Latar Belakang: Protokol enhanced recovery after surgery (ERAS) merupakan kondisi pemulihan yang lebih cepat setelah operasi dan anestesi. Semua elemen ERAS secara terpisah telah terbukti meningkatkan luaran pasien. Di Indonesia, beberapa pusat pendidikan telah menggunakan ERAS sebagai protokol dalam penatalaksanaan perioperatif.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai perbandingan luaran antara penerapan protokol ERAS dengan perawatan perioperatif konvensional pada pembedahan umum.Metode: Penelitian prospektif analitik dengan metode case control ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik Medan pada bulan Agustus sampai November 2022. Sampel adalah pasien berusia antara 18 sampai 65 tahun yang menjalani operasi elektif digestif dan ginekologi dengan anestesi umum. Pasien yang dirawat di intensive care unit (ICU) dan pasien relaparotomi dieksklusi dari penelitian. Subjek secara acak dibagi menjadi 2 kelompok: subjek pada kelompok ERAS akan menerima perlakuan protokol ERAS pada periode perioperatif, sedangkan kelompok konvensional menjalani persiapan perioperatif seperti biasa. Luaran yang dinilai dalam penelitian ini adalah skala nyeri pascaoperasi, kejadian post operative nausea and vomiting (PONV), waktu mobilisasi, waktu flatus, dan lama rawat.Hasil: Penelitian ini terdiri dari 2 kelompok dengan jumlah sampel sebanyak 23 pasien pada masing-masing kelompok. Berdasarkan jenis operasi, 29 (63%) sampel menjalani operasi pencernaan, dan 17 (37%) sampel menjalani operasi ginekologi. Terdapat perbedaan yang signifikan pada skala nyeri pascaoperasi, dengan rata-rata skor VAS 1,9 ± 0,7 (kelompok ERAS) dibandingkan dengan 2,5 ± 0,8 (kelompok konvensional), p = 0,034. Luaran waktu mobilisasi yang dibutuhkan pasien untuk dapat duduk di tempat tidur adalah 26,17 ± 4,05 jam pada kelompok ERAS dan 38,91 ± 16,53 jam pada kelompok konvensional (p = 0,01). Selanjutnya, lama rawat lebih pendek pada kelompok protokol ERAS, 7,25 ± 2,2 hari dibandingkan 10,5 ± 3,6 hari pada kelompok konvensional (p = 0,0001).Kesimpulan: Implementasi protokol ERAS memberikan hasil pascaoperasi yang lebih baik daripada perawatan konvensional pada pasien yang menjalani operasi pencernaan dan ginekologi.
背景:术后恢复强化方案(ERAS)是手术和麻醉后更快恢复的一个条件。事实证明,ERAS 的所有要素都能改善患者的预后。在印度尼西亚,一些教育中心已将ERAS作为围手术期管理方案:本研究旨在评估ERAS方案与普通外科传统围手术期护理的效果比较:这项采用病例对照方法的前瞻性分析研究于 2022 年 8 月至 11 月在棉兰 H. Adam Malik 中央综合医院(RSUP)进行。样本为年龄在18至65岁之间、在全身麻醉下接受择期消化道和妇科手术的患者。入住重症监护室(ICU)的患者和再次剖腹产患者不在研究范围内。受试者被随机分为两组:ERAS组受试者将在围手术期接受ERAS方案治疗,而常规组则照常进行围手术期准备。本研究评估的结果包括术后疼痛量表、术后恶心呕吐(PONV)发生率、活动时间、排便时间和住院时间:本研究分为两组,每组 23 名患者。根据手术类型,29 个样本(63%)接受了消化系统手术,17 个样本(37%)接受了妇科手术。术后疼痛量表的平均 VAS 评分为 1.9 ± 0.7(ERAS 组),而传统组为 2.5 ± 0.8(P = 0.034),两者之间存在明显差异。ERAS组患者从床上坐起所需的康复时间为(26.17 ± 4.05)小时,而传统组为(38.91 ± 16.53)小时(p = 0.01)。此外,ERAS方案组的住院时间更短,为7.25±2.2天,而常规组为10.5±3.6天(p = 0.0001):结论:对于接受胃肠道和妇科手术的患者来说,实施ERAS方案比常规护理能提供更好的术后效果。
{"title":"Perbandingan Luaran Penggunaan Protokol Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) dengan Perawatan Perioperatif Konvensional pada Pembedahan Umum di RSUP H. Adam Malik Medan","authors":"M. I. Saputra, Qadri Fauzi Tanjung, Tasrif Hamdi","doi":"10.14710/jai.v0i0.56286","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.56286","url":null,"abstract":"Latar Belakang: Protokol enhanced recovery after surgery (ERAS) merupakan kondisi pemulihan yang lebih cepat setelah operasi dan anestesi. Semua elemen ERAS secara terpisah telah terbukti meningkatkan luaran pasien. Di Indonesia, beberapa pusat pendidikan telah menggunakan ERAS sebagai protokol dalam penatalaksanaan perioperatif.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai perbandingan luaran antara penerapan protokol ERAS dengan perawatan perioperatif konvensional pada pembedahan umum.Metode: Penelitian prospektif analitik dengan metode case control ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik Medan pada bulan Agustus sampai November 2022. Sampel adalah pasien berusia antara 18 sampai 65 tahun yang menjalani operasi elektif digestif dan ginekologi dengan anestesi umum. Pasien yang dirawat di intensive care unit (ICU) dan pasien relaparotomi dieksklusi dari penelitian. Subjek secara acak dibagi menjadi 2 kelompok: subjek pada kelompok ERAS akan menerima perlakuan protokol ERAS pada periode perioperatif, sedangkan kelompok konvensional menjalani persiapan perioperatif seperti biasa. Luaran yang dinilai dalam penelitian ini adalah skala nyeri pascaoperasi, kejadian post operative nausea and vomiting (PONV), waktu mobilisasi, waktu flatus, dan lama rawat.Hasil: Penelitian ini terdiri dari 2 kelompok dengan jumlah sampel sebanyak 23 pasien pada masing-masing kelompok. Berdasarkan jenis operasi, 29 (63%) sampel menjalani operasi pencernaan, dan 17 (37%) sampel menjalani operasi ginekologi. Terdapat perbedaan yang signifikan pada skala nyeri pascaoperasi, dengan rata-rata skor VAS 1,9 ± 0,7 (kelompok ERAS) dibandingkan dengan 2,5 ± 0,8 (kelompok konvensional), p = 0,034. Luaran waktu mobilisasi yang dibutuhkan pasien untuk dapat duduk di tempat tidur adalah 26,17 ± 4,05 jam pada kelompok ERAS dan 38,91 ± 16,53 jam pada kelompok konvensional (p = 0,01). Selanjutnya, lama rawat lebih pendek pada kelompok protokol ERAS, 7,25 ± 2,2 hari dibandingkan 10,5 ± 3,6 hari pada kelompok konvensional (p = 0,0001).Kesimpulan: Implementasi protokol ERAS memberikan hasil pascaoperasi yang lebih baik daripada perawatan konvensional pada pasien yang menjalani operasi pencernaan dan ginekologi.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"118 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-11-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139201421","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-11-30DOI: 10.14710/jai.v15i3.57727
Lourensia Brigita Astern Praha, Rizqon Rohmatussadeli, M. F. Ahnaf, B. Pramono, Rahmad Rizal Wicaksono, R. S. Hadijono
