Nephroptosis atau ren mobilis didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana terjadi penurunan posisi anatomis ginjal lebih dari 2 corpus vertebrae (> 5 cm) saat posisi berubah dari berbaring ke berdiri. Kasus ini lebih sering mengenai wanita dan pada ginjal sebelah kanan, meskipun terdapat 10 % kasus pada ginjal kiri, dan 20 % pada ginjal bilateral. Nyeri nephroptosis merupakan gejala yang sering dialami pasien ren mobilis. Komplikasi ren mobilis adalah hipertensi, dan bisa juga menyebabkan terbentuknya nefrolitiasis (batu ginjal). Tatalaksana ren mobilis adalah nefropeksi atau bila ginjal rusak maka dilakukan nefrektomi. Pada laporan kasus ini dilaporkan pasien wanita usia 75 tahun dengan ren mobilis dengan batu ginjal kanan. Keluhan pasien adalah nyeri pada perut bagian bawah namun membaik saat berbaring. Pasien memiliki riwayat hipertensi. Pada CT scan abdomen didapatkan batu pada ginjal kanan dan hidronefrosis berat kanan, dan ginjal tampak berlokasi di daerah pelvis. Kemudian dilakukan nefrektomi kanan karena parenkim ginjal sudah sangat tipis dan rusak. Selama dan pasca pembedahan, kondisi pasien stabil dan pasien dipulangkan pada hari ketiga pasca pembedahan.
{"title":"Nephrolitiasis On Nephroptosis Patient","authors":"I. M. A. Samudera, Akhada Maulana","doi":"10.29303/jku.v11i1.583","DOIUrl":"https://doi.org/10.29303/jku.v11i1.583","url":null,"abstract":"Nephroptosis atau ren mobilis didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana terjadi penurunan posisi anatomis ginjal lebih dari 2 corpus vertebrae (> 5 cm) saat posisi berubah dari berbaring ke berdiri. Kasus ini lebih sering mengenai wanita dan pada ginjal sebelah kanan, meskipun terdapat 10 % kasus pada ginjal kiri, dan 20 % pada ginjal bilateral. Nyeri nephroptosis merupakan gejala yang sering dialami pasien ren mobilis. Komplikasi ren mobilis adalah hipertensi, dan bisa juga menyebabkan terbentuknya nefrolitiasis (batu ginjal). Tatalaksana ren mobilis adalah nefropeksi atau bila ginjal rusak maka dilakukan nefrektomi. Pada laporan kasus ini dilaporkan pasien wanita usia 75 tahun dengan ren mobilis dengan batu ginjal kanan. Keluhan pasien adalah nyeri pada perut bagian bawah namun membaik saat berbaring. Pasien memiliki riwayat hipertensi. Pada CT scan abdomen didapatkan batu pada ginjal kanan dan hidronefrosis berat kanan, dan ginjal tampak berlokasi di daerah pelvis. Kemudian dilakukan nefrektomi kanan karena parenkim ginjal sudah sangat tipis dan rusak. Selama dan pasca pembedahan, kondisi pasien stabil dan pasien dipulangkan pada hari ketiga pasca pembedahan.","PeriodicalId":135675,"journal":{"name":"Unram Medical Journal","volume":"15 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116645948","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Latar belakang: Morbus Hansen (MH) atau penyakit kusta merupakan penyakit infeksi pada kulit yang bersifat kronis, disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Terdapat dua jenis reaksi kusta yaitu tipe Reversal dan tipe Erythema Nodosum Leprosum (ENL). ENL merupakan komplikasi penyakit kusta berupa reaksi hipersensitivitas tipe III dengan peradangan akut karena respon berlebihan tubuh terhadap M. leprae. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya reaksi ENL pada pasien MH. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik menggunakan data sekunder yang diperoleh dari catatan rekam medis pasien MH yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Patut Patuh Patju selama tahun 2016 – 2020. Penelitian ini menggunakan desain case control dengan jumlah sampel 40 pasien MH yang dibagi menjadi 20 pasien kelompok kasus (pasien yang mengalami reaksi ENL) dan 20 pasien kelompok kontrol (pasien tidak mengalami reaksi ENL). Pengolahan data dilakukan dengan cara univariat dan bivariat untuk melihat faktor risiko apa saja yang berpengaruh terhadap kejadian ENL. Hasil: Faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap terjadinya ENL yaitu jenis kelamin (p=0,023), koinfeksi dengan penyakit lain (p=0,030), Indeks Bakteri ?2+ (p=0,044), serta usia (p=0,048).
