Pub Date : 2023-07-31DOI: 10.14710/jai.v15i2.53937
Jessica Nathalia, Jane Josephine Chandra, Debby Vania, Albert Frido Hutagalung
Latar belakang: Badai tiroid atau krisis hipertiroid merupakan komplikasi hipertiroidisme akut yang mengancam jiwa dan sebagai presentasi dari tirotoksikosis yang berlebihan. Gejala badai tiroid yang paling parah yang mungkin terjadi berupa aritmia atrium dan/atau ventrikel, gagal jantung, dan/atau henti jantung.Kasus: Pada ketiga kasus, terdapat gambaran klinis serta gangguan irama jantung yang berbeda berupa atrial fibrilasi (AF) dan supraventrikuler takikardi (SVT) yang berhubungan dengan hipertiroidisme. Terdapat kegawatdaruratan badai tiroid yang dapat mengancam nyawa sehingga diperlukan perawatan yang intensif pada ketiga pasien tersebut. Selama perawatan di intensive care unit (ICU), ketiga pasien mendapatkan terapi standar berupa antitiroid dan obat antiaritmia golongan beta bloker dan golongan glikosida digitalis.Diskusi: Peningkatan hormon tiroid memiliki peran untuk menyebabkan AF dan SVT. Setelah dilakukan tatalaksana sesuai dengan Japan Guideline Thyroid Storm (2016), terdapat perbaikan pada kasus 2 dan 3. Namun, pada kasus 1 tetap didapatkan SVT persisten dengan badai tiroid yang tidak terkontrol.Kesimpulan: Gambaran klinis badai tiroid bervariasi, mulai dari disfungsi sistem termoregulasi, gangguan gastrointestinal dan hati, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan irama jantung. Pada ketiga kasus ini, gambaran klinis dari hipertiroidisme akut dan badai tiroid berbeda-beda. Namun, terdapat kegawatdaruratan yang sama yang dapat mengancam nyawa sehingga diperlukan perawatan yang intensif pada ketiga pasien tersebut.
{"title":"Tatalaksana Badai Tiroid dan Aritmia di ICU: Serial Kasus","authors":"Jessica Nathalia, Jane Josephine Chandra, Debby Vania, Albert Frido Hutagalung","doi":"10.14710/jai.v15i2.53937","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v15i2.53937","url":null,"abstract":"Latar belakang: Badai tiroid atau krisis hipertiroid merupakan komplikasi hipertiroidisme akut yang mengancam jiwa dan sebagai presentasi dari tirotoksikosis yang berlebihan. Gejala badai tiroid yang paling parah yang mungkin terjadi berupa aritmia atrium dan/atau ventrikel, gagal jantung, dan/atau henti jantung.Kasus: Pada ketiga kasus, terdapat gambaran klinis serta gangguan irama jantung yang berbeda berupa atrial fibrilasi (AF) dan supraventrikuler takikardi (SVT) yang berhubungan dengan hipertiroidisme. Terdapat kegawatdaruratan badai tiroid yang dapat mengancam nyawa sehingga diperlukan perawatan yang intensif pada ketiga pasien tersebut. Selama perawatan di intensive care unit (ICU), ketiga pasien mendapatkan terapi standar berupa antitiroid dan obat antiaritmia golongan beta bloker dan golongan glikosida digitalis.Diskusi: Peningkatan hormon tiroid memiliki peran untuk menyebabkan AF dan SVT. Setelah dilakukan tatalaksana sesuai dengan Japan Guideline Thyroid Storm (2016), terdapat perbaikan pada kasus 2 dan 3. Namun, pada kasus 1 tetap didapatkan SVT persisten dengan badai tiroid yang tidak terkontrol.Kesimpulan: Gambaran klinis badai tiroid bervariasi, mulai dari disfungsi sistem termoregulasi, gangguan gastrointestinal dan hati, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan irama jantung. Pada ketiga kasus ini, gambaran klinis dari hipertiroidisme akut dan badai tiroid berbeda-beda. Namun, terdapat kegawatdaruratan yang sama yang dapat mengancam nyawa sehingga diperlukan perawatan yang intensif pada ketiga pasien tersebut.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"12 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-07-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135358696","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Latar Belakang: Enhanced recovery after cardiac surgery (ERAS-CS) merupakan manajemen perioperatif pada bedah jantung dengan pendekatan multidisiplin dan multifaktorial yang bertujuan mempercepat pemulihan dan mobilisasi, meminimalkan efek samping ventilator mekanik, mual muntah dan nyeri pascabedah, serta mengurangi lama rawat intensif dan biaya perawatan rumah sakit. Anestesi fast track merupakan bagian tidak terpisahkan dari ERAS-CS.Kasus: Wanita, 16 tahun, dengan regurgitasi katup mitral berat dan katup trikuspid sedang, dilakukan bedah jantung mitral dengan annuloplasty. Informed consent, puasa enam jam, dan pemberian air putih manis dua jam sebelum pembedahan dilakukan sebagai persiapan anestesia. Induksi, intubasi, pemasangan akses vena sentral dan monitor hemodinamik invasif, serta blok interkostal parasternal dilakukan sebelum insisi kulit. Pembedahan berlangsung selama 180 menit dengan waktu cardiopulmonary bypass (CPB) 61 menit dan waktu klem silang aorta 35 menit. Hemodinamik stabil dengan analgetik fentanyl 2 mcg/kgBB saat induksi dan morfin 20 mcg/kgBB/jam selama pembedahan. Pemeriksaan transesophageal echocardiography (TEE) menunjukkan kontraktilitas baik tanpa disertai residual pascakoreksi. Ekstubasi dilakukan setelah penutupan luka operasi. Kesadaran penuh dan mobilisasi bebas dengan visual analogue scale (VAS) 0-1 didapatkan dalam dua jam pertama perawatan intensif.Pembahasan: Tatalaksana ERAS-CS terdiri dari manajemen prabedah, pembedahan, dan pascabedah. Edukasi saat evaluasi praanestesi dilakukan untuk mengurangi kecemasan dan peningkatan ambang nyeri. Pembatasan puasa dan pemberian cairan jernih manis dua jam sebelum pembedahan dilakukan untuk mengurangsi risiko starvasi, resistensi insulin, dan hiperglikemik. Teknik blok saraf tepi interkostal dapat bermanfaat dalam mengurangi kebutuhan opioid. Ekstubasi ultra fast-track dilakukan secara terarah untuk mengurangsi risiko komplikasi dan mempercepat mobilisasi pascabedah. Pemulihan kesadaran secara cepat tanpa nyeri dan mual muntah pascabedah (PONV) didapatkan selama perawatan intensif.Kesimpulan: Penerapan ERAS-CS secara tepat dapat memberikan pemulihan cepat serta mampu mengurangi komplikasi dan lama rawat intensif pascabedah.
