Abstrak - Pelaksanaan ibadah bersama sangat diutamakan dalam Islam. Memasuki tahun ke-3, Indonesia harus berjuang melawan persebaran varian baru pada masa pandemi Covid-19, yaitu Subvarian BA.2 atau Varian Omicron yang mengharuskan masjid, sebagai fasilitas ibadah bersama, melakukan penyesuaian kepada pengelola dan jemaah dalam pelaksanaan berbagai aktivitas. Begitu pula pada Masjid Al-Barokah yang berfungsi sebagai masjid permukiman di kawasan Sukaraja, Kota Bandung. Penjarakan antar individu dan kebersihan diri menjadi hal yang krusial untuk diawasi bersama. Umat muslim permukiman yang terbiasa beribadah harian bersama di masjid, melakukan aktivitas jalinan persaudaraan bersama, harus mengubah tradisinya dalam menghindari virus yang lama tak kunjung pergi. Kekhusyukan ibadah jemaah yang dirasakan melalui kebersamaan dalam beraktivitas di masjid, harus dipaksa berubah dalam menjaga kesehatan diri. Adanya perubahan drastis yang kian berganti menjadi polemik tidak hanya bagi pengelola, tapi juga seluruh jemaah yang menjalankannya. Penelitian menggunakan metode kualitatif-deskriptif dengan meminjam metode induktif dalam proses justifikasi dan konfirmasi hasil observasi. Pengamatan dilakukan pada pengelola, pelaksana, dan jemaah sebagai pelaku aktivitas ibadah pada area masjid, untuk mengetahui hasil nyata dari pola aktivitas yang berdasar pada posisi subjek yang beragam. Komunikasi langusng dan pengisian kuesioner oleh pelaku aktivitas juga dimanfaatkan untuk mendapatkan kualitas informasi yang lebih personal, berkaitan dengan pengamatan terhadap ruang interpersonal pengguna. Kesimpulan yang didapat berdasarkan hasil observasi dan sintesis adalah ditemukannya ruang interpersonal jemaah pada tiap aktivitas yang berpengaruh terhadap tindakannya atas penerapan protokol kesehatan covid-19. Pada tahapan aktivitas sesudah dan sebelum aktivitas ibadah, jemaah cenderung menerapkan sesuai dengan interpretasi dan keyakinannya masing-masing seperti tetap memakai masker dan mencuci tangan walaupun berada pada ruang publik dan berpapasan dengan banyak jemaah lainnya. Sedangkan saat jemaah memasuki ruang ibadah, adanya kecenderungan jemaah untuk mengikuti tindakan jemaah lainnya yang dapat mempengaruhi tindakan atas aktivitasnya seperti, melepas masker dan menjaga jarak. Kata-kata kunci: aktivitas, interpersonal, masjid, omicron, pandemi, ruang
{"title":"RUANG INTERPERSONAL BERDASARKAN POLA AKTIVITAS IBADAH JEMAAH MASJID AL-BAROKAH, SUKARAJA, CICENDO, BANDUNG DI MASA PANDEMI COVID-19","authors":"Jasmine Athayanissa, Indri Astrina Fitria Indrarani","doi":"10.26593/risa.v7i03.6929.287-303","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/risa.v7i03.6929.287-303","url":null,"abstract":"Abstrak - Pelaksanaan ibadah bersama sangat diutamakan dalam Islam. Memasuki tahun ke-3, Indonesia harus berjuang melawan persebaran varian baru pada masa pandemi Covid-19, yaitu Subvarian BA.2 atau Varian Omicron yang mengharuskan masjid, sebagai fasilitas ibadah bersama, melakukan penyesuaian kepada pengelola dan jemaah dalam pelaksanaan berbagai aktivitas. Begitu pula pada Masjid Al-Barokah yang berfungsi sebagai masjid permukiman di kawasan Sukaraja, Kota Bandung. Penjarakan antar individu dan kebersihan diri menjadi hal yang krusial untuk diawasi bersama. \u0000 \u0000Umat muslim permukiman yang terbiasa beribadah harian bersama di masjid, melakukan aktivitas jalinan persaudaraan bersama, harus mengubah tradisinya dalam menghindari virus yang lama tak kunjung pergi. Kekhusyukan ibadah jemaah yang dirasakan melalui kebersamaan dalam beraktivitas di masjid, harus dipaksa berubah dalam menjaga kesehatan diri. Adanya perubahan drastis yang kian berganti menjadi polemik tidak hanya bagi pengelola, tapi juga seluruh jemaah yang menjalankannya. \u0000 \u0000Penelitian menggunakan metode kualitatif-deskriptif dengan meminjam metode induktif dalam proses justifikasi dan konfirmasi hasil observasi. Pengamatan dilakukan pada pengelola, pelaksana, dan jemaah sebagai pelaku aktivitas ibadah pada area masjid, untuk mengetahui hasil nyata dari pola aktivitas yang berdasar pada posisi subjek yang beragam. Komunikasi langusng dan pengisian kuesioner oleh pelaku aktivitas juga dimanfaatkan untuk mendapatkan kualitas informasi yang lebih personal, berkaitan dengan pengamatan terhadap ruang interpersonal pengguna. \u0000 \u0000Kesimpulan yang didapat berdasarkan hasil observasi dan sintesis adalah ditemukannya ruang interpersonal jemaah pada tiap aktivitas yang berpengaruh terhadap tindakannya atas penerapan protokol kesehatan covid-19. Pada tahapan aktivitas sesudah dan sebelum aktivitas ibadah, jemaah cenderung menerapkan sesuai dengan interpretasi dan keyakinannya masing-masing seperti tetap memakai masker dan mencuci tangan walaupun berada pada ruang publik dan berpapasan dengan banyak jemaah lainnya. Sedangkan saat jemaah memasuki ruang ibadah, adanya kecenderungan jemaah untuk mengikuti tindakan jemaah lainnya yang dapat mempengaruhi tindakan atas aktivitasnya seperti, melepas masker dan menjaga jarak. \u0000 \u0000Kata-kata kunci: aktivitas, interpersonal, masjid, omicron, pandemi, ruang \u0000 ","PeriodicalId":166027,"journal":{"name":"Riset Arsitektur (RISA)","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-07-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130963596","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-07-05DOI: 10.26593/risa.v7i03.6925.228-248
Joshua Jordan, Bachtiar Fauzy
Abstrak - Globalisasi adalah fenomena yang sulit dihindari dan efeknya juga terasa di bidang arsitektur. Semakin ke sini, semakin banyak karya arsitektur di Indonesia yang dibangun sangat modern dan pendekatan lokalitas mulai dilupakan terutama dalam desain. Alhasil karya arsitektur Indonesia pun mulai kehilangan konteks dan identitas yang sesungguhnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap pendekatan lokalitas Bali yang diterapkan oleh Office for Metropolitan Architecture (OMA), pada desain arsitektur hotel Potato Head Studios di Seminyak, Bali. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif berupa deskripsi, komparasi, analisis, dan interpretasi. Teori yang digunakan adalah prinsip lokalitas Bali, teori pendekatan desain historis, historisisme, studi preseden dan material. Teori pendukung yang digunakan adalah Prinsip Penataan dan teori Good Building / Architecture. Objek studi dibagi lingkup telaahnya dari lingkup lingkungan sekitar, tapak, bentuk, sosok dan lingkup siklusnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan lokalitas Bali pada desain arsitektur hotel ini didominasi oleh konsep keserasian alam dengan pendekatan material. Penggunaan material melibatkan pengrajin lokal, menerapkan aspek keberlanjutan material pada proses pembangunan serta mendaur ulang material sehingga menciptakan suatu kreasi bentuk dan tekstur yang menarik pada elemen dinding, plafon dan lantainya. Selain itu pendekatan historis dari filosofi dan budaya Bali ditunjukkan dengan adanya penerapan konsep sanga mandala pada bentuk massa bangunan, dan penggunaan kalender kuno Tika yang diterjemahkan menjadi fasad kerawang. Dari konsep arsitektur Bali terlihat adanya penerapan natah sebagai wujud konsep rwabhineda dan juga unsur anyaman pada plafon, fasad dan railing. Pendekatan studi preseden juga dilakukan pada hotel ini sehingga menciptakan suatu desain arsitektur yang berbeda dari penginapan-penginapan di sekitarnya. Manfaat penelitian ini dapat memberi pemahaman kepada pembaca dan perancang mengenai pendekatan lokalitas Bali pada hotel ini serta menjadi inspirasi desain. Sebagai saran, pendekatan lokalitas Bali dari konsep arsitekturnya dapat diterapkan lebih jauh pada tapak dan bentuknya. Pola susunan kerawang kalender Tika juga dapat disederhanakan agar lebih mudah diidentifikasi kalendernya. Kata-kata kunci: pendekatan perancangan, lokalitas, desain arsitektur, Bali