{"title":"Faktor Risiko Reaksi Erythema Nodosum Leprosum di RSUD Patut Patuh Patju Tahun 2016-2020","authors":"Eva Aguswulandari Suwito, Farida Hartati","doi":"10.29303/jku.v11i1.649","DOIUrl":"https://doi.org/10.29303/jku.v11i1.649","url":null,"abstract":"Latar belakang: Morbus Hansen (MH) atau penyakit kusta merupakan penyakit infeksi pada kulit yang bersifat kronis, disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Terdapat dua jenis reaksi kusta yaitu tipe Reversal dan tipe Erythema Nodosum Leprosum (ENL). ENL merupakan komplikasi penyakit kusta berupa reaksi hipersensitivitas tipe III dengan peradangan akut karena respon berlebihan tubuh terhadap M. leprae. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya reaksi ENL pada pasien MH. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik menggunakan data sekunder yang diperoleh dari catatan rekam medis pasien MH yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Patut Patuh Patju selama tahun 2016 – 2020. Penelitian ini menggunakan desain case control dengan jumlah sampel 40 pasien MH yang dibagi menjadi 20 pasien kelompok kasus (pasien yang mengalami reaksi ENL) dan 20 pasien kelompok kontrol (pasien tidak mengalami reaksi ENL). Pengolahan data dilakukan dengan cara univariat dan bivariat untuk melihat faktor risiko apa saja yang berpengaruh terhadap kejadian ENL. Hasil: Faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap terjadinya ENL yaitu jenis kelamin (p=0,023), koinfeksi dengan penyakit lain (p=0,030), Indeks Bakteri ?2+ (p=0,044), serta usia (p=0,048).","PeriodicalId":135675,"journal":{"name":"Unram Medical Journal","volume":"118 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131024822","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Eka Arie Yuliyani, Hamsu Kadriyan, Didit Yudhanto, Gusti Ayu Trisna A, Ayu Niti Wedayani Anak Agung, Lalu Muhammad Abiyu Ghafar, Fitriatulnisa
Latar belakang: Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsil palatina yang menetap. Pembesaran tonsil dapat menyebabkan beberapa komplikasi yang dapat menjadi indikasi dilakukanya operasi tonsilektomi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik dan ukuran tonsil pasien tonsikeltomi di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat bulan Juli tahun 2019. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif, dengan teknik consecutive sampling, menggunakan data sekunder pasien yang telah ada di RSUD Provinsi NTB bulan Juli 2019 kemudian di analisis dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. Didapatkan 21 pasien yang menjalani tonsilektomi di IBS RSUP NTB selama bulan Juli 2019. Hasil: Distribusi berdasarkan tingkat umur nampak bahwa penderita tonsilektomi, sebagian besar adalah tergolong anak-anak yang berkisar pada umur 5-10 tahun. Berdasarkan jenis kelamin yang terbanyak adalah perempuan sebanyak 11 orang (52,4%).Penderita yang menjalani tonsilektomi lebih banyak karena indikasi relatif sebesar 19 pasien (90,5%) dengan keluhan utama terbanyak adalah nyeri pada tenggorok yaitu 12 orang (57,2%). Penderita tonsilitis kronis paling banyak mengalami pembesaran tonsil dengan ukuran tonsil T3-T3 yaitu 13 orang(61.9%). Kesimpulan: Dominasi indikasi melakukan tonsilektomi adalah indikasi relatif, yaitu keluhan yang berulang. Pasien yang menjalani operasi tonsilektomi paling banyak mengalami pembesaran ukuran tonsil T3/T3 dengan insiden tonsilektomi yang tinggi pada kelompok umur 5-10 tahun.
