Pub Date : 2021-09-20DOI: 10.58823/jham.v13i13.103
Asep Mulyana
Wacana tentang pemerintah daerah dan Hak Asasi Manusia (HAM) baru-baru ini menjadi topik penting dalam pertemuan-pertemuan HAM internasional. Wacana itu didorong oleh kebutuhan untuk mengimplementasikan norma dan standar HAM ke dalam praktik langsung di tingkat lokal. HAM yang sudah diakui secara internasional memiliki persoalan di tingkat pelaksanaan. Pelanggaran HAM kerap terjadi di level lokal. Memutus mata rantai pelanggaran HAM dipandang akan lebih efektif jika pada level lokal dibangun kapasitas pemerintah dalam menunaikan kewajiban HAM. Penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM akan lebih terasa dampaknya bagi masyarakat, terutama kelompok rentan jika otoritas di level lokal didorong untuk memiliki kesadaran HAM dan, dengan itu, mampu menyusun pilihan-pilihan kebijakan dan membangun praktik- praktik terbaik bagi perwujudan penikmatan HAM di tingkat lokal. Program Kota HAM adalah salah satu upaya yang diarahkan untuk membangun kapasitas pemerintah daerah dalam penegakan HAM. Program ini juga harus melibatkan sejauh mungkin partisipasi dan kapasitas politik masyarakat, sehingga Program Kota HAM menjadi milik dan dipelihara oleh publik.
{"title":"HAM dan Pemerintah Daerah: Ikhtiar Membumikan HAM di Level Lokal","authors":"Asep Mulyana","doi":"10.58823/jham.v13i13.103","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v13i13.103","url":null,"abstract":"Wacana tentang pemerintah daerah dan Hak Asasi Manusia (HAM) baru-baru ini menjadi topik penting dalam pertemuan-pertemuan HAM internasional. Wacana itu didorong oleh kebutuhan untuk mengimplementasikan norma dan standar HAM ke dalam praktik langsung di tingkat lokal. HAM yang sudah diakui secara internasional memiliki persoalan di tingkat pelaksanaan. Pelanggaran HAM kerap terjadi di level lokal. Memutus mata rantai pelanggaran HAM dipandang akan lebih efektif jika pada level lokal dibangun kapasitas pemerintah dalam menunaikan kewajiban HAM. Penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM akan lebih terasa dampaknya bagi masyarakat, terutama kelompok rentan jika otoritas di level lokal didorong untuk memiliki kesadaran HAM dan, dengan itu, mampu menyusun pilihan-pilihan kebijakan dan membangun praktik- praktik terbaik bagi perwujudan penikmatan HAM di tingkat lokal. Program Kota HAM adalah salah satu upaya yang diarahkan untuk membangun kapasitas pemerintah daerah dalam penegakan HAM. Program ini juga harus melibatkan sejauh mungkin partisipasi dan kapasitas politik masyarakat, sehingga Program Kota HAM menjadi milik dan dipelihara oleh publik.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"40 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121331751","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tulisan ini menarik karena menggambarkan secara jelas benang merah Bisnis dan Pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Permasalahan Bisnis dan Pelanggaran HAM di Papua dibahas oleh Penulis dimulai sejak kekuasaan awal Soeharto yang menjadikan pembangunan sebagai fokus utama pemerintahannya. Dua undang-undang yang menjadi pembuka pintu bagi masuknya investasi di Indonesia adalah UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.Untuk mendukung kebijakan pembangunan tersebut, Pemerintah Orde Baru juga menyediakan berbagai regulasi yang memudahkan beroperasinya para pemodal di Indonesia, khususnya pemodal bagi industri ekstraktif, karena bumi Indonesia dikaruniai kekayaan alam yang luar biasa. Selain perangkat regulasi dan perundang-undangan, Soeharto juga memberikan perlindungan melalui peran serta aparat keamanan dalam pembangunan dan birokrat sipil.Bicara bisnis dan HAM di