Di Indonesia penyakit kusta sejak pertengahan 2000 sebetulnya dinyatakan telah tereliminasi. Tapi menurut laporan WHO pada 2008 Indonesia masih menempati peringkat ke-3 sebagai negara penyumbang penderita baru. Pada 2008 jumlah penderita baru yang ditemukan berjumlah 17.441 orang. Posisi ini menyusul India sebagai peringkat pertama dan Brazil sebagai peringkat kedua negara dengan jumlah penderita kusta terbanyak di dunia.
{"title":"Pemenuhan HAM dan Penghapusan Diskriminasi terhadap Orang Dengan Kusta dan Keluarganya","authors":"Stanley Yosep Adi Prasetyo","doi":"10.58823/jham.v7i7.61","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v7i7.61","url":null,"abstract":"Di Indonesia penyakit kusta sejak pertengahan 2000 sebetulnya dinyatakan telah tereliminasi. Tapi menurut laporan WHO pada 2008 Indonesia masih menempati peringkat ke-3 sebagai negara penyumbang penderita baru. Pada 2008 jumlah penderita baru yang ditemukan berjumlah 17.441 orang. Posisi ini menyusul India sebagai peringkat pertama dan Brazil sebagai peringkat kedua negara dengan jumlah penderita kusta terbanyak di dunia.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"85 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133147969","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pelayanan otoritas medis dikekinian telah jauh melesat dan membumbung tinggi di atas langit untuk menggapai bintang komersialisme dan profit oriented sehingga akar motivasi sosial dan kemanusiaan, tercerabut dari dedikasi luhurnya sebagaimana amanat Hipokrates. Kini orang miskin lebih takut kepada ancaman tagihan rumah sakit daripada sakitnya sendiri sehingga mereka dilarang sakit. Terjadi paradoksi dalam menempatkan nilai sehat yang semula merupakan anak kandung dari prinsip hak asasi manusia, kini bergeser menjadi hamba kapitalisme. Merebaknya gugatan publik terhadap malpraktik kedokteran, merupakan simbol perlawanan atas layanan medis yang tidak lagi berpijak pada pesan Hipokrates. Demi mempertahankan kelanggengan bisnis dan reputasi, pranata hukum dan etika medis dikooptasi dengan postulat pragmatisme.
{"title":"Apologi Otoritas Medis Dalam Pemenuhan Hak Kesehatan Masyarakat","authors":"Saharuddin Daming","doi":"10.58823/jham.v7i7.63","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v7i7.63","url":null,"abstract":"Pelayanan otoritas medis dikekinian telah jauh melesat dan membumbung tinggi di atas langit untuk menggapai bintang komersialisme dan profit oriented sehingga akar motivasi sosial dan kemanusiaan, tercerabut dari dedikasi luhurnya sebagaimana amanat Hipokrates. Kini orang miskin lebih takut kepada ancaman tagihan rumah sakit daripada sakitnya sendiri sehingga mereka dilarang sakit. Terjadi paradoksi dalam menempatkan nilai sehat yang semula merupakan anak kandung dari prinsip hak asasi manusia, kini bergeser menjadi hamba kapitalisme. Merebaknya gugatan publik terhadap malpraktik kedokteran, merupakan simbol perlawanan atas layanan medis yang tidak lagi berpijak pada pesan Hipokrates. Demi mempertahankan kelanggengan bisnis dan reputasi, pranata hukum dan etika medis dikooptasi dengan postulat pragmatisme.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"3 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132908982","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Mengungkap sejarah kelam dunia yang terjadi lebih dari 5 dekade bukanlah hal yang mudah. Apalagi mengusahakan keadilan bagi para korban dan keluarganya. Kasus perbudakan seksual oleh militer Jepang pada masa perang Asia-Pasifik pada dekade 1930-an hingga 1940-an merupakan salah satu bentuk kejahatan yang paling sulit diungkap. Selain karena para korban yang membisu atas peristiwa ini, pihak negara-negara sekutu pun mengabaikan kejahatan seksual militer Jepang pada Pengadilan Militer Internasional untuk Wilayah Timur Jauh (IMTFE), walaupun mereka memiliki bukti yang cukup untuk melakukan penuntutan. Pengabaian kejahatan seksual terhadap perempuan pada akhirnya berimplikasi pada lingkaran impunitas dan pengulangan kembali kejahatan seksual terhadap perempuan pada setiap kali konflik terjadi. Dengan tujuan bukan pembalasan tapi keadilan, tidak hanya untuk para sisa korban tapi juga untuk korban yang sudah meninggal dunia dan generasi mendatang, maka Pengadilan Tribunal Kejahatan Perang Internasional terhadap Perempuan tahun 2000 untuk Pengadilan Perbudakan Seks Militer Jepang dibentuk masyarakat sipil internasional di luar kewenangan negara- negara ataupun organisasi internasional yang formal.
