Latar belakang: Kraniotomi merupakan salah satu tindakan bedah saraf dengan insidensi nyeri pascaoperasi yang tinggi. Kraniotomi menimbulkan nyeri yang berat pada 90% pasien dengan kejadian tersering dalam 48 jam setelah dilakukan tindakan dan 30% diantaranya mengalami nyeri kepala kronik. Oleh karena itu, dibutuhkan manajemen perioperatif yang adekuat untuk meningkatkan pemulihan pasien pascaoperasi, salah satunya dengan penerapan protokol enhanced recovery after surgery (ERAS).Tujuan: Mengetahui pengaruh protokol ERAS terhadap lama perawatan dan skor nyeri pascaoperasi pada pasien yang menjalani kraniotomi elektif.Metode: Pencarian literatur dilakukan pada 5 pusat data yaitu PubMed, Cochrane, Proquest, Scopus, dan ScienceDirect dengan menggunakan kata kunci enhanced recovery after surgery (ERAS), craniotomy, length of stay, dan pain scale. Artikel terpilih dilakukan telaah kritis menggunakan formulir dari Oxford Centre for Evidence-Based Medicine. Hasil: Berdasarkan 3 artikel terpilih, yaitu 2 studi randomized control trial (RCT) dan 1 studi prospektif non-RCT, didapatkan bahwa protokol ERAS dapat menurunkan lama perawatan dan skor nyeri pascaoperasi pada pasien kraniotomi elektif. Studi pertama menyatakan bahwa terdapat perbedaan siginifikan lama perawatan di intensive care unit (ICU) pada kelompok ERAS dengan nilai absolute risk reduction (ARR) = 25,02 dan number needed to treat (NNT) = 4 (p = 0,003; 95% CI 2,1 - 51,2). Studi kedua menyatakan bahwa terdapat perbedaan skor nyeri yang bermakna antara kelompok ERAS dan konvensional dengan nilai p < 0,0001 dan 95% CI 3,51–15,99. Studi ketiga menyatakan terdapat penurunan total lama hari perawatan dengan median 13 hari pada kelompok konvensional dibandingkan 10 hari pada kelompok ERAS (p = 0,004).Kesimpulan: Penerapan protokol ERAS terbukti efektif dalam menurunkan lama perawatan dan skor nyeri pascaoperasi pada pasien yang menjalani kraniotomi elektif. Namun dibutuhkan penelitian multisenter dengan jumlah subjek penelitian yang lebih banyak untuk mengevaluasi efikasi dan keamanan penerapan protokol ERAS pada kraniotomi.
背景:Kraniotomi是手术后高强度疼痛的神经外科手术之一。Kraniotomi在48小时内给90%的患者造成剧烈疼痛,其中30%是慢性头痛。因此,需要一个合格的临床管理来增加术后患者的康复,其中一个在手术后实施了增强康复协议。目的:了解ERAS协议对患有选择性会阴切开术的患者的长期治疗和术后疼痛得分的影响。方法:在5个数据中心进行文献搜索,即pubrane、Cochrane、Proquest、Scopus和ScienceDirect所选的文章采用牛津大学证据医学中心(Oxford Centre for evidencemedicine)的形式进行了批判性研究。结果:根据所选的三篇文章,即两项randomimized control trial (RCT)研究和一项非RCT前因性研究,ERAS协议可以在kraniotomi患者中降低长期治疗和术后疼痛得分。第一项研究表明,在ERAS组中存在长期存在的重症护理护理(重症监护室)的显著区别,后者的治疗值为1,025和需要治疗的数字(NNT) = 4 (p = 0.003;95%的CI 2.1 - 51.2)。第二项研究表明,ERAS组和传统组的p < 0.0001和95%的CI 3.51 - 1599之间存在明显的疼痛得分差异。第三项研究表明,传统组中13天的治疗时间总比ERAS组中10天的治疗时间长。结论:ERAS协议的应用被证明是有效的,以降低患有会阴切开术的患者的长期治疗和术后疼痛得分。但这需要一项多中心研究,其中有更多的研究对象,以评估克拉尼托米协议的eas和安全性应用。
{"title":"Lama Perawatan dan Skor Nyeri Pascaoperasi pada Pasien Kraniotomi Elektif dengan Protokol Enhanced Recovery after Surgery (ERAS): Laporan Kasus Berbasis Bukti","authors":"Riyadh Firdaus, Novianti Jamilah, Moch Yasin Friansyah, Sandy Theresia","doi":"10.14710/jai.v0i0.42572","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.42572","url":null,"abstract":"Latar belakang: Kraniotomi merupakan salah satu tindakan bedah saraf dengan insidensi nyeri pascaoperasi yang tinggi. Kraniotomi menimbulkan nyeri yang berat pada 90% pasien dengan kejadian tersering dalam 48 jam setelah dilakukan tindakan dan 30% diantaranya mengalami nyeri kepala kronik. Oleh karena itu, dibutuhkan manajemen perioperatif yang adekuat untuk meningkatkan pemulihan pasien pascaoperasi, salah satunya dengan penerapan protokol enhanced recovery after surgery (ERAS).Tujuan: Mengetahui pengaruh protokol ERAS terhadap lama perawatan dan skor nyeri pascaoperasi pada pasien yang menjalani kraniotomi elektif.Metode: Pencarian literatur dilakukan pada 5 pusat data yaitu PubMed, Cochrane, Proquest, Scopus, dan ScienceDirect dengan menggunakan kata kunci enhanced recovery after surgery (ERAS), craniotomy, length of stay, dan pain scale. Artikel terpilih dilakukan telaah kritis menggunakan formulir dari Oxford Centre for Evidence-Based Medicine. Hasil: Berdasarkan 3 artikel terpilih, yaitu 2 studi randomized control trial (RCT) dan 1 studi prospektif non-RCT, didapatkan bahwa protokol ERAS dapat menurunkan lama perawatan dan skor nyeri pascaoperasi pada pasien kraniotomi elektif. Studi pertama menyatakan bahwa terdapat perbedaan siginifikan lama perawatan di intensive care unit (ICU) pada kelompok ERAS dengan nilai absolute risk reduction (ARR) = 25,02 dan number needed to treat (NNT) = 4 (p = 0,003; 95% CI 2,1 - 51,2). Studi kedua menyatakan bahwa terdapat perbedaan skor nyeri yang bermakna antara kelompok ERAS dan konvensional dengan nilai p < 0,0001 dan 95% CI 3,51–15,99. Studi ketiga menyatakan terdapat penurunan total lama hari perawatan dengan median 13 hari pada kelompok konvensional dibandingkan 10 hari pada kelompok ERAS (p = 0,004).Kesimpulan: Penerapan protokol ERAS terbukti efektif dalam menurunkan lama perawatan dan skor nyeri pascaoperasi pada pasien yang menjalani kraniotomi elektif. Namun dibutuhkan penelitian multisenter dengan jumlah subjek penelitian yang lebih banyak untuk mengevaluasi efikasi dan keamanan penerapan protokol ERAS pada kraniotomi.