背景:cardiac surgery (ergery)是心脏手术后的自我恢复管理,采用多学科和多因素的方法,促进康复和动员,减少机械呼吸机的副作用,恶心和手术后疼痛,以及减少长期重症监护和护理费用。快速轨迹麻醉是ERAS-CS不可分割的一部分。这是一名16岁的妇女,她患有严重的外化硬膜瓣膜和三尖肌瓣膜雷知情同意,禁食6小时,在麻醉药准备前两小时进行甜蜜的注射。诱导感应、插管、中央静脉通道和血液动力监测器入侵,以及寄生虫的肋部块在皮肤内侧之前进行。手术时间为180分钟,心脏旁路时间为61分钟,主动脉夹时间为35分钟。稳定血液动力学与镇痛苯酚2 mcg/kgBB在手术过程中诱导和吗啡20 mcg/kgBB/小时。腔内回声术检查显示,手术时没有残留结节结节。伤口愈合后渗出。在最初的两小时重症监护室获得完全意识和免费动员。讨论:术前管理、外科和术后管理等辅助设计。接受预麻醉评估的教育,以减轻焦虑和增加疼痛阈值。在手术前两小时实施禁食和甜蜜透明液体限制,以减少中毒、胰岛素抵抗和高血糖的风险。肋间神经阻滞剂技术可以帮助减少对阿片类物质的需求。超快追踪是为了避免并发症风险和加速手术后的动员。在强化治疗过程中,可以迅速恢复无疼痛和腹胀呕吐。结论:按理说来,按理说可以提供快速康复,减少并发症和长期的手术强化治疗。
{"title":"ERAS pada Bedah Jantung Koreksi Katup Mitral: Laporan Kasus","authors":"Antonius Budi Santoso, Yudi Hadinata","doi":"10.14710/jai.v0i0.49417","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.49417","url":null,"abstract":"Latar Belakang: Enhanced recovery after cardiac surgery (ERAS-CS) merupakan manajemen perioperatif pada bedah jantung dengan pendekatan multidisiplin dan multifaktorial yang bertujuan mempercepat pemulihan dan mobilisasi, meminimalkan efek samping ventilator mekanik, mual muntah dan nyeri pascabedah, serta mengurangi lama rawat intensif dan biaya perawatan rumah sakit. Anestesi fast track merupakan bagian tidak terpisahkan dari ERAS-CS.Kasus: Wanita, 16 tahun, dengan regurgitasi katup mitral berat dan katup trikuspid sedang, dilakukan bedah jantung mitral dengan annuloplasty. Informed consent, puasa enam jam, dan pemberian air putih manis dua jam sebelum pembedahan dilakukan sebagai persiapan anestesia. Induksi, intubasi, pemasangan akses vena sentral dan monitor hemodinamik invasif, serta blok interkostal parasternal dilakukan sebelum insisi kulit. Pembedahan berlangsung selama 180 menit dengan waktu cardiopulmonary bypass (CPB) 61 menit dan waktu klem silang aorta 35 menit. Hemodinamik stabil dengan analgetik fentanyl 2 mcg/kgBB saat induksi dan morfin 20 mcg/kgBB/jam selama pembedahan. Pemeriksaan transesophageal echocardiography (TEE) menunjukkan kontraktilitas baik tanpa disertai residual pascakoreksi. Ekstubasi dilakukan setelah penutupan luka operasi. Kesadaran penuh dan mobilisasi bebas dengan visual analogue scale (VAS) 0-1 didapatkan dalam dua jam pertama perawatan intensif.Pembahasan: Tatalaksana ERAS-CS terdiri dari manajemen prabedah, pembedahan, dan pascabedah. Edukasi saat evaluasi praanestesi dilakukan untuk mengurangi kecemasan dan peningkatan ambang nyeri. Pembatasan puasa dan pemberian cairan jernih manis dua jam sebelum pembedahan dilakukan untuk mengurangsi risiko starvasi, resistensi insulin, dan hiperglikemik. Teknik blok saraf tepi interkostal dapat bermanfaat dalam mengurangi kebutuhan opioid. Ekstubasi ultra fast-track dilakukan secara terarah untuk mengurangsi risiko komplikasi dan mempercepat mobilisasi pascabedah. Pemulihan kesadaran secara cepat tanpa nyeri dan mual muntah pascabedah (PONV) didapatkan selama perawatan intensif.Kesimpulan: Penerapan ERAS-CS secara tepat dapat memberikan pemulihan cepat serta mampu mengurangi komplikasi dan lama rawat intensif pascabedah.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"4 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-07-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135358697","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Jerry Ferdinand Haposan Saragih, Sri Achadi Nugraheni, Mateus Sakundarno Adi
Latar belakang: Klinik nyeri Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang merupakan satu-satunya klinik nyeri kolaboratif multidisiplin yang ada di kota Semarang. Klinik nyeri ini berdiri pada tahun 2019 dimana pada saat awal berdiri sudah ada pasien yang berkunjung akan tetapi setelah adanya pandemi COVID-19 klinik nyeri mengalami penurunan kunjungan. Penerapan pelayanan kesehatan yang berkualitas di klinik nyeri Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang perlu memperhatikan faktor internal maupun faktor ekstenal dari klinik nyeri. Selain itu hasil analisa strength, weakness, opputunity, thread (SWOT) dari internal factors summary (IFAS) dan external factors summary (EFAS) dapat membantu manajemen Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang dalam mengelola implementasi strategi secara efektif. Namun analisa SWOT belum dilakukan oleh klinik nyeri Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang.Tujuan: Menganalisis pelayanan klinik nyeri Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang dengan menggunakan metode SWOT.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional partisipatif multiple time approach. Pengumpulan menggunakan data primer yang dilakukan dengan metode kualitatif melalui wawancara mendalam secara langsung dari informan penelitian. Terdiri dari 7 informan utama dan 5 informan triangulasi. Analisis data dari wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan interactive model.Hasil: Kekuatan terbesar yang dimiliki klinik nyeri yakni mempunyai sumber daya manusia (SDM) yang sangat kompeten dan professional serta tarif klinik nyeri yang lebih murah daripada rumah sakit lainnya. Kelemahan terbesar dari klinik nyeri yakni strategi pemasaran yang belum maksimal dan metode pembayaran yang belum bisa menggunakan jaminan kesehatan nasional (JKN). Peluang terbesar yang dimiliki klinik nyeri adalah mempunyai peralatan dan sarana prasarana yang canggih. Ancaman terbesar bagi klinik nyeri adalah konflik antar dokter spesialis penanggung jawab pasien dan konflik antar unit layanan lain. Penggunaan matriks thread-oppurtunity, weakness-strength (TOWS) yang mendukung strategi SWOT.Kesimpulan: Analisis SWOT dan matriks TOWS dalam penelitian ini dapat membantu peneliti dalam menentukan startegi pelayanan yang baik bagi klinik nyeri Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang.