{"title":"PENDEKATAN LOKALITAS BALI PADA DESAIN ARSITEKTUR HOTEL POTATO HEAD STUDIOS DI SEMINYAK","authors":"Joshua Jordan, Bachtiar Fauzy","doi":"10.26593/risa.v7i03.6925.228-248","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/risa.v7i03.6925.228-248","url":null,"abstract":"Abstrak - Globalisasi adalah fenomena yang sulit dihindari dan efeknya juga terasa di bidang arsitektur. Semakin ke sini, semakin banyak karya arsitektur di Indonesia yang dibangun sangat modern dan pendekatan lokalitas mulai dilupakan terutama dalam desain. Alhasil karya arsitektur Indonesia pun mulai kehilangan konteks dan identitas yang sesungguhnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap pendekatan lokalitas Bali yang diterapkan oleh Office for Metropolitan Architecture (OMA), pada desain arsitektur hotel Potato Head Studios di Seminyak, Bali. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif berupa deskripsi, komparasi, analisis, dan interpretasi. Teori yang digunakan adalah prinsip lokalitas Bali, teori pendekatan desain historis, historisisme, studi preseden dan material. Teori pendukung yang digunakan adalah Prinsip Penataan dan teori Good Building / Architecture. Objek studi dibagi lingkup telaahnya dari lingkup lingkungan sekitar, tapak, bentuk, sosok dan lingkup siklusnya. \u0000Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan lokalitas Bali pada desain arsitektur hotel ini didominasi oleh konsep keserasian alam dengan pendekatan material. Penggunaan material melibatkan pengrajin lokal, menerapkan aspek keberlanjutan material pada proses pembangunan serta mendaur ulang material sehingga menciptakan suatu kreasi bentuk dan tekstur yang menarik pada elemen dinding, plafon dan lantainya. Selain itu pendekatan historis dari filosofi dan budaya Bali ditunjukkan dengan adanya penerapan konsep sanga mandala pada bentuk massa bangunan, dan penggunaan kalender kuno Tika yang diterjemahkan menjadi fasad kerawang. Dari konsep arsitektur Bali terlihat adanya penerapan natah sebagai wujud konsep rwabhineda dan juga unsur anyaman pada plafon, fasad dan railing. Pendekatan studi preseden juga dilakukan pada hotel ini sehingga menciptakan suatu desain arsitektur yang berbeda dari penginapan-penginapan di sekitarnya. Manfaat penelitian ini dapat memberi pemahaman kepada pembaca dan perancang mengenai pendekatan lokalitas Bali pada hotel ini serta menjadi inspirasi desain. Sebagai saran, pendekatan lokalitas Bali dari konsep arsitekturnya dapat diterapkan lebih jauh pada tapak dan bentuknya. Pola susunan kerawang kalender Tika juga dapat disederhanakan agar lebih mudah diidentifikasi kalendernya. \u0000 \u0000Kata-kata kunci: pendekatan perancangan, lokalitas, desain arsitektur, Bali","PeriodicalId":166027,"journal":{"name":"Riset Arsitektur (RISA)","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-07-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128543464","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-04-04DOI: 10.26593/risa.v7i02.6601.136-150
Jessica Victoryana, Harastoeti Dibyo Hartono
Abstrak - Gedung Pertunjukan De Majestic merupakan bangunan cagar budaya golongan A di Kota Bandung. Bangunan yang berlokasi di Jalan Braga no 1, Bandung ini dibangun pada tahun 1920 dengan nama pertama Concordia Bioscoop. Gedung De Majestic merupakan bioskop pertama yang berdiri di Kota Bandung, dan merupakan bioskop pertama yang menayangkan film di Kota Bandung. Sayangnya masa kejayaan dari Gedung De Majestic hanya berlangsung sampai kepada tahun 2002 yang pada akhirnya dilakukan kegiatan pelestarian dan penggantian fungsi bangunan. Sepanjang umurnya, bangunan ini sudah mengalami beberapa kali upaya pelestarian seiring dengan perkembangan zaman, serta pergantian kepengelolaan sampai saat ini. Pelestarian terhadap Gedung De Majestic ini adalah sebuah bentuk usaha untuk mempertahankan eksistensinya. Perubahan yang telah dialami oleh Gedung De Majestic antara lain; Gedung Bioskop Majestic, Asia Africa Cultural Center, New Majestic, Gedung Pertunjukan De Majestic. Gedung De Majestic ini pun memiliki sejarah cukup kelam yang terjadi pada tahun 2008, hal ini yang menyebabkan terus menurunnya minat berkunjung dari masyarakat dan juga penggunaan bangunan ini. Dengan keadaan seperti ini, bangunan menjadi kurang mendapat perhatian sebagai bangunan cagar budaya di Kota Bandung, padahal fisik bangunan sendiri dapat dikategorikan terawat dengan baik dan masih bisa dioptimalkan. Maka dari hal tersebut, penelitian ini mengarah pada evaluasi Gedung De Majestic ini terkait dengan fungsinya guna menciptakan kajian yang solutif untuk meningkatkan vitalitas dan potensi Gedung De Majestic. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan evaluasi kualitatif, dengan mengkaji kondisi Gedung De Majestic secara fisik dan operasionalnya. Setelah itu dilakukan juga analisis terkait dengan keselarasan dengan kawasan tempat bangunan berdiri, dan peruntukkan kawasannya sesuai dengan regulasi Kota Bandung yang sudah ditetapkan pemerintah. Penelitian ini juga mengacu kepada teori – teori terkait pelestarian bangunan, prinsip – prinsip adaptive re-use, dan regulasi yang mengatur bangunan cagar budaya di Indonesia. Hasil dari penelitian ini adalah sebuah gagasan dan ide fungsi baru yang sudah melewati proses analisis yang berarti memiliki potensi paling besar untuk diimplementasikan kepada Gedung De Majestic. Gagasan fungsi baru yang dipilih sudah melewati proses analisis seperti lokasi, nilai sejarah, karakteristik bangunan, kebutuhan ruang, hingga potensi pada bangunan dan bagi kawasan. Adanya fungsi baru pada bangunan ini diharapkan dapat meningkatkan vitalitas bangunan dan minat berkunjung pada bangunan maupun kawasan, serta mengembalikan nilai – nilai yang sudah mulai pudar di zaman modern ini di kalangan masyarakat. Dengan adanya fungsi yang baru, kiranya dapat membuat masyarakat dalam dan luar kota dapat turut memelihara, melindungi, dan memanfaatkan keberadaan Bangunan Cagar Budaya di Kota Bandung. Kata-kata kunci: Pelestarian, Bangunan Cagar Budaya, Adaptive Re