{"title":"Pengadilan Rakyat Tokyo: Solusi Kebuntuan Hukum Internasional Formal","authors":"Banu Abdillah","doi":"10.58823/jham.v7i7.68","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v7i7.68","url":null,"abstract":"Mengungkap sejarah kelam dunia yang terjadi lebih dari 5 dekade bukanlah hal yang mudah. Apalagi mengusahakan keadilan bagi para korban dan keluarganya. Kasus perbudakan seksual oleh militer Jepang pada masa perang Asia-Pasifik pada dekade 1930-an hingga 1940-an merupakan salah satu bentuk kejahatan yang paling sulit diungkap. Selain karena para korban yang membisu atas peristiwa ini, pihak negara-negara sekutu pun mengabaikan kejahatan seksual militer Jepang pada Pengadilan Militer Internasional untuk Wilayah Timur Jauh (IMTFE), walaupun mereka memiliki bukti yang cukup untuk melakukan penuntutan. Pengabaian kejahatan seksual terhadap perempuan pada akhirnya berimplikasi pada lingkaran impunitas dan pengulangan kembali kejahatan seksual terhadap perempuan pada setiap kali konflik terjadi. Dengan tujuan bukan pembalasan tapi keadilan, tidak hanya untuk para sisa korban tapi juga untuk korban yang sudah meninggal dunia dan generasi mendatang, maka Pengadilan Tribunal Kejahatan Perang Internasional terhadap Perempuan tahun 2000 untuk Pengadilan Perbudakan Seks Militer Jepang dibentuk masyarakat sipil internasional di luar kewenangan negara- negara ataupun organisasi internasional yang formal.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"152 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125961360","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Penderita kusta, termasuk keluarganya menghadapai diskriminasi dari masyarakat, bahkan setelah dinyatakan sembuh dari kusta. Sehingga, kusta bukan hanya urusan kesehatan. Diskriminasi dari masyarakat muncul karena stigma kusta. Sebagian orang meyakini bahwa kusta mudah menular, turunan, dan kutukan. Keyakinan ini tertanam secara mencalam. Artikel ini menggambarkan tentang perlindungan dan pemenuhan hak penderita atau orang yang pernah mengalami kusta termasuk keluarganya khususnya hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerja dan pekerjaan, kebebasan berpendapat, hak berorganisasi dan berkumpul.
{"title":"Tersingkir Karena Kusta","authors":"Dian Andi Nur Aziz","doi":"10.58823/jham.v7i7.62","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v7i7.62","url":null,"abstract":"Penderita kusta, termasuk keluarganya menghadapai diskriminasi dari masyarakat, bahkan setelah dinyatakan sembuh dari kusta. Sehingga, kusta bukan hanya urusan kesehatan. Diskriminasi dari masyarakat muncul karena stigma kusta. Sebagian orang meyakini bahwa kusta mudah menular, turunan, dan kutukan. Keyakinan ini tertanam secara mencalam. Artikel ini menggambarkan tentang perlindungan dan pemenuhan hak penderita atau orang yang pernah mengalami kusta termasuk keluarganya khususnya hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerja dan pekerjaan, kebebasan berpendapat, hak berorganisasi dan berkumpul.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"4 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128492802","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Artikel ini berangkat dari fenomena baru yang ditandai dengan munculnya kebijakan pemerintah yang fokus pada peningkatan kesejahteraan warga miskin (welfare policy). Kelompok warga miskin yang selama ini mengalami eksklusi, baik secara ekonomi, sosial maupun politik, telah menjadi subjek penting dalam kebijakan sosial di Indonesia. Pemerintah pusat diikuti beberapa pemerintah daerah di Indonesia membangun kebijakan-kebijakan sosial yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan warga miskin. Namun demikian, hingga kini belum ada eksplanasi teoritik yang dapat menjelaskan secara memadai fenomena tersebut. Oleh karena itu, artikel ini bertendensi untuk menemukan kerangka teoritik yang mampu memberi eksplanasi yang memuaskan atas fenomena tersebut.Artikel ini menggambarkan kerangka kerja yang disusun oleh Jayasuriya (2006) untuk menjelaskan fenomena di atas. Menurut Jayasuriya, kebijakan prokesejahteraan di negara berkembang lahir atas kebutuhan rezim neoliberalisme global untuk mengintegrasikan kewargaan (citizenship) ke dalam pasar. Kebijakan pro-kesejahteraan difokuskan untuk meningkatkan kapabilitas masyarakat miskin agar selaras dengan kebutuhan pasar. Karena dibangun di atas fondasi kewargaan pasar (market citizenship) semacam itu, dan bukan melalui pembentukan pakta sosial yang berlangsung dalam negosiasi yang alot antara negara, warga, dan pasar, maka kebijakan prokesejahteraan di Indonesia menunjukkan watak yang antipolitik dan menonjolkan peran agen yang aktif (elit populis). Jauh sebelum wacana ini berkembang, muncul dilema-dilema di mana demokrasi dan kesejahteraan dinilai tidak selalu berdampingan. Kesejahteraan yang pernah dicapai oleh rejim-rejim developmentalisme di Asia Timur menunjukkan bahwa kesejahteraan dapat dicapai melalui tangan besi. Artikel ini diharapkan memberikan kontribusi teoritik baru tentang dilema yang sama pasca-rezim developmentalisme.