背景:圣伊丽莎白三宝朗医院疼痛诊所是三宝垄唯一存在的多学科疼痛合作诊所。疼痛诊所成立于2019年,在它开始的时候就已经有了探视病人,但是在COVID-19大流行之后,疼痛诊所的探访有所减少。在圣伊丽莎白三宝朗医院疼痛诊所(St. Elisabeth Semarang)实施高质量医疗服务需要考虑疼痛诊所的内部和长期因素。此外,内部factors summary (IFAS)、opputunity、thread (SWOT)分析可以帮助圣Elisabeth Semarang医院管理有效执行战略。但圣伊丽莎白三宝朗疼痛诊所对SWOT的分析还没有进行。目的:使用SWOT方法分析圣伊丽莎白三宝朗医院疼痛诊所服务。方法:这项研究是一项多时参与观察研究。收集主要采用定性方法进行的原始数据,直接采访研究信息者。包括7个主要线人和5个三角导体。深度采访的数据分析是通过一个互动模式进行的。结果:疼痛诊所最大的力量是拥有非常能干和专业的人力资源,以及比其他医院更便宜的疼痛诊所费用。疼痛诊所最大的缺点是市场营销策略和不使用国家健康保险(JKN)的付款方式。疼痛诊所最大的机会是拥有先进的设备和基础设施。对疼痛诊所最大的威胁是负责病人的医生之间的冲突和其他服务单位之间的冲突。使用线虫、弱强度矩阵来支持SWOT战略。结论:这项研究对SWOT和TOWS矩阵的分析可以帮助研究人员确定St. Elisabeth Semarang医院疼痛诊所的良好服务。
{"title":"SWOT Analisis Pelayanan Klinik Nyeri Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang","authors":"Jerry Ferdinand Haposan Saragih, Sri Achadi Nugraheni, Mateus Sakundarno Adi","doi":"10.14710/jai.v0i0.54419","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.54419","url":null,"abstract":"Latar belakang: Klinik nyeri Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang merupakan satu-satunya klinik nyeri kolaboratif multidisiplin yang ada di kota Semarang. Klinik nyeri ini berdiri pada tahun 2019 dimana pada saat awal berdiri sudah ada pasien yang berkunjung akan tetapi setelah adanya pandemi COVID-19 klinik nyeri mengalami penurunan kunjungan. Penerapan pelayanan kesehatan yang berkualitas di klinik nyeri Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang perlu memperhatikan faktor internal maupun faktor ekstenal dari klinik nyeri. Selain itu hasil analisa strength, weakness, opputunity, thread (SWOT) dari internal factors summary (IFAS) dan external factors summary (EFAS) dapat membantu manajemen Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang dalam mengelola implementasi strategi secara efektif. Namun analisa SWOT belum dilakukan oleh klinik nyeri Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang.Tujuan: Menganalisis pelayanan klinik nyeri Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang dengan menggunakan metode SWOT.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional partisipatif multiple time approach. Pengumpulan menggunakan data primer yang dilakukan dengan metode kualitatif melalui wawancara mendalam secara langsung dari informan penelitian. Terdiri dari 7 informan utama dan 5 informan triangulasi. Analisis data dari wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan interactive model.Hasil: Kekuatan terbesar yang dimiliki klinik nyeri yakni mempunyai sumber daya manusia (SDM) yang sangat kompeten dan professional serta tarif klinik nyeri yang lebih murah daripada rumah sakit lainnya. Kelemahan terbesar dari klinik nyeri yakni strategi pemasaran yang belum maksimal dan metode pembayaran yang belum bisa menggunakan jaminan kesehatan nasional (JKN). Peluang terbesar yang dimiliki klinik nyeri adalah mempunyai peralatan dan sarana prasarana yang canggih. Ancaman terbesar bagi klinik nyeri adalah konflik antar dokter spesialis penanggung jawab pasien dan konflik antar unit layanan lain. Penggunaan matriks thread-oppurtunity, weakness-strength (TOWS) yang mendukung strategi SWOT.Kesimpulan: Analisis SWOT dan matriks TOWS dalam penelitian ini dapat membantu peneliti dalam menentukan startegi pelayanan yang baik bagi klinik nyeri Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"46 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-07-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135358700","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Bunga Priscilla Rotua Manurung, Maulydia Maulydia, M. Rochmanti, N. M. Rehatta
Introduction: Pain is a condition that the majority of critical care patients will possibly suffer at some point during their stay in the intensive care unti (ICU). In both medical and surgical ICU patients, the incidence of considerable pain is still 50% or greater. Analgesic administration is considered one of the most effective pain managements. While useful, it can cause detrimental effects if not used according to its indications and regulations.Objective: To obtain the analgesic profile used in intensive observation room (ruang observasi intensif/ROI) Dr. Soetomo General Hospital Surabaya.Methods: This study is a retrospective descriptive study with 537 medical records met the inclusion criteria.Result: The most frequent analgesic used is metamizole (44.41%) and paracetamol (16.08%) while ketamine was used the least (0.24%). Most commonly used analgesic adjuvants is phenytoin (6.12%). The amount of single drug administration (52.70%) is more frequent than multimodal analgesic (47.30%). Metamizole with paracetamol is the most popular analgesic combination (20.74%), followed by metamizole with tramadol (14.17%), and metamizole with fentanyl (12.99%). The most common procedures recorded are obstetrics and gynaecological (29.98%), cranial and general surgery with the same result (21.42%), and orthopaedic (12.29%). 205 samples with Wong-Baker FACES Pain Ratings Scales stated that there is an increase in patients who do not experience pain after administration of analgesics (N=25 to N=132), patients that underwent mild pain decreased (N=134 to N=65), and patients with moderate and severe pain also decreased (N=43 to N=8 and N=3 to N=0 respectively).Conclusion: Non-opioid analgesic dominates the analgesic profile in ROI Dr. Soetomo General Hospital Surabaya compared to opioids that generally used the most worldwide. Giving analgesics to patients has been proven successful in reducing the pain degree.