{"title":"ADAPTIVE REUSE PADA GEDUNG PERTUNJUKAN DE MAJESTIC SEBAGAI BANGUNAN CAGAR BUDAYA GOLONGAN A DI KOTA BANDUNG","authors":"Jessica Victoryana, Harastoeti Dibyo Hartono","doi":"10.26593/risa.v7i02.6601.136-150","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/risa.v7i02.6601.136-150","url":null,"abstract":"Abstrak - Gedung Pertunjukan De Majestic merupakan bangunan cagar budaya golongan A di Kota Bandung. Bangunan yang berlokasi di Jalan Braga no 1, Bandung ini dibangun pada tahun 1920 dengan nama pertama Concordia Bioscoop. Gedung De Majestic merupakan bioskop pertama yang berdiri di Kota Bandung, dan merupakan bioskop pertama yang menayangkan film di Kota Bandung. Sayangnya masa kejayaan dari Gedung De Majestic hanya berlangsung sampai kepada tahun 2002 yang pada akhirnya dilakukan kegiatan pelestarian dan penggantian fungsi bangunan. \u0000Sepanjang umurnya, bangunan ini sudah mengalami beberapa kali upaya pelestarian seiring dengan perkembangan zaman, serta pergantian kepengelolaan sampai saat ini. Pelestarian terhadap Gedung De Majestic ini adalah sebuah bentuk usaha untuk mempertahankan eksistensinya. Perubahan yang telah dialami oleh Gedung De Majestic antara lain; Gedung Bioskop Majestic, Asia Africa Cultural Center, New Majestic, Gedung Pertunjukan De Majestic. Gedung De Majestic ini pun memiliki sejarah cukup kelam yang terjadi pada tahun 2008, hal ini yang menyebabkan terus menurunnya minat berkunjung dari masyarakat dan juga penggunaan bangunan ini. Dengan keadaan seperti ini, bangunan menjadi kurang mendapat perhatian sebagai bangunan cagar budaya di Kota Bandung, padahal fisik bangunan sendiri dapat dikategorikan terawat dengan baik dan masih bisa dioptimalkan. Maka dari hal tersebut, penelitian ini mengarah pada evaluasi Gedung De Majestic ini terkait dengan fungsinya guna menciptakan kajian yang solutif untuk meningkatkan vitalitas dan potensi Gedung De Majestic. \u0000Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan evaluasi kualitatif, dengan mengkaji kondisi Gedung De Majestic secara fisik dan operasionalnya. Setelah itu dilakukan juga analisis terkait dengan keselarasan dengan kawasan tempat bangunan berdiri, dan peruntukkan kawasannya sesuai dengan regulasi Kota Bandung yang sudah ditetapkan pemerintah. Penelitian ini juga mengacu kepada teori – teori terkait pelestarian bangunan, prinsip – prinsip adaptive re-use, dan regulasi yang mengatur bangunan cagar budaya di Indonesia. \u0000Hasil dari penelitian ini adalah sebuah gagasan dan ide fungsi baru yang sudah melewati proses analisis yang berarti memiliki potensi paling besar untuk diimplementasikan kepada Gedung De Majestic. Gagasan fungsi baru yang dipilih sudah melewati proses analisis seperti lokasi, nilai sejarah, karakteristik bangunan, kebutuhan ruang, hingga potensi pada bangunan dan bagi kawasan. Adanya fungsi baru pada bangunan ini diharapkan dapat meningkatkan vitalitas bangunan dan minat berkunjung pada bangunan maupun kawasan, serta mengembalikan nilai – nilai yang sudah mulai pudar di zaman modern ini di kalangan masyarakat. Dengan adanya fungsi yang baru, kiranya dapat membuat masyarakat dalam dan luar kota dapat turut memelihara, melindungi, dan memanfaatkan keberadaan Bangunan Cagar Budaya di Kota Bandung. \u0000 \u0000Kata-kata kunci: Pelestarian, Bangunan Cagar Budaya, Adaptive Re","PeriodicalId":166027,"journal":{"name":"Riset Arsitektur (RISA)","volume":"11 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125868384","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-04-04DOI: 10.26593/risa.v7i02.6602.151-168
Julian Farrel Malik Hakim, Franseno Pujianto
Abstrak - Citra merupakan bayangan visual yang terbentuk karena adanya interaksi antara manusia sebagai pengamat dengan suatu objek. Gambaran tersebut merupakan kesan akan suatu objek yang mudah diingat oleh pengamat. Citra dalam arsitektur memiliki peran untuk memberikan bayangan kepada pengamat tentang struktur dari suatu ruang atau wilayah. Pengamat akan memiliki bayangan jika mengingat tentang wilayah tersebut. Citra yang dimunculkan akan berbeda, tergantung siapa yang mengamatinya. (Lynch, 1960). Memperkuat citra pada suatu wilayah sangat diperlukan dikarenakan dapat membuat pemaknaan bagi seseorang yang berada pada wilayah tersebut sehingga memiliki ikatan. Seseorang akan memaknai jika dia ingat akan tempat tersebut disaat dia pernah beraktivitas pada tempat tersebut. Desa Trusmi Cirebon merupakan Desa yang sudah memiliki identitas sebagai desa “Sentra Batik” serta desa yang masih mempertahankan aktivitas tradisi kebuyutan. Identitas tersebut terjadi karena masih dapat ditemukan aktivitas yang berhubungan dengan tradisi dan kerajinan batik pada desa ini. Penelitian ini bertujuan untuk memahami pengaruh aktivitas keseharian dan aktivitas tradisi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap elemen pembentuk citra pada Desa Trusmi. Tempat untuk melakukan aktivitas akan diidentifikasi oleh masyarakat sebagai elemen pembentuk citra Desa Trusmi. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif, data diperoleh dari studi literatur, pengamatan langsung ke lapangan, serta wawancara terhadap penduduk Desa Trusmi. Pengamatan berfokus pada aktivitas dari warga dan tempat beraktivitasnya, yang kemudian dibuat mapping aktivitas pada Desa tersebut. kemudian , dari data aktivitas tersebut, akan dianalisis dengan elemen- elemen pembentuk citra sehingga dapat diketahui path/ jalur yang digunakan untuk aktivitas, edge/ batas yang menjadi batas ruang aktivitas, district/ kawasan yang ditemukan sebagai pusat aktivitas, nodes/ simpul yang menjadi titik berkumpul, dan landmark yang menjadi pengarah orientasi aktivitas. Kesimpulan dari penelitian ini, ditemukan bahwa “Citra Desa Trusmi” dapat ditemukan berdasarkan analisis tempat dilakukannya aktivitas masyarakat yang terdapat pada Desa Trusmi. Ini menunjukan adanya pengaruh dari aktivitas keseharian warga dan aktivitas yang dilakukan sebagai tradisi dalam membentuk gambaran fisik dari Desa Trusmi. Desa Trusmi Cirebon dapat disimpulkan merupakan desa yang citra-nya mudah untuk diingat dikarenakan pada desa ini dapat ditemukan Path Utama yang menjadi tempat aktivitas keseharian, Strong Edge yang berupa dinding showroom batik yang menerus di Path Utama tersebut, District Pusat Aktivitas RItual dan Komersial, Anchor Nodes, dan Landmark yang digunakan untuk mengarahkan masyarakat dalam desa dan pengunjung dari luar desa. Kata Kunci: Elemen Pembentuk Citra, Aktivitas, Kerajinan Kain Batik, Tradisi Kebuyutan, Desa Trusmi Cirebon
{"title":"CITRA DESA TRUSMI SEBAGAI WADAH AKTIVITAS MASYARAKAT","authors":"Julian Farrel Malik Hakim, Franseno Pujianto","doi":"10.26593/risa.v7i02.6602.151-168","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/risa.v7i02.6602.151-168","url":null,"abstract":"Abstrak - Citra merupakan bayangan visual yang terbentuk karena adanya interaksi antara manusia sebagai pengamat dengan suatu objek. Gambaran tersebut merupakan kesan akan suatu objek yang mudah diingat oleh pengamat. Citra dalam arsitektur memiliki peran untuk memberikan bayangan kepada pengamat tentang struktur dari suatu ruang atau wilayah. Pengamat akan memiliki bayangan jika mengingat tentang wilayah tersebut. Citra yang dimunculkan akan berbeda, tergantung siapa yang mengamatinya. (Lynch, 1960). Memperkuat citra pada suatu wilayah sangat diperlukan dikarenakan dapat membuat pemaknaan bagi seseorang yang berada pada wilayah tersebut sehingga memiliki ikatan. Seseorang akan memaknai jika dia ingat akan tempat tersebut disaat dia pernah beraktivitas pada tempat tersebut. \u0000Desa Trusmi Cirebon merupakan Desa yang sudah memiliki identitas sebagai desa “Sentra Batik” serta desa yang masih mempertahankan aktivitas tradisi kebuyutan. Identitas tersebut terjadi karena masih dapat ditemukan aktivitas yang berhubungan dengan tradisi dan kerajinan batik pada desa ini. \u0000Penelitian ini bertujuan untuk memahami pengaruh aktivitas keseharian dan aktivitas tradisi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap elemen pembentuk citra pada Desa Trusmi. Tempat untuk melakukan aktivitas akan diidentifikasi oleh masyarakat sebagai elemen pembentuk citra Desa Trusmi. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif, data diperoleh dari studi literatur, pengamatan langsung ke lapangan, serta wawancara terhadap penduduk Desa Trusmi. Pengamatan berfokus pada aktivitas dari warga dan tempat beraktivitasnya, yang kemudian dibuat mapping aktivitas pada Desa tersebut. kemudian , dari data aktivitas tersebut, akan dianalisis dengan elemen- elemen pembentuk citra sehingga dapat diketahui path/ jalur yang digunakan untuk aktivitas, edge/ batas yang menjadi batas ruang aktivitas, district/ kawasan yang ditemukan sebagai pusat aktivitas, nodes/ simpul yang menjadi titik berkumpul, dan landmark yang menjadi pengarah orientasi aktivitas. \u0000Kesimpulan dari penelitian ini, ditemukan bahwa “Citra Desa Trusmi” dapat ditemukan berdasarkan analisis tempat dilakukannya aktivitas masyarakat yang terdapat pada Desa Trusmi. Ini menunjukan adanya pengaruh dari aktivitas keseharian warga dan aktivitas yang dilakukan sebagai tradisi dalam membentuk gambaran fisik dari Desa Trusmi. \u0000Desa Trusmi Cirebon dapat disimpulkan merupakan desa yang citra-nya mudah untuk diingat dikarenakan pada desa ini dapat ditemukan Path Utama yang menjadi tempat aktivitas keseharian, Strong Edge yang berupa dinding showroom batik yang menerus di Path Utama tersebut, District Pusat Aktivitas RItual dan Komersial, Anchor Nodes, dan Landmark yang digunakan untuk mengarahkan masyarakat dalam desa dan pengunjung dari luar desa. \u0000Kata Kunci: Elemen Pembentuk Citra, Aktivitas, Kerajinan Kain Batik, Tradisi Kebuyutan, Desa Trusmi Cirebon","PeriodicalId":166027,"journal":{"name":"Riset Arsitektur (RISA)","volume":"14 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125329172","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-04-04DOI: 10.26593/risa.v7i02.6604.169-183
Ilona Beatrix Hendrata, Yuswadi Saliya
Abstrak - Arsitektur Posmodern mulai digagaskan sekitar tahun 1960-an, ketika para arsitek yang didukung oleh ide-ide para filsuf dan sastrawan melihat bahwa arsitektur modern sudah tidak lagi sesuai dengan zaman karena ketidakmampuan dalam menjawab konteks budaya yang spesifik dalam sebuah karya arsitektur. Seorang tokoh bernama Robert Venturi adalah salah seorang yang berperan penting dalam perkembangan Arsitektur Posmodern dengan berbagai gagasannya, yang paling terkenal adalah “Less is Bore” yang menanggapi semboyan arsitektur “Less is More” pada arsitektur Modern. Robert Venturi menulis beberapa buku, diantaranya adalah “Complexity and Contradiction in Architecture” yang berisi gagasan-gagasan Posmodern Robert Venturi. Arsitektur Posmodern yang memiliki pemikiran eklektik dan hybrid juga turut berkembang pesat di Indonesia, khususnya di Pulau Bali sebagai salah satu pusat kebudayaan. Arsitektur yang menjadi ciri khas Pulau Bali adalah Pura sebagai tempat ibadah dan Puri sebagai tempat tinggal kerajaan Bali. Puri Agung Karangasem berada di pusat Kota Amlapura, kerajaan di Bali Timur. Didirikan pada akhir abad ke-19 oleh Anak Agung Anglurah Ktut Karangasem yang diangkat sebagai Stadholder II. Puri Agung Karangasem menerapkan konsep perpaduan antara beberapa budaya dalam arsitekturnya. Arsitektur Bali, arsitektur kolonial sesuai dengan masa pembangunan, dan ada pengaruh Cina. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan deskriptif-analisis. Data yang telah terkumpul akan diproses dengan cara dibandingkan, dikelompokkan dan disimpulkan. Dalam studi akan dicari gagasan-gagasan Venturi dalam “Complexity and Contradiction in Architecture” yang tercermin dalam arsitektur Puri Agung Karangasem. Hasil penelitian menunjukkan banyaknya gagasan Venturi yang terwujud dilihat dari tata massa dan tata ruang, sosok bangunan dan ornamentasi hasil akulturasi ketiga budaya. Hal ini membuktikan bahwa sebelum Arsitektur Posmodern berkembang di tahun 1960 dan Venturi mengeluarkan gagasan, Puri Agung Karangasem di Pulau Bali sudah menerapkan konsep ini dalam pembangunan Puri sejak lebih dari 60 tahun sebelumnya. Kata Kunci: Puri, Bali, Robert Venturi, arsitektur Posmodern
{"title":"PERWUJUDAN GAGASAN “COMPLEXITY AND CONTRADICTION IN ARCHITECTURE” OLEH ROBERT VENTURI PADA ARSITEKTUR PURI AGUNG KARANGASEM BALI","authors":"Ilona Beatrix Hendrata, Yuswadi Saliya","doi":"10.26593/risa.v7i02.6604.169-183","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/risa.v7i02.6604.169-183","url":null,"abstract":" \u0000Abstrak - Arsitektur Posmodern mulai digagaskan sekitar tahun 1960-an, ketika para arsitek yang didukung oleh ide-ide para filsuf dan sastrawan melihat bahwa arsitektur modern sudah tidak lagi sesuai dengan zaman karena ketidakmampuan dalam menjawab konteks budaya yang spesifik dalam sebuah karya arsitektur. Seorang tokoh bernama Robert Venturi adalah salah seorang yang berperan penting dalam perkembangan Arsitektur Posmodern dengan berbagai gagasannya, yang paling terkenal adalah “Less is Bore” yang menanggapi semboyan arsitektur “Less is More” pada arsitektur Modern. Robert Venturi menulis beberapa buku, diantaranya adalah “Complexity and Contradiction in Architecture” yang berisi gagasan-gagasan Posmodern Robert Venturi. \u0000Arsitektur Posmodern yang memiliki pemikiran eklektik dan hybrid juga turut berkembang pesat di Indonesia, khususnya di Pulau Bali sebagai salah satu pusat kebudayaan. Arsitektur yang menjadi ciri khas Pulau Bali adalah Pura sebagai tempat ibadah dan Puri sebagai tempat tinggal kerajaan Bali. Puri Agung Karangasem berada di pusat Kota Amlapura, kerajaan di Bali Timur. Didirikan pada akhir abad ke-19 oleh Anak Agung Anglurah Ktut Karangasem yang diangkat sebagai Stadholder II. Puri Agung Karangasem menerapkan konsep perpaduan antara beberapa budaya dalam arsitekturnya. Arsitektur Bali, arsitektur kolonial sesuai dengan masa pembangunan, dan ada pengaruh Cina. \u0000Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan deskriptif-analisis. Data yang telah terkumpul akan diproses dengan cara dibandingkan, dikelompokkan dan disimpulkan. Dalam studi akan dicari gagasan-gagasan Venturi dalam “Complexity and Contradiction in Architecture” yang tercermin dalam arsitektur Puri Agung Karangasem. Hasil penelitian menunjukkan banyaknya gagasan Venturi yang terwujud dilihat dari tata massa dan tata ruang, sosok bangunan dan ornamentasi hasil akulturasi ketiga budaya. Hal ini membuktikan bahwa sebelum Arsitektur Posmodern berkembang di tahun 1960 dan Venturi mengeluarkan gagasan, Puri Agung Karangasem di Pulau Bali sudah menerapkan konsep ini dalam pembangunan Puri sejak lebih dari 60 tahun sebelumnya. \u0000 \u0000Kata Kunci: Puri, Bali, Robert Venturi, arsitektur Posmodern","PeriodicalId":166027,"journal":{"name":"Riset Arsitektur (RISA)","volume":"35 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125428407","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-04-04DOI: 10.26593/risa.v7i02.6600.117-135
Handoyo Lawiguna, Rahadian Prajudi Herwindo