{"title":"KARAKTERISTIK DAN UKURAN TONSIL PASIEN TONSILEKTOMI DI INSTALSI BEDAH SENTRAL RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB BULAN JULI TAHUN 2019","authors":"Eka Arie Yuliyani, Hamsu Kadriyan, Didit Yudhanto, Gusti Ayu Trisna A, Ayu Niti Wedayani Anak Agung, Lalu Muhammad Abiyu Ghafar, Fitriatulnisa","doi":"10.29303/jku.v11i1.566","DOIUrl":"https://doi.org/10.29303/jku.v11i1.566","url":null,"abstract":"Latar belakang: Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsil palatina yang menetap. Pembesaran tonsil dapat menyebabkan beberapa komplikasi yang dapat menjadi indikasi dilakukanya operasi tonsilektomi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik dan ukuran tonsil pasien tonsikeltomi di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat bulan Juli tahun 2019. \u0000 \u0000Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif, dengan teknik consecutive sampling, menggunakan data sekunder pasien yang telah ada di RSUD Provinsi NTB bulan Juli 2019 kemudian di analisis dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. Didapatkan 21 pasien yang menjalani tonsilektomi di IBS RSUP NTB selama bulan Juli 2019. \u0000 \u0000Hasil: Distribusi berdasarkan tingkat umur nampak bahwa penderita tonsilektomi, sebagian besar adalah tergolong anak-anak yang berkisar pada umur 5-10 tahun. Berdasarkan jenis kelamin yang terbanyak adalah perempuan sebanyak 11 orang (52,4%).Penderita yang menjalani tonsilektomi lebih banyak karena indikasi relatif sebesar 19 pasien (90,5%) dengan keluhan utama terbanyak adalah nyeri pada tenggorok yaitu 12 orang (57,2%). Penderita tonsilitis kronis paling banyak mengalami pembesaran tonsil dengan ukuran tonsil T3-T3 yaitu 13 orang(61.9%). \u0000 \u0000Kesimpulan: Dominasi indikasi melakukan tonsilektomi adalah indikasi relatif, yaitu keluhan yang berulang. Pasien yang menjalani operasi tonsilektomi paling banyak mengalami pembesaran ukuran tonsil T3/T3 dengan insiden tonsilektomi yang tinggi pada kelompok umur 5-10 tahun.","PeriodicalId":135675,"journal":{"name":"Unram Medical Journal","volume":"72 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121159496","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Gusti Anom Christyandi Ramarantika, Rifana Cholidah, Eva Triani
Latar Belakang: Terdapat lebih dari 1,5 miliar kasus infeksi STH di dunia setiap tahunnya, dengan demografi yang rentan terinfeksi adalah usia anak sekolah. Infeksi tersebut dapat mengakibatkan beberapa masalah kesehatan, beberapa diantaranya berkaitan dengan status gizi seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kecacingan dengan status pengukuran antropometri anak usia sekolah dasar di Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa tenggara Barat. Metode: Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis korelasi dengan dua variabel yang memiliki skala pengukuran kategorik dan teknik consecutive sampling. Pemeriksaan kecacingan dilakukan melalui peemriksaan feses responden. Penelitian ini dilaksanakan di SDN 1, SDN 2, dan SDN 3 Malaka. Waktu pelaksanaan pada bulan Mei sampai Desember tahun 2019. Hasil: Dari hasil pemeriksaan sampel feses dari 75 responden penelitian, ditemukan telur cacing pada 23 sampel (30,67%) dan spesies cacing yang paling banyak menginfeksi adalah T.trichiura (91,4%). Berdasarkan uji hipotesis chi-square dan uji Mann-Whitney, ditemukan bahwa infeksi cacing tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan pengukuran antropometri TB/U dan BB/U (p=0,814 & p=0,403), namun memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi IMT/U (p=0,025). Simpulan: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian kecacingan dengan penguikuran antropometri TB/U dan BB/U, namun ditemukan adanya hubungan yang signifikan kejadian kecacingan dengan pengukuran antropometri anak usia sekolah dasar untuk penilaian indikator IMT/U.