Papua tidaklah mungkin tanpa menyinggung Freeport. Penulis menggambarkan dalam tulisannya awal masuknya Freeport ke Papua dan bagaimana bisnis jasa keamanan menjadi permasalahan di Papua. Penulis menekankan, bahwa yang paling menarik perhatian tentu saja bisnis keamanan di wilayah pertambangan Freeport, mengingat bisnis ini adalah investasi pertama yang dilakukan pihak asing di Papua, melibatkan banyak aparat untuk menjaganya, menyangkut emas dan tembaga Papua yang sangat melimpah, tetapi ironisnya masyarakat Papua yang tinggal di sekitarnya hidup miskin.Lebih lanjut Penulis membahas Otsus. Untuk mencegah kembali meningkatnya suara masyarakat Papua untuk melepaskan diri dari Indonesia, maka pada tahun 2001 Pemerintahan Megawati memberikan “hadiah khusus” berupa UU Otonomi Khusus (Otsus) kepada rakyat Papua. Dengan adanya otsus itu maka rakyat Papua diberikan kekuasaan untuk mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kekhasan Papua. Ternyata UU Otsus tidak diimplementasikan dengan baik di Papua. Bahkan sejak pemberlakuannya selama 14 tahun masih belum ada Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) maupun Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang dibuat untuk pengelolaan potensi kekayaan alam di Papua. Akibatnya hasil kekayaan alam berupa kayu, tambang, hutan, perikanan belum memberikan kontribusi yang signifikan bagi masyarakat Papua
{"title":"Bisnis dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua","authors":"Poengky Indarti","doi":"10.58823/jham.v12i12.94","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v12i12.94","url":null,"abstract":"Tulisan ini menarik karena menggambarkan secara jelas benang merah Bisnis dan Pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Permasalahan Bisnis dan Pelanggaran HAM di Papua dibahas oleh Penulis dimulai sejak kekuasaan awal Soeharto yang menjadikan pembangunan sebagai fokus utama pemerintahannya. Dua undang-undang yang menjadi pembuka pintu bagi masuknya investasi di Indonesia adalah UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.Untuk mendukung kebijakan pembangunan tersebut, Pemerintah Orde Baru juga menyediakan berbagai regulasi yang memudahkan beroperasinya para pemodal di Indonesia, khususnya pemodal bagi industri ekstraktif, karena bumi Indonesia dikaruniai kekayaan alam yang luar biasa. Selain perangkat regulasi dan perundang-undangan, Soeharto juga memberikan perlindungan melalui peran serta aparat keamanan dalam pembangunan dan birokrat sipil.Bicara bisnis dan HAM di Papua tidaklah mungkin tanpa menyinggung Freeport. Penulis menggambarkan dalam tulisannya awal masuknya Freeport ke Papua dan bagaimana bisnis jasa keamanan menjadi permasalahan di Papua. Penulis menekankan, bahwa yang paling menarik perhatian tentu saja bisnis keamanan di wilayah pertambangan Freeport, mengingat bisnis ini adalah investasi pertama yang dilakukan pihak asing di Papua, melibatkan banyak aparat untuk menjaganya, menyangkut emas dan tembaga Papua yang sangat melimpah, tetapi ironisnya masyarakat Papua yang tinggal di sekitarnya hidup miskin.Lebih lanjut Penulis membahas Otsus. Untuk mencegah kembali meningkatnya suara masyarakat Papua untuk melepaskan diri dari Indonesia, maka pada tahun 2001 Pemerintahan Megawati memberikan “hadiah khusus” berupa UU Otonomi Khusus (Otsus) kepada rakyat Papua. Dengan adanya otsus itu maka rakyat Papua diberikan kekuasaan untuk mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kekhasan Papua. Ternyata UU Otsus tidak diimplementasikan dengan baik di Papua. Bahkan sejak pemberlakuannya selama 14 tahun masih belum ada Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) maupun Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang dibuat untuk pengelolaan potensi kekayaan alam di Papua. Akibatnya hasil kekayaan alam berupa kayu, tambang, hutan, perikanan belum memberikan kontribusi yang signifikan bagi masyarakat Papua","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"28 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-20","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131143779","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tulisan ini hendak menguji argumen bahwa segala bentuk proselitisme (penyiaran agama) khususnya yang ditujukan kepada “yang sudah beragama” adalah pelanggaran hukum dan karena itu harus dilarang. Sebaliknya, tulisan ini hendak menegaskan, proselitisme seperti dalam bentuk aktivitas islamisasi dan kristenisasi yang dilakukan dengan cara damai kepada umat lain, menjadi elemen dasar kebebasan beragama yang dijamin UUD 1945 dan instrumen internasional yang sudah diratifikasi. Pelarangan proselitisme kepada yang sudah beragama adalah pelanggaran kebebasan beragama. Proselitisme hanya sah dilarang jika ditujukan di antaranya, dan tidak terbatas, kepada anak-anak yang berbeda agama/ keyakinan, ditujukan kepada orang dewasa yang berbeda agama di antaranya dengan cara-cara intimidatif, menciptakan ketergantungan antara pelaku proselitisme dengan sasaran proselitisme, mengambil jalan kekerasan, dan cuci otak. Namun untuk memastikan agar aktivitas tidak melahirkan sikap- sikap intoleransi bahkan konflik berbasis agama/keyakinan, diperlukan nilai- nilai etik bersama proselitisme yang bersifat universal.
{"title":"Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu krusial di Seputar Proselitisme dan Hak Kebebasan Beragama","authors":"Alamsyah M. Djafar","doi":"10.58823/jham.v11i11.90","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v11i11.90","url":null,"abstract":"Tulisan ini hendak menguji argumen bahwa segala bentuk proselitisme (penyiaran agama) khususnya yang ditujukan kepada “yang sudah beragama” adalah pelanggaran hukum dan karena itu harus dilarang. Sebaliknya, tulisan ini hendak menegaskan, proselitisme seperti dalam bentuk aktivitas islamisasi dan kristenisasi yang dilakukan dengan cara damai kepada umat lain, menjadi elemen dasar kebebasan beragama yang dijamin UUD 1945 dan instrumen internasional yang sudah diratifikasi. Pelarangan proselitisme kepada yang sudah beragama adalah pelanggaran kebebasan beragama. Proselitisme hanya sah dilarang jika ditujukan di antaranya, dan tidak terbatas, kepada anak-anak yang berbeda agama/ keyakinan, ditujukan kepada orang dewasa yang berbeda agama di antaranya dengan cara-cara intimidatif, menciptakan ketergantungan antara pelaku proselitisme dengan sasaran proselitisme, mengambil jalan kekerasan, dan cuci otak. Namun untuk memastikan agar aktivitas tidak melahirkan sikap- sikap intoleransi bahkan konflik berbasis agama/keyakinan, diperlukan nilai- nilai etik bersama proselitisme yang bersifat universal.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"104 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124249905","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Dari segi bahasa, rivalitas itu terjadi di dalam masyarakat berumpun bahasa Western Malayo Polyneisian. Rivalitas muncul dalam era kolonial yang mulai memperkenalkan kategori etnis pasca kesultanan. Hal itu semakin kuat, setelah Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia pada 1945, karena mendefinisikan manusia Kreol ini sebagai suku Aceh, yang di masa konflik lalu (1976-2005), sebagai bagian dari taktik untuk melemahkan kekuatan Aceh Merdeka, maka diperkenalkan dikotomi baru antara suku Aceh pesisir dan suku-suku lainnya yang berada di punggung Pegunungan Bukit Barisan, dan di pesisir Barat- Selatan.
