There are many kinds of Buddhist religious rituals in Indonesia. Tribuana Manggala Bakti is a Buddhist religious ritual in Kulon Progo, D.I. Yogyakarta. Tribuana Manggala Bakti is a religious cultural integration of Buddhist teachings with local wisdom Javanese culture. The Tribuana Manggala Bakti ceremony contains many meanings and values. This study aims to find the philosophical value of the Tribuana Manggala Bakti using Max Scheler's value perspective. The type of this research is descriptive qualitative research with literature review. The philosophical values of Tribuana Manggala Bakti in the perspective of Max Scheler's value hierarchy are the pleasure velue, vitality value, spirituality value and value of the holy. However, from the four values in Scheler's value hierarchy perspective, the implementation of the Tribuana Manggala Bakti ceremony is more on spiritual values and holiness, the form of human activity as spiritual and religious creatures that can be seen from the Buddhist devotion and also a real form of concern for nature conservation by planting trees, releasing birds and fish.
{"title":"Kajian Aksiologis Upacara Tribuana Manggala Bakti","authors":"Suharno Harno, S. Maharani","doi":"10.23887/jfi.v6i1.42567","DOIUrl":"https://doi.org/10.23887/jfi.v6i1.42567","url":null,"abstract":"There are many kinds of Buddhist religious rituals in Indonesia. Tribuana Manggala Bakti is a Buddhist religious ritual in Kulon Progo, D.I. Yogyakarta. Tribuana Manggala Bakti is a religious cultural integration of Buddhist teachings with local wisdom Javanese culture. The Tribuana Manggala Bakti ceremony contains many meanings and values. This study aims to find the philosophical value of the Tribuana Manggala Bakti using Max Scheler's value perspective. The type of this research is descriptive qualitative research with literature review. The philosophical values of Tribuana Manggala Bakti in the perspective of Max Scheler's value hierarchy are the pleasure velue, vitality value, spirituality value and value of the holy. However, from the four values in Scheler's value hierarchy perspective, the implementation of the Tribuana Manggala Bakti ceremony is more on spiritual values and holiness, the form of human activity as spiritual and religious creatures that can be seen from the Buddhist devotion and also a real form of concern for nature conservation by planting trees, releasing birds and fish.","PeriodicalId":344212,"journal":{"name":"Jurnal Filsafat Indonesia","volume":"5 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114605565","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Muhammad Yusron Maulana El-Yunusi, Bryna Azarine Rozyan
Logika dan Ilmu adalah dua hal yang tidak bisa dilepaskan. Keduanya akan terus bekerja dan menghasilkan sebuah karya-karya yang bermanfaat. Aristoteles dan al-Kindi salah satunya. Dua orang yang berhasil memberikan pemahaman dari ilmu filsafat. Aristoteles berasal dari yunani dan al-kindi berasal dari islam. walaupun terdapat perbedaan zaman dan cara berpikir, namun al-kindi tetap menghormati filosof sebelumnya. Belajar akan sebuah karya adalah hal yang disukai dan diminati oleh keduanya. Inspirasi dalam mengambil sebuah pemikiran juga mengalami perbedaan yang sama. Aristoteles mengambil dari gurunya yakni plato, sedangkan al-kindi mempelajari karya Aristoteles untuk disambung dengan pemikirannya sekaligus diperbarui dengan bumbu keislaman tanpa mengubah artian aslinya. Adapun keahlian dari keduanya sangat baik dalam hal mengajar dan memberikan ilmunya kepada para pencari ilmu. Hubungan guru dan murid merupakan sebuah hubungan yang sulit diputus dan dipisahkan dikarenakan indahnya kenangan pembelajaran hidup. Kepercayaan dan penghianatan adalah dua hal yang memang ada sejak dahulu hingga sekarang. Kata Kunci: Tuhan, Perbedaan, Eksitensi, Emanasi