{"title":"HUBUNGAN ANTARA ANGKA KECACINGAN DENGAN STATUS PENGUKURAN ANTROPOMETRI ANAK USIA SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN PEMENANG KABUPATEN LOMBOK UTARA NUSA TENGGARA BARAT","authors":"Gusti Anom Christyandi Ramarantika, Rifana Cholidah, Eva Triani","doi":"10.29303/jku.v11i1.556","DOIUrl":"https://doi.org/10.29303/jku.v11i1.556","url":null,"abstract":"Latar Belakang: Terdapat lebih dari 1,5 miliar kasus infeksi STH di dunia setiap tahunnya, dengan demografi yang rentan terinfeksi adalah usia anak sekolah. Infeksi tersebut dapat mengakibatkan beberapa masalah kesehatan, beberapa diantaranya berkaitan dengan status gizi seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kecacingan dengan status pengukuran antropometri anak usia sekolah dasar di Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa tenggara Barat. \u0000Metode: Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis korelasi dengan dua variabel yang memiliki skala pengukuran kategorik dan teknik consecutive sampling. Pemeriksaan kecacingan dilakukan melalui peemriksaan feses responden. Penelitian ini dilaksanakan di SDN 1, SDN 2, dan SDN 3 Malaka. Waktu pelaksanaan pada bulan Mei sampai Desember tahun 2019. \u0000Hasil: Dari hasil pemeriksaan sampel feses dari 75 responden penelitian, ditemukan telur cacing pada 23 sampel (30,67%) dan spesies cacing yang paling banyak menginfeksi adalah T.trichiura (91,4%). Berdasarkan uji hipotesis chi-square dan uji Mann-Whitney, ditemukan bahwa infeksi cacing tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan pengukuran antropometri TB/U dan BB/U (p=0,814 & p=0,403), namun memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi IMT/U (p=0,025). \u0000Simpulan: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian kecacingan dengan penguikuran antropometri TB/U dan BB/U, namun ditemukan adanya hubungan yang signifikan kejadian kecacingan dengan pengukuran antropometri anak usia sekolah dasar untuk penilaian indikator IMT/U.","PeriodicalId":135675,"journal":{"name":"Unram Medical Journal","volume":"19 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126320861","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Stroke merupakan penyakit penyebab kematian terbanyak kedua didunia dan peringkat ketiga terbanyak sebagai penyebab kecacatan. Stroke tidak hanya berdampak pada bidang kesehatan, tetapi dapat mempengaruhi bidang sosial, fisik, dan psikologis karena penurunan kualitas hidup penderita dan bidang ekonomi karena memerlukan biaya yang besar dalam perawatannya. Hingga saat ini penanganan stroke masih terpusat dalam pengobatan dan rehabilitasi, diperlukan upaya promotif dan preventif dalam penanganan stroke. Beberapa studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara mikrobiota usus dan sistem saraf yang disebut Gut-Brain Connection atau Gut-brain Axis (GBA). Mikrobiota usus memiliki peranan penting dalam GBA. Menjaga keseimbangan mikrobiota usus merupakan salah satu cara dalam mencegah terjadinya stroke, melalui komunikasi dua arah baik secara neuronal atau non-neuronal yang terjadi antara otak dan usus.