{"title":"Analgesic Profile in Intensive Observation Room (Ruang Observasi Intensif/ ROI) Dr. Soetomo General Hospital Surabaya","authors":"Bunga Priscilla Rotua Manurung, Maulydia Maulydia, M. Rochmanti, N. M. Rehatta","doi":"10.14710/jai.v0i0.49869","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.49869","url":null,"abstract":"Introduction: Pain is a condition that the majority of critical care patients will possibly suffer at some point during their stay in the intensive care unti (ICU). In both medical and surgical ICU patients, the incidence of considerable pain is still 50% or greater. Analgesic administration is considered one of the most effective pain managements. While useful, it can cause detrimental effects if not used according to its indications and regulations.Objective: To obtain the analgesic profile used in intensive observation room (ruang observasi intensif/ROI) Dr. Soetomo General Hospital Surabaya.Methods: This study is a retrospective descriptive study with 537 medical records met the inclusion criteria.Result: The most frequent analgesic used is metamizole (44.41%) and paracetamol (16.08%) while ketamine was used the least (0.24%). Most commonly used analgesic adjuvants is phenytoin (6.12%). The amount of single drug administration (52.70%) is more frequent than multimodal analgesic (47.30%). Metamizole with paracetamol is the most popular analgesic combination (20.74%), followed by metamizole with tramadol (14.17%), and metamizole with fentanyl (12.99%). The most common procedures recorded are obstetrics and gynaecological (29.98%), cranial and general surgery with the same result (21.42%), and orthopaedic (12.29%). 205 samples with Wong-Baker FACES Pain Ratings Scales stated that there is an increase in patients who do not experience pain after administration of analgesics (N=25 to N=132), patients that underwent mild pain decreased (N=134 to N=65), and patients with moderate and severe pain also decreased (N=43 to N=8 and N=3 to N=0 respectively).Conclusion: Non-opioid analgesic dominates the analgesic profile in ROI Dr. Soetomo General Hospital Surabaya compared to opioids that generally used the most worldwide. Giving analgesics to patients has been proven successful in reducing the pain degree. ","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"114 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124556486","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Dina Paramita, Renata Kusuma Wardani, M. S. Harahap, Mochamat Mochamat
Latar Belakang: Sevofluran dan isofluran merupakan agen inhalasi yang sering digunakan sebagai maintenance anestesi umum selama operasi. Penggunaan sevofluran dan isofluran diketahui menghasilkan karbon monoksida (CO) dalam kontak dengan adsorbent atau penyerap CO2 tipe kering. Tiga puluh satu kasus keracunan CO intra-operatif ditemukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang, dengan konsentrasi CO melebihi 1000 parts per million (ppm) dan konsentrasi karboksihemoglobin (COHb) mencapai lebih dari 30%. Pasien yang mengalami keracunan CO dengan kadar COHb yang tinggi dapat mengeluhkan gejala seperti sakit kepala, mual, muntah, pusing, dan kelemahan anggota gerak, bahkan dapat mengakibatkan pasien sulit sadar hingga kematian.Tujuan: Mengetahui perubahan kadar COHb pada penggunaan agen inhalasi sevofluran dan isofluran pada pasien yang menjalani bedah vitrektomi di RSUP Dr. Kariadi Semarang.Metode: Penelitian ini adalah eksperimental dengan non randomized control group pre-test post-test yang dilakukan di instalasi bedah sentral RSUP Dr. Kariadi selama 3 bulan. Kadar COHb diambil dengan sampel darah vena pada sebelum induksi dan 60 menit setelah induksi. Pemeriksaan kadar COHb menggunakan metode kuantitatif dengan Human COHb (carboxyhemoglobin) ELISA. Total subjek adalah 26 orang dengan rata-rata usia 48,27 tahun. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok sevofluran dan isovluran dengan rata-rata durasi operasi selama 65 menit.Hasil: Kadar COHb pre-test kelompok sevofluran dan isofluran adalah 4,34 dan 4,39. Kadar COHb post-test kelompok sevofluran dan isofluran adalah 4,48 dan 4,95.Kesimpulan: Hal ini menunjukan bahwa nilai post-test COHb pada kelompok isoflurane lebih tinggi dengan peningkatan kadar COHb yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok sevofluran. Isofluran menghasilkan kadar COHb lebih tinggi daripada sevofluran.
背景:Sevofluran和i飞行器是一种吸入剂,在手术过程中经常用作辅助麻醉药。sevofluran和isof晚的使用会导致与adsorbent或干燥吸收型的一氧化碳(CO)接触。在Kariadi Semarang博士的RSUP麻醉品中毒病例中发现了31例,CO的浓度超过每百万次(ppm),和羧酸血红蛋白(COHb)浓度超过30%。高水平的联合药物中毒患者可能会抱怨头痛、恶心、呕吐、头晕和肢体无力等症状,甚至可能导致患者死亡。目标:确定COHb水平的变化,以使用sevofluran和isub跟踪剂的使用,为Kariadi Semarang的体外切除术患者。方法:这项研究是一项实验,在Kariadi医生的中央手术中进行了3个月的非randomimized control group pre-test。COHb水平在诱发前和诱发后60分钟随静脉样本采集。COHb检测方法采用了ELISA carboxy血红蛋白(carboxy血红蛋白)的定量方法。受试者总数为26人,平均年龄为48.27岁。受试者被分为两组,即sevoran和isovrange,手术时间平均为65分钟。结果:sevoran和isofcharge的产前技术水平为4.34和4.39。COHb posttest group sevoran和imparow range为4.48和4.95。结论:这表明,在isoflurane群体中,posttest COHb的价值比sevofluran群体高得多。该系统的氟化利率高于氟化。