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"25 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124785660","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Latar belakang:Nyeri pascaoperasi payudara dapat memperburuk keluaran klinis jika tidak ditangani dengan optimal. Modalitas analgesia yang biasa digunakan untuk nyeri pascaoperasi payudara meliputi pemberian opioid dan anestesi regional. Namun, kedua modalitas ini dapat menimbulkan efek samping atau komplikasi yang signifikan. Blok serratus anterior plane (SAP) merupakan prosedur baru yang relatif lebih mudah dilakukan dan aman bila dibandingkan dengan modalitas lainnya.Kasus: Kami melaporkan 2 pasien yang menjalani prosedur blok SAP pada operasi modified radical mastectomy (MRM). Pasien 2 diberikan rescue analgesia selama masa intraoperatif. Pemberian opioid pascaoperasi tidak melebihi 24 jam pada kedua pasien. Penilaian nyeri menggunakan Numeric Rating Scale (NRS) menunjukkan nyeri pascaoperatif yang minimal. Tidak ada efek samping yang ditemukan selama masa pemantauan 24 jam.Pembahasan: Blok SAP relatif mudah dilakukan, memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi, dan komplikasi minimal jika dibandingkan dengan prosedur lain. Blok SAP memberikan efek analgesia pada thoraks bagian lateral yang dapat bertahan hingga 12 jam pascaoperasi. Studi-studi terdahulu telah melaporkan kegunaannya dalam mengurangi kebutuhan opioid intraoperatif dan pascaoperatif, yang sesuai dengan hasil yang ditemukan pada laporan kasus ini.Kesimpulan: Blok SAP dapat menjadi salah satu modalitas yang efektif dan aman dalam mengelola nyeri pasien yang menjalani operasi MRM.
{"title":"Blok Serratus Anterior Plane pada Operasi Modified Radical Mastectomy","authors":"M. D. Datu, Jokevin Prasetyadhi","doi":"10.14710/jai.v0i0.28819","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.28819","url":null,"abstract":"Latar belakang:Nyeri pascaoperasi payudara dapat memperburuk keluaran klinis jika tidak ditangani dengan optimal. Modalitas analgesia yang biasa digunakan untuk nyeri pascaoperasi payudara meliputi pemberian opioid dan anestesi regional. Namun, kedua modalitas ini dapat menimbulkan efek samping atau komplikasi yang signifikan. Blok serratus anterior plane (SAP) merupakan prosedur baru yang relatif lebih mudah dilakukan dan aman bila dibandingkan dengan modalitas lainnya.Kasus: Kami melaporkan 2 pasien yang menjalani prosedur blok SAP pada operasi modified radical mastectomy (MRM). Pasien 2 diberikan rescue analgesia selama masa intraoperatif. Pemberian opioid pascaoperasi tidak melebihi 24 jam pada kedua pasien. Penilaian nyeri menggunakan Numeric Rating Scale (NRS) menunjukkan nyeri pascaoperatif yang minimal. Tidak ada efek samping yang ditemukan selama masa pemantauan 24 jam.Pembahasan: Blok SAP relatif mudah dilakukan, memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi, dan komplikasi minimal jika dibandingkan dengan prosedur lain. Blok SAP memberikan efek analgesia pada thoraks bagian lateral yang dapat bertahan hingga 12 jam pascaoperasi. Studi-studi terdahulu telah melaporkan kegunaannya dalam mengurangi kebutuhan opioid intraoperatif dan pascaoperatif, yang sesuai dengan hasil yang ditemukan pada laporan kasus ini.Kesimpulan: Blok SAP dapat menjadi salah satu modalitas yang efektif dan aman dalam mengelola nyeri pasien yang menjalani operasi MRM.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"28 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-11-11","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128425889","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