{"title":"Gut-Brain Connection : The Role Of Gut Microbiome in Preventing Stroke","authors":"Baiq Annisa Pratiwi, Putu Diah Ananda Putri Atmaja, Qurrata’yuni Pratiwi, Ilsa Hunaifi","doi":"10.29303/jku.v11i1.536","DOIUrl":"https://doi.org/10.29303/jku.v11i1.536","url":null,"abstract":"Stroke merupakan penyakit penyebab kematian terbanyak kedua didunia dan peringkat ketiga terbanyak sebagai penyebab kecacatan. Stroke tidak hanya berdampak pada bidang kesehatan, tetapi dapat mempengaruhi bidang sosial, fisik, dan psikologis karena penurunan kualitas hidup penderita dan bidang ekonomi karena memerlukan biaya yang besar dalam perawatannya. Hingga saat ini penanganan stroke masih terpusat dalam pengobatan dan rehabilitasi, diperlukan upaya promotif dan preventif dalam penanganan stroke. Beberapa studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara mikrobiota usus dan sistem saraf yang disebut Gut-Brain Connection atau Gut-brain Axis (GBA). Mikrobiota usus memiliki peranan penting dalam GBA. Menjaga keseimbangan mikrobiota usus merupakan salah satu cara dalam mencegah terjadinya stroke, melalui komunikasi dua arah baik secara neuronal atau non-neuronal yang terjadi antara otak dan usus.","PeriodicalId":135675,"journal":{"name":"Unram Medical Journal","volume":"24 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-03-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123616252","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Kartika Dewi, Yoga Pamungkas Sussani, Gede Wira Buanayuda
Latar belakang: Fertilitas diartikan sebagai hasil reproduksi yang nyata dari seorang wanita atau kelompok wanita. Fertilitas dipengaruhi beberapa faktor, yaitu faktor demografi, non-demografi dan variabel antara yaitu faktor yang memengaruhi dari dimulainya hubungan seksual hingga terjadi kehamilan. Penelitian ini bertujuan menilai hubungan antara usia ibu saat melahirkan pertama kali, usia saat melahirkan terakhir, tingkat pendidikan dan pekerjaan terhadap kelahiran hidup pada ibu-ibu di wilayah kerja Puskesmas Masbagik, Lombok Timur. Metode: Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, dengan desain korelatif, pendekatan cross-sectional menggunakan data sekunder yang diambil dari rekam medis pasien yang pernah melahirkan di wilayah kerja Puskesmas Masbagik. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan bahwa usia ibu saat melahirkan pertama kali, usia saat melahirkan terakhir, tingkat pendidikan dan pekerjaan dengan jumlah kelahiran hidup memiliki p<0,05 dan hal tersebut menandakan terdapat hubungan yang bermakna antara faktor-faktor yang diteliti dengan jumlah kelahiran hidup pada ibu. Faktor pendidikan serta usia pertama ibu melahirkan memiliki hubungan korelasi negatif dan faktor pekerjaan serta usia ibu saat melahirkan memiliki korelasi positif. Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara faktor-faktor yang diteliti dengan jumlah kelahiran hidup pada ibu-ibu di wilayah Puskesmas Masbagik.