{"title":"Kadar COHb (Karboksihemoglobin) pada Penggunaan Sevofluran dan Isofluran Pasien yang Menjalani Vitrektomi di Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi","authors":"Dina Paramita, Renata Kusuma Wardani, M. S. Harahap, Mochamat Mochamat","doi":"10.14710/jai.v0i0.50177","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.50177","url":null,"abstract":"Latar Belakang: Sevofluran dan isofluran merupakan agen inhalasi yang sering digunakan sebagai maintenance anestesi umum selama operasi. Penggunaan sevofluran dan isofluran diketahui menghasilkan karbon monoksida (CO) dalam kontak dengan adsorbent atau penyerap CO2 tipe kering. Tiga puluh satu kasus keracunan CO intra-operatif ditemukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang, dengan konsentrasi CO melebihi 1000 parts per million (ppm) dan konsentrasi karboksihemoglobin (COHb) mencapai lebih dari 30%. Pasien yang mengalami keracunan CO dengan kadar COHb yang tinggi dapat mengeluhkan gejala seperti sakit kepala, mual, muntah, pusing, dan kelemahan anggota gerak, bahkan dapat mengakibatkan pasien sulit sadar hingga kematian.Tujuan: Mengetahui perubahan kadar COHb pada penggunaan agen inhalasi sevofluran dan isofluran pada pasien yang menjalani bedah vitrektomi di RSUP Dr. Kariadi Semarang.Metode: Penelitian ini adalah eksperimental dengan non randomized control group pre-test post-test yang dilakukan di instalasi bedah sentral RSUP Dr. Kariadi selama 3 bulan. Kadar COHb diambil dengan sampel darah vena pada sebelum induksi dan 60 menit setelah induksi. Pemeriksaan kadar COHb menggunakan metode kuantitatif dengan Human COHb (carboxyhemoglobin) ELISA. Total subjek adalah 26 orang dengan rata-rata usia 48,27 tahun. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok sevofluran dan isovluran dengan rata-rata durasi operasi selama 65 menit.Hasil: Kadar COHb pre-test kelompok sevofluran dan isofluran adalah 4,34 dan 4,39. Kadar COHb post-test kelompok sevofluran dan isofluran adalah 4,48 dan 4,95.Kesimpulan: Hal ini menunjukan bahwa nilai post-test COHb pada kelompok isoflurane lebih tinggi dengan peningkatan kadar COHb yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok sevofluran. Isofluran menghasilkan kadar COHb lebih tinggi daripada sevofluran.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"37 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124105347","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Latar Belakang: Kardiomiopati hipertrofi (HCM) adalah kondisi dominan autosomal. Penyebab penting kematian mendadak orang dewasa muda. Meskipun sering tanpa gejala, gejala yang muncul pada kardiomiopati hipertrofi adalah gagal jantung seperti sesak napas, nyeri dada pada aktivitas, sinkop atau pra-sinkop, aritmia, dan kematian mendadak. Tanda-tanda yang bisa ditemukan seperti hipotensi, denyut nadi rendah, heave ventrikel kiri, murmur sistolik ejeksi, dan murmur regurgitasi mitral. Pasien dengan kondisi ini menjadi tantangan untuk ahli anestesi dalam operasi elektif dan gawat darurat.Kasus: Pasien wanita 29 tahun, dengan diagnosa kardiomiopati hipertrofi obstruksi dan vegetasi yang akan dilakukan tindakan miektomi saluran keluar ventrikel kanan (RVOT), saluran keluar ventrikel kiri (LVOT), dan evakuasi vegetasi. Selama operasi hemodinamik dipertahankan untuk menjaga denyut jantung antara 60-90 denyut per menit, tekanan darah rata-rata 60-70 mmHg. End tidal carbon dioxide (EtCO2) dipertahankan antara 35-40 mmHg dan central venous pressure (CVP) dijaga tetap tinggi pada periode sebelum dan sesudah bypass. Periode weaning hingga pasca bypass, hemodinamik dipertahankan dengan milrinon (0,375 mcg/kgBB/menit) dan dilakukan pemasangan temporary pacemaker (TPM) karena didapatkan irama atrioventricular (AV) block. Pasien dilakukan miektomi septum, release LVOT, reseksi double chamber right ventricular (DCRV), dan evakuasi vegetasi. Pascaoperasi pasien dirawat di intensive care unit (ICU). Selama perawatan di ICU permasalahan yang dihadapi yaitu aritmia maligna.Pembahasan: Teknik anestesi dan manajemen perioperatif pasien ini harus bertujuan untuk menjaga stabilitas hemodinamik, mempertahankan preload dan afterload yang memadai. Menghindari vasodilator dan menghindari agen yang meningkatkan kontraktilitas sangat penting dalam pengelolaan pasien ini. Tujuan intraoperatif termasuk mempertahankan irama sinus, meminimalkan rangsangan stres dan meminimalkan atau mencegah obstruksi saluran keluar ventrikel kiri.Kesimpulan: Kardiomiopati hipertrofi menimbulkan banyak tantangan unik mengenai pelaksanaan anestesi. Preload yang memadai, kontrol stimulasi simpatik, denyut jantung dan peningkatan afterload diperlukan untuk mengurangi obstruksi saluran keluar ventrikel kiri.
{"title":"Manajemen Anestesi Perioperatif Pasien Kardiomiopati Hipertrofi Obstruksi","authors":"N. P. D. Pradnyani, Chairil Gani Koto","doi":"10.14710/jai.v0i0.52497","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.52497","url":null,"abstract":"Latar Belakang: Kardiomiopati hipertrofi (HCM) adalah kondisi dominan autosomal. Penyebab penting kematian mendadak orang dewasa muda. Meskipun sering tanpa gejala, gejala yang muncul pada kardiomiopati hipertrofi adalah gagal jantung seperti sesak napas, nyeri dada pada aktivitas, sinkop atau pra-sinkop, aritmia, dan kematian mendadak. Tanda-tanda yang bisa ditemukan seperti hipotensi, denyut nadi rendah, heave ventrikel kiri, murmur sistolik ejeksi, dan murmur regurgitasi mitral. Pasien dengan kondisi ini menjadi tantangan untuk ahli anestesi dalam operasi elektif dan gawat darurat.Kasus: Pasien wanita 29 tahun, dengan diagnosa kardiomiopati hipertrofi obstruksi dan vegetasi yang akan dilakukan tindakan miektomi saluran keluar ventrikel kanan (RVOT), saluran keluar ventrikel kiri (LVOT), dan evakuasi vegetasi. Selama operasi hemodinamik dipertahankan untuk menjaga denyut jantung antara 60-90 denyut per menit, tekanan darah rata-rata 60-70 mmHg. End tidal carbon dioxide (EtCO2) dipertahankan antara 35-40 mmHg dan central venous pressure (CVP) dijaga tetap tinggi pada periode sebelum dan sesudah bypass. Periode weaning hingga pasca bypass, hemodinamik dipertahankan dengan milrinon (0,375 mcg/kgBB/menit) dan dilakukan pemasangan temporary