Pub Date : 2023-01-09DOI: 10.26593/risa.v7i01.6370.100-116
Finka Soelistyo, Handoko Sutanto
Abstrak - Gereja sebagai tempat ibadah dituntut untuk memiliki kualitas akustik yang ideal, tanpa melupakan aspek lain. Gereja Katolik St. Yusuf Gedangan merupakan salah satu bangunan bersejarah di Semarang dengan langgam arsitektur Neo-Gotik, dengan sedikit pengaruh Gotik. Pada zaman Neo-Gotik, perancangan sebuah gereja lebih ditekankan kepada aspek liturgis sehingga proporsi ruangnya cenderung dibuat gigantis. Ciri arsitektur Neo-Gotik lainnya adalah adanya kolom-kolom besar di dalam interior, denah yang memanjang, serta penggunaan material seperti kaca patri, kayu solid, serta lantai marmer. Ciri-ciri gereja Neo-Gotik tersebut dapat berpotensi mempengaruhi kualitas akustik seperti distribusi suara, kejelasan suara, waktu dengung, dan cacat akustik. Pada penelitian ini akan dilakukan pengamatan mengenai pengaruh interior bergaya arsitektur Neo-Gotik terhadap kualitas akustik menggunakan metode evaluasi pascahuni dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pada penelitian ini dilakukan pembahasan mengenai teori arsitektur Neo-Gotik dan teori kualitas akustik ideal gereja, lalu membandingkan teori tersebut dengan hasil pengujian dan pengamatan di lapangan, perhitungan, serta simulasi menggunakan perangkat lunak. Hal ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kualitas akustik pada gereja dengan parameter distribusi suara, kejelasan pidato, dan waktu dengung menggunakan sumber suara langsung maupun pengeras suara. Selain itu juga dibahas mengenai pengaruh penempatan speaker eksisting. Data kualitatif berupa persepsi umat terhadap artikulasi suara dan inteligibilitas suara juga digunakan untuk mendukung hasil perhitungan dan pengujian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya interior Neo-Gotik pada Gereja Katolik Santo Yusuf Gedangan memiliki pengaruh terhadap kualitas akustik ruang ibadah ditinjau dari beberapa parameter kualitas akustik gereja. Denah Gereja yang berbentuk persegi panjang, menyebabkan distribusi suara menjadi kurang merata pada area duduk umat bagian belakang. Adanya kolom-kolom yang cukup besar pada inteiror ruang ibadah menyebabkan cacat akustik berupa bayangan bunyi. Volume ruang yang terlalu besar akibat ketinggian plafon yang tinggi dan bentuk plafon yang mengikuti sistem struktur rib vault menyebabkan waktu dengung menjadi tinggi atau tidak ideal. Selain itu, pemantulan pada plafon juga menyebabkan cacat akustik berupa long delayed reflection sehingga menurunkan kejelasan suara. Material interior yang seluruhnya merupakan material reflektif juga turut berperan dalam tingginya nilai waktu dengung yang juga berdampak pada rendahnya tingkat kejelasan pidato, diakibatkan oleh kurangnya pemantulan secara difusi. Penempatan loudspeaker eksisting pada ruang ibadah Gereja St. Yusuf Gedangan Semarang terbukti efektif dalam membantu memperbaiki distribusi suara, kejelasan pidato, dan mengurangi cacat akustik berupa bayangan bunyi, namun kurang efektif terhadap kejelasan pidato serta mempengaruhi adanya cacat akustik long delayed ref
{"title":"PENGARUH INTERIOR BERGAYA ARSITEKTUR NEO-GOTIK TERHADAP KUALITAS AKUSTIK PADA GEREJA KATOLIK ST. YUSUF GEDANGAN SEMARANG","authors":"Finka Soelistyo, Handoko Sutanto","doi":"10.26593/risa.v7i01.6370.100-116","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/risa.v7i01.6370.100-116","url":null,"abstract":"Abstrak - Gereja sebagai tempat ibadah dituntut untuk memiliki kualitas akustik yang ideal, tanpa melupakan aspek lain. Gereja Katolik St. Yusuf Gedangan merupakan salah satu bangunan bersejarah di Semarang dengan langgam arsitektur Neo-Gotik, dengan sedikit pengaruh Gotik. Pada zaman Neo-Gotik, perancangan sebuah gereja lebih ditekankan kepada aspek liturgis sehingga proporsi ruangnya cenderung dibuat gigantis. Ciri arsitektur Neo-Gotik lainnya adalah adanya kolom-kolom besar di dalam interior, denah yang memanjang, serta penggunaan material seperti kaca patri, kayu solid, serta lantai marmer. Ciri-ciri gereja Neo-Gotik tersebut dapat berpotensi mempengaruhi kualitas akustik seperti distribusi suara, kejelasan suara, waktu dengung, dan cacat akustik. \u0000Pada penelitian ini akan dilakukan pengamatan mengenai pengaruh interior bergaya arsitektur Neo-Gotik terhadap kualitas akustik menggunakan metode evaluasi pascahuni dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pada penelitian ini dilakukan pembahasan mengenai teori arsitektur Neo-Gotik dan teori kualitas akustik ideal gereja, lalu membandingkan teori tersebut dengan hasil pengujian dan pengamatan di lapangan, perhitungan, serta simulasi menggunakan perangkat lunak. Hal ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kualitas akustik pada gereja dengan parameter distribusi suara, kejelasan pidato, dan waktu dengung menggunakan sumber suara langsung maupun pengeras suara. Selain itu juga dibahas mengenai pengaruh penempatan speaker eksisting. Data kualitatif berupa persepsi umat terhadap artikulasi suara dan inteligibilitas suara juga digunakan untuk mendukung hasil perhitungan dan pengujian. \u0000Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya interior Neo-Gotik pada Gereja Katolik Santo Yusuf Gedangan memiliki pengaruh terhadap kualitas akustik ruang ibadah ditinjau dari beberapa parameter kualitas akustik gereja. Denah Gereja yang berbentuk persegi panjang, menyebabkan distribusi suara menjadi kurang merata pada area duduk umat bagian belakang. Adanya kolom-kolom yang cukup besar pada inteiror ruang ibadah menyebabkan cacat akustik berupa bayangan bunyi. Volume ruang yang terlalu besar akibat ketinggian plafon yang tinggi dan bentuk plafon yang mengikuti sistem struktur rib vault menyebabkan waktu dengung menjadi tinggi atau tidak ideal. Selain itu, pemantulan pada plafon juga menyebabkan cacat akustik berupa long delayed reflection sehingga menurunkan kejelasan suara. Material interior yang seluruhnya merupakan material reflektif juga turut berperan dalam tingginya nilai waktu dengung yang juga berdampak pada rendahnya tingkat kejelasan pidato, diakibatkan oleh kurangnya pemantulan secara difusi. Penempatan loudspeaker eksisting pada ruang ibadah Gereja St. Yusuf Gedangan Semarang terbukti efektif dalam membantu memperbaiki distribusi suara, kejelasan pidato, dan mengurangi cacat akustik berupa bayangan bunyi, namun kurang efektif terhadap kejelasan pidato serta mempengaruhi adanya cacat akustik long delayed ref","PeriodicalId":166027,"journal":{"name":"Riset Arsitektur (RISA)","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-01-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130340769","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-01-09DOI: 10.26593/risa.v7i01.6358.1-15
Clara Florida da Cunha, Purnama Salura