ABSTRAK Latar belakang: Perawatan kritis adalah komponen penting dari sistem perawatan kesehatan di seluruh dunia. Idealnya perawatan pasien sakit kritis di unit perawatan intensif (ICU) dikelola dengan tenaga kesehatan profesional yang sangat terspesialisasi, pemantauan secara sistematis dan penggunaan peralatan penunjang yang lengkap. Sayangnya, komponen ini tidak selalu tersedia utamanya pada fasilitas kesehatan pesisir yang terbatas sumber daya. Hal ini berpotensi menyebabkan beban penyakit lebih besar dan hasil lebih buruk sehingga diperlukan pendekatan khusus untuk layanan perawatan kritisKasus: Perempuan 71 tahun BMI 21,3 dikonsulkan perawatan ICU dengan diagnosa dispnea suspek udem paru akut + Pneumonia. Dilakukan tata laksana pasien sepsis dan udem paru akut dengan menggunakan panduan parameter klinis dan memanfaatkan sumber daya dengan segala keterbatasannyaPembahasan: Mengenali pasien dengan sepsis merupakan langkah penting untuk pengobatan yang efektif. Mengingat kurangnya fasilitas untuk mendiagnosis sepsis menurut definisi internasional di rangkaian terbatas sumber daya, maka dikembangkan definisi sepsis, sepsis berat dan syok septik yang dimodifikasi, sehingga tata laksana dapat diterapkan juga dengan sumber daya terbatas.Kesimpulan: Sepsis dan udem paru merupakan kondisi kegawat daruratan yang memerlukan terapi agresif dalam upaya penyelamatan jiwa dengan semua keterbatasan sumebr daya menggunakan panduan literatur dan mengikuti perkembangan klinis yang ditunjukkan oleh pasien. Kata Kunci: AKI; ICU; sarana terbatas; sepsis; udem paru
{"title":"Tata Laksana Pasien Kritis pada Sumber Daya Terbatas","authors":"Riyanti Amujib Kasim","doi":"10.14710/jai.v0i0.45617","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.45617","url":null,"abstract":"ABSTRAK Latar belakang: Perawatan kritis adalah komponen penting dari sistem perawatan kesehatan di seluruh dunia. Idealnya perawatan pasien sakit kritis di unit perawatan intensif (ICU) dikelola dengan tenaga kesehatan profesional yang sangat terspesialisasi, pemantauan secara sistematis dan penggunaan peralatan penunjang yang lengkap. Sayangnya, komponen ini tidak selalu tersedia utamanya pada fasilitas kesehatan pesisir yang terbatas sumber daya. Hal ini berpotensi menyebabkan beban penyakit lebih besar dan hasil lebih buruk sehingga diperlukan pendekatan khusus untuk layanan perawatan kritisKasus: Perempuan 71 tahun BMI 21,3 dikonsulkan perawatan ICU dengan diagnosa dispnea suspek udem paru akut + Pneumonia. Dilakukan tata laksana pasien sepsis dan udem paru akut dengan menggunakan panduan parameter klinis dan memanfaatkan sumber daya dengan segala keterbatasannyaPembahasan: Mengenali pasien dengan sepsis merupakan langkah penting untuk pengobatan yang efektif. Mengingat kurangnya fasilitas untuk mendiagnosis sepsis menurut definisi internasional di rangkaian terbatas sumber daya, maka dikembangkan definisi sepsis, sepsis berat dan syok septik yang dimodifikasi, sehingga tata laksana dapat diterapkan juga dengan sumber daya terbatas.Kesimpulan: Sepsis dan udem paru merupakan kondisi kegawat daruratan yang memerlukan terapi agresif dalam upaya penyelamatan jiwa dengan semua keterbatasan sumebr daya menggunakan panduan literatur dan mengikuti perkembangan klinis yang ditunjukkan oleh pasien. Kata Kunci: AKI; ICU; sarana terbatas; sepsis; udem paru","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"34 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-10-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114279484","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Rizal Zainal, Irfannuddin Irfannuddin, Legiran Legiran, N. Ibrahim, Muhammad Ramli Ahmad
Ketamin adalah salah satu analgesia yang dapat digunakan baik di dalam atau di luar kamar operasi. Selain efek analgesik, ketamin bersifat bronkodilator, simpatomimetik, dan sedasi yang dapat memberikan kemudahan dalam periode perioperatif. Ketamin berfungsi dalam modulasi sensitisasi sentral, menurunkan toleransi hiperalgesia yang diinduksi opioid, memberikan potensi analgesia opioid dalam dosis hiperalgesia, dan mengurangi eksitasi presinaptik substansi P di sum-sum tulang belakang. Ketamin juga dapat memodulasi reseptor muscarinic acetylcholine yang berpotensi mengurangi tahanan sensitivitas nyeri, up-regulasi reseptor a-amino-3-hydroxy-5-methylisoxazole-4-propionic acid (AMPA) yang dapat memperbaiki mood dan respon emosional terhadap nyeri. Aktivasi reseptor NMDA menyebabkan influks kalsium, mengaktivasi formasi intraseluler oleh secondary messenger, prostaglandin, dan nitric oxide. Ketamin adalah analog phencyclidine dan bersifat antagonis N-methyl-D-aspartate (NMDA), sehingga efek ketamin dapat mengurangi frekuensi dan waktu pembukaan kanal Ca2+ dan mencegah influks Ca2+. Ketamin juga berperan dalam regulasi respon imun yang berhubungan terhadap sinyal nyeri seperti toll-like receptor. Komponen molekuler yang terlibat pada kerja ketamin di tingkat seluler seperti inhibisi pada reseptor substansi P, inhibisi mAChR, inhibisi reseptor serotonin 1 dan 2, modulasi farmakologi sel glial pada inhibitor glial, L-α-aminoadipate, dan menghambat enzim glial termasuk transporter glutamat (GLT1).