Abstrak - Charles Prosper Wolff Schoemaker dan Henri Maclaine Pont adalah dua orang arsitek berkebangsaan Belanda yang berkarya di Hindia Belanda pada periode 1900-1940. Pada periode ini identitas dari arsitektur Nusantara tengah dicari oleh arsitek Belanda karena perkembangan pemikiran baru arsitektur yang melibatkan kelokalan setempat. Pemikiran ini lahir karena pemikiran yang lama kurang meletakkan arsitektur dengan konteks geografisnya, dimana pemikiran arsitektur “barat” masih mendominasi perancangan. Kedua arsitek tersebut merupakan tokoh yang cukup lantang dalam menyuarakan pemikiran dan idealismenya tentang identitas arsitektur Nusantara sehingga mereka sering berdebat, menginisiasi ide masing-masing untuk mengembangkan identitas arsitektur Nusantara. Keduanya diperkirakan menggunakan pendekatan arsitektur Nusantara namun dari sudut pandang yang berbeda. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan cara mendeskripsikan objek – objek terpilih dari kedua sosok tersebut serta menjajaran objek dan dibandingkan dengan teori arsitektur Nusantara oleh Prof. Josef Prijotomo. Data dikumpulkan dengan observasi lapangan serta studi pustaka. Data dikelompokkan berdasarkan variabel penelitian, yaitu tata ruang, struktur – konstruksi – material, dan sosok bangunan. Teknik analisis dilakukan dengan mengaitkan data yang ada dengan teori arsitektur Nusantara serta diintepretasi juga dengan teori lain yang mendukung penelitian untuk membaca arsitektur Nusantara pada objek studi. Hasil penelitian ini menghasilkan suatu kesimpulan, yaitu dalam karyanya, Schoemaker menafsirkan arsitektur Nusantara dengan pendekatan fungsional dan estetika, dimana fungsional tersebut terkait dengan kenyamanan ruang dan kaitannya dengan iklim lokal. Unsur estetika dibuat dengan menempelkan ornamen yang berkaitan dengan candi. Pendekatan perancangan yang dilakuan oleh Schoemaker adalah modern – lokal, yaitu pemikiran modern dan menambahkan unsur lokal. Berkebalikan dengan Schoemaker, Pont menafsirkan dan mengaplikasikan arsitektur Nusantara lebih menyeluruh. Pont lebih membaca konteks lokal sampai ke akarnya dengan mempelajari sejarah dan budaya agar arsitektur tersebut kontestual dengan alam, sosial, dan budaya lokal. Dalam karyanya, Pont hampir selalu mengaplikasikan teori arsitektur Nusantara, baik pada tatanan ruang, struktur – konstruksi – material, ataupun sosok bangunannya, sehingga bisa disimpulkan pendekatan merancang Pont adalah lokal – modern yaitu mengembangkan dan memperkaya arsitektur lokal dengan kemajuan ataupun pemikiran modern yang bisa mendampingi dan melengkapi arsitektur Nusantara. Kata Kunci: arsitektur Nusantara, Schoemaker, Pont
抽象的查尔斯·普罗斯帕·沃尔夫·斯梅克和亨利·麦克雷恩·杜邦是在20至1940年间在荷兰东印度群岛工作的两名荷兰建筑师。在这一时期,荷兰建筑师正在寻找新建筑思维,因为它涉及当地建筑的新思维。这种想法的诞生是因为长期以来,建筑缺乏以其地理背景为基础的思想,在这种背景下,“西方”建筑仍然占据主导地位。这两位建筑师在表达他对努桑塔拉建筑身份的想法和理想时都表现得很好,以至于他们经常进行辩论,从而提出了他们各自的想法,以发展努桑塔拉建筑的身份。他们都被认为使用了群岛建筑的方法,但从不同的角度。该研究采用一种描述性的方法,通过描述这两种人物所选择的对象——对象,并对其进行研究,并与约瑟夫·普里乔托姆教授(joseph Prijotomo)的《建筑理论》(Nusantara theory)进行比较。通过实地观察和库研究收集数据。数据是根据研究的变量来分组的,比如空间、结构、材料和结构。分析技术是将现有的数据与努桑塔拉建筑理论联系起来,并与其他支持研究在研究对象上阅读努桑塔拉建筑的理论联系起来。这项研究得出的结论是,在他的著作中,舒梅克用功能性和美学方法来解释群岛架构,其中功能性与空间舒适性和当地气候的关系有关。美学元素是通过粘贴与寺庙相关的装饰品而形成的。Schoemaker的设计方法是现代的——本地的,也就是说,现代的思维方式增加了当地的元素。与Schoemaker, Pont的对比更全面地解释和应用群岛架构。桥通过研究历史和文化,使建筑与当地的自然、社会和文化融合,从而更好地触及当地的背景。著作中,杜邦几乎总是群岛建筑应用理论,擅长空间秩序——建筑结构材料,或一个当地的建筑设计方法可以推断出,杜邦是现代——即发展和丰富了当地建筑和现代进步或想法的建筑可以陪伴和互补的群岛。关键词:建筑群岛,Schoemaker, Pont
{"title":"KAJIAN KARYA ARSITEKTUR C.P. WOLFF SCHOEMAKER DAN HENRI MACLAINE PONT DITINJAU DARI PRINSIP ARSITEKTUR NUSANTARA","authors":"Handoyo Lawiguna, Rahadian Prajudi Herwindo","doi":"10.26593/risa.v7i02.6600.117-135","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/risa.v7i02.6600.117-135","url":null,"abstract":"Abstrak - Charles Prosper Wolff Schoemaker dan Henri Maclaine Pont adalah dua orang arsitek berkebangsaan Belanda yang berkarya di Hindia Belanda pada periode 1900-1940. Pada periode ini identitas dari arsitektur Nusantara tengah dicari oleh arsitek Belanda karena perkembangan pemikiran baru arsitektur yang melibatkan kelokalan setempat. Pemikiran ini lahir karena pemikiran yang lama kurang meletakkan arsitektur dengan konteks geografisnya, dimana pemikiran arsitektur “barat” masih mendominasi perancangan. Kedua arsitek tersebut merupakan tokoh yang cukup lantang dalam menyuarakan pemikiran dan idealismenya tentang identitas arsitektur Nusantara sehingga mereka sering berdebat, menginisiasi ide masing-masing untuk mengembangkan identitas arsitektur Nusantara. Keduanya diperkirakan menggunakan pendekatan arsitektur Nusantara namun dari sudut pandang yang berbeda. \u0000Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan cara mendeskripsikan objek – objek terpilih dari kedua sosok tersebut serta menjajaran objek dan dibandingkan dengan teori arsitektur Nusantara oleh Prof. Josef Prijotomo. Data dikumpulkan dengan observasi lapangan serta studi pustaka. Data dikelompokkan berdasarkan variabel penelitian, yaitu tata ruang, struktur – konstruksi – material, dan sosok bangunan. Teknik analisis dilakukan dengan mengaitkan data yang ada dengan teori arsitektur Nusantara serta diintepretasi juga dengan teori lain yang mendukung penelitian untuk membaca arsitektur Nusantara pada objek studi. \u0000Hasil penelitian ini menghasilkan suatu kesimpulan, yaitu dalam karyanya, Schoemaker menafsirkan arsitektur Nusantara dengan pendekatan fungsional dan estetika, dimana fungsional tersebut terkait dengan kenyamanan ruang dan kaitannya dengan iklim lokal. Unsur estetika dibuat dengan menempelkan ornamen yang berkaitan dengan candi. Pendekatan perancangan yang dilakuan oleh Schoemaker adalah modern – lokal, yaitu pemikiran modern dan menambahkan unsur lokal. Berkebalikan dengan Schoemaker, Pont menafsirkan dan mengaplikasikan arsitektur Nusantara lebih menyeluruh. Pont lebih membaca konteks lokal sampai ke akarnya dengan mempelajari sejarah dan budaya agar arsitektur tersebut kontestual dengan alam, sosial, dan budaya lokal. Dalam karyanya, Pont hampir selalu mengaplikasikan teori arsitektur Nusantara, baik pada tatanan ruang, struktur – konstruksi – material, ataupun sosok bangunannya, sehingga bisa disimpulkan pendekatan merancang Pont adalah lokal – modern yaitu mengembangkan dan memperkaya arsitektur lokal dengan kemajuan ataupun pemikiran modern yang bisa mendampingi dan melengkapi arsitektur Nusantara. \u0000 \u0000Kata Kunci: arsitektur Nusantara, Schoemaker, Pont","PeriodicalId":166027,"journal":{"name":"Riset Arsitektur (RISA)","volume":"78 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125220343","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-04-04DOI: 10.26593/risa.v7i02.6607.212-227
G. Pratomo, Kamal Abdullah Arif, Enrico Nirwan Histanto
