Pub Date : 2022-07-25DOI: 10.26593/jihi.v0i00.5973.56-66
H. Hasan, Zain Nugroho
Tulisan ini berupaya menganalisis permasalahan-permasalahan kunci terkait isu Papua dan mengeksplorasi pendekatan holistik sebagai alternatif untuk mewujudkan solusi permanen bagi Papua damai. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui kajian kepustakaan terhadap sejumlah hasil riset. Persoalan di Papua yang muncul dalam tulisan ini mulai dari politik, ekonomi, sumber daya manusia, hingga isu keamanan yang kesemuanya mengandung kompleksitas tinggi. Transformasi pendekatan dalam mewujudkan Papua Damai merupakan gagasan utama tulisan ini. Paradigma pembangunan inklusif menjadi salah satu formula kunci guna mengatasi kecenderungan pembangunan berbasis pusat-daerah yang selama ini terjadi di Papua. Paradigma ini mengandaikan peran aktif masyarakat, mendukung peran aktif masyarakat sipil, serta mengandalkan reformasi dari bawah. Pembangunan inklusif memiliki keterkaitan dengan reorientasi otonomi khusus di Papua, untuk kembali kepada basis politik idealnya bahwa otonomi khusus bukan merupakan bentuk politik domestikasi pusat terhadap daerah, di samping afirmasi Orang Asli Papua dalam kerangka keutuhan pembangunan. Selain itu, dalam isu keamanan, pendekatan hukum (pidana) harus diutamakan dalam membangun keamanan dan ketertiban, alih-alih pendekatan koersif-militer. Kata Kunci: Papua, Papua Damai, Pendekatan Holistik
{"title":"Menuju Papua Damai dengan Pendekatan Pembangunan Inklusif","authors":"H. Hasan, Zain Nugroho","doi":"10.26593/jihi.v0i00.5973.56-66","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/jihi.v0i00.5973.56-66","url":null,"abstract":"Tulisan ini berupaya menganalisis permasalahan-permasalahan kunci terkait isu Papua dan mengeksplorasi pendekatan holistik sebagai alternatif untuk mewujudkan solusi permanen bagi Papua damai. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui kajian kepustakaan terhadap sejumlah hasil riset. Persoalan di Papua yang muncul dalam tulisan ini mulai dari politik, ekonomi, sumber daya manusia, hingga isu keamanan yang kesemuanya mengandung kompleksitas tinggi. Transformasi pendekatan dalam mewujudkan Papua Damai merupakan gagasan utama tulisan ini. Paradigma pembangunan inklusif menjadi salah satu formula kunci guna mengatasi kecenderungan pembangunan berbasis pusat-daerah yang selama ini terjadi di Papua. Paradigma ini mengandaikan peran aktif masyarakat, mendukung peran aktif masyarakat sipil, serta mengandalkan reformasi dari bawah. Pembangunan inklusif memiliki keterkaitan dengan reorientasi otonomi khusus di Papua, untuk kembali kepada basis politik idealnya bahwa otonomi khusus bukan merupakan bentuk politik domestikasi pusat terhadap daerah, di samping afirmasi Orang Asli Papua dalam kerangka keutuhan pembangunan. Selain itu, dalam isu keamanan, pendekatan hukum (pidana) harus diutamakan dalam membangun keamanan dan ketertiban, alih-alih pendekatan koersif-militer. \u0000Kata Kunci: Papua, Papua Damai, Pendekatan Holistik \u0000 ","PeriodicalId":53014,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional","volume":"19 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-07-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"87430204","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pembangunan di Tanah Papua merupakan kata kunci dari segala kebijakan Pemerintah Indonesia di daerah ini sebagai strategi untuk mengatasi konflik separatisme. Namun, meskipun sejumlah kebijakan telah dilaksanakan seperti Otonomi Khusus dan berbagai Inpres atau Kepres tentang Percepatan Pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat, namun indeks pembangunan manusia di kedua provinsi ini menempati angka yang paling rendah di Indonesia. Penelitian mengenai dampak sosial budaya pembangunan terhadap orang asli Papua telah banyak dilakukan. Misalnya, Tania Li (1999), yang memfokuskan pada dampak pembangunan terhadap peminggiran dan hilangya identitas OAP. Selain itu, juga Elmslie dan Web-Ganon (2010) yang menarasikan mengenai slow motion genocide sebagai akibat dari depopulasi orang asli Papua. Studi terbaru dilakukan oleh LIPI (2019) menunjukkan bahwa pembangunan tidak mencapai sasaran pada orang asli Papua dan belum mengakomodasi tradisi kebudayaan orang Papua. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menggali makna pembangunan bagi orang asli Papua, terutama Bagaimanakah marginalisasi dikonseptualisasikan oleh orang Papua dan Bagaimanakah marginalisasi berperan terhadap depopulasi orang Papua. Kata Kunci: Pembangunan, Orang Asli Papua, Marginalisasi, Depopulasi