Background: Valvular heart disease in pregnancy is still not widely studied. The combination of mitral stenosis and the physiology of pregnancy for both mother and fetus often result in poor hemodynamics, and management during labor and peripartum period greatly determines the prognosis of both lives.Case: A 42 years old G3P2A0 (Case A) and A 33 years old G3P1A1 (Case B) both had a history of previous SC labor, presented worsening shortness of breath since 2nd trimester, coughing and swelling in both legs, also unable to rest in a flat position. especially, case B was frequent re-hospitalized with prolonged LOS during 2nd – the 3rd trimester due to acute lung edema. We found a mid-diastolic murmur grade II/IV at the apex. Electrocardiography (ECG) of case A: sinus rhythm, left atrial enlargement (LAE), while case B: AF rapid response. The echocardiography of case A revealed severe MS, while case B revealed severe MS, moderate tricuspid regurgitation and, a high probability for PH. Those findings support the diagnosis of severe mitral stenosis and rheumatic heart disease in pregnancy, then they were programmed to do balloon mitral valvuloplasty (BMV) in 3rd trimester.Discussion: The BMV was performed, and succeeded in case A reducing the mitral valve pressure gradient (MV PG) from 24.7mmHg to 12.1mmHg by using local anesthesia along the procedure, while in case B specifically done BMV with general anesthesia due to supraventricular tachycardia (SVT) and pulmonal congestive during procedure, reducing the MV PG from 17.7mmHg to 8.6mmHg, as well as improvement in symptoms, up to pregnancy was terminated as obstetric indication by SC on 36-37 weeks' gestation in both cases. The baby born was healthy with weights of each case 2340gr and 2630gr. Conclusion: Mitral stenosis in the peripartum needs to be managed by interprofessional collaboration properly, to decrease the risk of morbidity and mortality for the mother and fetus.
背景:对妊娠期瓣膜性心脏病的研究仍不广泛。二尖瓣狭窄加上母亲和胎儿的妊娠生理特点,往往会导致血液动力学不良,而分娩和围产期的处理在很大程度上决定了两个生命的预后:42岁的G3P2A0(病例A)和33岁的G3P1A1(病例B)都曾有过顺产史,从怀孕第2个月开始出现呼吸急促加重、咳嗽、双腿浮肿等症状,也无法平卧休息。我们发现其心尖处有舒张中期杂音 II/IV 级。病例 A 的心电图(ECG):窦性心律,左心房扩大(LAE),而病例 B:房颤快速反应。病例 A 的超声心动图显示重度 MS,而病例 B 则显示重度 MS、中度三尖瓣反流和高 PH 可能性。这些结果支持重度二尖瓣狭窄和妊娠风湿性心脏病的诊断,因此他们计划在妊娠三个月时进行球囊二尖瓣成形术(BMV):A病例在手术过程中采用局部麻醉,成功地将二尖瓣压力梯度(MV PG)从24.7mmHg降至12.1mmHg,而B病例在手术过程中由于室上性心动过速(SVT)和肺充血,特别采用全身麻醉进行了BMV手术,将二尖瓣压力梯度(MV PG)从17.7mmHg降至8.6mmHg。这两个病例都在妊娠 36-37 周时根据产科指征通过 SC 终止妊娠。出生婴儿健康,体重分别为 2340 毫克和 2630 毫克:围产期二尖瓣狭窄需要通过跨专业合作进行妥善管理,以降低母亲和胎儿的发病率和死亡率。
{"title":"Double Whammy Cases of Severe Mitral Stenosis in Peripartum: A Survival Case Series","authors":"Lourensia Brigita Astern Praha, Rizqon Rohmatussadeli, M. F. Ahnaf, B. Pramono, Rahmad Rizal Wicaksono, R. S. Hadijono","doi":"10.14710/jai.v15i3.57727","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v15i3.57727","url":null,"abstract":"Background: Valvular heart disease in pregnancy is still not widely studied. The combination of mitral stenosis and the physiology of pregnancy for both mother and fetus often result in poor hemodynamics, and management during labor and peripartum period greatly determines the prognosis of both lives.Case: A 42 years old G3P2A0 (Case A) and A 33 years old G3P1A1 (Case B) both had a history of previous SC labor, presented worsening shortness of breath since 2nd trimester, coughing and swelling in both legs, also unable to rest in a flat position. especially, case B was frequent re-hospitalized with prolonged LOS during 2nd – the 3rd trimester due to acute lung edema. We found a mid-diastolic murmur grade II/IV at the apex. Electrocardiography (ECG) of case A: sinus rhythm, left atrial enlargement (LAE), while case B: AF rapid response. The echocardiography of case A revealed severe MS, while case B revealed severe MS, moderate tricuspid regurgitation and, a high probability for PH. Those findings support the diagnosis of severe mitral stenosis and rheumatic heart disease in pregnancy, then they were programmed to do balloon mitral valvuloplasty (BMV) in 3rd trimester.Discussion: The BMV was performed, and succeeded in case A reducing the mitral valve pressure gradient (MV PG) from 24.7mmHg to 12.1mmHg by using local anesthesia along the procedure, while in case B specifically done BMV with general anesthesia due to supraventricular tachycardia (SVT) and pulmonal congestive during procedure, reducing the MV PG from 17.7mmHg to 8.6mmHg, as well as improvement in symptoms, up to pregnancy was terminated as obstetric indication by SC on 36-37 weeks' gestation in both cases. The baby born was healthy with weights of each case 2340gr and 2630gr. Conclusion: Mitral stenosis in the peripartum needs to be managed by interprofessional collaboration properly, to decrease the risk of morbidity and mortality for the mother and fetus.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":" 23","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-11-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139197117","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Bahtiar Ahmad, Ardana Tri Arianto, Nancy Margarita Rehatta