Abstrak - Masjid Salman ITB merupakan salah satu karya arsitektur monumental yang ada di Indonesia Memiliki atap melengkung ke atas dengan ruang sholat yang merupakan area bebas kolom dan hingga sekarang masih dapat berfungsi dengan baik. Struktur sendiri memiliki fungsinya sebagai media untuk menyalurkan beban, namun fungsi struktur dari sebuah bangunan tidak hanya berhenti sampai disitu, tetapi juga sebagai nilai keindahan dari karya arsitektur itu sendiri. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji pemanfaatan struktur pada bangunan Masjid Salman ITB yang tidak hanya berfungsi sebagai media penyaluran beban pada bangunan, tetapi juga memiliki nilai estetis. Hasil penelitian dapat menjadi pengembangan keilmuan mengenai perancangan struktur yang dapat meningkatkan nilai estetika bangunan. Perancang dapat memanfaatkan keilmuan ini dalam mengambangkan desain yang berbasis struktur, sehingga kedepannya elemen struktur tidak hanya lagi dipandang sebagai pelengkap bangunan, tetapi memiliki nilai yang sama dengan desain arsitekturalnya. Teori yang digunakan untuk mengkaji estetika struktur adalah teori Bjorn Normann, dimana estetika struktur dapat dinilai dari fungsi mekanikal dan fungsi spasial. Teori tersebut akan menjadi dasar hasil kajian dari buku-buku yang terkait dengan struktur. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pengolahan data yang bersumber dari studi literatur, pengamatan langsung, wawancara, dan simulasi. Analisis dibagi menjadi dua bagian besar. Bagian pertama yaitu, pembahasan struktur terhadap aspek strukturalnya sebagai media penyalur beban. Bagian kedua yaitu, pembahasan struktur terhadap aspek asritekturalnya sebagai wujud, ekspresi, dan elemen pembagi ruang. Pembahasan tersebut mengsilkan temuan yang menjadi dasar penarikan kesimpulan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, struktur sebagai elemen pembentuk ruang memiliki peran tertinggi dalam mencapai etetika struktur pada Masjid Salman ITB. Selanjutnya, struktur sebagai ekspresi bangunan masih memiliki peran yang cukup tinggi dalam mencapai estetika struktur pada Masjid Salman ITB. Terakhir, struktur sebagai wujud bangunan memiliki peran yang paling rendah untuk mencapai estetika struktur pada Masjid Salman ITB. Adapun hal ini dapat tercapai karena peran struktur sebagai penyalur beban yang memiliki penekanan pada pengoptimalan bentuk struktur dan konfigurasinya. Kata Kunci: Masjid Salman ITB, estetika struktur, fungsi struktural, fungsi arsitektural, penyalur beban, wujud, ekspresi, ruang dalam
{"title":"KAJIAN ESTETIKA MASJID SALMAN ITB DITINJAU DARI STRUKTUR","authors":"G. Pratomo, Kamal Abdullah Arif, Enrico Nirwan Histanto","doi":"10.26593/risa.v7i02.6607.212-227","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/risa.v7i02.6607.212-227","url":null,"abstract":" \u0000Abstrak - Masjid Salman ITB merupakan salah satu karya arsitektur monumental yang ada di Indonesia Memiliki atap melengkung ke atas dengan ruang sholat yang merupakan area bebas kolom dan hingga sekarang masih dapat berfungsi dengan baik. Struktur sendiri memiliki fungsinya sebagai media untuk menyalurkan beban, namun fungsi struktur dari sebuah bangunan tidak hanya berhenti sampai disitu, tetapi juga sebagai nilai keindahan dari karya arsitektur itu sendiri. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji pemanfaatan struktur pada bangunan Masjid Salman ITB yang tidak hanya berfungsi sebagai media penyaluran beban pada bangunan, tetapi juga memiliki nilai estetis. Hasil penelitian dapat menjadi pengembangan keilmuan mengenai perancangan struktur yang dapat meningkatkan nilai estetika bangunan. Perancang dapat memanfaatkan keilmuan ini dalam mengambangkan desain yang berbasis struktur, sehingga kedepannya elemen struktur tidak hanya lagi dipandang sebagai pelengkap bangunan, tetapi memiliki nilai yang sama dengan desain arsitekturalnya. Teori yang digunakan untuk mengkaji estetika struktur adalah teori Bjorn Normann, dimana estetika struktur dapat dinilai dari fungsi mekanikal dan fungsi spasial. Teori tersebut akan menjadi dasar hasil kajian dari buku-buku yang terkait dengan struktur. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pengolahan data yang bersumber dari studi literatur, pengamatan langsung, wawancara, dan simulasi. Analisis dibagi menjadi dua bagian besar. Bagian pertama yaitu, pembahasan struktur terhadap aspek strukturalnya sebagai media penyalur beban. Bagian kedua yaitu, pembahasan struktur terhadap aspek asritekturalnya sebagai wujud, ekspresi, dan elemen pembagi ruang. Pembahasan tersebut mengsilkan temuan yang menjadi dasar penarikan kesimpulan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, struktur sebagai elemen pembentuk ruang memiliki peran tertinggi dalam mencapai etetika struktur pada Masjid Salman ITB. Selanjutnya, struktur sebagai ekspresi bangunan masih memiliki peran yang cukup tinggi dalam mencapai estetika struktur pada Masjid Salman ITB. Terakhir, struktur sebagai wujud bangunan memiliki peran yang paling rendah untuk mencapai estetika struktur pada Masjid Salman ITB. Adapun hal ini dapat tercapai karena peran struktur sebagai penyalur beban yang memiliki penekanan pada pengoptimalan bentuk struktur dan konfigurasinya. \u0000 \u0000Kata Kunci: Masjid Salman ITB, estetika struktur, fungsi struktural, fungsi arsitektural, penyalur beban, wujud, ekspresi, ruang dalam","PeriodicalId":166027,"journal":{"name":"Riset Arsitektur (RISA)","volume":"70 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125263680","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-04-04DOI: 10.26593/risa.v7i02.6605.184-195
Benno Tumpak Ahimsa Sirait, Yenny Gunawan
Abstrak - Arsitektur bioklimatik sudah ada sejak abad ke 20 namun perkembangannya di Indonesia baru belakangan ini terlihat. Arsitektur di Indonesia seringkali meniru atau menjiplak arsitektur di luar negeri dengan iklim berbeda yang menciptakan bangunan yang tidak nyaman bagi penggunanya dan juga boros penggunaan energinya. Letak Indonesia di iklim tropis masih belum banyak dikembangkan penerapannya dalam arsitektur yang banyak digunakan. Penelitian dimulai dengan mengkaji konsep bioklimatik di Jakarta dan bangunan RAD+ar HQ sebagai objek studi dengan konsep arsitektur bioklimatik. Selanjutnya dilakukan pengambilan data fisik, data pengukuran kondisi lingkungan, dan data wawancara persepsi untuk melakukan evaluasi terhadap bagaimana penerapan konsep bioklimatik pada bangunan RAD+ar HQ dan bagaimana persepsi pengguna bangunan terhadap kenyamanan termal dan visual pada bangunan RAD+ar HQ/. Dari penelitian tersebut, didapatkan bahwa penerapan konsep bioklimatik pada bangunan RAD+ar HQ belum sepenuhnya karena konsep awal yang berbeda serta adanya modifikasi karena keterbatasan dari kondisi pandemi, yang mementingkan sirkulasi antar pengguna di bangunan. Pengguna bangunan RAD+ar HQ sebagian besar sudah merasa nyaman secara termal dan visualnya namun belum semua pengguna merasa nyaman secara termal, hal ini dapat diakibatkan dari kondisi termal yang mayoritas ruangannya berada diluar standar kenyamanan termal. Bangunan ini sudah menerapkan arsitektur bioklimatik walaupun belum sepenuhnya diterapkan Kata Kunci: arsitektur bioklimatik, arsitektur tropis, RAD+ar Headquarters