{"title":"PERBEDAAN POLA PIKIR AL-KINDI DAN ARISTOTELES DALAM MEMAHAMI HAKIKAT TUHAN","authors":"Muhammad Yusron Maulana El-Yunusi, Bryna Azarine Rozyan","doi":"10.23887/jfi.v6i1.48958","DOIUrl":"https://doi.org/10.23887/jfi.v6i1.48958","url":null,"abstract":"Logika dan Ilmu adalah dua hal yang tidak bisa dilepaskan. Keduanya akan terus bekerja dan menghasilkan sebuah karya-karya yang bermanfaat. Aristoteles dan al-Kindi salah satunya. Dua orang yang berhasil memberikan pemahaman dari ilmu filsafat. Aristoteles berasal dari yunani dan al-kindi berasal dari islam. walaupun terdapat perbedaan zaman dan cara berpikir, namun al-kindi tetap menghormati filosof sebelumnya. Belajar akan sebuah karya adalah hal yang disukai dan diminati oleh keduanya. Inspirasi dalam mengambil sebuah pemikiran juga mengalami perbedaan yang sama. Aristoteles mengambil dari gurunya yakni plato, sedangkan al-kindi mempelajari karya Aristoteles untuk disambung dengan pemikirannya sekaligus diperbarui dengan bumbu keislaman tanpa mengubah artian aslinya. Adapun keahlian dari keduanya sangat baik dalam hal mengajar dan memberikan ilmunya kepada para pencari ilmu. Hubungan guru dan murid merupakan sebuah hubungan yang sulit diputus dan dipisahkan dikarenakan indahnya kenangan pembelajaran hidup. Kepercayaan dan penghianatan adalah dua hal yang memang ada sejak dahulu hingga sekarang. \u0000Kata Kunci: Tuhan, Perbedaan, Eksitensi, Emanasi","PeriodicalId":344212,"journal":{"name":"Jurnal Filsafat Indonesia","volume":"9 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125773775","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Diskursus adalah topik utama dalam teori sosial, dengan pekerjaan yang mencakup bidang-bidang seperti sosiologi, antropologi, filsafat kontinental, dan analisis diskursus. ini menjadi sebuah konsep yang dibangun oleh Michel Foucault (1926–1984). diskursus dalam berbagai karyanya Foucault adalah kumpulan ide, pemikiran, dan gambar yang berkontribusi pada pembentukan gagasan suatu budaya. Sebagai seorang filsuf, foucault menawarkan teori diskursus untuk mendukung argumennya. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara eksplisit dan komprehensif konsep pemikiran Michel foucault dari perspektif filsafat. Tujuan ini dicapai dengan memaparkan latar belakang dan beberapa pokok-pokok karya Michel foucault tentang diskursus, terutama dalam karyanya masuk gagasan pokok, pandangan, dan nalar empirismenya melalui gagasan diskursus yang ada. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dalam bidang filsafat. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan, kemudian dianalisis secara hermeneutika dengan dua unsur metode yaitu verstehen dan interpret. Pertama, penelitian ini menunjukkan Diskursus dibentuk oleh hubungan antara keinginan dan dan institusi. Analisis memisahkan keduanya, kritis dan genealogis. Kedua, Prosedur penguasaan dan pengendalian dibagi oleh Foucault menjadi tiga kategori: pengecualian, penghalusan, dan penerapan (analisis bentuk tidak menunjukkan kelimpahan, tetapi kelangkaan). Kemudian dia memeriksa bagaimana ini bersinggungan dengan filsafat. Ketiga, tugas-tugas ini membutuhkan prinsip-prinsip metodologis: pertama, prinsip pembalikan; kedua, prinsip diskontinuitas; ketiga, prinsip kekhususan; keempat, prinsip eksterioritas. Konsep filosofis yang mendasar adalah peristiwa dan rangkaian. diskursus menurut foucault harus dipahami sebagai instrumen dan efek kekuasaan, dan juga sebagai penghalang, titik perlawanan dan titik awal untuk strategi lawan.