Abstrak - Setelah diadakan Konsili Vatikan ke-II, Gereja Katolik yang cenderung hangat dengan identitas langgam gotik kini bentuknya semakin beragam karena gereja mulai menerima keragaman dimuka bumi. Bentuk bangunan gereja yang beragam ini tidak memperlihatkan fungsinya sebagai rumah Tuhan. Bentuk gereja ada yang terlihat seperti mall, museum, stadion, dan sebagainya. Sedangkan fungsi utama gereja adalah untuk menampung kegiatan liturgi yang merupakan aktivitas simbolik untuk memuji dan menyembah Tuhan. Aktivitas dalam ruang mempengaruhi kebutuhan ruang, sama halnya dengan aktivitas liturgi yang bergerak secara linear sehingga mempengaruhi bentuk gereja yang linear. Paus Benediktus XVI menjadi khawatir dengan pemudaran makna pada gereja katolik, sehingga membuat kongregasi untuk membahas makna sakralitas pada gereja. Hal ini menjadi penting dibahas untuk melihat makna bentuk Gereja Katolik yang memusat apakah serupa dengan makna gereja yang sesuai dengan aktivitas linearnya. Dengan itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap makna zonasi liturgi Gereja Katolik Santo Ignatius Loyola dengan pendekatan Spektrum Makna. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif-deduktif. Metode pertama adalah, mengumpulkan data kolektif dengan merekam data objek studi dan membuka bangunan menjadi 3 zona ruang liturgi, yakni Narthex, Nave dan Sanctuary dengan teori property komposisi. Kedua, membuat acuan denah dan ruang liturgi Gereja Katolik dengan pendekatan Martasudjita, Eliade, Hoffman, Jones, dan Barrie. Ketiga, pengumpulan data analisis dengan wawancara triangulasi sumber kepada arsitek, pengguna gereja, dan pengunjung gereja dengan skala semantik. Keempat, menggunakan teori Spektrum Makna untuk mengungkap makna yang terdapat pada tiap zona ruang liturgi. Hasil yang ditemukan adalah makna zonasi liturgi Gereja Santo Ignatius Loyola didominasi pada makna kesepakatan kolektif dengan adanya hubungan sebab-akibat buatan manusia. Makna dari hubungan sebab akibat buatan manusia menciptakan kesepakatan universal sehingga komposisi ruang dan elemen-elemen arsitektur membentuk gereja yang sangat erat dengan makna simbolik yang mendukung kegiatan liturgi dengan baik dan mengungkapkan makna nilai simbolik yang melandasi perayaan iman kegiatan liturgi. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk para arsitek teoritisi maupun praktisi, pengelola gereja, dan masyarakat awam untuk memahami komposisi ruang dan elemen-elemen arsitektural yang membentuk makna arsitektur Gereja Katolik. Kata Kunci: Gereja Katolik, Makna, Bentuk, Liturgi, Spektrum Makna
{"title":"MAKNA ZONASI LITURGI GEREJA KATOLIK SANTO IGNATIUS LOYOLA","authors":"Clara Florida da Cunha, Purnama Salura","doi":"10.26593/risa.v7i01.6358.1-15","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/risa.v7i01.6358.1-15","url":null,"abstract":"Abstrak - Setelah diadakan Konsili Vatikan ke-II, Gereja Katolik yang cenderung hangat dengan identitas langgam gotik kini bentuknya semakin beragam karena gereja mulai menerima keragaman dimuka bumi. Bentuk bangunan gereja yang beragam ini tidak memperlihatkan fungsinya sebagai rumah Tuhan. Bentuk gereja ada yang terlihat seperti mall, museum, stadion, dan sebagainya. Sedangkan fungsi utama gereja adalah untuk menampung kegiatan liturgi yang merupakan aktivitas simbolik untuk memuji dan menyembah Tuhan. Aktivitas dalam ruang mempengaruhi kebutuhan ruang, sama halnya dengan aktivitas liturgi yang bergerak secara linear sehingga mempengaruhi bentuk gereja yang linear. Paus Benediktus XVI menjadi khawatir dengan pemudaran makna pada gereja katolik, sehingga membuat kongregasi untuk membahas makna sakralitas pada gereja. Hal ini menjadi penting dibahas untuk melihat makna bentuk Gereja Katolik yang memusat apakah serupa dengan makna gereja yang sesuai dengan aktivitas linearnya. Dengan itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap makna zonasi liturgi Gereja Katolik Santo Ignatius Loyola dengan pendekatan Spektrum Makna. \u0000Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif-deduktif. Metode pertama adalah, mengumpulkan data kolektif dengan merekam data objek studi dan membuka bangunan menjadi 3 zona ruang liturgi, yakni Narthex, Nave dan Sanctuary dengan teori property komposisi. Kedua, membuat acuan denah dan ruang liturgi Gereja Katolik dengan pendekatan Martasudjita, Eliade, Hoffman, Jones, dan Barrie. Ketiga, pengumpulan data analisis dengan wawancara triangulasi sumber kepada arsitek, pengguna gereja, dan pengunjung gereja dengan skala semantik. Keempat, menggunakan teori Spektrum Makna untuk mengungkap makna yang terdapat pada tiap zona ruang liturgi. \u0000Hasil yang ditemukan adalah makna zonasi liturgi Gereja Santo Ignatius Loyola didominasi pada makna kesepakatan kolektif dengan adanya hubungan sebab-akibat buatan manusia. Makna dari hubungan sebab akibat buatan manusia menciptakan kesepakatan universal sehingga komposisi ruang dan elemen-elemen arsitektur membentuk gereja yang sangat erat dengan makna simbolik yang mendukung kegiatan liturgi dengan baik dan mengungkapkan makna nilai simbolik yang melandasi perayaan iman kegiatan liturgi. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk para arsitek teoritisi maupun praktisi, pengelola gereja, dan masyarakat awam untuk memahami komposisi ruang dan elemen-elemen arsitektural yang membentuk makna arsitektur Gereja Katolik. \u0000 \u0000Kata Kunci: Gereja Katolik, Makna, Bentuk, Liturgi, Spektrum Makna","PeriodicalId":166027,"journal":{"name":"Riset Arsitektur (RISA)","volume":"21 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-01-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133227830","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-01-09DOI: 10.26593/risa.v7i01.6359.16-30
L. Setiawan, Wulani Enggar Sari
Abstrak - Selubung bangunan menjadi salah satu elemen bangunan yang penting untuk menciptakan kenyamanan termal ruang dalam bangunan karena berinteraksi langsung dengan lingkungan di luar bangunan. Double skin facade merupakan salah satu strategi rancangan selubung bangunan yang tidak hanya dapat digunakan sebagai bagian dari rancangan fasad bangunan tetapi juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kenyamanan termal ruang dalam bangunan. Seiring perkembangan teknologi, rancangan double skin facade juga semakin beragam dan berkembang salah satunya dengan teknologi material yang digunakan. Phase change material merupakan teknologi material yang dapat diaplikasikan di berbagai elemen bangunan seperti selubung bangunan atau double skin facade. Phase change material merupakan material yang mempunyai kemampuan untuk melepaskan dan menyimpan energi panas laten. Phase change material memiliki kemampuan untuk berubah fasa dari cair menjadi padat maupun sebaliknya. Sebagian jenis phase change material memiliki karakter transparan yang dapat dimanfaatkan dan diaplikasikan pada elemen bangunan transparan seperti selubung bangunan atau double skin facade sebagai strategi untuk meningkatkan kenyamanan termal ruang dalam bangunan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi phase change material pada double-skin facade bangunan terhadap kenyamanan termal ruang dalam bangunan di Kota Bandung. phase change material sendiri merupakan material yang belum banyak diterapkan khususnya dalam dunia arsitektur sehingga penelitian perihal phase change material ini dapat menambah pengetahuan mengenai inovasi strategi mencapai kenyamanan termal ruang dalam pada bangunan. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode eksperimental menggunakan simulasi digital. Eksperimen dengan simulasi digital dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Design Builder dan EnergyPlus. Analisis dilakukan dengan membandingkan kondisi model simulasi sebelum aplikasi phase change material pada double skin facade dan setelah aplikasi phase change material pada double skin facade. Berdasarkan proses analisis, diperoleh kesimpulan bahwa Aplikasi phase change material dapat meningkatkan kenyamanan termal ruang dalam bangunan. Alternatif rancangan double skin facade dengan phase change material memiliki pengaruh perubahan temperatur operatif rata-rata hingga sebesar 7,34% dibandingkan ruangan tanpa penggunaan phase change material. Kata Kunci: phase change material, double skin facade, kenyamanan termal ruang dalam