Latar Belakang: Anestesi epidural adalah teknik blok neuraksial. Nyeri selama penyuntikan merupakan komplikasi anestesi epidural yang memerlukan pengelolaan efektif. Krim estesia (campuran eutektik lignokain/prilokain 5%) merupakan alternatif noninvasif yang potensial untuk menginduksi analgesia. Namun, belum ada studi khusus yang membandingkan efektivitas krim estesia dengan infiltrasi lidokain dalam konteks anestesi epidural.Tujuan: Membandingkan efektivitas krim estesia dan infiltrasi lidokain 2% dengan krim placebo dan infiltrasi lidokain 2% dalam mengurangi nyeri selama penyuntikan epidural.Metode: Penelitian ini adalah uji acak terkontrol (RCT) ganda buta dengan desain paralel. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta (RSUD Dr. Moewardi Surakarta) dari Juli hingga Desember 2020. Total sampel 50 subjek, dibagi menjadi dua kelompok sama besar: kelompok lidokain 2% dan krim estesia (EMLA), serta kelompok lidokain 2% dan krim placebo. Efektivitas anestesi dievaluasi berdasarkan absennya nyeri selama penyuntikan epidural dengan menggunakan skala rating numerik (NRS). Perbedaan nilai rata-rata NRS, yang merupakan variabel numerik, dievaluasi dengan menggunakan uji T tidak berpasangan atau uji Mann-Whitney.Hasil: Hasil didapatkan 26 (52,0%) adalah perempuan, dan 24 (48,0%) adalah laki-laki. Rata-rata usia adalah 42,36±13,03. Skor nyeri secara keseluruhan memiliki rata-rata 1,92±0,92 (skor terendah vs tertinggi; 1,00 vs 4,00). Subjek yang menerima krim estesia 60 menit sebelum insersi epidural dan infiltrasi lidokain 2% melaporkan skor nyeri yang lebih rendah dibandingkan dengan yang menerima krim placebo dan infiltrasi lidokain 2%. Penerapan plester estesia juga mengarah pada penurunan kecemasan pasien terkait nyeri selama prosedur anestesi spinal. Tidak ada efek samping yang diamati dari penggunaan anestesi topikal dengan krim estesia, krim placebo, atau infiltrasi lidokain 2%.Kesimpulan: Menggabungkan krim estesia dengan infiltrasi lidokain 2% dapat secara efektif mengurangi nyeri selama penyuntikan jarum anestesi epidural.
{"title":"Pemberian Kombinasi Krim Estetia dan Infiltrasi Lidokain 2% Untuk Mengurangi Nyeri Suntikan Jarum Anestesi Epidural","authors":"Bahtiar Ahmad, Ardana Tri Arianto, Nancy Margarita Rehatta","doi":"10.14710/jai.v0i0.56554","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.56554","url":null,"abstract":"Latar Belakang: Anestesi epidural adalah teknik blok neuraksial. Nyeri selama penyuntikan merupakan komplikasi anestesi epidural yang memerlukan pengelolaan efektif. Krim estesia (campuran eutektik lignokain/prilokain 5%) merupakan alternatif noninvasif yang potensial untuk menginduksi analgesia. Namun, belum ada studi khusus yang membandingkan efektivitas krim estesia dengan infiltrasi lidokain dalam konteks anestesi epidural.Tujuan: Membandingkan efektivitas krim estesia dan infiltrasi lidokain 2% dengan krim placebo dan infiltrasi lidokain 2% dalam mengurangi nyeri selama penyuntikan epidural.Metode: Penelitian ini adalah uji acak terkontrol (RCT) ganda buta dengan desain paralel. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta (RSUD Dr. Moewardi Surakarta) dari Juli hingga Desember 2020. Total sampel 50 subjek, dibagi menjadi dua kelompok sama besar: kelompok lidokain 2% dan krim estesia (EMLA), serta kelompok lidokain 2% dan krim placebo. Efektivitas anestesi dievaluasi berdasarkan absennya nyeri selama penyuntikan epidural dengan menggunakan skala rating numerik (NRS). Perbedaan nilai rata-rata NRS, yang merupakan variabel numerik, dievaluasi dengan menggunakan uji T tidak berpasangan atau uji Mann-Whitney.Hasil: Hasil didapatkan 26 (52,0%) adalah perempuan, dan 24 (48,0%) adalah laki-laki. Rata-rata usia adalah 42,36±13,03. Skor nyeri secara keseluruhan memiliki rata-rata 1,92±0,92 (skor terendah vs tertinggi; 1,00 vs 4,00). Subjek yang menerima krim estesia 60 menit sebelum insersi epidural dan infiltrasi lidokain 2% melaporkan skor nyeri yang lebih rendah dibandingkan dengan yang menerima krim placebo dan infiltrasi lidokain 2%. Penerapan plester estesia juga mengarah pada penurunan kecemasan pasien terkait nyeri selama prosedur anestesi spinal. Tidak ada efek samping yang diamati dari penggunaan anestesi topikal dengan krim estesia, krim placebo, atau infiltrasi lidokain 2%.Kesimpulan: Menggabungkan krim estesia dengan infiltrasi lidokain 2% dapat secara efektif mengurangi nyeri selama penyuntikan jarum anestesi epidural.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"12 4","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-11-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139268526","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Christine Christine, Adinda Putra Pradhana, Dewa Ayu Putu Satrya Dewi
Latar Belakang: Atrial septal defect (ASD) merupakan kelainan jantung asianotik yang paling sering terjadi, sekitar 10% dari pasien dewasa dengan kelainan jantung kongenital. Atrial septal defect (ASD) di klasifikasikan menjadi 4 tipe berdasarkan bagian atrium septum yang gagal terbentuk, yaitu ostium sekundum (85%), ostium primum (10%), sinus venosus (5%) dan defek koronari sinus (jarang).Kasus: Laki laki usia 55 tahun dengan kasus hernia inguinalis lateralis dekstra reponible dengan ASD dan hipertensi pulmonal derajat sedang. Pasien dilakukan insersi epidural kateter di L4-L5 setelah di konfirmasi dengan loss of resistance dengan saline dan test dose. Regimen epidural yang diberikan bupivacaine 0,25% + lidocaine 1% volume 10 mL. Intraoperatif diberikan titrasi norepinephrine dengan dosis titrasi 0,15-0,3 mcg/kgBB/menit dan tirasi dobutamine 2,5-5 mcg/kgBB/menit. Pengobatan postoperatif analgesia pengobatan epidural bupivacaine 0,0625% + morfin 0,5 mg volume 10 mL tiap 12 jam, dan parasetamol 500 mg tiap 6 jam tablet untuk obat analgesia.Pembahasan: Teknik anestesi epidural dipilih karena memiliki onset yang lebih lama dan hemodinamik variasi yang lebih kurang dibandingkan dengan teknik anestesi spinal atau kombinasi teknik spinal-epidural. Sedangkan teknik general anestesi tidak dipilih karena berisiko terhadap resistensi vaskular pulmonal dan dapat mengubah arah shunting. Prinsip dari penanganan ASD adalah untuk mempertahankan cardiac output dan menghindari adanya penurunan dari resistensi sistemik vaskular. Mempertahankan resistensi sistemik vaskular berdsarkan dengan mean arterial pressure sehingga menghindari adanya perubahan arah shunt.Kesimpulan: Pada laporan kasus ini dapat kami simpulkan bahwa teknik anestesi epidural dapat diterapkan secara aman pada kasus herniotomi dengan komorbid ASD dengan hiperetensi pulmonal.