{"title":"Konsep Diskursus Dalam Karya Michel Foucault","authors":"R. Kurniawan, Zubaidah","doi":"10.23887/jfi.v6i1.42940","DOIUrl":"https://doi.org/10.23887/jfi.v6i1.42940","url":null,"abstract":"Diskursus adalah topik utama dalam teori sosial, dengan pekerjaan yang mencakup bidang-bidang seperti sosiologi, antropologi, filsafat kontinental, dan analisis diskursus. ini menjadi sebuah konsep yang dibangun oleh Michel Foucault (1926–1984). diskursus dalam berbagai karyanya Foucault adalah kumpulan ide, pemikiran, dan gambar yang berkontribusi pada pembentukan gagasan suatu budaya. Sebagai seorang filsuf, foucault menawarkan teori diskursus untuk mendukung argumennya. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara eksplisit dan komprehensif konsep pemikiran Michel foucault dari perspektif filsafat. Tujuan ini dicapai dengan memaparkan latar belakang dan beberapa pokok-pokok karya Michel foucault tentang diskursus, terutama dalam karyanya masuk gagasan pokok, pandangan, dan nalar empirismenya melalui gagasan diskursus yang ada. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dalam bidang filsafat. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan, kemudian dianalisis secara hermeneutika dengan dua unsur metode yaitu verstehen dan interpret. Pertama, penelitian ini menunjukkan Diskursus dibentuk oleh hubungan antara keinginan dan dan institusi. Analisis memisahkan keduanya, kritis dan genealogis. Kedua, Prosedur penguasaan dan pengendalian dibagi oleh Foucault menjadi tiga kategori: pengecualian, penghalusan, dan penerapan (analisis bentuk tidak menunjukkan kelimpahan, tetapi kelangkaan). Kemudian dia memeriksa bagaimana ini bersinggungan dengan filsafat. Ketiga, tugas-tugas ini membutuhkan prinsip-prinsip metodologis: pertama, prinsip pembalikan; kedua, prinsip diskontinuitas; ketiga, prinsip kekhususan; keempat, prinsip eksterioritas. Konsep filosofis yang mendasar adalah peristiwa dan rangkaian. diskursus menurut foucault harus dipahami sebagai instrumen dan efek kekuasaan, dan juga sebagai penghalang, titik perlawanan dan titik awal untuk strategi lawan.","PeriodicalId":344212,"journal":{"name":"Jurnal Filsafat Indonesia","volume":"44 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"122419724","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Panah waktu merupakan pandangan asimetris terhadap waktu atau waktu hanya punya satu arah saja. Segala sesuatu yang telah dijalani menjadi masa lalu yang bersifat tetap dan tidak dapat kita ubah serta hanya dapat diakses melalui memori atau dokumentasi yang tertulis. Penjelasan panah waktu dapat dijelaskan melalui pendekatan kimia yaitu dengan hukum kedua termodinamika. Pada artikel ini penulis mengkaji kaitan antara panah waktu dan entropi dalam tataran epistemologi melalui pendekatan termodinamika, kosmologis, dan psikologis. Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah kajian pustaka, dengan menggunakan dokumen serta artikel jurnal yang relevan. Hasil kajian menunjukkan bahwa berdasarkan hukum kedua termodinamika, waktu menuju kondisi tertentu yang bersifat tidak dapat balik dan hanya menuju masa depan. Berdasarkan pendekatan kosmologis, panah waktu dikaitkan dengan alam semesta yang mengembang seiring waktu. Pada pendekatan psikologis, panah waktu berkaitan dengan penjelasan bahwa manusia mampu mengingat masa lalu dengan baik namun tidak mampu memprediksi masa depan dengan tepat. Ketiga pandangan panah waktu tersebut dijelaskan melalui konsep entropi bahwa dalam ruang tertutup entropi akan selalu meningkat sehingga sangat sulit untuk kembali ke kondisi awal yang derajat entropinya lebih kecil.
