanggaran HAM oleh sektor ini memiliki tren yang meningkat, baik dalam industri pertambangan, perkebunan, kehutanan, minyak dan gas. Dengan semakin menguatnya peran korporasi dan di sisi lain negara semakin sulit melakukan kontrol terhadap entitas ini, maka pendekatan HAM untuk memastikan perlindungan dan pemulihan terhadap masyarakat, khususnya yang terdampak menjadi relevan – tidak sekedar menuntut penghormatan korporasi terhadap peraturan perundang-undangan semata.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"17 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127347453","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi, selalu mencerminkan konteks sosial-politik dan arah dari kebijakan negara saat itu, demikian juga yang terjadi di Papua. Konteks pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Papua berawal dari ketegangan politik semasa penyatuan Papua yang saat itu masih bernama Irian Barat dengan Indonesia akibat pro dan kontra yang ada. Peristiwa pelanggaran HAM yang berat terus terjadi di Papua hingga sekarang meskipun telah berlaku UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, dimana latar belakang undang- undang ini adalah dalam rangka memenuhi rasa keadilan bagi rakyat Papua. Bahkan secara khusus diatur pula tentang langkah-langkah penyelesaian permasalahan HAM. Pengalaman penyelesaian terhadap pelanggaran HAM yang berat melalui pengadilan HAM untuk kasus Abepura yang mengalami kebuntuan rupanya menjadi kendala juga dalam mengupayakan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di Papua. Bukan hanya kendala teknis namun juga persoalan kemauan politik pemerintah yang hingga saat ini masih dipertanyakan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat di Papua, beberapa jalan yang disediakan oleh hukum seperti pembentukan Pengadilan HAM maupun Komisi Kebenaran tidak juga dilakukan. Pada bagian terakhir tulisan ini ditawarkan langkah-langkah baru yang mungkin dapat ditempuh oleh Komnas HAM dengan kewenangannya dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Papua.
{"title":"Pelanggaran HAM yang Berat di Papua: Konteks dan Solusinya","authors":"Amiruddin Al-Rahab","doi":"10.58823/jham.v12i12.95","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v12i12.95","url":null,"abstract":"Peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi, selalu mencerminkan konteks sosial-politik dan arah dari kebijakan negara saat itu, demikian juga yang terjadi di Papua. Konteks pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Papua berawal dari ketegangan politik semasa penyatuan Papua yang saat itu masih bernama Irian Barat dengan Indonesia akibat pro dan kontra yang ada. Peristiwa pelanggaran HAM yang berat terus terjadi di Papua hingga sekarang meskipun telah berlaku UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, dimana latar belakang undang- undang ini adalah dalam rangka memenuhi rasa keadilan bagi rakyat Papua. Bahkan secara khusus diatur pula tentang langkah-langkah penyelesaian permasalahan HAM. Pengalaman penyelesaian terhadap pelanggaran HAM yang berat melalui pengadilan HAM untuk kasus Abepura yang mengalami kebuntuan rupanya menjadi kendala juga dalam mengupayakan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di Papua. Bukan hanya kendala teknis namun juga persoalan kemauan politik pemerintah yang hingga saat ini masih dipertanyakan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat di Papua, beberapa jalan yang disediakan oleh hukum seperti pembentukan Pengadilan HAM maupun Komisi Kebenaran tidak juga dilakukan. Pada bagian terakhir tulisan ini ditawarkan langkah-langkah baru yang mungkin dapat ditempuh oleh Komnas HAM dengan kewenangannya dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Papua.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"11 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131303883","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara Nomor 35/PUU-X/2012 untuk Undang-Undang Nomor 41 tentang Kehutanan menegaskan bahwa definisi hutan adat telah berubah menjadi “hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” dan hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara, melainkan bagian dari hutan hak. Keputusan MK ini mengubah konstelasi politik hukum dibidang kehutanan, semula mengabaikan keberadaan dan hak masyarakat adat, menjadi mengakui masyarakat adat sebagai subjek hukum serta hak-haknya atas tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya. Namun demikian keputusan MK Nomor 35 tersebut menolak mengenai pengakuan bersyarat terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-haknya atas hutan, sebagaimana diatur dalam pasal 67. Semestinya politik rekognisi ini tidak berlaku bagi provinsi yang sudah mengakui keberadaan masyarakat hukum adat khususnya Provinsi Papua dan Papua Barat yang memiliki Undang-Undang Nomor 21Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Papua juga memiliki beberapa Perdasus yang mengatur mengenai pengakuan masyarakat hukum adat, tapi hal ini justru malah menghambat pengembalian hak ulayat. Tentu saja keputusan MK Nomor 35 ini juga berimplikasi pada kepentingan investasi di sektor kehutanan yang selama puluhan tahun mendapat konsesi dari negara.