{"title":"Sketsa Minoritas dan Hak di Aceh","authors":"Otto Nur Abdullah","doi":"10.58823/jham.v10i10.84","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v10i10.84","url":null,"abstract":"Dari segi bahasa, rivalitas itu terjadi di dalam masyarakat berumpun bahasa Western Malayo Polyneisian. Rivalitas muncul dalam era kolonial yang mulai memperkenalkan kategori etnis pasca kesultanan. Hal itu semakin kuat, setelah Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia pada 1945, karena mendefinisikan manusia Kreol ini sebagai suku Aceh, yang di masa konflik lalu (1976-2005), sebagai bagian dari taktik untuk melemahkan kekuatan Aceh Merdeka, maka diperkenalkan dikotomi baru antara suku Aceh pesisir dan suku-suku lainnya yang berada di punggung Pegunungan Bukit Barisan, dan di pesisir Barat- Selatan.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"14 Obstet Gynaecol Sect 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116544176","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Artikel ini membahas konflik Aceh sebagai sebuah peristiwa pelanggaran HAM dan upaya yang dilakukan negara atas peristiwa tersebut. Bagian awal membahas sejarah pergolakan di Aceh, termasuk situasi Darurat Militer I dan Darurat Militer II sebagaibagian pergolakan panjang tersebut. Pada bagian ini juga dijelaskan akar masalah, kekerasan yang terjadi, dan dampak yang ditimbulkan akibat konflik tersebut baik dampak sosiologis, politis, maupun ekonomi. Selain itu, artikel ini menjelaskan aktor – aktor yang terlibat dalam pergolakan, termasuk pengaruhnya pada kondisi yang terjadi. Pada bagian berikutnya, artikel ini membahas secara substansial-material peristiwa yang terjadi pada masa Darurat Militer I dan II yang melanggar kaidah – kaidah HAM, khususnya prinsip martabat manusia. Namun identifikasi tindak pelanggaran HAM – salah satunya berlandaskan pada Laporan Komnas HAM – tersebut masih sulit dibuktikan sebagai bentuk pelanggaran HAM dalam sistem peradilan yang berlaku di Indonesia. Sejak penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dikenal dengan MoU Helsinki, tidak terjadi upaya untuk membawa kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa Darurat Militer I dan II itu ke dalam langkah - langkah penyelidikan yang lebih konkrit oleh negara.
{"title":"Bau Anyir yang Terpinggir:Aceh di Masa Darurat Militer Dalam Perspektif HAM","authors":"M. M. Billah","doi":"10.58823/jham.v10i10.80","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v10i10.80","url":null,"abstract":"Artikel ini membahas konflik Aceh sebagai sebuah peristiwa pelanggaran HAM dan upaya yang dilakukan negara atas peristiwa tersebut. Bagian awal membahas sejarah pergolakan di Aceh, termasuk situasi Darurat Militer I dan Darurat Militer II sebagaibagian pergolakan panjang tersebut. Pada bagian ini juga dijelaskan akar masalah, kekerasan yang terjadi, dan dampak yang ditimbulkan akibat konflik tersebut baik dampak sosiologis, politis, maupun ekonomi. Selain itu, artikel ini menjelaskan aktor – aktor yang terlibat dalam pergolakan, termasuk pengaruhnya pada kondisi yang terjadi. Pada bagian berikutnya, artikel ini membahas secara substansial-material peristiwa yang terjadi pada masa Darurat Militer I dan II yang melanggar kaidah – kaidah HAM, khususnya prinsip martabat manusia. Namun identifikasi tindak pelanggaran HAM – salah satunya berlandaskan pada Laporan Komnas HAM – tersebut masih sulit dibuktikan sebagai bentuk pelanggaran HAM dalam sistem peradilan yang berlaku di Indonesia. Sejak penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dikenal dengan MoU Helsinki, tidak terjadi upaya untuk membawa kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa Darurat Militer I dan II itu ke dalam langkah - langkah penyelidikan yang lebih konkrit oleh negara.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130093898","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis beberapa pertanyaan kunci: 1) Apakah pembatasan semacam itu memiliki pendasaran dalam teori-teori HAM dan instrumen internasional? 