{"title":"Panah Waktu: Sebuah Tinjauan Epistemologi Pada Entropi","authors":"Marfuatun","doi":"10.23887/jfi.v6i1.42593","DOIUrl":"https://doi.org/10.23887/jfi.v6i1.42593","url":null,"abstract":"Panah waktu merupakan pandangan asimetris terhadap waktu atau waktu hanya punya satu arah saja. Segala sesuatu yang telah dijalani menjadi masa lalu yang bersifat tetap dan tidak dapat kita ubah serta hanya dapat diakses melalui memori atau dokumentasi yang tertulis. Penjelasan panah waktu dapat dijelaskan melalui pendekatan kimia yaitu dengan hukum kedua termodinamika. Pada artikel ini penulis mengkaji kaitan antara panah waktu dan entropi dalam tataran epistemologi melalui pendekatan termodinamika, kosmologis, dan psikologis. Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah kajian pustaka, dengan menggunakan dokumen serta artikel jurnal yang relevan. Hasil kajian menunjukkan bahwa berdasarkan hukum kedua termodinamika, waktu menuju kondisi tertentu yang bersifat tidak dapat balik dan hanya menuju masa depan. Berdasarkan pendekatan kosmologis, panah waktu dikaitkan dengan alam semesta yang mengembang seiring waktu. Pada pendekatan psikologis, panah waktu berkaitan dengan penjelasan bahwa manusia mampu mengingat masa lalu dengan baik namun tidak mampu memprediksi masa depan dengan tepat. Ketiga pandangan panah waktu tersebut dijelaskan melalui konsep entropi bahwa dalam ruang tertutup entropi akan selalu meningkat sehingga sangat sulit untuk kembali ke kondisi awal yang derajat entropinya lebih kecil.","PeriodicalId":344212,"journal":{"name":"Jurnal Filsafat Indonesia","volume":"30 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127185089","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Ethnomathematics is considered as a program that aims to learn how students can understand, process, and then use mathematical ideas that can solve problems related to their daily activities. The role of the existence of ethnomathematics is to recognize that there are different ways of doing mathematics taking into account the knowledge of academic mathematics developed by society taking into account different cultures. Essentialism is one of the schools that can contribute and requires a culture in learning mathematics. According to this understanding, education must be based on cultural values that have existed since the beginning of human civilization. The philosophy of essentialism education emphasizes that there is no rigid learning interaction, but rather the meaning of scientific and cultural progress and values that are firmly held in life. The purpose of this paper is to determine the relationship and implementation of the philosophy of essentialism education with ethnomathematics. This article uses the literature study method. The data is obtained from some of the research results contained in books, journals, and proceedings that have a relationship with the title of the article. The results show that the view of essentialism is related to ethnomathematics. Essentialism can make a great contribution to the development and progress in the application of ethnomathematics in schools
{"title":"Etnomatematika Dalam Pandangan Aliran Filsafat Esensialisme","authors":"Astuti, Jimmi Copriady, L. Firdaus","doi":"10.23887/jfi.v6i1.50865","DOIUrl":"https://doi.org/10.23887/jfi.v6i1.50865","url":null,"abstract":"Ethnomathematics is considered as a program that aims to learn how students can understand, process, and then use mathematical ideas that can solve problems related to their daily activities. The role of the existence of ethnomathematics is to recognize that there are different ways of doing mathematics taking into account the knowledge of academic mathematics developed by society taking into account different cultures. Essentialism is one of the schools that can contribute and requires a culture in learning mathematics. According to this understanding, education must be based on cultural values that have existed since the beginning of human civilization. The philosophy of essentialism education emphasizes that