{"title":"Eksplanasi Teoritik untuk Kebijakan Pro-Kesejahteraan di Indonesia","authors":"Asep Mulyana","doi":"10.58823/jham.v7i7.64","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v7i7.64","url":null,"abstract":"Artikel ini berangkat dari fenomena baru yang ditandai dengan munculnya kebijakan pemerintah yang fokus pada peningkatan kesejahteraan warga miskin (welfare policy). Kelompok warga miskin yang selama ini mengalami eksklusi, baik secara ekonomi, sosial maupun politik, telah menjadi subjek penting dalam kebijakan sosial di Indonesia. Pemerintah pusat diikuti beberapa pemerintah daerah di Indonesia membangun kebijakan-kebijakan sosial yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan warga miskin. Namun demikian, hingga kini belum ada eksplanasi teoritik yang dapat menjelaskan secara memadai fenomena tersebut. Oleh karena itu, artikel ini bertendensi untuk menemukan kerangka teoritik yang mampu memberi eksplanasi yang memuaskan atas fenomena tersebut.Artikel ini menggambarkan kerangka kerja yang disusun oleh Jayasuriya (2006) untuk menjelaskan fenomena di atas. Menurut Jayasuriya, kebijakan prokesejahteraan di negara berkembang lahir atas kebutuhan rezim neoliberalisme global untuk mengintegrasikan kewargaan (citizenship) ke dalam pasar. Kebijakan pro-kesejahteraan difokuskan untuk meningkatkan kapabilitas masyarakat miskin agar selaras dengan kebutuhan pasar. Karena dibangun di atas fondasi kewargaan pasar (market citizenship) semacam itu, dan bukan melalui pembentukan pakta sosial yang berlangsung dalam negosiasi yang alot antara negara, warga, dan pasar, maka kebijakan prokesejahteraan di Indonesia menunjukkan watak yang antipolitik dan menonjolkan peran agen yang aktif (elit populis). Jauh sebelum wacana ini berkembang, muncul dilema-dilema di mana demokrasi dan kesejahteraan dinilai tidak selalu berdampingan. Kesejahteraan yang pernah dicapai oleh rejim-rejim developmentalisme di Asia Timur menunjukkan bahwa kesejahteraan dapat dicapai melalui tangan besi. Artikel ini diharapkan memberikan kontribusi teoritik baru tentang dilema yang sama pasca-rezim developmentalisme.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"12 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130547366","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai sebuah entitas perdagangan sektor informal, perlu mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Belum ada Undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi para PKL ini. Penjabaran asas desentralisasi dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, melahirkan otonomi daerah yang telah memberikan kewenangan yang cukup besar bagi Pemerintah Daerah. Corak dan arah kebijakan tiap daerah bervariasi untuk satu jenis pengaturan yang sama. Kerapkali, corak dan arah kebijakan ini amat ditentukan oleh pemimpin daerah yang terpilih. Tak heran, kebijakan soal penataan PKL, misalnya, acap bergantung pada Bupati, Walikota, atau Gubernur serta Anggota DPRD daerah yang bersangkutan. Di satu daerah, PKL diperlakukan dengan cukup baik. Sementara di daerah yang lain, penataan PKL diterjemahkan sebagai “pembolehan” sikap represif atas nama penertiban dan keindahan kota. Harus ada kebijakan umum yang memberikan arah bagi pengaturan dan kebijakan di seluruh Indonesia, khususnya dalam memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia bagi para Pedagang Kaki Lima
{"title":"Pemenuhan dan Perlindungan Hak-Hak Pedagang Kaki Lima: Studi di Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta","authors":"Yeni Rosdianti","doi":"10.58823/jham.v7i7.65","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v7i7.65","url":null,"abstract":"Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai sebuah entitas perdagangan sektor informal, perlu mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Belum ada Undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi para PKL ini. Penjabaran asas desentralisasi dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, melahirkan otonomi daerah yang telah memberikan kewenangan yang cukup besar bagi Pemerintah Daerah. Corak dan arah kebijakan tiap daerah bervariasi untuk satu jenis pengaturan yang sama. Kerapkali, corak dan arah kebijakan ini amat ditentukan oleh pemimpin daerah yang terpilih. Tak heran, kebijakan soal penataan PKL, misalnya, acap bergantung pada Bupati, Walikota, atau Gubernur serta Anggota DPRD daerah yang bersangkutan. Di satu daerah, PKL diperlakukan dengan cukup baik. Sementara di daerah yang lain, penataan