氯胺酮是一种镇痛,可以在手术室内外使用。除镇痛作用外,支气管炎、支气旋性和镇静性都能使月经周期更容易获得。克他命在中央制备调制中起作用,降低诱导阿片类药物的高过敏性耐受性,在多重度剂量中产生阿片类药物的潜在镇痛性,并抑制脊髓和骨髓中对P物质的前突触刺激。克他命还可以调节肌肉乙酰胆碱受体,这可能会降低疼痛感受器a- 3-羟基-4-羟基-4- proprodu酸(AMPA),它可以改善对疼痛的情绪和情绪反应。激活NMDA受体会导致钙的影响,由secondary messenger、前列腺素和硝酸盐引发的细胞内转化。氯胺酮是表现性和对抗性的n -甲基- d -aspartate (NMDA),因此氯胺酮的影响可以减少运河Ca2+开口的频率和时间,防止进一步的影响。克他命还在与受体等疼痛信号相关的免疫反应调节中发挥作用。参与工作的氯胺酮分子成分在像的抑制细胞水平P物质受体的抑制,mAChR调制的抑制血清素受体1和2,药理学glial glial抑制剂时,L -α细胞-aminoadipate酶,抑制谷氨酸glial包括运输机(GLT1)。
{"title":"Peran Ketamin Pada Nyeri di Tingkat Sel","authors":"Rizal Zainal, Irfannuddin Irfannuddin, Legiran Legiran, N. Ibrahim, Muhammad Ramli Ahmad","doi":"10.14710/jai.v0i0.51613","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.51613","url":null,"abstract":"Ketamin adalah salah satu analgesia yang dapat digunakan baik di dalam atau di luar kamar operasi. Selain efek analgesik, ketamin bersifat bronkodilator, simpatomimetik, dan sedasi yang dapat memberikan kemudahan dalam periode perioperatif. Ketamin berfungsi dalam modulasi sensitisasi sentral, menurunkan toleransi hiperalgesia yang diinduksi opioid, memberikan potensi analgesia opioid dalam dosis hiperalgesia, dan mengurangi eksitasi presinaptik substansi P di sum-sum tulang belakang. Ketamin juga dapat memodulasi reseptor muscarinic acetylcholine yang berpotensi mengurangi tahanan sensitivitas nyeri, up-regulasi reseptor a-amino-3-hydroxy-5-methylisoxazole-4-propionic acid (AMPA) yang dapat memperbaiki mood dan respon emosional terhadap nyeri. Aktivasi reseptor NMDA menyebabkan influks kalsium, mengaktivasi formasi intraseluler oleh secondary messenger, prostaglandin, dan nitric oxide. Ketamin adalah analog phencyclidine dan bersifat antagonis N-methyl-D-aspartate (NMDA), sehingga efek ketamin dapat mengurangi frekuensi dan waktu pembukaan kanal Ca2+ dan mencegah influks Ca2+. Ketamin juga berperan dalam regulasi respon imun yang berhubungan terhadap sinyal nyeri seperti toll-like receptor. Komponen molekuler yang terlibat pada kerja ketamin di tingkat seluler seperti inhibisi pada reseptor substansi P, inhibisi mAChR, inhibisi reseptor serotonin 1 dan 2, modulasi farmakologi sel glial pada inhibitor glial, L-α-aminoadipate, dan menghambat enzim glial termasuk transporter glutamat (GLT1).","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"18 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-10-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"117267436","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tiga penyebab utama kematian ibu di dunia adalah perdarahan (30%), preeklampsia (25%), dan infeksi (12%). Sebagai salah satu dari tiga besar penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin, insiden preeklamsia di Indonesia dilaporkan sebanyak 12.273 per tahun atau sekitar 5.3% dan belum menunjukkan adanya penurunan yang signifikan dalam dua dekade terakhir. Pada kasus yang dilaporkan menunjukkan wanita 19 tahun nullipara dengan eklamsia menunjukkan manifestasi klinis berupa hipertensi dan proteinuria yang merupakan predileksi kejadian neurologis seperti kejang pada wanita hamil dengan eklamsia. Manajemen anestesi pada kasus wanita hamil dengan eklamsia harus memperhatikan beberapa hal termasuk ke dalamnya tekanan darahn dan risiko terjadinya kejang intraoperatif. Oleh karena itu, diperlukan pertimbangan yang baik dalam penentuan manajemen anestesi pada pasien tersebut.