there is no rigid learning interaction, but rather the meaning of scientific and cultural progress and values that are firmly held in life. The purpose of this paper is to determine the relationship and implementation of the philosophy of essentialism education with ethnomathematics. This article uses the literature study method. The data is obtained from some of the research results contained in books, journals, and proceedings that have a relationship with the title of the article. The results show that the view of essentialism is related to ethnomathematics. Essentialism can make a great contribution to the development and progress in the application of ethnomathematics in schools","PeriodicalId":344212,"journal":{"name":"Jurnal Filsafat Indonesia","volume":"53 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127233294","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Epistemologi sebagai cabang filsafat menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan kebenaran yang dianggap layak untuk diterima, dan mana yang patut ditolak. Oleh karena itu,ada sejumlah pertanyaan yang biasanya diajukan untuk mengkaji isu-isu yang ada dalam epistemologi, yakni apa itu pengetahuan, apa sumber dan dasar pengetahuan? Apakahpengetahuan ini merupakan kebenaran yang pasti atau hanya dugaan? Untuk menjawab semua pertanyaan mengenai epistemologi pengetahuan tersebut maka artikel ini akan mengkaji lebih dalam mengenai teori teori pengetahuan dan kebenaran dalam epistemologi. Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah studi pustaka. Setelah memaparkan beberapa penjelasan dari berbagai sumber literatur sehingga dapat disimpulkan bahwa hampir tidak mungkin berbicara tentang "pengetahuan" tanpa mempertimbangkan hal hal tentang "kebenaran". Untuk menghasilkan pengetahuan dari proses berpikir yang benar, dalam arti sesuai dengan tujuan pencarian pengetahuan, seseorang harus menggunakan pemikiran yang benar dalam berpikir. Kebenaran yang tidak benar atau salah, atau kebenaran berdasarkan dugaan tidak dapat dianggap sebagai pengetahuan meskipun tampaknya benar. Syarat lain untuk pengetahuan adalah kebenaran, sehingga kita tidak dapat mengklaim memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang tidak benar.
{"title":"Teori Pengetahuan dan Kebenaran dalam Epistemologi","authors":"Sherly Aulia","doi":"10.23887/jfi.v5i3.40710","DOIUrl":"https://doi.org/10.23887/jfi.v5i3.40710","url":null,"abstract":"Epistemologi sebagai cabang filsafat menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan kebenaran yang dianggap layak untuk diterima, dan mana yang patut ditolak. Oleh karena itu,ada sejumlah pertanyaan yang biasanya diajukan untuk mengkaji isu-isu yang ada dalam epistemologi, yakni apa itu pengetahuan, apa sumber dan dasar pengetahuan? Apakahpengetahuan ini merupakan kebenaran yang pasti atau hanya dugaan? Untuk menjawab semua pertanyaan mengenai epistemologi pengetahuan tersebut maka artikel ini akan mengkaji lebih dalam mengenai teori teori pengetahuan dan kebenaran dalam epistemologi. Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah studi pustaka. Setelah memaparkan beberapa penjelasan dari berbagai sumber literatur sehingga dapat disimpulkan bahwa hampir tidak mungkin berbicara tentang \"pengetahuan\" tanpa mempertimbangkan hal hal tentang \"kebenaran\". Untuk menghasilkan pengetahuan dari proses berpikir yang benar, dalam arti sesuai dengan tujuan pencarian pengetahuan, seseorang harus menggunakan pemikiran yang benar dalam berpikir. Kebenaran yang tidak benar atau salah, atau kebenaran berdasarkan dugaan tidak dapat dianggap sebagai pengetahuan meskipun tampaknya benar. Syarat lain untuk pengetahuan adalah kebenaran, sehingga kita tidak dapat mengklaim memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang tidak benar.","PeriodicalId":344212,"journal":{"name":"Jurnal Filsafat Indonesia","volume":"29 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-10-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114803021","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Artikel ini