2) Apa saja persoalan Undang-Undang (UU) No. 1/PNPS/1965 dalam konteks itu? 3) Apakah UU tersebut kompatibel dengan upaya perlindungan dan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan oleh negara?Hasil pembahasan dan analisis menunjukkan beberapa kesimpulan utama: Pertama, UU PNPS bukanlah mekanisme pembatasan kebebasan beragama/ berkeyakinan sebagaimana dimaksudkan dalam berbagai doktrin dan teori HAM serta ketentuan-ketentuan dasar derogasi dan limitasi sebagaimana diintroduksi dalam instrumen internasional dan nasional hak asasi manusia. Kedua, UU PNPS mengandung berbagai cacat materiil berkaitan dengan materi dan konsep penodaan agama serta tidak memberikan kepastian hukum dalam konsepsi-konsepsi hukum dan penegakan hukumnya. Ketiga, UU PNPS tidak kompatibel dengan upaya perlindungan dan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan oleh negara. Sebaliknya UU ini berwatak restriktif dan bahkan stimulatif terhadap pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan. Keempat, implikasinya, pemerintah dan DPR harus segera menyusun politik legislasi baru berkaitan dengan kebebasan beragama/ berkeyakinan sebagai pengganti UU PNPS.
{"title":"UU No 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia","authors":"Halili Halili","doi":"10.58823/jham.v11i11.89","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v11i11.89","url":null,"abstract":"Artikel ini bertujuan untuk menganalisis beberapa pertanyaan kunci: 1) Apakah pembatasan semacam itu memiliki pendasaran dalam teori-teori HAM dan instrumen internasional? 2) Apa saja persoalan Undang-Undang (UU) No. 1/PNPS/1965 dalam konteks itu? 3) Apakah UU tersebut kompatibel dengan upaya perlindungan dan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan oleh negara?Hasil pembahasan dan analisis menunjukkan beberapa kesimpulan utama: Pertama, UU PNPS bukanlah mekanisme pembatasan kebebasan beragama/ berkeyakinan sebagaimana dimaksudkan dalam berbagai doktrin dan teori HAM serta ketentuan-ketentuan dasar derogasi dan limitasi sebagaimana diintroduksi dalam instrumen internasional dan nasional hak asasi manusia. Kedua, UU PNPS mengandung berbagai cacat materiil berkaitan dengan materi dan konsep penodaan agama serta tidak memberikan kepastian hukum dalam konsepsi-konsepsi hukum dan penegakan hukumnya. Ketiga, UU PNPS tidak kompatibel dengan upaya perlindungan dan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan oleh negara. Sebaliknya UU ini berwatak restriktif dan bahkan stimulatif terhadap pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan. Keempat, implikasinya, pemerintah dan DPR harus segera menyusun politik legislasi baru berkaitan dengan kebebasan beragama/ berkeyakinan sebagai pengganti UU PNPS.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"20 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131327337","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tujuan dari makalah ini adalah untuk menyajikan konsep, prinsip- prinsip, dan nilai tambah dari pendekatan pembangunan berbasis hak asasi manusia (HRBA). HRBA adalah suatu kerangka kerja konseptual untuk proses pembangunan manusia yang secara normatif didasarkan pada standar HAM internasional dan secara operasional diarahkan untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Dari perspektif ini, tujuan akhir dari pembangunan adalah untuk menjamin hak asasi manusia bagi semua orang. Artinya, hak asasi manusia merupakan sasaran, tujuan akhir, fokus utama pembangunan, dan mekanisme dalam perencanaan, kebijakan, dan proses pembangunan. Oleh karena itu, HRBA akan meningkatkan dan memperbaiki kualitas pembangunan manusia karena menempatkan kesejahteraan manusia sebagai subyek pembangunan. Kesejahteraan manusia akan lebih terjamin karena difokuskan pada rasa hormat terhadap martabat dan kebebasan manusia. HRBA menekankan pentingnya penguatan pemangku kewajiban untuk memenuhi kewajiban mereka dan memberdayakan pemegang hak untuk mengklaim hak- hak mereka. Hal ini akan mengurangi kerentanan pada masyarakat yang paling terpinggirkandantermarjinalkan.Dalamsituasisepertiitu,HRBAdapatmembantu mencegah banyak konflik akibat kemiskinan, diskriminasi dan pengucilan (sosial, ekonomi dan politik) yang akan menurunkan derajat kualitas pembangunan itu sendiri. Akhirnya, upaya-upaya pembangunan akan menghasilkan kualitas pembangunan yang lebih baik secara berkelanjutan dengan fokus pada keadilan sosial dan pembangunan manusia yang berkelanjutan.