{"title":"Seorang Wanita 19 tahun G1P0A0 Hamil 31 Minggu dengan Eklamsia","authors":"Himawan Sasongko, Danu Soesilowati","doi":"10.14710/jai.v0i0.48610","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.48610","url":null,"abstract":"Tiga penyebab utama kematian ibu di dunia adalah perdarahan (30%), preeklampsia (25%), dan infeksi (12%). Sebagai salah satu dari tiga besar penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin, insiden preeklamsia di Indonesia dilaporkan sebanyak 12.273 per tahun atau sekitar 5.3% dan belum menunjukkan adanya penurunan yang signifikan dalam dua dekade terakhir. Pada kasus yang dilaporkan menunjukkan wanita 19 tahun nullipara dengan eklamsia menunjukkan manifestasi klinis berupa hipertensi dan proteinuria yang merupakan predileksi kejadian neurologis seperti kejang pada wanita hamil dengan eklamsia. Manajemen anestesi pada kasus wanita hamil dengan eklamsia harus memperhatikan beberapa hal termasuk ke dalamnya tekanan darahn dan risiko terjadinya kejang intraoperatif. Oleh karena itu, diperlukan pertimbangan yang baik dalam penentuan manajemen anestesi pada pasien tersebut.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"22 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-10-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121038244","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
This article is an exploration of the utilization of drug dosage calculators in the field of anesthesiology setting. As a part of predicaments in patient safety, a medication error is one of the most expensive problems in the treatment process faced by healthcare institutions. This article firstly debriefs the definition of medication error and its general classification based on the treatment process. Wrong dose calculation has become one of the most frequent medication errors, especially among anesthesiology-care providers. This article then concisely defines the side effects of commonly-used anesthesia drugs in critical and perioperative care. This article examines medication errors prevalence among anesthesiologists and investigates the line between several risk factors and wrong dosage calculation. Finally, this article concludes with the elucidation of current trends of drug dosage calculators and several studies that aim to validate and prove the efficacy of those applications.
{"title":"MEDICATION ERRORS AMONG THE ANESTHETIC HEALTH CARE PROVIDERS AND THE ROLE OF DRUG DOSAGE CALCULATOR APPLICATIONS IN THEIR PREVENTION","authors":"Mayang Indah Lestari, SpAn, KIC","doi":"10.14710/jai.v0i0.43116","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.43116","url":null,"abstract":"This article is an exploration of the utilization of drug dosage calculators in the field of anesthesiology setting. As a part of predicaments in patient safety, a medication error is one of the most expensive problems in the treatment process faced by healthcare institutions. This article firstly debriefs the definition of medication error and its general classification based on the treatment process. Wrong dose calculation has become one of the most frequent medication errors, especially among anesthesiology-care providers. This article then concisely defines the side effects of commonly-used anesthesia drugs in critical and perioperative care. This article examines medication errors prevalence among anesthesiologists and investigates the line between several risk factors and wrong dosage calculation. Finally, this article concludes with the elucidation of current trends of drug dosage calculators and several studies that aim to validate and prove the efficacy of those applications.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"118 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-10-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116303440","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Latar belakang: Skor mallampati dan jarak tiromental (TMD) banyak digunakan sebagai prediktor kesulitan visualisasi laring preoperatif, namun akurasi kedua penanda tersebut masih dipertanyakan.Tujuan: Penelitian ini mengevaluasi prediktor kesulitan visualisasi laring (difficult visualization of larynx, DVL) preoperatif baru yaitu rasio lingkar leher (NC) terhadap jarak tiromental TMD dibandingkan dengan skor mallampati dan jarak tiromental.Metode: Sebanyak 217 pasien yang menjalani anestesi umum untuk bedah elektif dievaluasi dengan menggunakan skor mallampati, TMD dan rasio NC/TMD. Dan titik potong untuk masing-masing prediktor jalan napas adalah skor mallampati III dan IV, < 6,5 cm, ≥ 5. Pada saat dilakukan laringoskopi langsung, visualisasi laring dinilai berdasarkan klasifikasi cormack lehane (CL). Skor CL derajat III dan IV dianggap sulit visualisasi. Kemudian ditentukan dan dibandingkan nilai area dibawah kurva (AUC), sensitifitas, spesifisitas untuk setiap prediktor jalan napas.Hasil: Pada penelitian ini, dari 217 subjek penelitian, mudah dalam visualisasi laring (easy visualization of larynx, EVL) didapatkan 197 orang (90,8%), sedangkan sulit dalam visualisasi laring (DVL) sebanyak 20 orang (9,2%). Kemudian didapatkan hasil TMD dengan kesulitan visualisasi laring pada DVL sebesar 28% dan EVL sebesar 72% (p=0,000), sedangan rasio NC/TMD dibandingkan dengan kesulitan visualisasi didapatkan 22,4% pada DVL dan 77,6% pada EVL (p=0,000). Area dibawah curve (AUC) rasio NC/TMD (96,2%) lebih baik dibandingkan dengan skor mallampati (64%) dan TMD (83%).Kesimpulan: Akurasi rasio NC/TMD lebih baik dibandingkan dengan skor mallampati dan TMD.