{"title":"Teknik Anestesia Epidural Dalam Operasi Herniotomi pada Pasien Atrial Septal Defect dengan Hipertensi Pulmonal","authors":"Christine Christine, Adinda Putra Pradhana, Dewa Ayu Putu Satrya Dewi","doi":"10.14710/jai.v0i0.57760","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.57760","url":null,"abstract":"Latar Belakang: Atrial septal defect (ASD) merupakan kelainan jantung asianotik yang paling sering terjadi, sekitar 10% dari pasien dewasa dengan kelainan jantung kongenital. Atrial septal defect (ASD) di klasifikasikan menjadi 4 tipe berdasarkan bagian atrium septum yang gagal terbentuk, yaitu ostium sekundum (85%), ostium primum (10%), sinus venosus (5%) dan defek koronari sinus (jarang).Kasus: Laki laki usia 55 tahun dengan kasus hernia inguinalis lateralis dekstra reponible dengan ASD dan hipertensi pulmonal derajat sedang. Pasien dilakukan insersi epidural kateter di L4-L5 setelah di konfirmasi dengan loss of resistance dengan saline dan test dose. Regimen epidural yang diberikan bupivacaine 0,25% + lidocaine 1% volume 10 mL. Intraoperatif diberikan titrasi norepinephrine dengan dosis titrasi 0,15-0,3 mcg/kgBB/menit dan tirasi dobutamine 2,5-5 mcg/kgBB/menit. Pengobatan postoperatif analgesia pengobatan epidural bupivacaine 0,0625% + morfin 0,5 mg volume 10 mL tiap 12 jam, dan parasetamol 500 mg tiap 6 jam tablet untuk obat analgesia.Pembahasan: Teknik anestesi epidural dipilih karena memiliki onset yang lebih lama dan hemodinamik variasi yang lebih kurang dibandingkan dengan teknik anestesi spinal atau kombinasi teknik spinal-epidural. Sedangkan teknik general anestesi tidak dipilih karena berisiko terhadap resistensi vaskular pulmonal dan dapat mengubah arah shunting. Prinsip dari penanganan ASD adalah untuk mempertahankan cardiac output dan menghindari adanya penurunan dari resistensi sistemik vaskular. Mempertahankan resistensi sistemik vaskular berdsarkan dengan mean arterial pressure sehingga menghindari adanya perubahan arah shunt.Kesimpulan: Pada laporan kasus ini dapat kami simpulkan bahwa teknik anestesi epidural dapat diterapkan secara aman pada kasus herniotomi dengan komorbid ASD dengan hiperetensi pulmonal.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"6 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-11-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139282063","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Jonathan Vincent Lee, Erwin Vinsky, Riona Sutanto, Mohammad Zuhriansyah Sabran, Jonathan Bryan Lee, Monika Widiastuti
Latar Belakang: Persalinan seringkali berhubungan dengan nyeri yang dikatakan menjadi rasa nyeri paling hebat yang dialami oleh banyak perempuan semasa hidupnya. Obat yang umum digunakan bersama anestesi lokal untuk blok neuroaksial pada persalinan adalah opioid, namun diperlukan perhatian mengingat efek samping yang tidak diinginkan. Dexmedetomidine dapat menjadi salah satu alternatif dengan efek samping minimal.Tujuan: Untuk membandingkan profil analgesia, karakteristik persalinan, dan efek samping dari dexmedetomidine versus sufentanil sebagai kombinasi dengan ropivacaine pada persalinan normal.Metode: Berdasarkan protokol preferred reporting items for systematic review and meta-analysis (PRISMA) 2015, penelitian diambil dari PubMed, Science Direct, PubMed Central (2018-21 Juli 2023) menggunakan kata kunci medical subject headings (MeSH) “dexmedetomidine” dan “labor”. Kriteria inklusi yaitu penelitian yang membandingkan kombinasi ropivacaine-dexmedetomidine dan ropivacaine-sufentanil sebagai obat analgesik untuk persalinan normal. Kami mengeksklusi penelitian selain uji acak terkontrol. Kami mengukur risiko bias menggunakan RoB 2.0 dan Cochrane Review Manager 5.4 untuk menganalisis data. Mean differences (MD) digunakan untuk hasil numerik dan odds ratio (OR) untuk hasil kategorik.Hasil: Enam uji acak terkontrol (543 subjek) memenuhi kriteria inklusi. Tidak ada perbedaan signifikan pada profil analgesia, keluaran neonatus, dan durasi persalinan antara dua kelompok. Grup dexmedetomidine mempunyai peluang pruritus dan menggigil lebih rendah dibanding grup sufentanil (OR = 0,11, 95% IK = 0,02 - 0,60, p = 0,01), (OR = 0,23, 95% IK = 0,06 - 0,96, p = 0,04). Di sisi lain, kami menemukan tidak adanya perbedaan pada mual dan muntah antara keduanya. Semua studi memiliki risiko bias rendah dan funnel plot yang menunjukkan distribusi yang simetris.Kesimpulan: Ropivacaine-dexmedetomidine dan ropivacaine-sufentanil memiliki hasil yang serupa untuk profil analgesia dan karakteristik persalinan, namun dexmedetomidine memiliki efek samping yang lebih sedikit, terutama untuk pruritus dan menggigil.