{"title":"EVALUASI PENERAPAN KONSEP BIOKLIMATIK PADA RAD+AR HQ","authors":"Benno Tumpak Ahimsa Sirait, Yenny Gunawan","doi":"10.26593/risa.v7i02.6605.184-195","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/risa.v7i02.6605.184-195","url":null,"abstract":"Abstrak - Arsitektur bioklimatik sudah ada sejak abad ke 20 namun perkembangannya di Indonesia baru belakangan ini terlihat. Arsitektur di Indonesia seringkali meniru atau menjiplak arsitektur di luar negeri dengan iklim berbeda yang menciptakan bangunan yang tidak nyaman bagi penggunanya dan juga boros penggunaan energinya. Letak Indonesia di iklim tropis masih belum banyak dikembangkan penerapannya dalam arsitektur yang banyak digunakan. Penelitian dimulai dengan mengkaji konsep bioklimatik di Jakarta dan bangunan RAD+ar HQ sebagai objek studi dengan konsep arsitektur bioklimatik. Selanjutnya dilakukan pengambilan data fisik, data pengukuran kondisi lingkungan, dan data wawancara persepsi untuk melakukan evaluasi terhadap bagaimana penerapan konsep bioklimatik pada bangunan RAD+ar HQ dan bagaimana persepsi pengguna bangunan terhadap kenyamanan termal dan visual pada bangunan RAD+ar HQ/. Dari penelitian tersebut, didapatkan bahwa penerapan konsep bioklimatik pada bangunan RAD+ar HQ belum sepenuhnya karena konsep awal yang berbeda serta adanya modifikasi karena keterbatasan dari kondisi pandemi, yang mementingkan sirkulasi antar pengguna di bangunan. Pengguna bangunan RAD+ar HQ sebagian besar sudah merasa nyaman secara termal dan visualnya namun belum semua pengguna merasa nyaman secara termal, hal ini dapat diakibatkan dari kondisi termal yang mayoritas ruangannya berada diluar standar kenyamanan termal. Bangunan ini sudah menerapkan arsitektur bioklimatik walaupun belum sepenuhnya diterapkan Kata Kunci: arsitektur bioklimatik, arsitektur tropis, RAD+ar Headquarters","PeriodicalId":166027,"journal":{"name":"Riset Arsitektur (RISA)","volume":"112 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132483789","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-04-04DOI: 10.26593/risa.v7i02.6606.196-211
M. Halim, Mira Dewi Pangestu
Abstrak - Pencahayaan merupakan salah satu hal krusial untuk dapat berjalannya aktivitas. Pencahayaan dapat dikategorikan baik, jika dapat memenuhi standar kenyamanan visual sesuai tuntutan aktivitas pada ruang. Salah satu aspek yang memengaruhi karakteristik pencahayaan pada sebuah ruang adalah tipologinya, di mana ruang yang luas atau gemuk memiliki area tengah yang lebih sulit dijangkau oleh pencahayaan alami (Anasiru, 2016) sehingga lebih mengandalkan pencahayaan buatan. Meskipun begitu, tipologi ruang gemuk dapat tidak sepenuhnya bergantung pada pencahayaan buatan, karena sudah banyak inovasi dalam memasukkan pencahayaan alami. Dengan begitu, dapat dilakukan penghematan energi untuk pencahayaan pada bangunan. Objek yang ditinjau dalam penelitian ini adalah Pujasera FoodStep, sebuah area komersial pada lantai semi basement Apartemen Parahyangan Residence. Objek penelitian ini yang diisi oleh berbagai gerai makanan dan area duduk. Selain digunakan untuk aktivitas makan juga seringkali digunakan untuk belajar, mengerjakan tugas kuliah, maupun sekadar diskusi. Ruangan yang cukup luas ini memanfaatkan pencahayaan buatan sebagai sumber pencahayaan utama. Terdapat juga bukaan samping dan light well sebagai sumber pencahayaan alami. Aspek kuantitas dan kualitas pencahayaan menjadi penting dalam pemenuhan kenyamanan visual, terutama pada Pujasera yang digunakan sebagai area makan, belajar, dan mengerjakan tugas. Selain itu, sebagai ruangan yang cenderung luas, besar kemungkinan area ini memanfaatkan cahaya buatan sebagai sistem pencahayaan utamanya. Maka dari itu, diperlukan strategi untuk dapat memanfaatkan cahaya alami dari bukaan samping dan lightwell sehingga dapat meringankan beban pencahayaan buatan. Hal ini menjadi semakin penting melihat kondisi eksisting yang seakan tidak memanfaatkan cahaya alami sama sekali, di mana semua lampu dinyalakan sepanjang harinya, pada area – area dekat bukaan sekalipun. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji tingkat kenyamanan visual pada kondisi eksisting, mencari usulan strategi terkait pencahayaan buatan untuk dapat memenuhi kenyamanan visual, sekaligus strategi kolaborasi antara pencahayaan buatan dengan pencahayaan alami untuk menghemat energi. Metode yang digunakan adalah deskriptif eksperimental, dengan pendekatan kuantitatif melalui simulasi yang dibantu software Dialux Light Wizard, Evo, dan Curic Sun. Lewat penelitian ini, diperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, pencahayaan pada kondisi eksisting yang mengandalkan cahaya buatan sebagai penerangan utamanya belum memenuhi standar kenyamanan visual. Kedua, diperoleh hasil desain pencahayaan buatan yang dapat mencapai kenyamanan visual. Ketiga, adalah diperolehnya usulan strategi yang dapat mengkolaborasikan pencahayaan buatan dengan pencahayaan alami. Saran yang dapat diberikan lewat penelitian ini adalah untuk mempertimbangkan peran elemen – elemen lain diluar pencahayaan buatan sebagai aspek yang juga memengaruhi pencahayaan dalam ruang. Elem
{"title":"UPAYA PENINGKATAN PERFORMA PENCAHAYAAN DAN IMPLEMENTASI PRINSIP HEMAT ENERGI PADA AREA DUDUK PUJASERA FOODSTEP DI APARTEMEN PARAHYANGAN RESIDENCE BANDUNG","authors":"M. Halim, Mira Dewi Pangestu","doi":"10.26593/risa.v7i02.6606.196-211","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/risa.v7i02.6606.196-211","url":null,"abstract":"Abstrak - Pencahayaan merupakan salah satu hal krusial untuk dapat berjalannya aktivitas. Pencahayaan dapat dikategorikan baik, jika dapat memenuhi standar kenyamanan visual sesuai tuntutan aktivitas pada ruang. Salah satu aspek yang memengaruhi karakteristik pencahayaan pada sebuah ruang adalah tipologinya, di mana ruang yang luas atau gemuk memiliki area tengah yang lebih sulit dijangkau oleh pencahayaan alami (Anasiru, 2016) sehingga lebih mengandalkan pencahayaan buatan. Meskipun begitu, tipologi ruang gemuk dapat tidak sepenuhnya bergantung pada pencahayaan buatan, karena sudah banyak inovasi dalam memasukkan pencahayaan alami. Dengan begitu, dapat dilakukan penghematan energi untuk pencahayaan pada bangunan. \u0000Objek yang ditinjau dalam penelitian ini adalah Pujasera FoodStep, sebuah area komersial pada lantai semi basement Apartemen Parahyangan Residence. Objek penelitian ini yang diisi oleh berbagai gerai makanan dan area duduk. Selain digunakan untuk aktivitas makan juga seringkali digunakan untuk belajar, mengerjakan tugas kuliah, maupun sekadar diskusi. Ruangan yang cukup luas ini memanfaatkan pencahayaan buatan sebagai sumber pencahayaan utama. Terdapat juga bukaan samping dan light well sebagai sumber pencahayaan alami. \u0000Aspek kuantitas dan kualitas pencahayaan menjadi penting dalam pemenuhan kenyamanan visual, terutama pada Pujasera yang digunakan sebagai area makan, belajar, dan mengerjakan tugas. Selain itu, sebagai ruangan yang cenderung luas, besar kemungkinan area ini memanfaatkan cahaya buatan sebagai sistem pencahayaan utamanya. Maka dari itu, diperlukan strategi untuk dapat memanfaatkan cahaya alami dari bukaan samping dan lightwell sehingga dapat meringankan beban pencahayaan buatan. Hal ini menjadi semakin penting melihat kondisi eksisting yang seakan tidak memanfaatkan cahaya alami sama sekali, di mana semua lampu dinyalakan sepanjang harinya, pada area – area dekat bukaan sekalipun. \u0000Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji tingkat kenyamanan visual pada kondisi eksisting, mencari usulan strategi terkait pencahayaan buatan untuk dapat memenuhi kenyamanan visual, sekaligus strategi kolaborasi antara pencahayaan buatan dengan pencahayaan alami untuk menghemat energi. Metode yang digunakan adalah deskriptif eksperimental, dengan pendekatan kuantitatif melalui simulasi yang dibantu software Dialux Light Wizard, Evo, dan Curic Sun. \u0000Lewat penelitian ini, diperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, pencahayaan pada kondisi eksisting yang mengandalkan cahaya buatan sebagai penerangan utamanya belum memenuhi standar kenyamanan visual. Kedua, diperoleh hasil desain pencahayaan buatan yang dapat mencapai kenyamanan visual. Ketiga, adalah diperolehnya usulan strategi yang dapat mengkolaborasikan pencahayaan buatan dengan pencahayaan alami. \u0000Saran yang dapat diberikan lewat penelitian ini adalah untuk mempertimbangkan peran elemen – elemen lain diluar pencahayaan buatan sebagai aspek yang juga memengaruhi pencahayaan dalam ruang. Elem","PeriodicalId":166027,"journal":{"name":"Riset Arsitektur (RISA)","volume":"17 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123658562","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-01-09DOI: 10.26593/risa.v7i01.6361.49-65