PKL diterjemahkan sebagai “pembolehan” sikap represif atas nama penertiban dan keindahan kota. Harus ada kebijakan umum yang memberikan arah bagi pengaturan dan kebijakan di seluruh Indonesia, khususnya dalam memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia bagi para Pedagang Kaki Lima","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"65 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132241319","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pers Indonesia pascareformasi memiliki kebebasan yang diatur dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang tentang Pers. Undang-Undang tentang Pers, UU No. 40/1999, juga melahirkan Dewan Pers yang independen, lembaga yang bertugas menjaga kebebasan pers sekaligus berfungsi antara lain sebagai mediator jika ada pihak-pihak yang dirugikan oleh pemberitaan pers. Era reformasi telah melahirkan banyak media. Pers tumbuh subur dan masyarakat ikut menikmatinya. Tapi, kekerasan terhadap pers, terhadap wartawan terus terjadi dan terus meningkat.
{"title":"Kekerasan Terhadap Pers dan Perlindungannya","authors":"L. Baskoro","doi":"10.58823/jham.v7i7.67","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v7i7.67","url":null,"abstract":"Pers Indonesia pascareformasi memiliki kebebasan yang diatur dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang tentang Pers. Undang-Undang tentang Pers, UU No. 40/1999, juga melahirkan Dewan Pers yang independen, lembaga yang bertugas menjaga kebebasan pers sekaligus berfungsi antara lain sebagai mediator jika ada pihak-pihak yang dirugikan oleh pemberitaan pers. Era reformasi telah melahirkan banyak media. Pers tumbuh subur dan masyarakat ikut menikmatinya. Tapi, kekerasan terhadap pers, terhadap wartawan terus terjadi dan terus meningkat.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"64 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121977542","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pidato Presiden Amerika Serikat Barrac Hussien Obama di Universitas Indonesia, Depok (10/11/10) yang mengingatkan penting- nya filosofi Bhinneka Tunggal Ika sebagai filosofi bernegara Indonesia membuat sebagian orang terpengarah. Tidak lupa Obama memberi harapan melambung bahwa filosofi seperti itu bisa ikut mem- bantu dunia untuk mencari solusi dari carut marut dan kekerasan yang tak kun- jung berhenti. Membuat terperangah karena pidato presiden AS ke-44 itu mengingatkan pada situasi Indonesia kini dengan meningkatnya kekerasan dan intoleransi serta ketidakmampuan atau ketidakmauan pemerintah dan aparat- nya untuk melindungi para korban yang praktis berbalikan dengan filosofi tua itu.
{"title":"Kondisi Minoritas Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia dan Tatapan Ke Depan","authors":"Ahmad Suaedy","doi":"10.58823/jham.v6i6.53","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v6i6.53","url":null,"abstract":"Pidato Presiden Amerika Serikat Barrac Hussien Obama di Universitas Indonesia, Depok (10/11/10) yang mengingatkan penting- nya filosofi Bhinneka Tunggal Ika sebagai filosofi bernegara Indonesia membuat sebagian orang terpengarah. Tidak lupa Obama memberi harapan melambung bahwa filosofi seperti itu bisa ikut mem- bantu dunia untuk mencari solusi dari carut marut dan kekerasan yang tak kun- jung berhenti. Membuat terperangah karena pidato presiden AS ke-44 itu mengingatkan pada situasi Indonesia kini dengan meningkatnya kekerasan dan intoleransi serta ketidakmampuan atau ketidakmauan pemerintah dan aparat- nya untuk melindungi para korban yang praktis berbalikan dengan filosofi tua itu.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"36 9","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132124115","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pluralitas di Indonesia adalah berkah tak ternilai harganya. Se- bagai rahmat Tuhan Maha Kuasa, manusia sering salah menerjemahkan rahmat tersebut sehingga kerap men- jadi bencana. Bukanlah Tuhan yang me- nganugerahkan bencana, melainkan manusia dengan cara pandang sempit (miopik) yang sering menyelewengkan rahmat tersebut menjadi bencana. Agama dan keberagamaan meru- pakan tolok ukur dan pintu ger- bang (avant garde) menilai bagaima- na pandangan pluralitas ditegakkan, bagaimana individu dan kelompok tertentu memandang individu dan kelompok lainnya. Semangat kebe- ragamaan yang cenderung memuja fundamentalisme menjadi akar masalah yang serius dan menjadikan pluralitas berpeluang menjadi bencana daripada sebagai potensi kebaikan.