{"title":"IMPLEMENTASI PHASE CHANGE MATERIAL PADA DOUBLE SKIN FACADE SEBAGAI UPAYA MENCAPAI KENYAMANAN TERMAL RUANG DALAM BANGUNAN PADA KONTEKS KOTA BANDUNG","authors":"L. Setiawan, Wulani Enggar Sari","doi":"10.26593/risa.v7i01.6359.16-30","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/risa.v7i01.6359.16-30","url":null,"abstract":"Abstrak - Selubung bangunan menjadi salah satu elemen bangunan yang penting untuk menciptakan kenyamanan termal ruang dalam bangunan karena berinteraksi langsung dengan lingkungan di luar bangunan. Double skin facade merupakan salah satu strategi rancangan selubung bangunan yang tidak hanya dapat digunakan sebagai bagian dari rancangan fasad bangunan tetapi juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kenyamanan termal ruang dalam bangunan. \u0000Seiring perkembangan teknologi, rancangan double skin facade juga semakin beragam dan berkembang salah satunya dengan teknologi material yang digunakan. Phase change material merupakan teknologi material yang dapat diaplikasikan di berbagai elemen bangunan seperti selubung bangunan atau double skin facade. Phase change material merupakan material yang mempunyai kemampuan untuk melepaskan dan menyimpan energi panas laten. Phase change material memiliki kemampuan untuk berubah fasa dari cair menjadi padat maupun sebaliknya. Sebagian jenis phase change material memiliki karakter transparan yang dapat dimanfaatkan dan diaplikasikan pada elemen bangunan transparan seperti selubung bangunan atau double skin facade sebagai strategi untuk meningkatkan kenyamanan termal ruang dalam bangunan. \u0000Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi phase change material pada double-skin facade bangunan terhadap kenyamanan termal ruang dalam bangunan di Kota Bandung. phase change material sendiri merupakan material yang belum banyak diterapkan khususnya dalam dunia arsitektur sehingga penelitian perihal phase change material ini dapat menambah pengetahuan mengenai inovasi strategi mencapai kenyamanan termal ruang dalam pada bangunan. \u0000Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode eksperimental menggunakan simulasi digital. Eksperimen dengan simulasi digital dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Design Builder dan EnergyPlus. Analisis dilakukan dengan membandingkan kondisi model simulasi sebelum aplikasi phase change material pada double skin facade dan setelah aplikasi phase change material pada double skin facade. \u0000Berdasarkan proses analisis, diperoleh kesimpulan bahwa Aplikasi phase change material dapat meningkatkan kenyamanan termal ruang dalam bangunan. Alternatif rancangan double skin facade dengan phase change material memiliki pengaruh perubahan temperatur operatif rata-rata hingga sebesar 7,34% dibandingkan ruangan tanpa penggunaan phase change material. \u0000 \u0000Kata Kunci: phase change material, double skin facade, kenyamanan termal ruang dalam","PeriodicalId":166027,"journal":{"name":"Riset Arsitektur (RISA)","volume":"19 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-01-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121319362","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-01-09DOI: 10.26593/risa.v7i01.6364.84-99
Audy Widhianingtyas, S. Aly
Abstrak - Salah satu cerminan kekayaan budaya Indonesia adalah arsitektur tradisional, tak terkecuali arsitektur Jawa yang sarat makna. Sayangnya, eksistensi arsitektur tradisional di era modern kian memudar. Adanya Plataran Dharmawangsa sebagai contoh pelestarian arsitektur Jawa meski telah mengalami penyesuaian pada fungsi dan desain menimbulkan ketertarikan untuk mempelajari bagaimana tata ruang dan bentuk arsitektur Jawa pada restoran Plataran Dharmawangsa di Jakarta. Untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan, dilakukan kajian teori untuk mendasari penelitian ini. Teori yang dikaji adalah teori tata ruang dan bentuk arsitektur Jawa, ditinjau dari aspek orientasi, zonasi dan ruang-ruang, bentuk bangunan tradisional, elemen pembentuk ruang (konsep kepala-badan-kaki), struktur dan konstruksi, serta ornamen, hingga diperoleh rangkuman sebagai alat analisis. Pada Bab 3, dipaparkan data-data terkait dengan objek penelitian yaitu Plataran Dharmawangsa berkaitan dengan teori arsitektur Jawa yang telah dipelajari pada bab 2, dimulai dari aspek orientasi, zonasi, ruang, massa, elemen pembentuk ruang, struktur, dan ornamen yang ada lewat foto-foto dan deskripsi. Pemaparan ini berfokus pada Ruang Sedap Malam, Ruang Kenanga, Ruang Melati, Ruang Kantil, dan Surau. Pada Bab 4, tata ruang dan bentuk arsitektur Jawa pada objek dianalisis dari keenam aspek, menggunakan alat analisis di bab 2. Hasilnya ditentukan dengan parameter ‘sesuai’, ‘penyesuaian’, atau ‘tidak sesuai’, dan kemudian dirangkum. Pada Bab 5, disimpulkan bahwa dapat ditemukan tata ruang dan bentuk arsitektur Jawa pada restoran Plataran Dharmawangsa di Jakarta dengan adanya penyesuaian pada tiga aspek. Dari segi ruang, aspek orientasi dan zonasi ruang telah mengalami pergeseran akibat faktor geografis dan penyesuaian fungsi. Dari segi bentuk, penyesuaian terdapat pada aspek elemen pembentuk ruang, khususnya variabel pelingkup yang kini dikombinasikan dengan material dinding yang lebih transparan. Hal ini mendukung keharmonisan dengan alam dan menyatukan keragaman fasad pada Plataran Dharmawangsa. Tata ruang dan bentuk arsitektur Jawa ini kini menjadi karakteristik dan nilai tambah bagi restoran Plataran Dharmawangsa, dengan aktivitas restoran yang tetap dapat terwadahi dengan baik. Kata Kunci: tata ruang, bentuk, arsitektur Jawa, restoran, Plataran Dharmawangsa, Jakarta
{"title":"TATA RUANG DAN BENTUK ARSITEKTUR JAWA PADA RESTORAN PLATARAN DHARMAWANGSA DI JAKARTA","authors":"Audy Widhianingtyas, S. Aly","doi":"10.26593/risa.v7i01.6364.84-99","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/risa.v7i01.6364.84-99","url":null,"abstract":"Abstrak - Salah satu cerminan kekayaan budaya Indonesia adalah arsitektur tradisional, tak terkecuali arsitektur Jawa yang sarat makna. Sayangnya, eksistensi arsitektur tradisional di era modern kian memudar. Adanya Plataran Dharmawangsa sebagai contoh pelestarian arsitektur Jawa meski telah mengalami penyesuaian pada fungsi dan desain menimbulkan ketertarikan untuk mempelajari bagaimana tata ruang dan bentuk arsitektur Jawa pada restoran Plataran Dharmawangsa di Jakarta. \u0000Untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan, dilakukan kajian teori untuk mendasari penelitian ini. Teori yang dikaji adalah teori tata ruang dan bentuk arsitektur Jawa, ditinjau dari aspek orientasi, zonasi dan ruang-ruang, bentuk bangunan tradisional, elemen pembentuk ruang (konsep kepala-badan-kaki), struktur dan konstruksi, serta ornamen, hingga diperoleh rangkuman sebagai alat analisis. \u0000Pada Bab 3, dipaparkan data-data terkait dengan objek penelitian yaitu Plataran Dharmawangsa berkaitan dengan teori arsitektur Jawa yang telah dipelajari pada bab 2, dimulai dari aspek orientasi, zonasi, ruang, massa, elemen pembentuk ruang, struktur, dan ornamen yang ada lewat foto-foto dan deskripsi. Pemaparan ini berfokus pada Ruang Sedap Malam, Ruang Kenanga, Ruang Melati, Ruang Kantil, dan Surau. \u0000Pada Bab 4, tata ruang dan bentuk arsitektur Jawa pada objek dianalisis dari keenam aspek, menggunakan alat analisis di bab 2. Hasilnya ditentukan dengan parameter ‘sesuai’, ‘penyesuaian’, atau ‘tidak sesuai’, dan kemudian dirangkum. \u0000Pada Bab 5, disimpulkan bahwa dapat ditemukan tata ruang dan bentuk arsitektur Jawa pada restoran Plataran Dharmawangsa di Jakarta dengan adanya penyesuaian pada tiga aspek. Dari segi ruang, aspek orientasi dan zonasi ruang telah mengalami pergeseran akibat faktor geografis dan penyesuaian fungsi. Dari segi bentuk, penyesuaian terdapat pada aspek elemen pembentuk ruang, khususnya variabel pelingkup yang kini dikombinasikan dengan material dinding yang lebih transparan. Hal ini mendukung keharmonisan dengan alam dan menyatukan keragaman fasad pada Plataran Dharmawangsa. Tata ruang dan bentuk arsitektur Jawa ini kini menjadi karakteristik dan nilai tambah bagi restoran Plataran Dharmawangsa, dengan aktivitas restoran yang tetap dapat terwadahi dengan baik. \u0000Kata Kunci: tata ruang, bentuk, arsitektur Jawa, restoran, Plataran Dharmawangsa, Jakarta","PeriodicalId":166027,"journal":{"name":"Riset Arsitektur (RISA)","volume":"11 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-01-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129003501","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-01-09DOI: 10.26593/risa.v7i01.6360.31-48