{"title":"Perbandingan Antara Ropivacaine-Dexmedetomidine versus Ropivacaine-Sufentanil untuk Analgesia Persalinan Normal: Tinjauan Sistematis dan Meta-Analisis Uji Acak Terkontrol","authors":"Jonathan Vincent Lee, Erwin Vinsky, Riona Sutanto, Mohammad Zuhriansyah Sabran, Jonathan Bryan Lee, Monika Widiastuti","doi":"10.14710/jai.v0i0.57636","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.57636","url":null,"abstract":"Latar Belakang: Persalinan seringkali berhubungan dengan nyeri yang dikatakan menjadi rasa nyeri paling hebat yang dialami oleh banyak perempuan semasa hidupnya. Obat yang umum digunakan bersama anestesi lokal untuk blok neuroaksial pada persalinan adalah opioid, namun diperlukan perhatian mengingat efek samping yang tidak diinginkan. Dexmedetomidine dapat menjadi salah satu alternatif dengan efek samping minimal.Tujuan: Untuk membandingkan profil analgesia, karakteristik persalinan, dan efek samping dari dexmedetomidine versus sufentanil sebagai kombinasi dengan ropivacaine pada persalinan normal.Metode: Berdasarkan protokol preferred reporting items for systematic review and meta-analysis (PRISMA) 2015, penelitian diambil dari PubMed, Science Direct, PubMed Central (2018-21 Juli 2023) menggunakan kata kunci medical subject headings (MeSH) “dexmedetomidine” dan “labor”. Kriteria inklusi yaitu penelitian yang membandingkan kombinasi ropivacaine-dexmedetomidine dan ropivacaine-sufentanil sebagai obat analgesik untuk persalinan normal. Kami mengeksklusi penelitian selain uji acak terkontrol. Kami mengukur risiko bias menggunakan RoB 2.0 dan Cochrane Review Manager 5.4 untuk menganalisis data. Mean differences (MD) digunakan untuk hasil numerik dan odds ratio (OR) untuk hasil kategorik.Hasil: Enam uji acak terkontrol (543 subjek) memenuhi kriteria inklusi. Tidak ada perbedaan signifikan pada profil analgesia, keluaran neonatus, dan durasi persalinan antara dua kelompok. Grup dexmedetomidine mempunyai peluang pruritus dan menggigil lebih rendah dibanding grup sufentanil (OR = 0,11, 95% IK = 0,02 - 0,60, p = 0,01), (OR = 0,23, 95% IK = 0,06 - 0,96, p = 0,04). Di sisi lain, kami menemukan tidak adanya perbedaan pada mual dan muntah antara keduanya. Semua studi memiliki risiko bias rendah dan funnel plot yang menunjukkan distribusi yang simetris.Kesimpulan: Ropivacaine-dexmedetomidine dan ropivacaine-sufentanil memiliki hasil yang serupa untuk profil analgesia dan karakteristik persalinan, namun dexmedetomidine memiliki efek samping yang lebih sedikit, terutama untuk pruritus dan menggigil.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"19 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-11-08","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139282726","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Derajad Bayu Atmawan, Hanif Kurniawan, R. I. Estiko, Trisya Allinda
Background: According to the World Health Organization (WHO), the global prevalence of cesarean section (C-section) reaches 21% of all deliveries and is expected to increase to 29% by 2030. This major surgery is associated with moderate to severe postoperative pain. Previous studies have shown that factors such as emergency cases, preoperative anxiety, previous C-sections, length of surgery, type of anesthesia, and pain medication are all important factors contributing to post-C-section pain.Objective: To identify preoperative factors that affect post-cesarean pain, including age, gravida, previous C-section, anthropometry, preeclampsia (PE), fetal malposition, premature rupture of the membranes (PROM), human immunodeficiency virus (HIV), malnutrition, preterm labor, hepatitis B, anemia, and emergency procedure.Methods: A cross-sectional study was conducted at dr. Soehadi Prijonegoro Hospital, Sragen, Indonesia. The inclusion criteria are: (1) willing to participate in this study, (2) age more than 18 years old, (3) cooperative and communicative, and (4) not in disability condition. We analyzed the data using Wilcoxon and Spearman's tests with Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) version 25. This research has conducted ethical approval by the Ethics Committee.Results: From 30 subjects, the age spread between 22 to 44 years, with 20% being older than 35 years pregnant women. Most patients experienced moderate (Numeric Rating Scale [NRS] 4 to 6: 60%) and severe pain (NRS 7 to 10: 30%) 12 hours after surgery. While at 24 hours, the majority experienced mild (NRS 1 to 3: 36.7%) to moderate pain (NRS 4 to 6: 46.7%). Our analysis did not identify any preoperative factors significantly related to pain levels after 12- and 24-hours following C-section (p > 0.05).Conclusion: There is no relationship between preoperative factors and postoperative pain. Nonetheless, pain management should be tailored to each patient’s clinical condition.