{"title":"Memahami Pembangunan Berbasis HAM","authors":"Pihri Buhaerah, Cherry Augusta","doi":"10.58823/jham.v10i10.85","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v10i10.85","url":null,"abstract":"Tujuan dari makalah ini adalah untuk menyajikan konsep, prinsip- prinsip, dan nilai tambah dari pendekatan pembangunan berbasis hak asasi manusia (HRBA). HRBA adalah suatu kerangka kerja konseptual untuk proses pembangunan manusia yang secara normatif didasarkan pada standar HAM internasional dan secara operasional diarahkan untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Dari perspektif ini, tujuan akhir dari pembangunan adalah untuk menjamin hak asasi manusia bagi semua orang. Artinya, hak asasi manusia merupakan sasaran, tujuan akhir, fokus utama pembangunan, dan mekanisme dalam perencanaan, kebijakan, dan proses pembangunan. Oleh karena itu, HRBA akan meningkatkan dan memperbaiki kualitas pembangunan manusia karena menempatkan kesejahteraan manusia sebagai subyek pembangunan. Kesejahteraan manusia akan lebih terjamin karena difokuskan pada rasa hormat terhadap martabat dan kebebasan manusia. HRBA menekankan pentingnya penguatan pemangku kewajiban untuk memenuhi kewajiban mereka dan memberdayakan pemegang hak untuk mengklaim hak- hak mereka. Hal ini akan mengurangi kerentanan pada masyarakat yang paling terpinggirkandantermarjinalkan.Dalamsituasisepertiitu,HRBAdapatmembantu mencegah banyak konflik akibat kemiskinan, diskriminasi dan pengucilan (sosial, ekonomi dan politik) yang akan menurunkan derajat kualitas pembangunan itu sendiri. Akhirnya, upaya-upaya pembangunan akan menghasilkan kualitas pembangunan yang lebih baik secara berkelanjutan dengan fokus pada keadilan sosial dan pembangunan manusia yang berkelanjutan.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"150 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115260103","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Syariat Islam sejak semula telah memberikan hak dan peran kepada kaum perempuan di wilayah domestik maupun wilayah publik. Dalam artikel ini, penulis menyatakan sesungguhnya semangat dan pesan moral yang dikandung syariat Islam adalah persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan dan berusaha menegakkan keadilan jender di masyarakat. Lebih lanjut penulis berpendapat walaupun pesan universal syariat Islam adalah keadilan jender, banyak penafsir yang memahami teks-teks syariat yang terdapat dalam Alquran dan hadits -- hanya secara tekstual, parsial dan dilepaskan dari konteks turunnya, sehingga menghasilkan interpretasi yang bias jender dan melahirkan aturan dan doktrin ketidakadilan jender. Hasil interpretasi seperti inilah kemudian yang banyak dipahami dan dipraktikkan di masyarakat Islam sehingga menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan termasuk masyarakat perempuan di Aceh, khususnya pada masa sekarang ini. Artikel ini juga mengelaborasi lebih lanjut penyebab diskriminasi terhadap perempuan di Aceh yang masih terjadi hingga kini. Penulis berpendapat adalah ironi ketika syariat Islam di era reformasi diterapkan di bumi Serambi Mekah, kedudukan perempuan di Aceh tidak semulia, bermartabat dan tinggi seperti pada masa lalu. Dalam analisisnya penulis menekankan penegakan syariat Islam memang harus didahului dengan pendidikan masyarakat yang memadai serta pemerataan kesejahteraan dan ekonomi yang berkeadilan.