Dian Novita, Aldyfra L. Lukman
Abstrak - Gereja St. Gabriel adalah rumah Allah dan wadah bagi umat Katolik beribadah. Gereja Katolik St. Gabriel memiliki konsep yang mengutamakan keterhubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan juga manusia dengan lingkungan. Kenyamanan ruang merupakan faktor penting dalam mendukung suasana beribadah, sehingga Gereja St. Gabriel memperkuat konsepnya dengan konsep desain pasif dan ekologis. Konsep tersebut diwujudkan melalui transparansi dan keterbukaan bangunan gereja yang besar terhadap lingkungannya, untuk mengoptimalkan pencahayaan dan penghawaan alami. Hal tersebut yang membuat wujud fisik Gereja St. Gabriel memiliki perbedaan dengan Gereja Katolik pada umumnya, yang relatif tertutup dengan bukaan terbatas, untuk meminimalisasi gangguan suara dari luar guna membentuk suasana ibadah yang lebih sakral. Pengalaman ruang dalam gereja akan mempengaruhi suasana ibadah dan pengalaman spiritualitas jemaat saat melaksanakan kegiatan ibadah. Suasana dan pemaknaan ruang yang tidak hanya dipersepsikan secara visual saja, namun dapat dipengaruhi juga dengan indera pendengaran bahkan hingga ke indera penciuman. Oleh karena itu, penelitian ini menarik untuk dilakukan, untuk memahami bagaimana sebuah bukaan ruang di bangunan ibadah membentuk sense of sacred space bagi jemaat nya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang disampaikan secara deskriptif. Data dikumpulkan melalui observasi lapangan, studi literatur, dan menyebarkan kuesioner kepada jemaat gereja. Data dianalisis sesuai dengan kajian teori yang digunakan dan juga dari hasil kuesioner mengenai sense of sacred space jemaat terhadap bukaan di Gereja St. Gabriel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sense of sacred space jemaat dapat terbentuk jika suasana ruang ibadah tenang dan kondusif. Bukaan ruang memiliki peranan penting dalam membentuk suasana tersebut. Maka, dapat disimpulkan bahwa melalui kualitas visual dan audial yang dihasilkan dari bukaan, yang memiliki perbandingan peranan sebagai penyangga audio – visual lebih besar dibandingkan peranan sebagai penyaring cahaya, akan menciptakan sense of sacred space jemaat dalam Gereja St. Gabriel. Kata Kunci: Bukaan Ruang, Gereja Katolik, Sense of Sacred Space.
抽象的-圣加布里埃尔教堂是天主教徒的圣殿和场所。圣加布里埃尔天主教堂的概念强调了人与上帝、人与人以及人与环境之间的联系。舒适的空间是维持敬拜氛围的一个重要因素,因此圣加布里埃尔教会用被动和生态设计的概念来强化概念。这一概念是通过大型教堂建筑对其环境的透明度和开放来实现的,以优化自然的灯光和煽动。这使得圣加布里埃尔教堂的物质形式与一般天主教会(church of St. Gabriel)有不同之处,天主教会相对有限,以最小化外部声音干扰,形成一种更神圣的崇拜氛围。教堂的空间体验将影响礼拜的气氛和举行礼拜活动时的灵性体验。大气和空间的充气不仅是视觉上的,而且可以通过听觉甚至嗅觉来影响。因此,这项研究很有吸引力,因为它了解在崇拜大楼中发现的空间是如何为他的会众创造神圣的感觉的。本研究采用描述性的定性方法。通过实地观察、文献研究和向教会会众分发问卷收集数据。数据是根据所使用的理论研究以及对圣加布里埃尔教堂空缺空间感的调查结果进行分析的。研究表明,如果礼拜场所的气氛是平静和有益的,就可以建立神圣的空间感。空间的开口在形成大气中起着重要的作用。因此,我们可以得出结论,通过从管道中产生的视觉和听觉品质,即作为音频支持的比较——视觉比作为一个滤光器的角色更重要,将在圣加布里埃尔教堂中创造出一种神圣的空间会众感。关键词:空间释放,天主教会,神圣的空间感。
{"title":"PENGARUH BUKAAN RUANG TERHADAP SENSE OF SACRED SPACE JEMAAT (OBJEK STUDI: GEREJA ST. GABRIEL BANDUNG)","authors":"Dian Novita, Aldyfra L. Lukman","doi":"10.26593/risa.v7i01.6360.31-48","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/risa.v7i01.6360.31-48","url":null,"abstract":" \u0000Abstrak - Gereja St. Gabriel adalah rumah Allah dan wadah bagi umat Katolik beribadah. Gereja Katolik St. Gabriel memiliki konsep yang mengutamakan keterhubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan juga manusia dengan lingkungan. Kenyamanan ruang merupakan faktor penting dalam mendukung suasana beribadah, sehingga Gereja St. Gabriel memperkuat konsepnya dengan konsep desain pasif dan ekologis. Konsep tersebut diwujudkan melalui transparansi dan keterbukaan bangunan gereja yang besar terhadap lingkungannya, untuk mengoptimalkan pencahayaan dan penghawaan alami. Hal tersebut yang membuat wujud fisik Gereja St. Gabriel memiliki perbedaan dengan Gereja Katolik pada umumnya, yang relatif tertutup dengan bukaan terbatas, untuk meminimalisasi gangguan suara dari luar guna membentuk suasana ibadah yang lebih sakral. Pengalaman ruang dalam gereja akan mempengaruhi suasana ibadah dan pengalaman spiritualitas jemaat saat melaksanakan kegiatan ibadah. Suasana dan pemaknaan ruang yang tidak hanya dipersepsikan secara visual saja, namun dapat dipengaruhi juga dengan indera pendengaran bahkan hingga ke indera penciuman. Oleh karena itu, penelitian ini menarik untuk dilakukan, untuk memahami bagaimana sebuah bukaan ruang di bangunan ibadah membentuk sense of sacred space bagi jemaat nya. \u0000Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang disampaikan secara deskriptif. Data dikumpulkan melalui observasi lapangan, studi literatur, dan menyebarkan kuesioner kepada jemaat gereja. Data dianalisis sesuai dengan kajian teori yang digunakan dan juga dari hasil kuesioner mengenai sense of sacred space jemaat terhadap bukaan di Gereja St. Gabriel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sense of sacred space jemaat dapat terbentuk jika suasana ruang ibadah tenang dan kondusif. Bukaan ruang memiliki peranan penting dalam membentuk suasana tersebut. Maka, dapat disimpulkan bahwa melalui kualitas visual dan audial yang dihasilkan dari bukaan, yang memiliki perbandingan peranan sebagai penyangga audio – visual lebih besar dibandingkan peranan sebagai penyaring cahaya, akan menciptakan sense of sacred space jemaat dalam Gereja St. Gabriel. \u0000Kata Kunci: Bukaan Ruang, Gereja Katolik, Sense of Sacred Space.","PeriodicalId":166027,"journal":{"name":"Riset Arsitektur (RISA)","volume":"64 4","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-01-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133455276","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-01-09DOI: 10.26593/risa.v7i01.6362.66-83
Pininta Taruli Ayeris, Rahadian Prajudi Herwindo