{"title":"Kehutanan, Sumber Daya Alam dan Masyarakat Adat di Papua Pasca Keputusan MK No.35/PUU- X/2012 tentang Hak Masyarakat Adat Atas Wilayah Kehutanan","authors":"Yafet Leonard Franky","doi":"10.58823/jham.v12i12.98","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v12i12.98","url":null,"abstract":"Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara Nomor 35/PUU-X/2012 untuk Undang-Undang Nomor 41 tentang Kehutanan menegaskan bahwa definisi hutan adat telah berubah menjadi “hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” dan hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara, melainkan bagian dari hutan hak. Keputusan MK ini mengubah konstelasi politik hukum dibidang kehutanan, semula mengabaikan keberadaan dan hak masyarakat adat, menjadi mengakui masyarakat adat sebagai subjek hukum serta hak-haknya atas tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya. Namun demikian keputusan MK Nomor 35 tersebut menolak mengenai pengakuan bersyarat terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-haknya atas hutan, sebagaimana diatur dalam pasal 67. Semestinya politik rekognisi ini tidak berlaku bagi provinsi yang sudah mengakui keberadaan masyarakat hukum adat khususnya Provinsi Papua dan Papua Barat yang memiliki Undang-Undang Nomor 21Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Papua juga memiliki beberapa Perdasus yang mengatur mengenai pengakuan masyarakat hukum adat, tapi hal ini justru malah menghambat pengembalian hak ulayat. Tentu saja keputusan MK Nomor 35 ini juga berimplikasi pada kepentingan investasi di sektor kehutanan yang selama puluhan tahun mendapat konsesi dari negara.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"44 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127104936","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-09-20DOI: 10.58823/jham.v14i14.106
Adoniati Meyria Widaningtyas
Sekolah sebagai mini society yang multidimensi karena berkumpul orang-orang dari latar belakang sosial, ekonomi, agama, dan bahkan budaya yang berbeda. Perbedaan terkadang menimbulkan konflik antar peserta didik, mulai dari senda gurau hingga mengarah pada bullying, perkelahian, tawuran bahkan kekerasan. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan akan suasana dan lingkungan yang damai tidak hanya ada di daerah-daerah konflik tetapi juga di daerah-daerah tanpa konflik bahkan di lingkungan pendidikan, lingkungan di mana harusnya konflik apalagi dengan kekerasan tidak terjadi. Tulisan ini hendak memberikan perspektif lain dalam penanganan konflik dan berbagai tindakan seperti bullying, diskriminasi, intoleransi, tawuran dan juga kekerasan yang terjadi di sekolah dengan mengedepankan aspek pencegahan. Salah satu bentuk pencegahan adalah dengan mengembangkan budaya damai (peace culture) di sekolah melalui pendidikan perdamaian (peace education) dan pendidikan HAM (human rights education) yang bertujuan membangun pemahaman dan kesadaran siswa dan seluruh unsur komunitas sekolah tentang perbedaan yang menyatukan (unity by diversity), nilai-nilai perdamaian (peace values), nilai-nilai HAM (human rights value) dan multikulturalisme. Sekolah Ramah HAM menjadi sebuah wadah bagi pengembangan budaya damai yang menerapkan nilai-nilai hak asasi manusia. Budaya sekolah sebagai area kunci keempat dari Sekolah Ramah HAM turut pula menjadi komponen utama pendidikan perdamaian. Pendidikan perdamaian yang diajarkan di sekolah diharapkan akan menghadirkan perilaku damai dengan menghargai hak asasi orang lain, sehingga akan membentuk kultur damai yang menjunjung tinggi hak asasi dan martabat manusia.