{"title":"Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Jumlah Kelahiran Hidup pada Ib-Ibu di Wilayah Kerja Puskemas Masbagik, Lombok Timur","authors":"Kartika Dewi, Yoga Pamungkas Sussani, Gede Wira Buanayuda","doi":"10.29303/jku.v11i1.540","DOIUrl":"https://doi.org/10.29303/jku.v11i1.540","url":null,"abstract":"Latar belakang: Fertilitas diartikan sebagai hasil reproduksi yang nyata dari seorang wanita atau kelompok wanita. Fertilitas dipengaruhi beberapa faktor, yaitu faktor demografi, non-demografi dan variabel antara yaitu faktor yang memengaruhi dari dimulainya hubungan seksual hingga terjadi kehamilan. Penelitian ini bertujuan menilai hubungan antara usia ibu saat melahirkan pertama kali, usia saat melahirkan terakhir, tingkat pendidikan dan pekerjaan terhadap kelahiran hidup pada ibu-ibu di wilayah kerja Puskesmas Masbagik, Lombok Timur. \u0000Metode: Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, dengan desain korelatif, pendekatan cross-sectional menggunakan data sekunder yang diambil dari rekam medis pasien yang pernah melahirkan di wilayah kerja Puskesmas Masbagik. \u0000Hasil: Pada penelitian ini didapatkan bahwa usia ibu saat melahirkan pertama kali, usia saat melahirkan terakhir, tingkat pendidikan dan pekerjaan dengan jumlah kelahiran hidup memiliki p<0,05 dan hal tersebut menandakan terdapat hubungan yang bermakna antara faktor-faktor yang diteliti dengan jumlah kelahiran hidup pada ibu. Faktor pendidikan serta usia pertama ibu melahirkan memiliki hubungan korelasi negatif dan faktor pekerjaan serta usia ibu saat melahirkan memiliki korelasi positif. \u0000Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara faktor-faktor yang diteliti dengan jumlah kelahiran hidup pada ibu-ibu di wilayah Puskesmas Masbagik.","PeriodicalId":135675,"journal":{"name":"Unram Medical Journal","volume":"82 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-03-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133289518","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Putri Nurhayati, Achmad Mujahidin Irham, I. G. B. Pramana, Herpan Syafii Harahap
Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a chronic metabolic disorder characterized by insulin resistance and hyperglycemia which underlie its complications, including cognitive impairment. T2dm-associated cognitive impairment is generally characterized by the decrease in at least one cognitive domain. However, its progression can be slowed by appropriate blood glucose control. Hb1Ac is a candidate of appropriate biomarker in predicting the progression of T2DM-associated cognitive impairment. This is based on several important characteristics it has, including a good blood glucose index, low daily biological variability, relatively unaffected by stress conditions, and unaffected by variations due to loading the amount of glucose.
{"title":"HBA1C SEBAGAI KANDIDAT BIOMARKER UNTUK PREDIKSI PROGESIVITAS GANGGUAN KOGNITIF TERKAIT DIABETES MELITUS TIPE 2","authors":"Putri Nurhayati, Achmad Mujahidin Irham, I. G. B. Pramana, Herpan Syafii Harahap","doi":"10.29303/jku.v11i1.517","DOIUrl":"https://doi.org/10.29303/jku.v11i1.517","url":null,"abstract":"Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a chronic metabolic disorder characterized by insulin resistance and hyperglycemia which underlie its complications, including cognitive impairment. T2dm-associated cognitive impairment is generally characterized by the decrease in at least one cognitive domain. However, its progression can be slowed by appropriate blood glucose control. Hb1Ac is a candidate of appropriate biomarker in predicting the progression of T2DM-associated cognitive impairment. This is based on several important characteristics it has, including a good blood glucose index, low daily biological variability, relatively unaffected by stress conditions, and unaffected by variations due to loading the amount of glucose.","PeriodicalId":135675,"journal":{"name":"Unram Medical Journal","volume":"32 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-03-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126885902","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Sonya Ananda Ellya John, Muhammad fahmi Tamami, Dedianto Hidajat