{"title":"Perbandingan Rasio Lingkar Leher Terhadap Jarak Tiromental dengan Skor Mallampati dan Jarak Tiromental Sebagai Prediktor Kesulitan Visualisasi Laring pada Pasien Bedah Elektif Di RSUPN Cipto Mangunkusumo","authors":"Riyadh Firdaus, Arif H. M. Marsaban, Roniza Basri","doi":"10.14710/jai.v0i0.47360","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.47360","url":null,"abstract":"Latar belakang: Skor mallampati dan jarak tiromental (TMD) banyak digunakan sebagai prediktor kesulitan visualisasi laring preoperatif, namun akurasi kedua penanda tersebut masih dipertanyakan.Tujuan: Penelitian ini mengevaluasi prediktor kesulitan visualisasi laring (difficult visualization of larynx, DVL) preoperatif baru yaitu rasio lingkar leher (NC) terhadap jarak tiromental TMD dibandingkan dengan skor mallampati dan jarak tiromental.Metode: Sebanyak 217 pasien yang menjalani anestesi umum untuk bedah elektif dievaluasi dengan menggunakan skor mallampati, TMD dan rasio NC/TMD. Dan titik potong untuk masing-masing prediktor jalan napas adalah skor mallampati III dan IV, < 6,5 cm, ≥ 5. Pada saat dilakukan laringoskopi langsung, visualisasi laring dinilai berdasarkan klasifikasi cormack lehane (CL). Skor CL derajat III dan IV dianggap sulit visualisasi. Kemudian ditentukan dan dibandingkan nilai area dibawah kurva (AUC), sensitifitas, spesifisitas untuk setiap prediktor jalan napas.Hasil: Pada penelitian ini, dari 217 subjek penelitian, mudah dalam visualisasi laring (easy visualization of larynx, EVL) didapatkan 197 orang (90,8%), sedangkan sulit dalam visualisasi laring (DVL) sebanyak 20 orang (9,2%). Kemudian didapatkan hasil TMD dengan kesulitan visualisasi laring pada DVL sebesar 28% dan EVL sebesar 72% (p=0,000), sedangan rasio NC/TMD dibandingkan dengan kesulitan visualisasi didapatkan 22,4% pada DVL dan 77,6% pada EVL (p=0,000). Area dibawah curve (AUC) rasio NC/TMD (96,2%) lebih baik dibandingkan dengan skor mallampati (64%) dan TMD (83%).Kesimpulan: Akurasi rasio NC/TMD lebih baik dibandingkan dengan skor mallampati dan TMD.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"142 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-10-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123735641","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Cardiorenal syndrome (CRS) is a condition in which kidney disease and heart disease occur simultaneously and progresses rapidly. The disorder itself can start from the heart or kidneys. In the context of renal disease as the cause of the disorder, diseases such as atherosclerosis, arteriosclerosis, endothelial dysfunction, and uremic cardiomyopathy are cardiovascular pathological manifestations of CRS. In cases where heart disease is the primary disease, it is the disturbance of cardiovascular dynamics, neurohormonal activation and inflammatory factors that are involved in the initial deterioration of renal function and progressive kidney disease.The word sepsis was first used more than 2000 years ago in ancient Greek literature, referenced by Homer, Hippocrates, Aristotle, Plutarch, and Galen to describe the breakdown of organic matter. In early 1989, Robert Bone introduced the concept of the “sepsis syndrome” as “a systemic response to a documented or suspected infection and at least one organ dysfunction”; consists of hypothermia/hyperthermia, tachycardia, tachypnea, infection, and end-organ dysfunction due to hypoperfusion.More modern definitions of sepsis are based on the concept of SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome), a term that describes immune complexes in response to infection and is also used to describe the clinical features associated with that response. The clinical use of SIRS describes a disorder of respiratory rate, heart rate, temperature, and leukocyte count. If there are 2 of the 4 criteria below, SIRS can be established: breaths > 20 breaths per minute or PaCo2 <32 mmHg, pulse rate >90 beats per minute, temperature >38oC or <36oC, and leukocytes >12,000/mm3 or <4,000/mm3. The guidelines state that sepsis is SIRS with suspected or proven infection, whereas severe sepsis describes patients who meet the criteria for sepsis and with organ dysfunction. At its worst, septic shock is defined as “characteristic acute circulatory failure with persistent arterial hypotension (including systolic <90 mmHg, MAP <65 mmHg, or a drastic fall in systolic blood pressure >40 mmHg from baseline systolic pressure after adequate fluid resuscitation). which cannot be explained by any other reason.