{"title":"Relationship Between Pain Severity in Post-Caesarean Section and Its Preoperative Factors","authors":"Derajad Bayu Atmawan, Hanif Kurniawan, R. I. Estiko, Trisya Allinda","doi":"10.14710/jai.v0i0.57730","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.57730","url":null,"abstract":"Background: According to the World Health Organization (WHO), the global prevalence of cesarean section (C-section) reaches 21% of all deliveries and is expected to increase to 29% by 2030. This major surgery is associated with moderate to severe postoperative pain. Previous studies have shown that factors such as emergency cases, preoperative anxiety, previous C-sections, length of surgery, type of anesthesia, and pain medication are all important factors contributing to post-C-section pain.Objective: To identify preoperative factors that affect post-cesarean pain, including age, gravida, previous C-section, anthropometry, preeclampsia (PE), fetal malposition, premature rupture of the membranes (PROM), human immunodeficiency virus (HIV), malnutrition, preterm labor, hepatitis B, anemia, and emergency procedure.Methods: A cross-sectional study was conducted at dr. Soehadi Prijonegoro Hospital, Sragen, Indonesia. The inclusion criteria are: (1) willing to participate in this study, (2) age more than 18 years old, (3) cooperative and communicative, and (4) not in disability condition. We analyzed the data using Wilcoxon and Spearman's tests with Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) version 25. This research has conducted ethical approval by the Ethics Committee.Results: From 30 subjects, the age spread between 22 to 44 years, with 20% being older than 35 years pregnant women. Most patients experienced moderate (Numeric Rating Scale [NRS] 4 to 6: 60%) and severe pain (NRS 7 to 10: 30%) 12 hours after surgery. While at 24 hours, the majority experienced mild (NRS 1 to 3: 36.7%) to moderate pain (NRS 4 to 6: 46.7%). Our analysis did not identify any preoperative factors significantly related to pain levels after 12- and 24-hours following C-section (p > 0.05).Conclusion: There is no relationship between preoperative factors and postoperative pain. Nonetheless, pain management should be tailored to each patient’s clinical condition.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"11 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-11-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139291192","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
P. Bangun, Reza Widianto Sudjud, Ardi Zulfariansyah
Latar Belakang: Sindrom Guillain-Barré (SGB) merupakan penyakit autoimun yang mengenai sistem saraf tepi yang banyak ditemukan di dunia. Penyakit ini memiliki manifestasi berupa kelemahan, arefleksia otot secara progresif dan dapat menyebabkan kelemahan pada otot-otot pernapasan. Hal ini menyebabkan penderita membutuhkan bantuan ventilasi mekanik. American Society for Apheresis (ASFA) menyatakan pengobatan lini pertama krisis sindrom Guillain-Barré (SGB) fase akut adalah dengan pemberian therapeutic plasma exchange/plasmaferesis. Therapeutic plasma exchange merupakan prosedur yang relatif aman dan sudah sering dilakukan di unit rawat intensif Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan mortalitas pasien SGB yang telah menjalani terapi plasmaferesis.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik multivariat dengan desain kasus kontrol yang dilakukan pada 55 sampel pasien SGB yang mendapatkan terapi plasmaferesis di unit rawat intensif RSHS Bandung dan rumah sakit (RS) Bhayangkara Tingkat II Medan. Penelitian ini bersifat retrospektif dengan mengambil data dari rekam medis serta menyajikan karakteristik dasar subjek.Hasil: Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa diantara faktor-faktor risiko yaitu usia, komorbid, dan lama penggunaan ventilasi mekanik, yang paling berhubungan dengan mortalitas pasien SGB yang telah menjalani terapi plasmaferesis adalah faktor lamanya penggunaan ventilasi mekanik >14 hari.Kesimpulan: Faktor risiko penggunaan mesin ventilasi mekanik berkepanjangan (>14 hari) berhubungan dengan tingginya kejadian mortalitas/kematian pada pasien SGB yang menjalani terapi di RSHS Bandung, maupun di RS Bhayangkara Tingkat II Medan.
{"title":"Analisis Terhadap Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Mortalitas Pasien Sindrom Guillain-Barré yang Dilakukan Plasmaferesis","authors":"P. Bangun, Reza Widianto Sudjud, Ardi Zulfariansyah","doi":"10.14710/jai.v0i0.56915","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.56915","url":null,"abstract":"Latar Belakang: Sindrom Guillain-Barré (SGB) merupakan penyakit autoimun yang mengenai sistem saraf tepi yang banyak ditemukan di dunia. Penyakit ini memiliki manifestasi berupa kelemahan, arefleksia otot secara progresif dan dapat menyebabkan kelemahan pada otot-otot pernapasan. Hal ini menyebabkan penderita membutuhkan bantuan ventilasi mekanik. American Society for Apheresis (ASFA) menyatakan pengobatan lini pertama krisis sindrom Guillain-Barré (SGB) fase akut adalah dengan pemberian therapeutic plasma exchange/plasmaferesis. Therapeutic plasma exchange merupakan prosedur yang relatif aman dan sudah sering dilakukan di unit rawat intensif Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan mortalitas pasien SGB yang telah menjalani terapi plasmaferesis.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik multivariat dengan desain kasus kontrol yang dilakukan pada 55 sampel pasien SGB yang mendapatkan terapi plasmaferesis di unit rawat intensif RSHS Bandung dan rumah sakit (RS) Bhayangkara Tingkat II Medan. Penelitian ini bersifat retrospektif dengan mengambil data dari rekam medis serta menyajikan karakteristik dasar subjek.Hasil: Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa diantara faktor-faktor risiko yaitu usia, komorbid, dan lama penggunaan ventilasi mekanik, yang paling berhubungan dengan mortalitas pasien SGB yang telah menjalani terapi plasmaferesis adalah faktor lamanya penggunaan ventilasi mekanik >14 hari.Kesimpulan: Faktor risiko penggunaan mesin ventilasi mekanik berkepanjangan (>14 hari) berhubungan dengan tingginya kejadian mortalitas/kematian pada pasien SGB yang menjalani terapi di RSHS Bandung, maupun di RS Bhayangkara Tingkat II Medan.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"12 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139309236","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pradana Bayu Rakhmatjati, Calcarina Fitriani R. W, Johan Arifin
Latar Belakang: Salah satu penyebab kesulitan weaning adalah gangguan neuromuskuler seperti polineuropati, miopati, dan spinal cord injury (SCI) segmen servikal di atas C5. Angka kegagalan ekstubasi berkisar pada 10-20% dari keseluruhan kasus intensive care unit (ICU) dengan angka kematian 25-50%. Ventilasi mekanik jangka panjang seringkali diperlukan pada pasien dengan cedera medula spinalis segmen di atas C5.Kasus: Kami laporkan 2 pasien; seorang laki-laki 22 tahun dengan diagnosis tetraparese spastik dengan lesi transversal total medula spinalis C5 et causa spinal cord injury, dan pada pasien kedua seorang laki-laki 34 tahun dengan diagnosis tetraplegia akut et causa canal stenosis servikal setinggi C1-3 et causa massa ekstradura et causa squamous cell carcinoma. Kedua pasien juga didiagnosis mengalami kejadian ventilator associated pneumonia (VAP), pasca prosedur pembedahan laminektomi. Penatalaksanaan berupa terapi antibiotik empiris dan de-eskalasi. Pembahasan: Sebagian besar gangguan neuromuskular yang mempersulit weaning diperoleh selama perawatan pasien di ICU. Fungsi sistem pernapasan pada pasien dengan cedera medula spinalis servikal memerlukan perhatian khusus, khususnya segmen level tinggi oleh karena keterlibatan saraf frenikus. Trakeostomi direkomendasikan dilakukan lebih awal setelah intubasi untuk menyederhanakan weaning. Komplikasi pascaoperasi harus diatasi agar tidak memperburuk luaran pasien. Kesimpulan: Kriteria weaning dan ekstubasi pada gangguan neuromuskuler dapat berbeda antar referensi, namun secara umum melibatkan vital capacity (VC), respiratory rate (RR), minute ventilation, PaO2, FiO2, PaCO2, rapid shallow breathing index, positive end-expiratory pressure (PEEP), dan kondisi klinis pasien. Selama weaning, bantuan ventilasi dilepas untuk sementara dan diselingi dengan periode istirahat.