Abstrak Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit inflamasi multifaktorial yang memiliki prevalensi tinggi secara global. Banyak faktor yang dapat menjadi dasar terjadinya DA, salah satunya ketidakseimbangan komposisi dan keanekaragaman mikrobioma pada kulit serta usus atau bisa disebut keadaan disbiosis. Penatalaksanaan dan pencegahan disbiosis tersebut dapat menjadi strategi pengobatan pada DA. Berbagai studi telah dilakukan untuk mengetahui efektivitas penggunaan produk biotik, seperti probiotik, dalam strategi penatalaksanaan DA. Berdasarkan bukti ilmiah yang ada, ulasan ini membahas tentang mikrobioma kulit dan peran probiotik pada DA. Kata kunci: dermatitis atopik, disbiosis, mikrobioma, probiotik 1Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 2Bagian Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Mataram / Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Email : sonyaaej@gmail.comSkin
{"title":"Mikrobioma Kulit dan Peran Probiotik Pada Dermatitis Atopik","authors":"Sonya Ananda Ellya John, Muhammad fahmi Tamami, Dedianto Hidajat","doi":"10.29303/jku.v11i1.519","DOIUrl":"https://doi.org/10.29303/jku.v11i1.519","url":null,"abstract":"Abstrak \u0000Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit inflamasi multifaktorial yang memiliki prevalensi tinggi secara global. Banyak faktor yang dapat menjadi dasar terjadinya DA, salah satunya ketidakseimbangan komposisi dan keanekaragaman mikrobioma pada kulit serta usus atau bisa disebut keadaan disbiosis. Penatalaksanaan dan pencegahan disbiosis tersebut dapat menjadi strategi pengobatan pada DA. Berbagai studi telah dilakukan untuk mengetahui efektivitas penggunaan produk biotik, seperti probiotik, dalam strategi penatalaksanaan DA. Berdasarkan bukti ilmiah yang ada, ulasan ini membahas tentang mikrobioma kulit dan peran probiotik pada DA. \u0000Kata kunci: dermatitis atopik, disbiosis, mikrobioma, probiotik \u00001Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Mataram \u00002Bagian Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Mataram / Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat \u0000Email : sonyaaej@gmail.comSkin","PeriodicalId":135675,"journal":{"name":"Unram Medical Journal","volume":"28 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-03-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122423739","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Luthfanto Hafizhuddin, Ni Made, Amelia Ratnata Dewi, I. Pratama, Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir terdapat peningkatan studi terkait cara distribusi obat yang baik (CDOB). Namun tinjauan literatur yang mengeksplorasi evaluasi CDOB sangat terbatas. Oleh karena itu, scoping review ini bertujuan untuk memetakan pengetahuan terkini mengenai implementasi CDOB pada saranan distribusi obat. Pencarian literatur melalui database Google Scholar berpatokan pada protokol PRISMA yang dimodifikasi. Literatur yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi lalu diekstraksi ke dalam tabel. Hasil ekstraksi literatur menunjukkan keseluruhan studi yang diperoleh bersifat deskriptif; studi lebih dominan dilakukan pada PBF dan wilayah Barat Indonesia; regulasi yang menjadi acuan belum diperbaharui; belum melakukan validasi hasil kuesioner dan menggunakan sampel yang sedikit. Studi yang dapat dilakukan antara lain meninjau faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan CDOB; mengeksplorasi tingkat penerapan CDOB pada sarana distribusi lain seperti toko obat dan wilayah Indonesia bagian Timur serta memperbaharui studi dengan acuan pedoman yang baru. Adapun melakukan validasi hasil kuesioner dan menggunakan sampel sarana distribusi yang lebih besar dapat menjadi pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.
{"title":"Kajian Literatur: Evaluasi Cara Distribusi Obat Yang Baik (CDOB) Pada Sarana Distribusi Obat","authors":"Luthfanto Hafizhuddin, Ni Made, Amelia Ratnata Dewi, I. Pratama, Pendahuluan","doi":"10.29303/jku.v10i4.565","DOIUrl":"https://doi.org/10.29303/jku.v10i4.565","url":null,"abstract":"Dalam beberapa tahun terakhir terdapat peningkatan studi terkait cara distribusi obat yang baik (CDOB). Namun tinjauan literatur yang mengeksplorasi evaluasi CDOB sangat terbatas. Oleh karena itu, scoping review ini bertujuan untuk memetakan pengetahuan terkini mengenai implementasi CDOB pada saranan distribusi obat. Pencarian literatur melalui database