{"title":"Cardiorenal Syndrome","authors":"Shirly Lucas","doi":"10.14710/jai.v0i0.46154","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.46154","url":null,"abstract":"Cardiorenal syndrome (CRS) is a condition in which kidney disease and heart disease occur simultaneously and progresses rapidly. The disorder itself can start from the heart or kidneys. In the context of renal disease as the cause of the disorder, diseases such as atherosclerosis, arteriosclerosis, endothelial dysfunction, and uremic cardiomyopathy are cardiovascular pathological manifestations of CRS. In cases where heart disease is the primary disease, it is the disturbance of cardiovascular dynamics, neurohormonal activation and inflammatory factors that are involved in the initial deterioration of renal function and progressive kidney disease.The word sepsis was first used more than 2000 years ago in ancient Greek literature, referenced by Homer, Hippocrates, Aristotle, Plutarch, and Galen to describe the breakdown of organic matter. In early 1989, Robert Bone introduced the concept of the “sepsis syndrome” as “a systemic response to a documented or suspected infection and at least one organ dysfunction”; consists of hypothermia/hyperthermia, tachycardia, tachypnea, infection, and end-organ dysfunction due to hypoperfusion.More modern definitions of sepsis are based on the concept of SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome), a term that describes immune complexes in response to infection and is also used to describe the clinical features associated with that response. The clinical use of SIRS describes a disorder of respiratory rate, heart rate, temperature, and leukocyte count. If there are 2 of the 4 criteria below, SIRS can be established: breaths > 20 breaths per minute or PaCo2 <32 mmHg, pulse rate >90 beats per minute, temperature >38oC or <36oC, and leukocytes >12,000/mm3 or <4,000/mm3. The guidelines state that sepsis is SIRS with suspected or proven infection, whereas severe sepsis describes patients who meet the criteria for sepsis and with organ dysfunction. At its worst, septic shock is defined as “characteristic acute circulatory failure with persistent arterial hypotension (including systolic <90 mmHg, MAP <65 mmHg, or a drastic fall in systolic blood pressure >40 mmHg from baseline systolic pressure after adequate fluid resuscitation). which cannot be explained by any other reason.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"66 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-10-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"133580965","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Latar Belakang : Postoperative cognitive dysfunction (POCD) merupakan penurunan kemampuan kognitif seseorang pasca operasi yang berhubungan erat dengan kesehatan pasien, lama perawatan, tingkat morbiditas, mortalitas, keterlambatan penyembuhan, dan penurunan kualitas hidup. POCD dapat terjadi pada 15-25% pasien yang menjalani operasi, umumnya pada operasi dengan pembiusan umum. POCD dapat didiagnosa menggunakan instrumen skrining disfungsi kognitif ringan, diantaranya adalah menggunakan tes MOCA-INA yang memiliki nilai spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi. Agen anestesi inhalasi sering disebut sebagai salah satu faktor pemicu POCD karena perannya dalam peningkatan agregasi Aβ dan kemampuannya dalam mencegah transmisi kolinergik. Secara teoritis, isofluran lebih unggul daripada sevofluran karena memiliki sifat neuroprotektif.Tujuan : Mengetahui perbedaan pengaruh penggunaan sevoflurane dan isoflurane terhadap kejadian POCD pada pasien yang menjalani operasi laparotomi salpingo ooforektomi.Metode : Sebanyak 20 pasien yang menjalani operasi laparotomi salpingo ooforektomi dimasukkan dalam penelitian randomized clinical trial. Pasien dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang menggunakan agen anestesi inhalasi sevoflurane (kel. 1) dan isoflurane (kel. 2) untuk pemeliharaan anestesi. Kedua kelompok dilakukan wawancara menggunakan kuesioner MOCA-INA satu hari sebelum dan tiga hari sesudah operasi untuk menilai tingkat kognitifnya. Kejadian POCD ditandai dengan penurunan nilai MOCA-INA minimal sebesar 20% dari nilai awal.Hasil : Dari kedua kelompok tidak didapatkan subjek yang mengalami POCD, dan tidak ada perbedaan perubahan nilai kognitif yang bermakna antara kelompok 1 dan kelompok 2.Simpulan : Tidak ada perbedaan pengaruh penggunaan sevoflurane dan isoflurane yang bermakna secara statistik terhadap kejadian POCD pada pasien yang menjalani operasi laparotomi salpingo ooforektomi.