{"title":"Makna Pembangunan Bagi Orang Asli Papua: Studi Terhadap Marginalisasi dan Depopulasi di Tanah Papua","authors":"Cahyo Pamungkas, Irin Oktafiani, Leonardus Imbhiri","doi":"10.26593/jihi.v0i00.5970.16-38","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/jihi.v0i00.5970.16-38","url":null,"abstract":"Pembangunan di Tanah Papua merupakan kata kunci dari segala kebijakan Pemerintah Indonesia di daerah ini sebagai strategi untuk mengatasi konflik separatisme. Namun, meskipun sejumlah kebijakan telah dilaksanakan seperti Otonomi Khusus dan berbagai Inpres atau Kepres tentang Percepatan Pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat, namun indeks pembangunan manusia di kedua provinsi ini menempati angka yang paling rendah di Indonesia. Penelitian mengenai dampak sosial budaya pembangunan terhadap orang asli Papua telah banyak dilakukan. Misalnya, Tania Li (1999), yang memfokuskan pada dampak pembangunan terhadap peminggiran dan hilangya identitas OAP. Selain itu, juga Elmslie dan Web-Ganon (2010) yang menarasikan mengenai slow motion genocide sebagai akibat dari depopulasi orang asli Papua. Studi terbaru dilakukan oleh LIPI (2019) menunjukkan bahwa pembangunan tidak mencapai sasaran pada orang asli Papua dan belum mengakomodasi tradisi kebudayaan orang Papua. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menggali makna pembangunan bagi orang asli Papua, terutama Bagaimanakah marginalisasi dikonseptualisasikan oleh orang Papua dan Bagaimanakah marginalisasi berperan terhadap depopulasi orang Papua. \u0000 \u0000Kata Kunci: Pembangunan, Orang Asli Papua, Marginalisasi, Depopulasi","PeriodicalId":53014,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional","volume":"12 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-07-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"89959609","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-07-25DOI: 10.26593/jihi.v0i00.5975.39-55
Elvira Rumkabu
Kegagalan pembangunan sejak orde baru hingga era Jokowi telah menjadi variabel penting dalam memahami akar konflik Papua. Karakter pembangunan yang top-down, diskriminatif dan paternalisme dalam konteks konflik tetap dominan dalam berbagai kebijakan. Alhasil, pembangunan tidak berhasil membawa keadilan dan kesejahteraan bagi orang asli Papua. Sebaliknya, resistansi bersenjata (armed civil resistance) dan resistansi sipil (civil resistance) yang mengusung ragam isu dan aktor terus menguat. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana agenda pembangunan dan implementasinya telah memberi makna terhadap konstruksi identitas Papua. Pembangunan justru dilihat sebagai instrumen penundukan yang semakin memperdalam amarah dan ketidakadilan yang dirasakan Papua. Kegagalan pembangunan yang berkelindan dengan variabel konflik lain seperti pelanggaran HAM, diskriminasi dan aspirasi politik juga telah menjadi basis bagi menguatnya resistansi Papua. Disaat yang bersamaan, isu-isu seperti pembangunan dan HAM semakin menguat dalam advokasi di level lokal, nasional dan global. Kata Kunci : Pembangunan, Top-down, Paternalisme, Resistansi Bersenjata, Resistansi Sipil
{"title":"Analisa Dampak Pembangunan terhadap Identitas dan Resistansi Papua","authors":"Elvira Rumkabu","doi":"10.26593/jihi.v0i00.5975.39-55","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/jihi.v0i00.5975.39-55","url":null,"abstract":"Kegagalan pembangunan sejak orde baru hingga era Jokowi telah menjadi variabel penting dalam memahami akar konflik Papua. Karakter pembangunan yang top-down, diskriminatif dan paternalisme dalam konteks konflik tetap dominan dalam berbagai kebijakan. Alhasil, pembangunan tidak berhasil membawa keadilan dan kesejahteraan bagi orang asli Papua. Sebaliknya, resistansi bersenjata (armed civil resistance) dan resistansi sipil (civil resistance) yang mengusung ragam isu dan aktor terus menguat. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana agenda pembangunan dan implementasinya telah memberi makna terhadap konstruksi identitas Papua. Pembangunan justru dilihat sebagai instrumen penundukan yang semakin memperdalam amarah dan ketidakadilan yang dirasakan Papua. Kegagalan pembangunan yang berkelindan dengan variabel konflik lain seperti pelanggaran HAM, diskriminasi dan aspirasi politik juga telah menjadi basis bagi menguatnya resistansi Papua. Disaat yang bersamaan, isu-isu seperti pembangunan dan HAM semakin menguat dalam advokasi di level lokal, nasional dan global. \u0000Kata Kunci : Pembangunan, Top-down, Paternalisme, Resistansi Bersenjata, Resistansi Sipil","PeriodicalId":53014,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional","volume":"42 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-07-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"81383241","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-07-25DOI: 10.26593/jihi.v0i00.5972.114-134