{"title":"Pendidikan Perdamaian dalam Kerangka Sekolah Ramah HAM","authors":"Adoniati Meyria Widaningtyas","doi":"10.58823/jham.v14i14.106","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v14i14.106","url":null,"abstract":"Sekolah sebagai mini society yang multidimensi karena berkumpul orang-orang dari latar belakang sosial, ekonomi, agama, dan bahkan budaya yang berbeda. Perbedaan terkadang menimbulkan konflik antar peserta didik, mulai dari senda gurau hingga mengarah pada bullying, perkelahian, tawuran bahkan kekerasan. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan akan suasana dan lingkungan yang damai tidak hanya ada di daerah-daerah konflik tetapi juga di daerah-daerah tanpa konflik bahkan di lingkungan pendidikan, lingkungan di mana harusnya konflik apalagi dengan kekerasan tidak terjadi. Tulisan ini hendak memberikan perspektif lain dalam penanganan konflik dan berbagai tindakan seperti bullying, diskriminasi, intoleransi, tawuran dan juga kekerasan yang terjadi di sekolah dengan mengedepankan aspek pencegahan. Salah satu bentuk pencegahan adalah dengan mengembangkan budaya damai (peace culture) di sekolah melalui pendidikan perdamaian (peace education) dan pendidikan HAM (human rights education) yang bertujuan membangun pemahaman dan kesadaran siswa dan seluruh unsur komunitas sekolah tentang perbedaan yang menyatukan (unity by diversity), nilai-nilai perdamaian (peace values), nilai-nilai HAM (human rights value) dan multikulturalisme. Sekolah Ramah HAM menjadi sebuah wadah bagi pengembangan budaya damai yang menerapkan nilai-nilai hak asasi manusia. Budaya sekolah sebagai area kunci keempat dari Sekolah Ramah HAM turut pula menjadi komponen utama pendidikan perdamaian. Pendidikan perdamaian yang diajarkan di sekolah diharapkan akan menghadirkan perilaku damai dengan menghargai hak asasi orang lain, sehingga akan membentuk kultur damai yang menjunjung tinggi hak asasi dan martabat manusia.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133842970","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-09-20DOI: 10.58823/jham.v13i13.101
Saharuddin Daming
Pembaharuan hukum merupakan sebuah keniscayaan dalam setiap negara maupun masyarakat. Selain sebagai respon atas tuntutan dinamika masyarakat yang terus berubah, juga merupakan agen perubahan sosial dalam memperkuat dan menyempurnakan sistem kelembagaan masyarakat tersebut. Penyandang Disabilitas sebagai bagian yang tak terpisahkan dari semua elemen bangsa, kini telah memperoleh pencerahan secara legal formal dengan hadirnya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai hukum baru (Lex Posterior) menggantikan hukum lama (Lege Priori) yaitu UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dengan peraturan pelaksanaannya. Nilai perbandingan keduanya, sangat terasa pada aspek penguatan hak Penyandang Disabilitas itu sendiri. Betapa tidak karena materi muatan Lege Priori masih menggunakan paradigma pendekatan berbasis belas kasihan, terlalu umum, segregatif dan limitatif dalam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas. Sedangkan materi muatan Lex Posterior telah menggunakan paradigma pendekatan berbasis HAM, perlakuan khusus, inklusif, dan bersifat meluas (ekstensif ). Kita berharap Lex Posterior dapat menjadi instrumen strategis dalam mendobrak segala bentuk diskriminasi, marjinalisasi dan kerentanan yang mendera Penyandang Disabilitas menuju taman sari kehidupan yang benar-benar sejahtera, inklusif dan bermartabat.
{"title":"Komparasi Nilai Penguatan Hak Penyandang Disabilitas dalam Lex Posterior dan Lege Priori","authors":"Saharuddin Daming","doi":"10.58823/jham.v13i13.101","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v13i13.101","url":null,"abstract":"Pembaharuan hukum merupakan sebuah keniscayaan dalam setiap negara maupun masyarakat. Selain sebagai respon atas tuntutan dinamika masyarakat yang terus berubah, juga merupakan agen perubahan sosial dalam memperkuat dan menyempurnakan sistem kelembagaan masyarakat tersebut. Penyandang Disabilitas sebagai bagian yang tak terpisahkan dari semua elemen bangsa, kini telah memperoleh pencerahan secara legal formal dengan hadirnya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai hukum baru (Lex Posterior) menggantikan hukum lama (Lege Priori) yaitu UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dengan peraturan pelaksanaannya. Nilai perbandingan keduanya, sangat terasa pada aspek penguatan hak Penyandang Disabilitas itu sendiri. Betapa tidak karena materi muatan Lege Priori masih menggunakan paradigma pendekatan berbasis belas kasihan, terlalu umum, segregatif dan limitatif dalam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas. Sedangkan materi muatan Lex Posterior telah menggunakan paradigma pendekatan berbasis HAM, perlakuan khusus, inklusif, dan bersifat meluas (ekstensif ). Kita berharap Lex Posterior dapat menjadi instrumen strategis dalam mendobrak segala bentuk diskriminasi, marjinalisasi dan kerentanan yang mendera Penyandang Disabilitas menuju taman sari kehidupan yang benar-benar sejahtera, inklusif dan bermartabat.