{"title":"PENGARUH PENGGUNAAN SEVOFLURANE DAN ISOFLURANE TERHADAP POSTOPERATIVE COGNITIVE DYSFUNCTION PADA PASIEN YANG MENJALANI OPERASI LAPAROTOMI SALPINGO OOFOREKTOMI","authors":"A. Baskoro","doi":"10.14710/jai.v0i0.27379","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.27379","url":null,"abstract":"Latar Belakang : Postoperative cognitive dysfunction (POCD) merupakan penurunan kemampuan kognitif seseorang pasca operasi yang berhubungan erat dengan kesehatan pasien, lama perawatan, tingkat morbiditas, mortalitas, keterlambatan penyembuhan, dan penurunan kualitas hidup. POCD dapat terjadi pada 15-25% pasien yang menjalani operasi, umumnya pada operasi dengan pembiusan umum. POCD dapat didiagnosa menggunakan instrumen skrining disfungsi kognitif ringan, diantaranya adalah menggunakan tes MOCA-INA yang memiliki nilai spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi. Agen anestesi inhalasi sering disebut sebagai salah satu faktor pemicu POCD karena perannya dalam peningkatan agregasi Aβ dan kemampuannya dalam mencegah transmisi kolinergik. Secara teoritis, isofluran lebih unggul daripada sevofluran karena memiliki sifat neuroprotektif.Tujuan : Mengetahui perbedaan pengaruh penggunaan sevoflurane dan isoflurane terhadap kejadian POCD pada pasien yang menjalani operasi laparotomi salpingo ooforektomi.Metode : Sebanyak 20 pasien yang menjalani operasi laparotomi salpingo ooforektomi dimasukkan dalam penelitian randomized clinical trial. Pasien dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang menggunakan agen anestesi inhalasi sevoflurane (kel. 1) dan isoflurane (kel. 2) untuk pemeliharaan anestesi. Kedua kelompok dilakukan wawancara menggunakan kuesioner MOCA-INA satu hari sebelum dan tiga hari sesudah operasi untuk menilai tingkat kognitifnya. Kejadian POCD ditandai dengan penurunan nilai MOCA-INA minimal sebesar 20% dari nilai awal.Hasil : Dari kedua kelompok tidak didapatkan subjek yang mengalami POCD, dan tidak ada perbedaan perubahan nilai kognitif yang bermakna antara kelompok 1 dan kelompok 2.Simpulan : Tidak ada perbedaan pengaruh penggunaan sevoflurane dan isoflurane yang bermakna secara statistik terhadap kejadian POCD pada pasien yang menjalani operasi laparotomi salpingo ooforektomi.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"30 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-10-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124409180","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Shafira Dian Prameswari, Ardana Tri Arianto, Purwoko Purwoko, S. Santoso
Latar Belakang: Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh dengan dengan benda-benda yang menghasilkan panas baik kontak secara langsung maupun tidak langsung. Hal tersebut bisa disebabkan oleh panas (api, cairan/lemak panas, maupun uap panas), radiasi, listrik, kimia. Pemberian melatonin mampu menjadi salah satu terapi pada penderita luka bakar. Dalam terapi luka bakar melatonin berperan dalam mengurangi stress oksidatif dan peradangan.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh melatonin terhadap kadar leukosit tikus wistar model luka bakar (dalam kurun waktu dua hari).Metode: Penelitian yang dilakukan bersifat eksperimental yang dilakukan pada laboratorium dengan metode randomized control group pre test dan post test. Tikus yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 12 yang akan dibagi menjadi 2 kelompok: K1−kelompok kontrol dan K2−kelompok perlakuan yang diinjeksi melatonin. Data akan dilakukan uji distribusinya menggunakan uji Shapiro-Wilk. Jika distribusi data normal uji hipotesis dilakukan dengan Independent T-test dan Paired T-test namun jika distribusi data tidak normal dapat dilakukan uji Mann-Whitney.Hasil: Dari hasil penelitian yang dilakukan terdapat penurunan kadar leukosit yang signifikan sebesar 6,483 x 109/L pada K2 secara signifikan yang didukung dengan uji hipotesis Paired T-test yang menunjukkan perbandingan kadar leukosit pada T1 dan T3 didapatkan nilai P = 0,01 yang berarti signifikan dan dikatakan signifikan apabila P < 0,05Kesimpulan: Terdapat pengaruh melatonin terhadap kadar leukosit tikus wistar model luka bakar (dalam kurun waktu dua hari).
{"title":"Pengaruh Melatonin terhadap Kadar Leukosit Tikus Wistar Model Luka Bakar dalam Kurun Waktu Dua Hari","authors":"Shafira Dian Prameswari, Ardana Tri Arianto, Purwoko Purwoko, S. Santoso","doi":"10.14710/jai.v0i0.49577","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.49577","url":null,"abstract":"Latar Belakang: Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh dengan dengan benda-benda yang menghasilkan panas baik kontak secara langsung maupun tidak langsung. Hal tersebut bisa disebabkan oleh panas (api, cairan/lemak panas, maupun uap panas), radiasi, listrik, kimia. Pemberian melatonin mampu menjadi salah satu terapi pada penderita luka bakar. Dalam terapi luka bakar melatonin berperan dalam mengurangi stress oksidatif dan peradangan.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh melatonin terhadap kadar leukosit tikus wistar model luka bakar (dalam kurun waktu dua hari).Metode: Penelitian yang dilakukan bersifat eksperimental yang dilakukan pada laboratorium dengan metode randomized control group pre test dan post test. Tikus yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 12 yang akan dibagi menjadi 2 kelompok: K1−kelompok kontrol dan K2−kelompok perlakuan yang diinjeksi melatonin. Data akan dilakukan uji distribusinya menggunakan uji Shapiro-Wilk. Jika distribusi data normal uji hipotesis dilakukan dengan Independent T-test dan Paired T-test namun jika distribusi data tidak normal dapat dilakukan uji Mann-Whitney.Hasil: Dari hasil penelitian yang dilakukan terdapat penurunan kadar leukosit yang signifikan sebesar 6,483 x 109/L pada K2 secara signifikan yang didukung dengan uji hipotesis Paired T-test yang menunjukkan perbandingan kadar leukosit pada T1 dan T3 didapatkan nilai P = 0,01 yang berarti signifikan dan dikatakan signifikan apabila P < 0,05Kesimpulan: Terdapat pengaruh melatonin terhadap kadar leukosit tikus wistar model luka bakar (dalam kurun waktu dua hari).","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"34 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-10-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125024885","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}