bertujuan untuk mendiskusikan kesendirian (solitude) di masa pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19. Berbagai studi menunjukkan bahwa pandemi telah memengaruhi dimensi kehidupan manusia seperti kesehatan, ekonomi, sosial, dan pendidikan. Tidak hanya berbagai dimensi tersebut, salah satu perubahan kehidupan yang dialami oleh banyak orang adalah pembatasan sosial (social distancing) atau membangun jarak dengan yang lain (physical distancing). Dalam konteks demikian, banyak orang yang harus menjalani hidup dalam kesendirian (solitude). Secara umum, kesendirian (solitude) bukanlah tema yang menarik untuk diulas. Situasi tersebut bahkan lebih dilihat sebagai sesuatu yang negatif dan lekat dengan kesepian, kesedihan, bahkan ketidakberdayaan. Berbeda dengan makna negatif tersebut, artikel ini bertujuan untuk mengurai makna kesendirian (solitude) dari perspektif yang lebih positif. Studi ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi literatur. Sumber data berasal dari berbagai literatur yang beririsan dengan ilmu sosial, filsafat dan spiritualitas khususnya yangmembahas tema kesendirian (solitude). Ada tiga temuan yang berhasil diidentifikasi dandianalisis dari berbagai literatur tersebut. Pertama, kesendirian (solitude) mendorong individu manusia untuk semakin mengenali dirinya sendiri. Kedua, kesendirian (solitude) menciptakan ruang kebebasan bagi manusia khususnya di konteks relasi di dalam masyarakat. Ketiga, kesendirian (solitude) membantu manusia lebih dekat dengan alam (nature). Artikel ini ditutup dengan simpulan mengenai pentingnya mempraktikkan kesendirian (solitude) pada situasi tertentu, bahkan di luar konteks pandemi.
{"title":"Kesendirian (Solitude) sebagai Pengalaman Positif di Masa Pembatasan Sosial","authors":"Milda Longgeita Pinem","doi":"10.23887/jfi.v5i3.45666","DOIUrl":"https://doi.org/10.23887/jfi.v5i3.45666","url":null,"abstract":"Artikel ini bertujuan untuk mendiskusikan kesendirian (solitude) di masa pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19. Berbagai studi menunjukkan bahwa pandemi telah memengaruhi dimensi kehidupan manusia seperti kesehatan, ekonomi, sosial, dan pendidikan. Tidak hanya berbagai dimensi tersebut, salah satu perubahan kehidupan yang dialami oleh banyak orang adalah pembatasan sosial (social distancing) atau membangun jarak dengan yang lain (physical distancing). Dalam konteks demikian, banyak orang yang harus menjalani hidup dalam kesendirian (solitude). Secara umum, kesendirian (solitude) bukanlah tema yang menarik untuk diulas. Situasi tersebut bahkan lebih dilihat sebagai sesuatu yang negatif dan lekat dengan kesepian, kesedihan, bahkan ketidakberdayaan. Berbeda dengan makna negatif tersebut, artikel ini bertujuan untuk mengurai makna kesendirian (solitude) dari perspektif yang lebih positif. Studi ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi literatur. Sumber data berasal dari berbagai literatur yang beririsan dengan ilmu sosial, filsafat dan spiritualitas khususnya yangmembahas tema kesendirian (solitude). Ada tiga temuan yang berhasil diidentifikasi dandianalisis dari berbagai literatur tersebut. Pertama, kesendirian (solitude) mendorong individu manusia untuk semakin mengenali dirinya sendiri. Kedua, kesendirian (solitude) menciptakan ruang kebebasan bagi manusia khususnya di konteks relasi di dalam masyarakat. Ketiga, kesendirian (solitude) membantu manusia lebih dekat dengan alam (nature). Artikel ini ditutup dengan simpulan mengenai pentingnya mempraktikkan kesendirian (solitude) pada situasi tertentu, bahkan di luar konteks pandemi.","PeriodicalId":344212,"journal":{"name":"Jurnal Filsafat Indonesia","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-10-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131098438","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Jurgen Habermas is second generation German scientist from the Frankfurt school as well as aperson who wants to revise the thoughts of the first generations Frankfurt school figures. Histhoughts on liberation from colonialism (theoretical and social