{"title":"Syariat Islam dan Implikasi Penerapannya Terhadap Perempuan di Aceh","authors":"Nurjannah Ismail","doi":"10.58823/jham.v10i10.81","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v10i10.81","url":null,"abstract":"Syariat Islam sejak semula telah memberikan hak dan peran kepada kaum perempuan di wilayah domestik maupun wilayah publik. Dalam artikel ini, penulis menyatakan sesungguhnya semangat dan pesan moral yang dikandung syariat Islam adalah persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan dan berusaha menegakkan keadilan jender di masyarakat. Lebih lanjut penulis berpendapat walaupun pesan universal syariat Islam adalah keadilan jender, banyak penafsir yang memahami teks-teks syariat yang terdapat dalam Alquran dan hadits -- hanya secara tekstual, parsial dan dilepaskan dari konteks turunnya, sehingga menghasilkan interpretasi yang bias jender dan melahirkan aturan dan doktrin ketidakadilan jender. Hasil interpretasi seperti inilah kemudian yang banyak dipahami dan dipraktikkan di masyarakat Islam sehingga menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan termasuk masyarakat perempuan di Aceh, khususnya pada masa sekarang ini. Artikel ini juga mengelaborasi lebih lanjut penyebab diskriminasi terhadap perempuan di Aceh yang masih terjadi hingga kini. Penulis berpendapat adalah ironi ketika syariat Islam di era reformasi diterapkan di bumi Serambi Mekah, kedudukan perempuan di Aceh tidak semulia, bermartabat dan tinggi seperti pada masa lalu. Dalam analisisnya penulis menekankan penegakan syariat Islam memang harus didahului dengan pendidikan masyarakat yang memadai serta pemerataan kesejahteraan dan ekonomi yang berkeadilan.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"122 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115163631","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Dalam perspektif pemenuhan hak minoritas, pemberian otonomi khusus dan penghormatan pada keragaman budaya sebenarnya disadari sebagai pemikiran alternatif dalam konteks politik rekognisi yang dalam praktiknya telah melahirkan deklarasi hak minoritas. Dalam konteks Aceh, perjuangan untuk pemenuhan hak minoritas melalui otonomi khusus sebenarnya terjadi sejak Perang Sabil menentang Belanda hingga era Orde Baru. Perjuangan tersebut barulah terwujud pasca tsunami 2004 dan perjanjian Helsinski 2005. Persoalannya, ketika Qanun No.8 Tahun 2012 dan No.3 Tahun 2013 mengenai Wali Nanggroe dan bendera Aceh dilaksanakan, beberapa suku dan kelompok di dalam Aceh itu sendiri tidak merasa terwakili. Artinya, berbicara tentang Aceh sebagai kelompok minoritas, di dalam internal Aceh itu sendiri tidaklah tunggal karena ada kelompok-kelompok atau suku-suku yang merasa mereka minoritas di dalam minoritas. Tantangan setelah hampir sepuluh tahun perjanjian Helsinski adalah kemampuan para petinggi Aceh untuk mengelola pluralisme internal dan memperhatikan hak minoritas di dalam Aceh itu sendiri sebagai bagian penghormatan atas hak asasi manusia.