pacemaker (TPM) karena didapatkan irama atrioventricular (AV) block. Pasien dilakukan miektomi septum, release LVOT, reseksi double chamber right ventricular (DCRV), dan evakuasi vegetasi. Pascaoperasi pasien dirawat di intensive care unit (ICU). Selama perawatan di ICU permasalahan yang dihadapi yaitu aritmia maligna.Pembahasan: Teknik anestesi dan manajemen perioperatif pasien ini harus bertujuan untuk menjaga stabilitas hemodinamik, mempertahankan preload dan afterload yang memadai. Menghindari vasodilator dan menghindari agen yang meningkatkan kontraktilitas sangat penting dalam pengelolaan pasien ini. Tujuan intraoperatif termasuk mempertahankan irama sinus, meminimalkan rangsangan stres dan meminimalkan atau mencegah obstruksi saluran keluar ventrikel kiri.Kesimpulan: Kardiomiopati hipertrofi menimbulkan banyak tantangan unik mengenai pelaksanaan anestesi. Preload yang memadai, kontrol stimulasi simpatik, denyut jantung dan peningkatan afterload diperlukan untuk mengurangi obstruksi saluran keluar ventrikel kiri.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"28 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128159941","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Rifdhani Fakhrudin Nur, Juni Kurniawaty, B. Pratomo
Hipertensi pulmonal akibat kelainan jantung kiri (PH-LHD) pada pasien yang menjalani bedah jantung dihubungkan dengan tingginya komplikasi, peningkatan risiko luaran buruk, dan kenaikan mortalitas perioperatif. Manajemen praoperatif pada pasien PH-LHD meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, serta kateterisasi jantung kanan untuk menegakkan diagnosis definitif. Optimalisasi praoperatif dilakukan dengan memastikan kondisi euvolemik, meneruskan pengobatan sebelumnya, sampai memberikan perawatan intensif pada kondisi gagal jantung dekompensasi akut. Selain pemantauan invasif standar, pemantauan transesophageal echocardiography intraoperatif digunakan untuk menganalisis PH dan mengenali kelainan jantung kiri yang menyebabkan PH. Induksi anestesi dilakukan dengan teknik anestesi balans antara opioid dan agen inhalasi dosis rendah. Pada PH-LHD yang disebabkan lesi katup, target hemodinamik disesuaikan dengan jenis kelainan katupnya. Target manajemen pascaoperatif adalah menghindari dan mengobati gagal ventrikel kanan dengan mengatasi aritmia, melakukan strategi ventilasi mekanik pelindung ventrikel kanan, memastikan keseimbangan cairan, dan memberikan dukungan obat vasoaktif jika diperlukan.
{"title":"Manajemen Perioperatif pada Pasien Hipertensi Pulmonal Akibat Kelainan Jantung Kiri yang Menjalani Operasi Bedah Jantung","authors":"Rifdhani Fakhrudin Nur, Juni Kurniawaty, B. Pratomo","doi":"10.14710/jai.v0i0.49535","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.49535","url":null,"abstract":"Hipertensi pulmonal akibat kelainan jantung kiri (PH-LHD) pada pasien yang menjalani bedah jantung dihubungkan dengan tingginya komplikasi, peningkatan risiko luaran buruk, dan kenaikan mortalitas perioperatif. Manajemen praoperatif pada pasien PH-LHD meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, serta kateterisasi jantung kanan untuk menegakkan diagnosis definitif. Optimalisasi praoperatif dilakukan dengan memastikan kondisi euvolemik, meneruskan pengobatan sebelumnya, sampai memberikan perawatan intensif pada kondisi gagal jantung dekompensasi akut. Selain pemantauan invasif standar, pemantauan transesophageal echocardiography intraoperatif digunakan untuk menganalisis PH dan mengenali kelainan jantung kiri yang menyebabkan PH. Induksi anestesi dilakukan dengan teknik anestesi balans antara opioid dan agen inhalasi dosis rendah. Pada PH-LHD yang disebabkan lesi katup, target hemodinamik disesuaikan dengan jenis kelainan katupnya. Target manajemen pascaoperatif adalah menghindari dan mengobati gagal ventrikel kanan dengan mengatasi aritmia, melakukan strategi ventilasi mekanik pelindung ventrikel kanan, memastikan keseimbangan cairan, dan memberikan dukungan obat vasoaktif jika diperlukan.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"21 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121171889","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-03-31DOI: 10.14710/jai.v15i1.50026
Mahendra Dwi Aditya Lopulalan, Budi Nugroho
Latar Belakang: Ebstein’s anomaly adalah kelainan kongenital yang ditandai dengan malformasi dan perpindahan apikal dari daun katup trikuspid. Pasien datang dengan rentang umur yang luas dari neonatus hingga dewasa dengan berbagai presentasi klinis mulai dari asimtomatik hingga gagal jantung, sianosis, dan aritmia paroksismal. Anomali ini kompleks dan bervariasi yang dapat dikelola dengan berbagai teknik koreksi bedah.Kasus: Seorang wanita berusia 30 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan mudah lelah dan pingsan sejak kecil. Dari pemeriksaan ekokardiografi ditemukan trikuspid regurgitasi berat yang sesuai dengan Ebstein’s anomaly dan atrial septal defect (ASD). Pasien dinilai dengan status fisik ASA 4 dan dilakukan cone procedure.Diskusi: Konsekuensi hemodinamik dan implikasi anestesi pada koreksi Ebstein’s anomaly sangat menantang. Manajemen anestesi yang komprehensif diperlukan untuk, mengatasi masalah yang disebabkan oleh trikuspid regurgitasi, atrialisasi ventrikel kanan, atrial septal defek, gangguan jalur konduksi, dan pada sebagian pasien disfungsi ventrikel kiri akibat geometri yang abnormal.Kesimpulan: Ahli anestesiologi harus merencanakan strategi perioperatif yang tepat untuk mendapatkan hemodinamik yang optimal selama prosedur perbaikan Ebstein’s anomaly dan memfasilitasi pemulihan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.