praxis), the natural sciences, social and critical sciences, the neo-Marxist spirit for change, the impasse of the first generations Frankfurt school (enlightenment dialectic) and communicative rationality in language (returning linguistics). The writing uses literature review method, primary data sources are: books and articles related to Jurgen Habermas. Then present in a descriptive narrative. There is a demand for libraries in technology development. Libraries experience a dilemma, the existence of technology will eliminate the dignity of the library as a public space, technology will have an impact on public space. The results of this study, namely: 1) the public space that was once full of liberation ideas was colonized by capitalism; 2) digital public space was born from technological developments; and 3) phenomenon in the 21st century since the birth of social media people no longer read books. In conclusion, that is the library is one of the affected public spaces. However, the challenges of the digital era, libraries must keep up with the era while still carrying out their function to provide information for users because of the function of practical scientific interests.
{"title":"Disruption of Libraries as Public Spaces: Dissecting Jurgen Habermas's Thoughts and Digital Public Spaces","authors":"Arienda Addis Prasetyo","doi":"10.23887/jfi.v5i3.46177","DOIUrl":"https://doi.org/10.23887/jfi.v5i3.46177","url":null,"abstract":"Jurgen Habermas is second generation German scientist from the Frankfurt school as well as aperson who wants to revise the thoughts of the first generations Frankfurt school figures. Histhoughts on liberation from colonialism (theoretical and social praxis), the natural sciences, social and critical sciences, the neo-Marxist spirit for change, the impasse of the first generations Frankfurt school (enlightenment dialectic) and communicative rationality in language (returning linguistics). The writing uses literature review method, primary data sources are: books and articles related to Jurgen Habermas. Then present in a descriptive narrative. There is a demand for libraries in technology development. Libraries experience a dilemma, the existence of technology will eliminate the dignity of the library as a public space, technology will have an impact on public space. The results of this study, namely: 1) the public space that was once full of liberation ideas was colonized by capitalism; 2) digital public space was born from technological developments; and 3) phenomenon in the 21st century since the birth of social media people no longer read books. In conclusion, that is the library is one of the affected public spaces. However, the challenges of the digital era, libraries must keep up with the era while still carrying out their function to provide information for users because of the function of practical scientific interests.","PeriodicalId":344212,"journal":{"name":"Jurnal Filsafat Indonesia","volume":"355 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-10-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115468210","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Artikel ini mengkaji fenomena panik di masyarakat pada masa pandemi covid-19 menggunakan konsep Hans-Georg Gadamer tentang proses memahami dalam pembentukan horizon baru. Tulisan ini bermuatan analitis-kritis menggunakan metode hermeneutica untuk meninjau fenomena panik dalam situasi pandemi Covid-19 di Indonesia. Data-data yang dianalisis adalah berita-berita dan penelitian-penelitian tentang kepanikan di dalam masyarakat. Kepanikan yang terjadi dalam masyarakat diakibatkan karena di era pandemi Covid-19 berkembang fenomena post-truth di masyarakat tidak lagi mementing kebenaran objektif, namun kebenaran didasarkan atas emosi dan keyakinan. Penulis melihat bahwa kepanikan menjadi prasangka masyarakat dalam memahami informasi terkait Covid-19 bahkan prasangka tersebut dipahami sebagai paham. Oleh Sebab itu, dogmatisasi prasangka tersebut mengakibatkan kepanikan semakin dramatis terjadi di masyarakat.