背景:缺乏营养的一个原因是神经肌肉病变,如多项式、心肌病和主动脉病变(SCI)在C5以上。重症监护病房病例的发病率为10-20%,死亡率为25-50%。长时间机械通风通常是病人在C5上方脊髓髓损伤时所需要的。病例:我们报告了两个病人;一名22岁的男子,患有多发性痉挛性痉挛性膀胱病变和全脊髓性髓C5 e causa脊髓穿刺病变,另一名34岁男子被诊断为急性脱肌性髓质c3手术后,两名患者都被诊断为呼吸机肺炎同事(VAP)。经验抗生素治疗和脱延。大部分神经肌肉紊乱使病人在重症监护室的护理过程中难以获得水分。脊髓脊髓脊髓损伤患者的呼吸系统功能需要特别注意,特别是由于法国神经参与的原因,这一水平需要特别注意。建议在插管简化水分后及早进行气管切开术。必须消除术后并发症,以免使伤口恶化。结论:对神经肌肉萎缩症的调节和表现标准可能在不同的参考文献中有所不同,但一般包括重要电能、呼吸速率、PaO2、FiO2、快速呼吸指数、积极呼吸压力和病人的临床状况。在经纱期间,辅助通风被暂时拆卸,并伴有休息时间。
{"title":"Tatalaksana ICU pada Pasien Pasca Laminektomi Servikal dengan Kesulitan Weaning dan Ekstubasi","authors":"Pradana Bayu Rakhmatjati, Calcarina Fitriani R. W, Johan Arifin","doi":"10.14710/jai.v0i0.54458","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.54458","url":null,"abstract":"Latar Belakang: Salah satu penyebab kesulitan weaning adalah gangguan neuromuskuler seperti polineuropati, miopati, dan spinal cord injury (SCI) segmen servikal di atas C5. Angka kegagalan ekstubasi berkisar pada 10-20% dari keseluruhan kasus intensive care unit (ICU) dengan angka kematian 25-50%. Ventilasi mekanik jangka panjang seringkali diperlukan pada pasien dengan cedera medula spinalis segmen di atas C5.Kasus: Kami laporkan 2 pasien; seorang laki-laki 22 tahun dengan diagnosis tetraparese spastik dengan lesi transversal total medula spinalis C5 et causa spinal cord injury, dan pada pasien kedua seorang laki-laki 34 tahun dengan diagnosis tetraplegia akut et causa canal stenosis servikal setinggi C1-3 et causa massa ekstradura et causa squamous cell carcinoma. Kedua pasien juga didiagnosis mengalami kejadian ventilator associated pneumonia (VAP), pasca prosedur pembedahan laminektomi. Penatalaksanaan berupa terapi antibiotik empiris dan de-eskalasi. Pembahasan: Sebagian besar gangguan neuromuskular yang mempersulit weaning diperoleh selama perawatan pasien di ICU. Fungsi sistem pernapasan pada pasien dengan cedera medula spinalis servikal memerlukan perhatian khusus, khususnya segmen level tinggi oleh karena keterlibatan saraf frenikus. Trakeostomi direkomendasikan dilakukan lebih awal setelah intubasi untuk menyederhanakan weaning. Komplikasi pascaoperasi harus diatasi agar tidak memperburuk luaran pasien. Kesimpulan: Kriteria weaning dan ekstubasi pada gangguan neuromuskuler dapat berbeda antar referensi, namun secara umum melibatkan vital capacity (VC), respiratory rate (RR), minute ventilation, PaO2, FiO2, PaCO2, rapid shallow breathing index, positive end-expiratory pressure (PEEP), dan kondisi klinis pasien. Selama weaning, bantuan ventilasi dilepas untuk sementara dan diselingi dengan periode istirahat.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"143 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-07-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135357408","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Background: Coronavirus disease 19 (COVID-19) has become pandemic in the world with a board spectrum of clinical presentation. Secondary infection of methicillin-resistant staphylococcus aureus (MRSA) affects morbidity and mortality in patients with COVID-19.Case: We reported two COVID-19 patients with MRSA hospitalized in intensive care unit (ICU) of Diponegoro National Hospital. The first patient was 61-year-old woman that was referred from another hospital with confirmed COVID-19 infection and acute respiratory distress syndrome and had been intubated. Diabetes mellitus and hypertension were known as comorbid. On day 4 of treatment in ICU, blood culture results showed MRSA infection and antibiotic therapy was replaced with Vancomycin. The patient had clinical improvement and was discharge from the hospital on the 36th day of treatment. The second one was 51-year-old woman admitted with probable COVID-19, type II Diabetes Mellitus and hypertension. On day 9th the patient was transferred to ICU because of respiratory failure, blood culture on day 15th show a result of MRSA and antibiotic therapy was replaced with vancomycin. She declined intubation procedures and died on day 20.Discussion: Antibiotic resistance has become one of the important things in infection management in the world. Multidrug-resistant bacteria (MDR) cause treatment failure which increases the risk of death and cost. MRSA has become one of the most important MDR bacteria during the last decade causing severe infections in health facilities. Complications of bacterial infection in COVID-19, especially bacteremia increases the severity and mortality of severe patients.Conclusion: Coinfection of MRSA in COVID-19 patients can affect the clinical outcome. One of important risk factor is history or prolonged hospitalized. Other factors are comorbidity of the patient and appropriate therapy is needed to reduce mortality in Intensive Care Unit.