{"title":"Tatalaksana Anestesi pada Ebstein’s Anomaly yang menjalani Cone Procedure","authors":"Mahendra Dwi Aditya Lopulalan, Budi Nugroho","doi":"10.14710/jai.v15i1.50026","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v15i1.50026","url":null,"abstract":"Latar Belakang: Ebstein’s anomaly adalah kelainan kongenital yang ditandai dengan malformasi dan perpindahan apikal dari daun katup trikuspid. Pasien datang dengan rentang umur yang luas dari neonatus hingga dewasa dengan berbagai presentasi klinis mulai dari asimtomatik hingga gagal jantung, sianosis, dan aritmia paroksismal. Anomali ini kompleks dan bervariasi yang dapat dikelola dengan berbagai teknik koreksi bedah.Kasus: Seorang wanita berusia 30 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan mudah lelah dan pingsan sejak kecil. Dari pemeriksaan ekokardiografi ditemukan trikuspid regurgitasi berat yang sesuai dengan Ebstein’s anomaly dan atrial septal defect (ASD). Pasien dinilai dengan status fisik ASA 4 dan dilakukan cone procedure.Diskusi: Konsekuensi hemodinamik dan implikasi anestesi pada koreksi Ebstein’s anomaly sangat menantang. Manajemen anestesi yang komprehensif diperlukan untuk, mengatasi masalah yang disebabkan oleh trikuspid regurgitasi, atrialisasi ventrikel kanan, atrial septal defek, gangguan jalur konduksi, dan pada sebagian pasien disfungsi ventrikel kiri akibat geometri yang abnormal.Kesimpulan: Ahli anestesiologi harus merencanakan strategi perioperatif yang tepat untuk mendapatkan hemodinamik yang optimal selama prosedur perbaikan Ebstein’s anomaly dan memfasilitasi pemulihan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129676902","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh disregulasi respons tubuh terhadap infeksi. Acute Kidney Injury (AKI) adalah sindrom klinis akibat penurunan fungsi ginjal dan merupakan komplikasi yang sering ditemui pada pasien Intensive Care Unit (ICU). Menurut berbagai data yang telah dilaporkan, 45-70% dari semua kasus AKI terkait dengan sepsis Pasien AKI memiliki peningkatanrisiko mortalitas tiga kali lipat, peningkatan risiko CKD tujuh kali lipat, dan peningkatan risiko ESRD 22 kali lipat.Diagnosis AKI di ICU menggunakan kriteria diagnosis RIFLE, AKIN, dan KDIGO berdasarkan serum kreatinin dan volume urine. Selain itu, terdapat juga pencitraan seperti ultrasonography .Tatalaksana Sepsis AKI di ICU terdiri atas terapi nondialisis dan terapi pengganti ginjal. Terapi nondialisisantara lain adalah diuretik, pemeliharaan keseimbangan cairan, asam basa dan elektrolit, dan nutrisi. Terapi pengganti ginjal terdiri atas berbagai modalitas yaitu CRRT, IHD, SLED, dan PD dengan CRRT sebagai modalitas utama pada pasien ICU.Sepsis AKI masih menjadi masalah besar karena berkaitan dengan luaran pasien yang buruk. Oleh karena itu, diagnosis dan tatalaksana AKI yang dini dan tepat penting untuk dipahami agar dapat mencapai luaran pasien yang lebih baik.Acute Kidney Injury (AKI) is a clinical syndrome due to decreased renal function. AKI remains as one of the mostcommon complication in critically ill patients. In Intensive Care Unit (ICU) patients, 50% develops AKI and 13.5% needs a renal replacement therapy in ICU. AKI patients have three times increased risk of mortality, seven times risk of CKD, and 22 times risk of ESRD.Diagnosis criterias of RIFLE, AKIN, and KDIGO are used for diagnosing AKI in ICU. These criterias usecreatinine serum and urine output for the parameter. In addition, there are also several imaging test that can be used to diagnose AKI in ICU such as ultrasonography .Management of AKI in ICU consists of nondialysis therapies and renal replacement therapy. Nondialysis therapies are diuretic, maintenance of fluid balance, acid-base, and electrolyte, and nutrition. Renal replacementtherapy includes several modalities which are CRRT, IHD, SLED, and PD. CRRT is the main modality in ICU patients.AKI in ICU is associated with bad prognosis that makes it one of the biggest problem in critically ill patients. A betterunderstanding of early and appropriate diagnosis and management is an important approach in improving the patients’ outcomes.
{"title":"INJURI GINJAL AKUT AKIBAT SEPSIS PADA PASIEN DI ICU/ SEPSIS INDUCED ACUTE KIDNEY INJURY IN ICU PATIENTS","authors":"T. Maskoen, Diki Akbar","doi":"10.14710/jai.v0i0.49464","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.49464","url":null,"abstract":"Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh disregulasi respons tubuh terhadap infeksi. Acute Kidney Injury (AKI) adalah sindrom klinis akibat penurunan fungsi ginjal dan merupakan komplikasi yang sering ditemui pada pasien Intensive Care Unit (ICU). Menurut berbagai data yang telah dilaporkan, 45-70% dari semua kasus AKI terkait dengan sepsis Pasien AKI memiliki peningkatanrisiko mortalitas tiga kali lipat, peningkatan risiko CKD tujuh kali lipat, dan peningkatan risiko ESRD 22 kali lipat.Diagnosis AKI di ICU menggunakan kriteria diagnosis RIFLE, AKIN, dan KDIGO berdasarkan serum kreatinin dan volume urine. Selain itu, terdapat juga pencitraan seperti ultrasonography .Tatalaksana Sepsis AKI di ICU terdiri atas terapi nondialisis dan terapi pengganti ginjal. Terapi nondialisisantara lain adalah diuretik, pemeliharaan keseimbangan cairan, asam basa dan elektrolit, dan nutrisi. Terapi pengganti ginjal terdiri atas berbagai modalitas yaitu CRRT, IHD, SLED, dan PD dengan CRRT sebagai modalitas utama pada pasien ICU.Sepsis AKI masih menjadi masalah besar karena berkaitan dengan luaran pasien yang buruk. Oleh karena itu, diagnosis dan tatalaksana AKI yang dini dan tepat penting untuk dipahami agar dapat mencapai luaran pasien yang lebih baik.Acute Kidney Injury (AKI) is a clinical syndrome due to decreased renal function. AKI remains as one of the mostcommon complication in critically ill patients. In Intensive Care Unit (ICU) patients, 50% develops AKI and 13.5% needs a renal replacement therapy in ICU. AKI patients have three times increased risk of mortality, seven times risk of CKD, and 22 times risk of ESRD.Diagnosis criterias of RIFLE, AKIN, and KDIGO are used for diagnosing AKI in ICU. These criterias usecreatinine serum and urine output for the parameter. In addition, there are also several imaging test that can be used to diagnose AKI in ICU such as ultrasonography .Management of AKI in ICU consists of nondialysis therapies and renal replacement therapy. Nondialysis therapies are diuretic, maintenance of fluid balance, acid-base, and electrolyte, and nutrition. Renal replacementtherapy includes several modalities which are CRRT, IHD, SLED, and PD. CRRT is the main modality in ICU patients.AKI in ICU is associated with bad prognosis that makes it one of the biggest problem in critically ill patients. A betterunderstanding of early and appropriate diagnosis and management is an important approach in improving the patients’ outcomes.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"63 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"115078499","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