Abstrak - Arsitektur candi merupakan salah satu arsitektur tertua yang terdapat di Indonesia maupun di dunia, candi yang berasal dari kata candika grha dengan arti rumah Dewi Candika yaitu dewi maut tetapi Soekmono (1977 :231) mengatakan candi tidak selalu dianggap makam, tetapi merupakan sebuah bangunan kuil. Candi – candi Buddha Padang Lawas yang diambil sebagai objek penelitian terdiri dari Candi Bahal I, II, III dan Candi Sipamutung disandingkan dengan candi – candi Buddha Mataram Kuno, Jawa Tengah. Unsur – unsur arsitektur candi – candi Buddha Padang Lawas memiliki pola arsitektur yang unik dan berbeda dengan arsitektur candi Buddha Jawa pada umumnya. Perkiraan pembangunan dari abad ke-9 – ke-13 untuk arsitektur candi – candi di Sumatra didukung juga dengan fakta bahwa Sumatra dalam Kerajaan Sriwijaya, merupakan pusat penyebaran agama Buddha yang paling awal sebelum Mataram Kuno yang dipercayai disebarkan sebelum tahun 5M- 6M, berdasarkan catatan seorang keturunan Cina Bernama Fa Hsien sekitar abad ke-4. Arsitektur candi Buddha Padang Lawas maupun di seluruh Sumatra belum memiliki ciri yang jelas jika disejajarkan dengan candi – candi Jawa yang memiliki pedoman dan ciri – ciri yang sudah dikaji secara lebih jelas. Gambaran dari arsitektur candi – candi Buddha Padang Lawas jika dilihat dari unsur – unsur arsitekturnya secara sekilas memiliki keunikan dan tampak yang berbeda dengan candi di Jawa, hal ini digunakan sebagai penelitian studi penjajaran antara candi Buddha Padang Lawas dan Mataram Kuno. Tujuan dari penelitian untuk memahami perbedaan dan persamaan dari arsitektur candi yang dibangun di kedua daerah yang berbeda dan faktor – faktor yang mempengaruhi persamaan dan perbedaan arsitektur candi. Penjajaran ini dilakukan dikarenakan juga tidak ada pedoman yang jelas untuk arsitektur Buddha, berbeda dengan arsitektur Hindu dengan kitab Mānasāra, maka arsitektur diteliti lebih lanjut untuk memperlihatkan hubungannya. Data arsitektur candi – candi Buddha Padang Lawas dan Mataram Kuno berdasarkan objek penelitian yang sudah disebutkan dengan penelitian dengan pendekatan kualitatif deskriptif analitik, dengan teknik pengumpulan data dirujuk dari dokumen dan studi pustaka. Arsitektur candi – candi Buddha Padang Lawas dan Mataram Kuno disandingkan untuk menganalisa persamaan dan perbedaan dengan teori Arsitektur candi Buddha, aliran, dan yang terpenting unsur arsitektur yang terdiri dari tata massa atau pola perletakan, tata ruang, sosok bangunan dan siluet bangunan, dan ragam hias & ornamentasi pada bangunan candi. Hal – hal dari persamaan, perbedaan, dan kemiripan pasti dipengaruhi oleh faktor – faktor tertentu yang memberikan keunikan pada arsitektur, pada penelitian ini faktor – faktor dilihat dari faktor alam yang mempengaruhi arsitektur candi, faktor bahan dan keteknikan yang terkait dengan alam, faktor religiusitas yang mempengaruhi pola arsitektur, dan faktor sosial-budaya-politik. Hasil dari analisis adalah ditemukan banyak persamaa
{"title":"STUDI PENJAJARAN CANDI BUDDHA DI PADANG LAWAS, SUMATRA UTARA DAN MATARAM KUNO","authors":"Pininta Taruli Ayeris, Rahadian Prajudi Herwindo","doi":"10.26593/risa.v7i01.6362.66-83","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/risa.v7i01.6362.66-83","url":null,"abstract":"Abstrak - Arsitektur candi merupakan salah satu arsitektur tertua yang terdapat di Indonesia maupun di dunia, candi yang berasal dari kata candika grha dengan arti rumah Dewi Candika yaitu dewi maut tetapi Soekmono (1977 :231) mengatakan candi tidak selalu dianggap makam, tetapi merupakan sebuah bangunan kuil. Candi – candi Buddha Padang Lawas yang diambil sebagai objek penelitian terdiri dari Candi Bahal I, II, III dan Candi Sipamutung disandingkan dengan candi – candi Buddha Mataram Kuno, Jawa Tengah. Unsur – unsur arsitektur candi – candi Buddha Padang Lawas memiliki pola arsitektur yang unik dan berbeda dengan arsitektur candi Buddha Jawa pada umumnya. Perkiraan pembangunan dari abad ke-9 – ke-13 untuk arsitektur candi – candi di Sumatra didukung juga dengan fakta bahwa Sumatra dalam Kerajaan Sriwijaya, merupakan pusat penyebaran agama Buddha yang paling awal sebelum Mataram Kuno yang dipercayai disebarkan sebelum tahun 5M- 6M, berdasarkan catatan seorang keturunan Cina Bernama Fa Hsien sekitar abad ke-4. Arsitektur candi Buddha Padang Lawas maupun di seluruh Sumatra belum memiliki ciri yang jelas jika disejajarkan dengan candi – candi Jawa yang memiliki pedoman dan ciri – ciri yang sudah dikaji secara lebih jelas. Gambaran dari arsitektur candi – candi Buddha Padang Lawas jika dilihat dari unsur – unsur arsitekturnya secara sekilas memiliki keunikan dan tampak yang berbeda dengan candi di Jawa, hal ini digunakan sebagai penelitian studi penjajaran antara candi Buddha Padang Lawas dan Mataram Kuno. Tujuan dari penelitian untuk memahami perbedaan dan persamaan dari arsitektur candi yang dibangun di kedua daerah yang berbeda dan faktor – faktor yang mempengaruhi persamaan dan perbedaan arsitektur candi. Penjajaran ini dilakukan dikarenakan juga tidak ada pedoman yang jelas untuk arsitektur Buddha, berbeda dengan arsitektur Hindu dengan kitab Mānasāra, maka arsitektur diteliti lebih lanjut untuk memperlihatkan hubungannya. \u0000Data arsitektur candi – candi Buddha Padang Lawas dan Mataram Kuno berdasarkan objek penelitian yang sudah disebutkan dengan penelitian dengan pendekatan kualitatif deskriptif analitik, dengan teknik pengumpulan data dirujuk dari dokumen dan studi pustaka. Arsitektur candi – candi Buddha Padang Lawas dan Mataram Kuno disandingkan untuk menganalisa persamaan dan perbedaan dengan teori Arsitektur candi Buddha, aliran, dan yang terpenting unsur arsitektur yang terdiri dari tata massa atau pola perletakan, tata ruang, sosok bangunan dan siluet bangunan, dan ragam hias & ornamentasi pada bangunan candi. Hal – hal dari persamaan, perbedaan, dan kemiripan pasti dipengaruhi oleh faktor – faktor tertentu yang memberikan keunikan pada arsitektur, pada penelitian ini faktor – faktor dilihat dari faktor alam yang mempengaruhi arsitektur candi, faktor bahan dan keteknikan yang terkait dengan alam, faktor religiusitas yang mempengaruhi pola arsitektur, dan faktor sosial-budaya-politik. \u0000Hasil dari analisis adalah ditemukan banyak persamaa","PeriodicalId":166027,"journal":{"name":"Riset Arsitektur (RISA)","volume":"13 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-01-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133290072","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-10-05DOI: 10.26593/risa.v6i04.6149.384-403
Felisitas Devina D, Ariani Mandala
Abstrak - Bangunan deret-bertingkat seperti ruko (rumah-toko) memiliki permasalahan dalam mengakomodasi kebutuhan pencahayaan alami akibat tipologi bangunan yang linear, keterbatasan untuk membuat bukaan samping, dan terdiri dari dua lantai atau lebih. Tipologi bangunan demikian menghasilkan distribusi cahaya yang tidak merata, terutama pada bagian tengah ke belakang bangunan dan lantai-lantai selain lantai teratas. Salah satu upaya untuk memasukkan cahaya alami atau daylight ke dalam bangunan ruko yang bentuknya memanjang adalah dengan menggunakan bukaan atas (top lighting). Namun keberadaan bukaan atas pun tidak memungkinkan untuk menerangi lantai selain lantai teratas dari bangunan ruko akibat terhalang permukaan lantai. Material transparan seperti kaca memungkinkan transmisi cahaya yang lebih tinggi daripada material opaque, sehingga dengan menggunakan material kaca dapat meningkatkan iluminasi pada ruang di balik kaca tersebut. Tujuan studi ini adalah untuk mengkaji kesesuaian tingkat iluminasi pada desain pencahayaan alami Ruko Gaia terhadap nilai Daylight Factor (DF), Spatial Daylight Autonomy (sDA), dan Annual Sunlight Exposure (aSE) sesuai standar BREEAM dan IES LM-83-12, mengkaji pengaruh perubahan posisi skylight-tangga dan penggunaan material transparan pada bidang lantai-tangga terhadap tingkat iluminasi, serta melakukan optimalisasi desain untuk meningkatkan nilai DF sesuai standar yang digunakan. Penelitian diawali dengan melakukan evaluasi pada desain pencahayaan alami Ruko Gaia. Dengan melakukan simulasi alternatif, kemudian akan dilakukan pengkajian pengaruh perubahan posisi skylight-tangga dan