{"title":"Pandangan Hans-Georg Gadamer Terhadap Fenomena Panik di Tengah Pandemi Covid-19: Sebuah Interpretasi","authors":"Dina Datu Paonganan, Admadi Balloara Dase","doi":"10.23887/jfi.v5i3.42747","DOIUrl":"https://doi.org/10.23887/jfi.v5i3.42747","url":null,"abstract":"Artikel ini mengkaji fenomena panik di masyarakat pada masa pandemi covid-19 menggunakan konsep Hans-Georg Gadamer tentang proses memahami dalam pembentukan horizon baru. Tulisan ini bermuatan analitis-kritis menggunakan metode hermeneutica untuk meninjau fenomena panik dalam situasi pandemi Covid-19 di Indonesia. Data-data yang dianalisis adalah berita-berita dan penelitian-penelitian tentang kepanikan di dalam masyarakat. Kepanikan yang terjadi dalam masyarakat diakibatkan karena di era pandemi Covid-19 berkembang fenomena post-truth di masyarakat tidak lagi mementing kebenaran objektif, namun kebenaran didasarkan atas emosi dan keyakinan. Penulis melihat bahwa kepanikan menjadi prasangka masyarakat dalam memahami informasi terkait Covid-19 bahkan prasangka tersebut dipahami sebagai paham. Oleh Sebab itu, dogmatisasi prasangka tersebut mengakibatkan kepanikan semakin dramatis terjadi di masyarakat.","PeriodicalId":344212,"journal":{"name":"Jurnal Filsafat Indonesia","volume":"146 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-10-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124692977","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Rasionalisme, merupakan sebuah dasar kebenaran yang menfokuskan pada akal budi atau rasio. Manusia memanfaatkan akalnya dalam menangkap dan menemukan sebuah pengetahuan. Aliran rasionalisme percaya bahwa kebenaran ada pada akal manusia dan tidak bisa suatu kebenaran didasarkan pada sebuah kebohongan, karena akal merupakan suatu ciptaan Allah yang diberikan kepada manusia dan tak mungkin adanya suatu kebohongan. Rasionalisme adalah sebuah yang menjadikan rasio atau akal menjadi sumber dari segala pengetahuan, yang diperoleh dengan cara kita berfikir. Hal inilah yang menjadi dasar atau awalnya muncul ilmu pengetahuan dan pada akhirnya ada ilmu pengetahuan yang muncul dari hasil filsafat rasionalisme yang bisa kita rasakan sampai saat ini seperti ilmu matematika yang semuanya di terima sebagai kebenaran yang absolut.
{"title":"Filsafat Rasionalisme Sebagai Dasar Ilmu Pengetahuan","authors":"M. Anugrah, Usman Radiana","doi":"10.23887/jfi.v5i3.41741","DOIUrl":"https://doi.org/10.23887/jfi.v5i3.41741","url":null,"abstract":"Rasionalisme, merupakan sebuah dasar kebenaran yang menfokuskan pada akal budi atau rasio. Manusia memanfaatkan akalnya dalam menangkap dan menemukan sebuah pengetahuan. Aliran rasionalisme percaya bahwa kebenaran ada pada akal manusia dan tidak bisa suatu kebenaran didasarkan pada sebuah kebohongan, karena akal merupakan suatu ciptaan Allah yang diberikan kepada manusia dan tak mungkin adanya suatu kebohongan. Rasionalisme adalah sebuah yang menjadikan rasio atau akal menjadi sumber dari segala pengetahuan, yang diperoleh dengan cara kita berfikir. Hal inilah yang menjadi dasar atau awalnya muncul ilmu pengetahuan dan pada akhirnya ada ilmu pengetahuan yang muncul dari hasil filsafat rasionalisme yang bisa kita rasakan sampai saat ini seperti ilmu matematika yang semuanya di terima sebagai kebenaran yang absolut.","PeriodicalId":344212,"journal":{"name":"Jurnal Filsafat Indonesia","volume":"26 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-10-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129099983","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}