{"title":"Covid-19 with Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus: Based on Two Cases in Diponegoro National Hospital","authors":"Dwi Retnoningrum, Setyo Gundi Pramudo, Taufik Eko Nugroho, Qonita Nur Qolby","doi":"10.14710/jai.v0i0.47963","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.47963","url":null,"abstract":"Background: Coronavirus disease 19 (COVID-19) has become pandemic in the world with a board spectrum of clinical presentation. Secondary infection of methicillin-resistant staphylococcus aureus (MRSA) affects morbidity and mortality in patients with COVID-19.Case: We reported two COVID-19 patients with MRSA hospitalized in intensive care unit (ICU) of Diponegoro National Hospital. The first patient was 61-year-old woman that was referred from another hospital with confirmed COVID-19 infection and acute respiratory distress syndrome and had been intubated. Diabetes mellitus and hypertension were known as comorbid. On day 4 of treatment in ICU, blood culture results showed MRSA infection and antibiotic therapy was replaced with Vancomycin. The patient had clinical improvement and was discharge from the hospital on the 36th day of treatment. The second one was 51-year-old woman admitted with probable COVID-19, type II Diabetes Mellitus and hypertension. On day 9th the patient was transferred to ICU because of respiratory failure, blood culture on day 15th show a result of MRSA and antibiotic therapy was replaced with vancomycin. She declined intubation procedures and died on day 20.Discussion: Antibiotic resistance has become one of the important things in infection management in the world. Multidrug-resistant bacteria (MDR) cause treatment failure which increases the risk of death and cost. MRSA has become one of the most important MDR bacteria during the last decade causing severe infections in health facilities. Complications of bacterial infection in COVID-19, especially bacteremia increases the severity and mortality of severe patients.Conclusion: Coinfection of MRSA in COVID-19 patients can affect the clinical outcome. One of important risk factor is history or prolonged hospitalized. Other factors are comorbidity of the patient and appropriate therapy is needed to reduce mortality in Intensive Care Unit.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"23 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-07-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135357407","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Oktavian Rizki Ilahi, Juni Kurniawaty, Ratih Kumala Fajar Apsari
Latar Belakang: Melahirkan tanpa rasa sakit merupakan salah satu hak dari ibu hamil. Pemilihan persalinan dengan epidural tentu akan menjadi pilihan untuk meminimalisir nyeri persalinan, terutama ditujukan pada pasien dengan problem jantung untuk meminimalisir stres selama persalinan.Kasus: Kami laporkan pasien wanita 29 tahun dengan G1P0A0, usia kehamilan 40 minggu dengan riwayat total AV blok yang sedang mengalami persalinan yang direncanakan melahirkan bayi pervaginam, saat hari admisi pasien diskrining swab polymerase chain reaction (PCR) dan dinyatakan terkonfirmasi infeksi coronavirus disease-19 (COVID-19). Pasien kemudian dipasang epidural, monitor invasif artery line, dan dirawat di ruang isolasi intensif. Nyeri terkontrol dengan epidural kontinyu, tidak ada keterlambatan maju pada persalinan, dan kondisi hemodinamik ibu stabil sampai bayi dilahirkan dengan penilaian appearance, pulse, grimace, activity, respiration (APGAR) skor 9.Pembahasan: Teknik neuraksial terutama epidural merupakan pilihan utama analgesi maupun anestesi pada pasien dengan total AV blok dikarenakan memiliki analgetik poten serta meminimalisir gejolak hemodinamik apabila akan segera dilakukan operasi sesar.Kesimpulan: Penggunaan permanent pacemaker tidak direkomendasikan pada pasien asimtomatik namun kardiolog harus dilibatkan untuk sewaktu – waktu memasang temporary pacemaker seperti pada pasien ini. Selain itu penggunaan epidural memungkinkan untuk diberi dosis kontinyu ataupun patient controlled epidural analgesia pada pasien isolasi intensif dengan infeksi COVID-19.
{"title":"Epidural Labor Analgesia pada Ibu Hamil dengan Blok Total Atrioventrikuler yang Terinfeksi Coronavisrus Disease–19 (COVID-19)","authors":"Oktavian Rizki Ilahi, Juni Kurniawaty, Ratih Kumala Fajar Apsari","doi":"10.14710/jai.v0i0.53355","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.53355","url":null,"abstract":"Latar Belakang: Melahirkan tanpa rasa sakit merupakan salah satu hak dari ibu hamil. Pemilihan persalinan dengan epidural tentu akan menjadi pilihan untuk meminimalisir nyeri persalinan, terutama ditujukan pada pasien dengan problem jantung untuk meminimalisir stres selama persalinan.Kasus: Kami laporkan pasien wanita 29 tahun dengan G1P0A0, usia kehamilan 40 minggu dengan riwayat total AV blok yang sedang mengalami persalinan yang direncanakan melahirkan bayi pervaginam, saat hari admisi pasien diskrining swab polymerase chain reaction (PCR) dan dinyatakan terkonfirmasi infeksi coronavirus disease-19 (COVID-19). Pasien kemudian dipasang epidural, monitor invasif artery line, dan dirawat di ruang isolasi intensif. Nyeri terkontrol dengan epidural kontinyu, tidak ada keterlambatan maju pada persalinan, dan kondisi hemodinamik ibu stabil sampai bayi dilahirkan dengan penilaian appearance, pulse, grimace, activity, respiration (APGAR) skor 9.Pembahasan: Teknik neuraksial terutama epidural merupakan pilihan utama analgesi maupun anestesi pada pasien dengan total AV blok dikarenakan memiliki analgetik poten serta meminimalisir gejolak hemodinamik apabila akan segera dilakukan operasi sesar.Kesimpulan: Penggunaan permanent pacemaker tidak direkomendasikan pada pasien asimtomatik namun kardiolog harus dilibatkan untuk sewaktu – waktu memasang temporary pacemaker seperti pada pasien ini. Selain itu penggunaan epidural memungkinkan untuk diberi dosis kontinyu ataupun patient controlled epidural analgesia pada pasien isolasi intensif dengan infeksi COVID-19.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"9 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-07-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135357409","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}