penggunaan material transparan pada bidang lantai-tangga terhadap tingkat iluminasi. Apabila tingkat iluminasi yang dihasilkan belum mencapai standar yang ditentukan, dilakukan optimalisasi dengan pengingkatan nilai Visible Light Transmittance (VLT) atau penambahan dimensi skylight. Metode yang digunakan adalah metoda kuantitatif berupa evaluasi desain perencanaan dan simulasi alternatif. Teori-teori maupun data Ruko Gaia dikumpulkan dari studi literatur, website, brosur, maupun pihak agen properti, serta pengolahan data simulasi dengan software SketchUp dan Lightstanza. Berdasarkan evaluasi, tingkat iluminasi pada Ruko Gaia belum memenuhi standar BREEAM dari nilai DF dalam kondisi langit overcast, terutama pada lantai dasar. Berbagai studi alternatif menghasilkan kesimpulan bahwa walaupun meningkatkan nilai DF, perubahan posisi tangga-skylight dan penggunaan lantai-tangga transparan belum menghasilkan nilai DF yang sesuai standar BREEAM. Optimalisasi nilai DF dapat dicapai dengan meningkatkan nilai VLT atau memperbesar dimensi skylight. Kata Kunci: bangunan deret-bertingkat, pencahayaan alami, daylight, skylight, material transparan, tingkat iluminasi, Daylight Factor
{"title":"OPTIMALISASI NILAI ILUMINASI DENGAN SKYLIGHT DAN MATERIAL TRANSPARAN UNTUK BANGUNAN DERET-BERTINGKAT PADA RUKO GAIA DI AYODHYA, ALAM SUTERA, TANGERANG","authors":"Felisitas Devina D, Ariani Mandala","doi":"10.26593/risa.v6i04.6149.384-403","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/risa.v6i04.6149.384-403","url":null,"abstract":"Abstrak - Bangunan deret-bertingkat seperti ruko (rumah-toko) memiliki permasalahan dalam mengakomodasi kebutuhan pencahayaan alami akibat tipologi bangunan yang linear, keterbatasan untuk membuat bukaan samping, dan terdiri dari dua lantai atau lebih. Tipologi bangunan demikian menghasilkan distribusi cahaya yang tidak merata, terutama pada bagian tengah ke belakang bangunan dan lantai-lantai selain lantai teratas. \u0000Salah satu upaya untuk memasukkan cahaya alami atau daylight ke dalam bangunan ruko yang bentuknya memanjang adalah dengan menggunakan bukaan atas (top lighting). Namun keberadaan bukaan atas pun tidak memungkinkan untuk menerangi lantai selain lantai teratas dari bangunan ruko akibat terhalang permukaan lantai. Material transparan seperti kaca memungkinkan transmisi cahaya yang lebih tinggi daripada material opaque, sehingga dengan menggunakan material kaca dapat meningkatkan iluminasi pada ruang di balik kaca tersebut. \u0000Tujuan studi ini adalah untuk mengkaji kesesuaian tingkat iluminasi pada desain pencahayaan alami Ruko Gaia terhadap nilai Daylight Factor (DF), Spatial Daylight Autonomy (sDA), dan Annual Sunlight Exposure (aSE) sesuai standar BREEAM dan IES LM-83-12, mengkaji pengaruh perubahan posisi skylight-tangga dan penggunaan material transparan pada bidang lantai-tangga terhadap tingkat iluminasi, serta melakukan optimalisasi desain untuk meningkatkan nilai DF sesuai standar yang digunakan. \u0000Penelitian diawali dengan melakukan evaluasi pada desain pencahayaan alami Ruko Gaia. Dengan melakukan simulasi alternatif, kemudian akan dilakukan pengkajian pengaruh perubahan posisi skylight-tangga dan penggunaan material transparan pada bidang lantai-tangga terhadap tingkat iluminasi. Apabila tingkat iluminasi yang dihasilkan belum mencapai standar yang ditentukan, dilakukan optimalisasi dengan pengingkatan nilai Visible Light Transmittance (VLT) atau penambahan dimensi skylight. \u0000Metode yang digunakan adalah metoda kuantitatif berupa evaluasi desain perencanaan dan simulasi alternatif. Teori-teori maupun data Ruko Gaia dikumpulkan dari studi literatur, website, brosur, maupun pihak agen properti, serta pengolahan data simulasi dengan software SketchUp dan Lightstanza. \u0000Berdasarkan evaluasi, tingkat iluminasi pada Ruko Gaia belum memenuhi standar BREEAM dari nilai DF dalam kondisi langit overcast, terutama pada lantai dasar. Berbagai studi alternatif menghasilkan kesimpulan bahwa walaupun meningkatkan nilai DF, perubahan posisi tangga-skylight dan penggunaan lantai-tangga transparan belum menghasilkan nilai DF yang sesuai standar BREEAM. Optimalisasi nilai DF dapat dicapai dengan meningkatkan nilai VLT atau memperbesar dimensi skylight. \u0000 \u0000Kata Kunci: bangunan deret-bertingkat, pencahayaan alami, daylight, skylight, material transparan, tingkat iluminasi, Daylight Factor","PeriodicalId":166027,"journal":{"name":"Riset Arsitektur (RISA)","volume":"24 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-10-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"117089851","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-10-05DOI: 10.26593/risa.v6i04.6151.423-439
Dickinson Alfred Aritonang, Nancy Yusnita Nugroho
Abstrak - Sekolah Alfa Omega merupakan sebuah sekolah yang memiliki desain merespon alam. Strategi desain dibuat sedemikian sehingga secara konsep desain, menjawab permasalahan iklim di tempat sekolah itu dibangun. Berlokasi di area yang memiliki iklim tropis, dengan lebih spesifiknya area rawa dan persawahan, membuat iklim di sekitar tempat tersebut terasa kurang nyaman dengan temperatur udara yang cukup tinggi dan tingkat kelembapan udara yang berada di atas tingkat kenyamanan termal untuk beraktivitas. Sekolah tersebut didesain dengan melakukan pengolahan pada kulit bangunannya. Raw Architect selaku pihak yang mendesain sekolah ini, memilih material bata dengan alasan utama mengangkat lokalitas yang berada pada kawasan tersebut. Selain itu, dengan menggunakan material bata sebagai bagian dari elemen arsitektural di dalam bangunan tersebut, maka mereka dapat seminimum mungkin menciptakan jejak karbon, yaitu emisi dari kegiatan manusia yang dalam waktu lama akan menimbulkan dampak negatif kepada alam, dimana ini berarti mereka dapat menciptakan desain yang tidak hanya mengangkat lokalitas tetapi juga ramah lingkungan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah pengaruh dari dinding dengan susunan bata berongga dalam desain selubung bangunan ruang terhadap kenyamanan termal yang coba dibuat di dalam desain Sekolah Alfa Omega.Penelitian merupakan penelitian dengan jenis evaluatif – eksperimental dengan pendekatan kuantitatif dengan cara mendeskripsikan keadaan dan kondisi baik dari segi arsitektural, maupun segi kenyamanan termal yang ada lalu dibandingkan dengan teori mengenai kenyamanan termal secara umum dan secara lebih khusus sebagai sebuah sekolah. Penelitian ini dilakukan secara tidak langsung melalui media komputer, internet, serta program simulasi untuk melakukan pengukuran tingkat kenyamanan termal pada Sekolah Alfa Omega. Hasil dari penelitiannya adalah pemahaman akan bagaimana pengaruh dari dinding dengan susunan bata berongga sebagai sebuah selubung bangunan dalam menanggapi iklim yang ada di daerah tersebut, sehingga dapat dipahami bagaimanakah kemampuan dari dinding ban dalam selubung ruang dalam mencapai kenyamanan termal yang dapat mendukung aktivitas di dalamnya sebagai sebuah sekolah. Dan apabila ditemukan ketidaknyamanan termal pada aplikasi material tersebut sebagai selubung bangunan, maka akan dicari cara untuk mengoptimalkan kualitas termal nya dengan teori-teori dan eksperimen simulasi. Kata-kata kunci: Kenyamanan termal, selubung bangunan, dinding berongga, sekolah