prosedur yang lebih aman daripada sebelumnya karena kemajuan teknis dan perbaikan dalam manajemen pasien pasca operasi dan tetap menjadi pengobatan lini pertama untuk HCC pada sirosis kompensasi. Hepatektomi adalah strategi pengobatan kuratif yang umum digunakan untuk pasien HCC stadium awal dan awal dengan fungsi hati yang dipertahankan. Pada awal 1990-an, dengan dimulainya teknik laparoskopi, laporan awal tentang laparoskopi hepatektomi (LH). Sejak itu, pendekatan laparoskopi semakin diterima di bidang bedah hati. Teknik laparoskopi telah terbukti mempercepat pemulihan, meningkatkan nyeri pasca operasi, dan menghasilkan kosmetik yang lebih baik daripada pendekatan terbuka. Dalam pernyataan Konferensi Konsensus Internasional Pertama untuk Reseksi Hati Laparoskopi, segmentektomi lateral kiri laparoskopi diidentifikasi sebagai pendekatan standar emas. Pada tahun 2014, Konferensi Konsensus Internasional Kedua untuk Reseksi Hati Laparoskopi merekomendasikan hepatektomi minor laparoskopi sebagai praktik bedah standar.Kasus: Pasien laki-laki usia 51 tahun datang dengan nyeri perut kanan sejak 2 minggu. Riawayat asma, hipertensi, penyakit jantung, sedasi, operasi, demam, sesak napas, batuk, pilek disangkal. Pasien tampak sakit sedang dengan kesadaran komposmentis. Vital sign : TD = 129/77 mmHg, HR = 83 x/m reguler dan isi tegangan cukup, RR = 20 x/m. T = 36.2 C dan SpO2 = 100% room air. Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan HBsAg = Positif, AFP = 3.46, Anti HCV = 0.09, SGOT = 26, SGPT = 22. Pada pemeriksaan MSCT scan abdomen, ditemukan hepatomegaly disertai massa solid dengan area nekrotik di dalamnya pada segmen 8 hepar dan limfadenopati interaortocava.Pembahasan: Karsinoma hepatoseluler (HCC) adalah tumor primer hati dan merupakan lebih dari 90% tumor primer hati. HCC sekarang menjadi penyebab paling umum kelima kanker di seluruh dunia. Anestesi umum dipertahankan dengan anestesi volatil (isoflurane, sevoflurane, desflurane, nitrous oxide), anestesi intravena (propofol, dexmedetomidine, ketamin, opiat), atau kombinasi dari semuanya, relaksan otot kerja pendek dan menengah lainnya (atracurium, rocuronium, vecuronium. Reseksi hati membawa risiko kehilangan darah yang melekat dengan pembedahan diseksi IVC, vena portal, dan vena hepatik dan transeksi parenkim yang sangat vaskularisasi.Kesimpulan: Hepatektomi laparoskopi menghindari kerugian dari hepatektomi standar pada pasien yang dipilih dengan benar dan bermanfaat untuk kualitas hidup pasien, karena merupakan prosedur invasif minimal.
{"title":"Laparoskopi Hemihepatektomi pada Hepatoseluler Karsinoma Hemiliver Dextra Et Causa Hepatitis B","authors":"Ika Jati Setya Andriani, Ibnu Siena Sambdani","doi":"10.14710/jai.v0i0.48607","DOIUrl":"https://doi.org/10.14710/jai.v0i0.48607","url":null,"abstract":"prosedur yang lebih aman daripada sebelumnya karena kemajuan teknis dan perbaikan dalam manajemen pasien pasca operasi dan tetap menjadi pengobatan lini pertama untuk HCC pada sirosis kompensasi. Hepatektomi adalah strategi pengobatan kuratif yang umum digunakan untuk pasien HCC stadium awal dan awal dengan fungsi hati yang dipertahankan. Pada awal 1990-an, dengan dimulainya teknik laparoskopi, laporan awal tentang laparoskopi hepatektomi (LH). Sejak itu, pendekatan laparoskopi semakin diterima di bidang bedah hati. Teknik laparoskopi telah terbukti mempercepat pemulihan, meningkatkan nyeri pasca operasi, dan menghasilkan kosmetik yang lebih baik daripada pendekatan terbuka. Dalam pernyataan Konferensi Konsensus Internasional Pertama untuk Reseksi Hati Laparoskopi, segmentektomi lateral kiri laparoskopi diidentifikasi sebagai pendekatan standar emas. Pada tahun 2014, Konferensi Konsensus Internasional Kedua untuk Reseksi Hati Laparoskopi merekomendasikan hepatektomi minor laparoskopi sebagai praktik bedah standar.Kasus: Pasien laki-laki usia 51 tahun datang dengan nyeri perut kanan sejak 2 minggu. Riawayat asma, hipertensi, penyakit jantung, sedasi, operasi, demam, sesak napas, batuk, pilek disangkal. Pasien tampak sakit sedang dengan kesadaran komposmentis. Vital sign : TD = 129/77 mmHg, HR = 83 x/m reguler dan isi tegangan cukup, RR = 20 x/m. T = 36.2 C dan SpO2 = 100% room air. Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan HBsAg = Positif, AFP = 3.46, Anti HCV = 0.09, SGOT = 26, SGPT = 22. Pada pemeriksaan MSCT scan abdomen, ditemukan hepatomegaly disertai massa solid dengan area nekrotik di dalamnya pada segmen 8 hepar dan limfadenopati interaortocava.Pembahasan: Karsinoma hepatoseluler (HCC) adalah tumor primer hati dan merupakan lebih dari 90% tumor primer hati. HCC sekarang menjadi penyebab paling umum kelima kanker di seluruh dunia. Anestesi umum dipertahankan dengan anestesi volatil (isoflurane, sevoflurane, desflurane, nitrous oxide), anestesi intravena (propofol, dexmedetomidine, ketamin, opiat), atau kombinasi dari semuanya, relaksan otot kerja pendek dan menengah lainnya (atracurium, rocuronium, vecuronium. Reseksi hati membawa risiko kehilangan darah yang melekat dengan pembedahan diseksi IVC, vena portal, dan vena hepatik dan transeksi parenkim yang sangat vaskularisasi.Kesimpulan: Hepatektomi laparoskopi menghindari kerugian dari hepatektomi standar pada pasien yang dipilih dengan benar dan bermanfaat untuk kualitas hidup pasien, karena merupakan prosedur invasif minimal.","PeriodicalId":446295,"journal":{"name":"JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)","volume":"20 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-12-23","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128401928","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}