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"13 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115298642","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Penyelesaian pelanggaran Berat HAM Masa Lalu sudah hampir lebih dari satu dekade tidak terselesaikan, saat ini upaya penyelesaian tersebut terbuka kembali di era Pemerintahan Presiden Jokowi. Penyelesaian melalui proses Pengadilan HAM sudah pernah ditempuh terhadap 3 (tiga) peristiwa, akan tetapi hasilnya mengecewakan. Upaya penyelesaian non yudisial masih belum pernah dicoba, upaya ini menempatkan korban sebagai pihak yang berperan penting dalam upaya penyelesaian. Apa pun upaya penyelesaian yang akan ditempuh, yudisial atau non-yudisial, harus mengedepankan pemenuhan rasa keadilan untuk korban dan the best interest for the victim
{"title":"Peran dan Harapan Korban untuk Penyelesaian Pelanggaran Berat HAM Masa Lalu","authors":"Firdiansyah Firdiansyah","doi":"10.58823/jham.v13i13.99","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v13i13.99","url":null,"abstract":"Penyelesaian pelanggaran Berat HAM Masa Lalu sudah hampir lebih dari satu dekade tidak terselesaikan, saat ini upaya penyelesaian tersebut terbuka kembali di era Pemerintahan Presiden Jokowi. Penyelesaian melalui proses Pengadilan HAM sudah pernah ditempuh terhadap 3 (tiga) peristiwa, akan tetapi hasilnya mengecewakan. Upaya penyelesaian non yudisial masih belum pernah dicoba, upaya ini menempatkan korban sebagai pihak yang berperan penting dalam upaya penyelesaian. Apa pun upaya penyelesaian yang akan ditempuh, yudisial atau non-yudisial, harus mengedepankan pemenuhan rasa keadilan untuk korban dan the best interest for the victim","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"110 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116923764","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-09-20DOI: 10.58823/jham.v14i14.108
Ah Maftuchan
Dalam pelaksanaan proyek pembangunan infrastruktur, acap kali tidak dijalanan secara partisipatif, dari tahap perencanaan, penganggaran, implementasi dan monitoring evaluasi sebagai satu mata rantai kebijakan-program masih belum secara kuat menampung partisipasi masyarakat terdampak maupun masyarakat penerima manfaat.Proyek infrastruktur yang menjadi Program Strategis Nasional akan mengakibatkan mobilisasi sumber daya manusia dan keuangan dalam jumlah ang sangat besar. Selain itu, akan membutuhkan material skala raksasa dan lahan yang sangat luas. Hal ini mengharuskan adanya tata-kelola yang baik dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur dan pemanfaatan infrastruktur agar eksternalitas negatif dapat diminimalisir secara optimal. Dengan demikian, pelaksanaan proyek infrastruktur tidak dapat dilepaskan dari pelaksanan HAM. Dalam banyak kasus konflik sosial yang disebabkan oleh pelaksanaan proyek infrastruktur, justru sudah berpotensi atau mengarah pada terjadinya pelanggaran HAM. Untuk itu, tulisan ini memaparkan perlunya mekanisme perlindungan dan pemenuhan HAM bagi masyarakat yang terdampak oleh pembangunan infrastruktur, lebih khusus bagi kelompok marginal dan rentan, seperti masyarakat adat, penyandang disabilitas, perempuan dan anak-anak.
{"title":"Pemenuhan HAM dan Pembangunan Infrastruktur: Kajian Regulasi Proyek Strategis Nasional di Indonesia","authors":"Ah Maftuchan","doi":"10.58823/jham.v14i14.108","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v14i14.108","url":null,"abstract":"Dalam pelaksanaan proyek pembangunan infrastruktur, acap kali tidak dijalanan secara partisipatif, dari tahap perencanaan, penganggaran, implementasi dan monitoring evaluasi sebagai satu mata rantai kebijakan-program masih belum secara kuat menampung partisipasi masyarakat terdampak maupun masyarakat penerima manfaat.Proyek infrastruktur yang menjadi Program Strategis Nasional akan mengakibatkan mobilisasi sumber daya manusia dan keuangan dalam jumlah ang sangat besar. Selain itu, akan membutuhkan material skala raksasa dan lahan yang sangat luas. Hal ini mengharuskan adanya tata-kelola yang baik dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur dan pemanfaatan infrastruktur agar eksternalitas negatif dapat diminimalisir secara optimal. Dengan demikian, pelaksanaan proyek infrastruktur tidak dapat dilepaskan dari pelaksanan HAM. Dalam banyak kasus konflik sosial yang disebabkan oleh pelaksanaan proyek infrastruktur, justru sudah berpotensi atau mengarah pada terjadinya pelanggaran HAM. Untuk itu, tulisan ini memaparkan perlunya mekanisme perlindungan dan pemenuhan HAM bagi masyarakat yang terdampak oleh pembangunan infrastruktur, lebih khusus bagi kelompok marginal dan rentan, seperti masyarakat adat, penyandang disabilitas, perempuan dan anak-anak.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"29 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121735036","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}