{"title":"Minoritas Versus Minoritas: Masalah Minoritas Dalam Perspektif HAM","authors":"Muhammad Nurkhoiron","doi":"10.58823/jham.v10i10.83","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v10i10.83","url":null,"abstract":"Dalam perspektif pemenuhan hak minoritas, pemberian otonomi khusus dan penghormatan pada keragaman budaya sebenarnya disadari sebagai pemikiran alternatif dalam konteks politik rekognisi yang dalam praktiknya telah melahirkan deklarasi hak minoritas. Dalam konteks Aceh, perjuangan untuk pemenuhan hak minoritas melalui otonomi khusus sebenarnya terjadi sejak Perang Sabil menentang Belanda hingga era Orde Baru. Perjuangan tersebut barulah terwujud pasca tsunami 2004 dan perjanjian Helsinski 2005. Persoalannya, ketika Qanun No.8 Tahun 2012 dan No.3 Tahun 2013 mengenai Wali Nanggroe dan bendera Aceh dilaksanakan, beberapa suku dan kelompok di dalam Aceh itu sendiri tidak merasa terwakili. Artinya, berbicara tentang Aceh sebagai kelompok minoritas, di dalam internal Aceh itu sendiri tidaklah tunggal karena ada kelompok-kelompok atau suku-suku yang merasa mereka minoritas di dalam minoritas. Tantangan setelah hampir sepuluh tahun perjanjian Helsinski adalah kemampuan para petinggi Aceh untuk mengelola pluralisme internal dan memperhatikan hak minoritas di dalam Aceh itu sendiri sebagai bagian penghormatan atas hak asasi manusia.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"10 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123560867","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Indonesia sebagai negeri multireligius dan multikultur sering mendapatkan ujian hebat. Berbagai bentuk kekerasan atas nama agama, dan atas nama ideology silih berganti menyerang republic yang berumur 70 tahun dari kemerdekaan. Terdapat kasus-kasus kekerasan yang bernama intoleransi agama terjadi diberbagai belahan tanah air dan tidak selesai dengan baik. Bahkan dalam kasus Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2014 isu tentang agama menjadi bagian tak terpisahkan dari kejahatan politik.Isu agama menjadi komoditas politik yang turut serta mewarnai perpolitikan kita.Kita dapat katakan bahwa berpolitik kita sebagian meninggalkan etika mendahulukan kepentingan. Praktek politik kotor dengan sentiment agama mewarnai hampir seluruh proses demokrasi kita. Kasus-kasus pelanggaran hak warga negara untuk beragama apa pun keyakinannya terjadi sepanjang tahun 2013-2014. Tulisan ini hendak menguraikan berbagai peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang dianut warga negara Indonesia, negara tampaknya absen bahkan sebagian mengatakan bahwa negara ambil bagian dalam kasus pelanggaran ham kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tulisan diakhiri dengan menempatkan Muhammadiyah danNU serta ulama dalam proses keindonesiaan.
{"title":"Kebebasan Beragama dan Negara","authors":"Zuly Qodir","doi":"10.58823/jham.v11i11.93","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v11i11.93","url":null,"abstract":"Indonesia sebagai negeri multireligius dan multikultur sering mendapatkan ujian hebat. Berbagai bentuk kekerasan atas nama agama, dan atas nama ideology silih berganti menyerang republic yang berumur 70 tahun dari kemerdekaan. Terdapat kasus-kasus kekerasan yang bernama intoleransi agama terjadi diberbagai belahan tanah air dan tidak selesai dengan baik. Bahkan dalam kasus Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2014 isu tentang agama menjadi bagian tak terpisahkan dari kejahatan politik.Isu agama menjadi komoditas politik yang turut serta mewarnai perpolitikan kita.Kita dapat katakan bahwa berpolitik kita sebagian meninggalkan etika mendahulukan kepentingan. Praktek politik kotor dengan sentiment agama mewarnai hampir seluruh proses demokrasi kita. Kasus-kasus pelanggaran hak warga negara untuk beragama apa pun keyakinannya terjadi sepanjang tahun 2013-2014. Tulisan ini hendak menguraikan berbagai peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang dianut warga negara Indonesia, negara tampaknya absen bahkan sebagian mengatakan bahwa negara ambil bagian dalam kasus pelanggaran ham kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tulisan diakhiri dengan menempatkan Muhammadiyah danNU serta ulama dalam proses keindonesiaan.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"13 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-09-03","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129534707","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}