Marisstella Joan, Laurentia Carissa
Abstrak - RISHA(Rumah Instan Sederhana Sehat) merupakan teknologi struktur pracetak dengan sistem knock-down atau dapat dibongkar pasang yang dirancang oleh Pusat Penelitiandan Pengembangan (PUSLITBANG) Permukiman pada tahun 2004. RISHA mempunyai komponen struktural dengan ukuran yang terbatas yaitu 1,8 m dan 3 m. RISHA kemudian dikembangkan untuk menambah ukuran komponen P1 sehingga didapatkan ukuran luas lantai bangunan yang lebih variatif. Pengembangan RISHA ini memberikan keuntungan yang besar dalam perancangan rumah tinggal dibanding perancangan konvensional. Penggunaan teknologi informasi merupakan salah satu media yang sangat bermanfaat untuk jaman yang semakin berkembang. Tidak banyak orang mengetahui cara menggunakan software CAD, karena itu perancangan aplikasi ini akan membantu mempercepat proses perancangan, pembangunan dan perhitungan biaya RISHA baik untuk arsitek, aplikator maupun calon pengguna. Konsep instan akan tetap terpenuhi dengan adanya aplikasi berbasis smartphone ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk melanjutkan penelitian dari RISHA modifikasi dengan merancang variasi modul ruang untuk mengakomodasi aktivitas pada fungsi hunian yang disesuaikan dengan ruang gerak dan jumlah penghuni. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk merancang prototipe aplikasi smartphone melalui website figma untuk mempermudah proses perancangan dan pembangunan rumah RISHA dengan komponen modifikasinya. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif yaitu perancangan denah rumah dengan RISHA modifikasi berdasarkan data dari studi literatur dan metode kuantitatif dari hasil wawancara dengan pihak yang berpengalaman dalam industri RISHA untuk validasi penggunaan aplikasi smartphone. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ditemukan tiga tata letak yang dapat mengakomodasi aktivitas manusia pada rumah tinggal. Ketiga tata letak tersebut mempunyai keuntungan dan kerugiannya masing-masing. Tata letak A mempunyai harga struktur dari Rp20.976.000,00 sampai Rp20.812.000,00 dengan kelebihan yaitu mempunyai RTH (RuangTerbuka Hijau) serta bisa menjadi arah masuknya sumber cahaya, sedangkan kekurangannya adalah membutuhkan tapak yang besar karena bentuk denah yang asimetris. Tata letak B merupakan perancangan yang paling sederhana, harga strukturnya mulai dari Rp16.640.000,00 sampai Rp18.224.000,00, sedangkan kekurangannya adalah tidak ada ruang makan, sehingga harus digabung dengan ruang keluarga. Tata Letak C merupakan tata letak yang paling luas, sehingga biaya strukturnya paling besar yaitu dari Rp23.888.000,00 sampai Rp24.816.000,00. Aplikasi akan menyajikan rancangan rumah tinggal dan harga strukturnya, kemudian dihubungkan dengan website PUPR untuk menghubungi aplikator. Aplikasi ini dapat mempermudah aplikator, arsitek dan calon penghuni dalam proses perancangan dan pembangunan rumah tinggal RISHA. Kata Kunci : Rancangan arsitektur, RISHA, Sistem informasi, Aplikasi rancangan, Beton pracetak
{"title":"PENERAPAN KOMPONEN MODIFIKASI STRUKTUR RISHA DALAM RANCANGAN ARSITEKTUR RUMAH TINGGAL DENGAN APLIKASI BERBASIS SMARTPHONE","authors":"Marisstella Joan, Laurentia Carissa","doi":"10.26593/risa.v7i01.6361.49-65","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/risa.v7i01.6361.49-65","url":null,"abstract":"Abstrak - RISHA(Rumah Instan Sederhana Sehat) merupakan teknologi struktur pracetak dengan sistem knock-down atau dapat dibongkar pasang yang dirancang oleh Pusat Penelitiandan Pengembangan (PUSLITBANG) Permukiman pada tahun 2004. RISHA mempunyai komponen struktural dengan ukuran yang terbatas yaitu 1,8 m dan 3 m. RISHA kemudian dikembangkan untuk menambah ukuran komponen P1 sehingga didapatkan ukuran luas lantai bangunan yang lebih variatif. Pengembangan RISHA ini memberikan keuntungan yang besar dalam perancangan rumah tinggal dibanding perancangan konvensional. \u0000Penggunaan teknologi informasi merupakan salah satu media yang sangat bermanfaat untuk jaman yang semakin berkembang. Tidak banyak orang mengetahui cara menggunakan software CAD, karena itu perancangan aplikasi ini akan membantu mempercepat proses perancangan, pembangunan dan perhitungan biaya RISHA baik untuk arsitek, aplikator maupun calon pengguna. Konsep instan akan tetap terpenuhi dengan adanya aplikasi berbasis smartphone ini. \u0000Tujuan penelitian ini adalah untuk melanjutkan penelitian dari RISHA modifikasi dengan merancang variasi modul ruang untuk mengakomodasi aktivitas pada fungsi hunian yang disesuaikan dengan ruang gerak dan jumlah penghuni. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk merancang prototipe aplikasi smartphone melalui website figma untuk mempermudah proses perancangan dan pembangunan rumah RISHA dengan komponen modifikasinya. \u0000Metode yang digunakan adalah metode kualitatif yaitu perancangan denah rumah dengan RISHA modifikasi berdasarkan data dari studi literatur dan metode kuantitatif dari hasil wawancara dengan pihak yang berpengalaman dalam industri RISHA untuk validasi penggunaan aplikasi smartphone. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ditemukan tiga tata letak yang dapat mengakomodasi aktivitas manusia pada rumah tinggal. Ketiga tata letak tersebut mempunyai keuntungan dan kerugiannya masing-masing. Tata letak A mempunyai harga struktur dari Rp20.976.000,00 sampai Rp20.812.000,00 dengan kelebihan yaitu mempunyai RTH (RuangTerbuka Hijau) serta bisa menjadi arah masuknya sumber cahaya, sedangkan kekurangannya adalah membutuhkan tapak yang besar karena bentuk denah yang asimetris. Tata letak B merupakan perancangan yang paling sederhana, harga strukturnya mulai dari Rp16.640.000,00 sampai Rp18.224.000,00, sedangkan kekurangannya adalah tidak ada ruang makan, sehingga harus digabung dengan ruang keluarga. Tata Letak C merupakan tata letak yang paling luas, sehingga biaya strukturnya paling besar yaitu dari Rp23.888.000,00 sampai Rp24.816.000,00. Aplikasi akan menyajikan rancangan rumah tinggal dan harga strukturnya, kemudian dihubungkan dengan website PUPR untuk menghubungi aplikator. Aplikasi ini dapat mempermudah aplikator, arsitek dan calon penghuni dalam proses perancangan dan pembangunan rumah tinggal RISHA. \u0000 \u0000Kata Kunci : Rancangan arsitektur, RISHA, Sistem informasi, Aplikasi rancangan, Beton pracetak \u0000 ","PeriodicalId":166027,"journal":{"name":"Riset Arsitektur (RISA)","volume":"9 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-01-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133209137","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}