{"title":"PENGARUH DESAIN DINDING SUSUNAN BATA BERONGGA SEBAGAI SELUBUNG BANGUNAN TERHADAP KENYAMANAN TERMAL RUANG KELAS SEKOLAH ALFA OMEGA TANGERANG","authors":"Dickinson Alfred Aritonang, Nancy Yusnita Nugroho","doi":"10.26593/risa.v6i04.6151.423-439","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/risa.v6i04.6151.423-439","url":null,"abstract":"Abstrak - Sekolah Alfa Omega merupakan sebuah sekolah yang memiliki desain merespon alam. Strategi desain dibuat sedemikian sehingga secara konsep desain, menjawab permasalahan iklim di tempat sekolah itu dibangun. Berlokasi di area yang memiliki iklim tropis, dengan lebih spesifiknya area rawa dan persawahan, membuat iklim di sekitar tempat tersebut terasa kurang nyaman dengan temperatur udara yang cukup tinggi dan tingkat kelembapan udara yang berada di atas tingkat kenyamanan termal untuk beraktivitas. \u0000Sekolah tersebut didesain dengan melakukan pengolahan pada kulit bangunannya. Raw Architect selaku pihak yang mendesain sekolah ini, memilih material bata dengan alasan utama mengangkat lokalitas yang berada pada kawasan tersebut. Selain itu, dengan menggunakan material bata sebagai bagian dari elemen arsitektural di dalam bangunan tersebut, maka mereka dapat seminimum mungkin menciptakan jejak karbon, yaitu emisi dari kegiatan manusia yang dalam waktu lama akan menimbulkan dampak negatif kepada alam, dimana ini berarti mereka dapat menciptakan desain yang tidak hanya mengangkat lokalitas tetapi juga ramah lingkungan. \u0000Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah pengaruh dari dinding dengan susunan bata berongga dalam desain selubung bangunan ruang terhadap kenyamanan termal yang coba dibuat di dalam desain Sekolah Alfa Omega.Penelitian merupakan penelitian dengan jenis evaluatif – eksperimental dengan pendekatan kuantitatif dengan cara mendeskripsikan keadaan dan kondisi baik dari segi arsitektural, maupun segi kenyamanan termal yang ada lalu dibandingkan dengan teori mengenai kenyamanan termal secara umum dan secara lebih khusus sebagai sebuah sekolah. Penelitian ini dilakukan secara tidak langsung melalui media komputer, internet, serta program simulasi untuk melakukan pengukuran tingkat kenyamanan termal pada Sekolah Alfa Omega. \u0000Hasil dari penelitiannya adalah pemahaman akan bagaimana pengaruh dari dinding dengan susunan bata berongga sebagai sebuah selubung bangunan dalam menanggapi iklim yang ada di daerah tersebut, sehingga dapat dipahami bagaimanakah kemampuan dari dinding ban dalam selubung ruang dalam mencapai kenyamanan termal yang dapat mendukung aktivitas di dalamnya sebagai sebuah sekolah. Dan apabila ditemukan ketidaknyamanan termal pada aplikasi material tersebut sebagai selubung bangunan, maka akan dicari cara untuk mengoptimalkan kualitas termal nya dengan teori-teori dan eksperimen simulasi. \u0000 \u0000Kata-kata kunci: Kenyamanan termal, selubung bangunan, dinding berongga, sekolah","PeriodicalId":166027,"journal":{"name":"Riset Arsitektur (RISA)","volume":"43 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-10-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133185529","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-10-05DOI: 10.26593/risa.v6i04.6152.440-451
Demitra Nur Alia, Yuswadi Saliya
Abstrak - Arsitektur Nusantara merupakan pengetahuan turun temurun dalam perihal merancang ruang, yang sesuai dengan kondisi geoklimatik, yang mewujudkan kebhinekaan dari Sabang sampai Merauke. Arsitektur Nusantara dapat digolongkan sebagai suatu unsur kebudayaan, dalam ranah pengetahuan arsitektur. Tanpa disadari, pokok dari ilmu arsitektur Nusantara akan selalu tertanam pada masyarakat Nusantara, seperti sebuah identitas. Rekam jejak Arsitektur Nusantara tercatat di dalam masyarakat lisan, dimana ucapan dan benda menjadi medium mencatat dan merekam pengetahuan terhadap Arsitektur Nusantara. Ketiadaan rekam jejak tertulis memberi kesan bahwa pengetahuan Arsitektur Nusantara seakan sudah tenggelam. Salah satu rekam jejak arsitektur Nusantara yang dapat ditemukan hingga hari ini adalah bangunan Candi Nusantara, yang bersifat ikonik dan monumental. Bangunan Candi memegang kepentingan dan keutamaan yang melebihi bangunan lain. Kekayaan arsitektur candi Nusantara dapat menggambarkan betapa tingginya budaya, peradaban, dan arsitektur di Nusantara. Selain mewadahi fungsi dan kegiatan tertentu, Candi juga dapat dijadikan alat dalam mengungkapkan budaya Nusantara. Arsitektur Nusantara seringkali dianggap sebagai hal yang kuno dan ketinggalan zaman. Pengaruh arsitektur Barat lebih mudah diterima masyarakat Nusantara, sehingga mendorong terjadinya peleburan budaya yang memudarkan ke-Nusantara-an dalam arsitektur di Indonesia, mengakibatkan adanya pergeseran di dalam tatanan ruang, tampilan bentuk dan tampang, hingga skala dan proporsi. Arsitektur Nusantara yang mengkini akan bertumbuh, bertransformasi, mengglobal, namun tetap memiliki kekuatan yang bersumber pada konteks lokal. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ke-Nusantara-an pada arsitektur objek studi yang berupa bangunan pendidikan yang dibangun pada era modern. Metode Penelitian yang dilakukan adalah kualitatif-deskriptif, melalui pengumpulan data, yang berjalan bersamaan dengan studi pustaka dan literatur yang mendukung. Pada penelitian ini, Teori utama yang digunakan adalah Teori Arsitektur Nusantara oleh Prof. Josef Prijotomo, yang kemudian dibantu dengan metode Unsur-unsur Kuat pada Candi. Persandingan terhadap candi akan digunakan sebagai alat untuk menganalisis objek studi Gedung Pusat Administrasi Universitas Indonesia. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Gedung Pusat Administrasi Universitas Indonesia memiliki unsur-unsur kuat candi pada arsitekturnya, dengan mencakup duabelas unsur yaitu hierarki perletakan, axis/sumbu, pembagian tiga, komposisi geometrik, irama dan pengulangan, efek perspektifis, simetri, mimesis, komposisi solid-void, tekstur – elemen garis – efek gelap terang, ragam hias biomimesis, dan material. Dengan memenuhi unsur-unsur candi, dapat diketahui bahwa Gedung Pusat Administrasi Universitas Indonesia mencerminkan Arsitektur Nusantara, melalui proses transformasi dengan percampuran arsitektur modern. Kata-kata kunci: Arsitektur Nusantara, Cand
{"title":"CERMINAN ARSITEKTUR NUSANTARA PADA TAMPILAN GEDUNG PUSAT ADMINISTRASI UNIVERSITAS INDONESIA, DEPOK","authors":"Demitra Nur Alia, Yuswadi Saliya","doi":"10.26593/risa.v6i04.6152.440-451","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/risa.v6i04.6152.440-451","url":null,"abstract":"Abstrak - Arsitektur Nusantara merupakan pengetahuan turun temurun dalam perihal merancang ruang, yang sesuai dengan kondisi geoklimatik, yang mewujudkan kebhinekaan dari Sabang sampai Merauke. Arsitektur Nusantara dapat digolongkan sebagai suatu unsur kebudayaan, dalam ranah pengetahuan arsitektur. Tanpa disadari, pokok dari ilmu arsitektur Nusantara akan selalu tertanam pada masyarakat Nusantara, seperti sebuah identitas. Rekam jejak Arsitektur Nusantara tercatat di dalam masyarakat lisan, dimana ucapan dan benda menjadi medium mencatat dan merekam pengetahuan terhadap Arsitektur Nusantara. Ketiadaan rekam jejak tertulis memberi kesan bahwa pengetahuan Arsitektur Nusantara seakan sudah tenggelam. \u0000Salah satu rekam jejak arsitektur Nusantara yang dapat ditemukan hingga hari ini adalah bangunan Candi Nusantara, yang bersifat ikonik dan monumental. Bangunan Candi memegang kepentingan dan keutamaan yang melebihi bangunan lain. Kekayaan arsitektur candi Nusantara dapat menggambarkan betapa tingginya budaya, peradaban, dan arsitektur di Nusantara. Selain mewadahi fungsi dan kegiatan tertentu, Candi juga dapat dijadikan alat dalam mengungkapkan budaya Nusantara. \u0000Arsitektur Nusantara seringkali dianggap sebagai hal yang kuno dan