{"title":"Kegagalan Negara Menjamin Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan","authors":"Benny Susetyo","doi":"10.58823/jham.v6i6.54","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v6i6.54","url":null,"abstract":"Pluralitas di Indonesia adalah berkah tak ternilai harganya. Se- bagai rahmat Tuhan Maha Kuasa, manusia sering salah menerjemahkan rahmat tersebut sehingga kerap men- jadi bencana. Bukanlah Tuhan yang me- nganugerahkan bencana, melainkan manusia dengan cara pandang sempit (miopik) yang sering menyelewengkan rahmat tersebut menjadi bencana. Agama dan keberagamaan meru- pakan tolok ukur dan pintu ger- bang (avant garde) menilai bagaima- na pandangan pluralitas ditegakkan, bagaimana individu dan kelompok tertentu memandang individu dan kelompok lainnya. Semangat kebe- ragamaan yang cenderung memuja fundamentalisme menjadi akar masalah yang serius dan menjadikan pluralitas berpeluang menjadi bencana daripada sebagai potensi kebaikan.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"19 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125411724","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Dengan hak asasi manusia sebagai perspektif, tulisan ini mengupas hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi dua ranah: forum internum dan forum eksternum. Pada dua ranah ini, penikmatan individu atas hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan harus diakomodir baik di ruang privat maupun pubilk. Tidak dipungkiri, tulisan ini dilatarbelakangi atas terkendalanya penikmatan individu untuk bebas beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Pengetahuan yang benar sesuai kaidah hak asasi manusia tentang kedua konsep ini sangat relevan dan signifikan untuk dibicarakan dalam rangka meningkatkan pemahaman hak atas kebebasan beragama secara utuh sebagaimana pasal 18 Kovenan International Hak Sipil dan Politik. Disampaikan pula, dua poin terkait relasi kedua forum tersebut, pertama, gambaran situasi khusus dimana ada kalanya individu tidak bebas merdeka untuk menikmati haknya untuk bebas beragama dan berkeyakinan, kedua, penentuan lingkar batas kedua wilayah. Keduanya menjadi poin sangat penting untuk dijadikan perhatian terutama bagi pemangku kewajiban dalam menerapkan aturan pembatasan hak atas kebebasan beragama danberkeyakinan.
{"title":"Hak Atas Kebebasan Beragama dan/atau Berkeyakinan: Forum Internum dan Forum Eksternum","authors":"Y. Nainggolan","doi":"10.58823/jham.v6i6.56","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v6i6.56","url":null,"abstract":"Dengan hak asasi manusia sebagai perspektif, tulisan ini mengupas hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi dua ranah: forum internum dan forum eksternum. Pada dua ranah ini, penikmatan individu atas hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan harus diakomodir baik di ruang privat maupun pubilk. Tidak dipungkiri, tulisan ini dilatarbelakangi atas terkendalanya penikmatan individu untuk bebas beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Pengetahuan yang benar sesuai kaidah hak asasi manusia tentang kedua konsep ini sangat relevan dan signifikan untuk dibicarakan dalam rangka meningkatkan pemahaman hak atas kebebasan beragama secara utuh sebagaimana pasal 18 Kovenan International Hak Sipil dan Politik. Disampaikan pula, dua poin terkait relasi kedua forum tersebut, pertama, gambaran situasi khusus dimana ada kalanya individu tidak bebas merdeka untuk menikmati haknya untuk bebas beragama dan berkeyakinan, kedua, penentuan lingkar batas kedua wilayah. Keduanya menjadi poin sangat penting untuk dijadikan perhatian terutama bagi pemangku kewajiban dalam menerapkan aturan pembatasan hak atas kebebasan beragama danberkeyakinan.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"44 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127758646","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}