Google Scholar berpatokan pada protokol PRISMA yang dimodifikasi. Literatur yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi lalu diekstraksi ke dalam tabel. Hasil ekstraksi literatur menunjukkan keseluruhan studi yang diperoleh bersifat deskriptif; studi lebih dominan dilakukan pada PBF dan wilayah Barat Indonesia; regulasi yang menjadi acuan belum diperbaharui; belum melakukan validasi hasil kuesioner dan menggunakan sampel yang sedikit. Studi yang dapat dilakukan antara lain meninjau faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan CDOB; mengeksplorasi tingkat penerapan CDOB pada sarana distribusi lain seperti toko obat dan wilayah Indonesia bagian Timur serta memperbaharui studi dengan acuan pedoman yang baru. Adapun melakukan validasi hasil kuesioner dan menggunakan sampel sarana distribusi yang lebih besar dapat menjadi pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.","PeriodicalId":135675,"journal":{"name":"Unram Medical Journal","volume":"11 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-01-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128318270","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan proses perjalanan penyakit dengan berbagai penyebab yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan berakhir dengan gagal ginjal. Penyebab rusaknya ginjal adalah peningkatan kadar ureum dalam tubuh yang dapat merusak semua sel termasuk sel neuron. Kerusakan sel otak yang berulang dapat mengganggu fungsi kognitif. Secara garis besar gangguan fungsi kognitif pada pasien PGK tersebut disebabkan oleh 4 faktor, yakni sindrom azotemia, hemodialisis, faktor risiko vaskular dan adanya komorbid. Sindrom azotemia terjadi karena peningkatan kadar ureum dan kreatinin dalam darah yang dapat menyebabkan Uremic encephalopathy yang merupakan proses kompleks yang berkaitan dengan menurunnya fungsi kognitif. Pasien yang menjalani hemodialisa lama menyebabkan penurunan perfusi serebral dan penurunan kecepatan aliran darah sehingga terjadi penurunan metabolisme oksigen ke otak yang menyebabkan penurunan fungsi kognitif. Gangguan sistem kardiovaskular pada pasien PGK memperlihatkan adanya atrofi serebral dan lesi pada white matter yang mencerminkan kerusakan vaskular dan area iskemik serebral yang menjadi kontributor utama penurunan kognitif pada pasien PGK. Adanya komorbid seperti rendahnya kadar hemoglobin maupun albumin merupakan faktor risiko yang signifikan dalam mempengaruhi penurunan fungsi kognitif.
{"title":"COGNITIVE IMPAIRMENT IN PATIENT WITH CHRONIC KIDNEY DISEASE","authors":"Yusika Saftari Handini, Ilsa Hunaifi","doi":"10.29303/jku.v10i4.586","DOIUrl":"https://doi.org/10.29303/jku.v10i4.586","url":null,"abstract":"Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan proses perjalanan penyakit dengan berbagai penyebab yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan berakhir dengan gagal ginjal. Penyebab rusaknya ginjal adalah peningkatan kadar ureum dalam tubuh yang dapat merusak semua sel termasuk sel neuron. Kerusakan sel otak yang berulang dapat mengganggu fungsi kognitif. Secara garis besar gangguan fungsi kognitif pada pasien PGK tersebut disebabkan oleh 4 faktor, yakni sindrom azotemia, hemodialisis, faktor risiko vaskular dan adanya komorbid. Sindrom azotemia terjadi karena peningkatan kadar ureum dan kreatinin dalam darah yang dapat menyebabkan Uremic encephalopathy yang merupakan proses kompleks yang berkaitan dengan menurunnya fungsi kognitif. Pasien yang menjalani hemodialisa lama menyebabkan penurunan perfusi serebral dan penurunan kecepatan aliran darah sehingga terjadi penurunan metabolisme oksigen ke otak yang menyebabkan penurunan fungsi kognitif. Gangguan sistem kardiovaskular pada pasien PGK memperlihatkan adanya atrofi serebral dan lesi pada white matter yang mencerminkan kerusakan vaskular dan area iskemik serebral yang menjadi kontributor utama penurunan kognitif pada pasien PGK. Adanya komorbid seperti rendahnya kadar hemoglobin maupun albumin merupakan faktor risiko yang signifikan dalam mempengaruhi penurunan fungsi kognitif.","PeriodicalId":135675,"journal":{"name":"Unram Medical Journal","volume":"55 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-01-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126086350","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}