ketinggalan zaman. Pengaruh arsitektur Barat lebih mudah diterima masyarakat Nusantara, sehingga mendorong terjadinya peleburan budaya yang memudarkan ke-Nusantara-an dalam arsitektur di Indonesia, mengakibatkan adanya pergeseran di dalam tatanan ruang, tampilan bentuk dan tampang, hingga skala dan proporsi. Arsitektur Nusantara yang mengkini akan bertumbuh, bertransformasi, mengglobal, namun tetap memiliki kekuatan yang bersumber pada konteks lokal. \u0000Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ke-Nusantara-an pada arsitektur objek studi yang berupa bangunan pendidikan yang dibangun pada era modern. Metode Penelitian yang dilakukan adalah kualitatif-deskriptif, melalui pengumpulan data, yang berjalan bersamaan dengan studi pustaka dan literatur yang mendukung. Pada penelitian ini, Teori utama yang digunakan adalah Teori Arsitektur Nusantara oleh Prof. Josef Prijotomo, yang kemudian dibantu dengan metode Unsur-unsur Kuat pada Candi. Persandingan terhadap candi akan digunakan sebagai alat untuk menganalisis objek studi Gedung Pusat Administrasi Universitas Indonesia. \u0000Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Gedung Pusat Administrasi Universitas Indonesia memiliki unsur-unsur kuat candi pada arsitekturnya, dengan mencakup duabelas unsur yaitu hierarki perletakan, axis/sumbu, pembagian tiga, komposisi geometrik, irama dan pengulangan, efek perspektifis, simetri, mimesis, komposisi solid-void, tekstur – elemen garis – efek gelap terang, ragam hias biomimesis, dan material. Dengan memenuhi unsur-unsur candi, dapat diketahui bahwa Gedung Pusat Administrasi Universitas Indonesia mencerminkan Arsitektur Nusantara, melalui proses transformasi dengan percampuran arsitektur modern. \u0000 \u0000Kata-kata kunci: Arsitektur Nusantara, Cand","PeriodicalId":166027,"journal":{"name":"Riset Arsitektur (RISA)","volume":"27 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-10-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124463038","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-10-05DOI: 10.26593/risa.v6i04.6150.404-422
Indira Rahma D, Alwin Suryono Sombu
Abstrak - Dalam konteks arsitektur masa kini, banyak karya arsitektur yang mencoba mengembalikan nilai-nilai dan bentuk fisik arsitektur tradisional, sebagai bentuk pelestarian arsitektur masa lampau dalam konteks waktu masa kini, dan merupakan pengembangan dari konsep-konsep tradisional dengan teknologi yang lebih maju. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap wujud budaya Jawa yang terkandung dalam struktur dan konstruksi, serta tektonika Masjid Said Naum, serta tindakan-tindakan pelestarian yang terjadi di dalamnya. Atribut spesifik yang diteliti adalah struktur dan konstruksinya, dengan lingkup tektonika ruang, struktur, dan ornamen. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menjabarkan pengamatan struktur dan konstruksi Masjid Said Naum menggunakan teori tektonika beserta identifikasi wujud budaya Jawa yang terkandung di dalamnya, sehingga menemukan tindakan-tindakan yang diambil dalam melakukan pelestarian budaya Jawa. Hasil penelitian mengungkap budaya Jawa yang dilestarikan pada sistem struktur dan konstruksi, serta tektonika Masjid Said Naum dalam wujud artefak, aktivitas, dan gagasan. Tindakan pelestarian yang dilakukan adalah tindakan adaptasi dan preservasi. Terjadi tindakan adaptasi wujud artefak budaya Jawa pada elemen-elemen fisik Masjid Said Naum, dimana banyak terjadi reinterpretasi oleh arsitek, seperti penghilangan kolom soko guru dan inovasi bentuk tajug untuk memanfaatkan material dan teknologi yang lebih modern, namun dari segi aktivitas sebagian besar masih dipreservasi karena mengingat fungsi masjid yang sejalan dengan aktivitas beribadah dan status sosial masyarakat Jawa. Wujud gagasan budaya Jawa mengalami tindakan adaptasi dan preservasi, dimana adaptasi terjadi sebagai bentuk pergerakan bahasa ruang dan struktur yang lebih modern, dan preservasi dari prinsip-prinsip karakter orang Jawa yang saling mendukung dan menjaga keseimbangan diri dengan alam. Dapat disimpulkan bahwa struktur dan konstruksi Masjid Said Naum, meskipun telah mengalami proses adaptasi yang ekstensif untuk menyesuaikan diri terhadap konteksnya, tetap menghasilkan produk arsitektur yang melestarikan budaya Jawa, terutama pada tatanan struktur yang sejalan dengan konsep ketuhanan di Jawa, dan ekspresi struktur yang jujur dan apa adanya namun tetap memiliki makna pada setiap elemen dan penempatannya. Kata-kata kunci: pelestarian, budaya Jawa, struktur, konstruksi, Masjid Said Naum
{"title":"PELESTARIAN WUJUD BUDAYA JAWA PADA STRUKTUR DAN KONSTRUKSI MASJID SAID NAUM","authors":"Indira Rahma D, Alwin Suryono Sombu","doi":"10.26593/risa.v6i04.6150.404-422","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/risa.v6i04.6150.404-422","url":null,"abstract":"Abstrak - Dalam konteks arsitektur masa kini, banyak karya arsitektur yang mencoba mengembalikan nilai-nilai dan bentuk fisik arsitektur tradisional, sebagai bentuk pelestarian arsitektur masa lampau dalam konteks waktu masa kini, dan merupakan pengembangan dari konsep-konsep tradisional dengan teknologi yang lebih maju. \u0000Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap wujud budaya Jawa yang terkandung dalam struktur dan konstruksi, serta tektonika Masjid Said Naum, serta tindakan-tindakan pelestarian yang terjadi di dalamnya. Atribut spesifik yang diteliti adalah struktur dan konstruksinya, dengan lingkup tektonika ruang, struktur, dan ornamen. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menjabarkan pengamatan struktur dan konstruksi Masjid Said Naum menggunakan teori tektonika beserta identifikasi wujud budaya Jawa yang terkandung di dalamnya, sehingga menemukan tindakan-tindakan yang diambil dalam melakukan pelestarian budaya Jawa. \u0000Hasil penelitian mengungkap budaya Jawa yang dilestarikan pada sistem struktur dan konstruksi, serta tektonika Masjid Said Naum dalam wujud artefak, aktivitas, dan gagasan. Tindakan pelestarian yang dilakukan adalah tindakan adaptasi dan preservasi. \u0000Terjadi tindakan adaptasi wujud artefak budaya Jawa pada elemen-elemen fisik Masjid Said Naum, dimana banyak terjadi reinterpretasi oleh arsitek, seperti penghilangan kolom soko guru dan inovasi bentuk tajug untuk memanfaatkan material dan teknologi yang lebih modern, namun dari segi aktivitas sebagian besar masih dipreservasi karena mengingat fungsi masjid yang sejalan dengan aktivitas beribadah dan status sosial masyarakat Jawa. Wujud gagasan budaya Jawa mengalami tindakan adaptasi dan preservasi, dimana adaptasi terjadi sebagai bentuk pergerakan bahasa ruang dan struktur yang lebih modern, dan preservasi dari prinsip-prinsip karakter orang Jawa yang saling mendukung dan menjaga keseimbangan diri dengan alam. \u0000Dapat disimpulkan bahwa struktur dan konstruksi Masjid Said Naum, meskipun telah mengalami proses adaptasi yang ekstensif untuk menyesuaikan diri terhadap konteksnya, tetap menghasilkan produk arsitektur yang melestarikan budaya Jawa, terutama pada tatanan struktur yang sejalan dengan konsep ketuhanan di Jawa, dan ekspresi struktur yang jujur dan apa adanya namun tetap memiliki makna pada setiap elemen dan penempatannya. \u0000 \u0000Kata-kata kunci: pelestarian, budaya Jawa, struktur, konstruksi, Masjid Said Naum","PeriodicalId":166027,"journal":{"name":"Riset Arsitektur (RISA)","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-10-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130036508","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}