Sri Nurlia Wuliyanti, Bambang Shergi Laksmono
Organisasi masyarakat sipil (OMS) merupakan organisasi non profit di Indonesia keberadannya berperan dalam kesuksesan perkembangan demokrasi di Indonesia semenjak era reformasi. Hal ini dikarenakan OMS memiliki peran penting dalam mengisi kekosongan peran yang dibutuhkan untuk proses pembangunan masyarakat utamanya di daerah Papua. Karena pentingnya keberadaan OMS ini maka diperlukan organisasi yang memiliki kemampuan untuk bertahan hidup demi keberlanjutannya melalui program-program dan layanan yang dimilikinya. Keberlanjutan sebuah organisasi dalam hal ini adalah organisasi non profit dapat di pengaruhi oleh 7 (tujuh) arena yang antara lain adalah Tatakelola, Kepemimpinan, Keuangan, Sistem Administrasi, Kepegawaian, Program dan Citra organisasi. Penelitian dilakukan pada ALDP di Jayapura yang telah mencapai usia 20 (dua puluh) tahun yang merupakan usia matang sebuah organisasi yang telah melewati beberapa tahapan siklus kehidupan. Dari penelitian terlihat bahwa kepemimpinan pada organisasi ini memainkan peran penting bagi keberlanjutan. Meski demikian untuk dapat bertahan dan berkembang organisasi juga perlu melakukan regenerasi dan transisi pemimpin demi terciptanya program baru yang bersifat inovatif serta perbaikan sistem secara keseluruhan, peningkatan tata kelola organisasi, juga peningkatan kapasitas organisasi melalui pelatihan karyawan dan upaya meningkatkan kualitas koordinasi jaringan dan hubungan dengan pihak eksternal. Kata kunci; Kepemimpinan, Keberlanjutan Organisasi, dan Organisasi Masyarakat Sipil
{"title":"Kepemimpinan dan Keberhasilan Keberlanjutan Organisasi Masyarakat Sipil: Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) di Jayapura, Papua","authors":"Sri Nurlia Wuliyanti, Bambang Shergi Laksmono","doi":"10.26593/jihi.v0i00.5972.114-134","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/jihi.v0i00.5972.114-134","url":null,"abstract":"Organisasi masyarakat sipil (OMS) merupakan organisasi non profit di Indonesia keberadannya berperan dalam kesuksesan perkembangan demokrasi di Indonesia semenjak era reformasi. Hal ini dikarenakan OMS memiliki peran penting dalam mengisi kekosongan peran yang dibutuhkan untuk proses pembangunan masyarakat utamanya di daerah Papua. Karena pentingnya keberadaan OMS ini maka diperlukan organisasi yang memiliki kemampuan untuk bertahan hidup demi keberlanjutannya melalui program-program dan layanan yang dimilikinya. Keberlanjutan sebuah organisasi dalam hal ini adalah organisasi non profit dapat di pengaruhi oleh 7 (tujuh) arena yang antara lain adalah Tatakelola, Kepemimpinan, Keuangan, Sistem Administrasi, Kepegawaian, Program dan Citra organisasi. Penelitian dilakukan pada ALDP di Jayapura yang telah mencapai usia 20 (dua puluh) tahun yang merupakan usia matang sebuah organisasi yang telah melewati beberapa tahapan siklus kehidupan. Dari penelitian terlihat bahwa kepemimpinan pada organisasi ini memainkan peran penting bagi keberlanjutan. Meski demikian untuk dapat bertahan dan berkembang organisasi juga perlu melakukan regenerasi dan transisi pemimpin demi terciptanya program baru yang bersifat inovatif serta perbaikan sistem secara keseluruhan, peningkatan tata kelola organisasi, juga peningkatan kapasitas organisasi melalui pelatihan karyawan dan upaya meningkatkan kualitas koordinasi jaringan dan hubungan dengan pihak eksternal. \u0000Kata kunci; Kepemimpinan, Keberlanjutan Organisasi, dan Organisasi Masyarakat Sipil","PeriodicalId":53014,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-07-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"89907739","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-07-25DOI: 10.26593/jihi.v0i00.5969.1-15
Bernarda Meteray
Awal bersemainya bibit keindonesiaan di antara orang Papua di bagian utara Papua baik di Jayapura maupun Serui tidak ada kaitannya dengan adanya klaim Papua bahwa telah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Majapahit sejak abad XIV. Sebaliknya, klaim kerajaan Majapahit abad XIV menunjukkan bahwa Papua merupakan bagian dari wilayah negara nusa Majapahit terlihat dalam kitab Negara Kertagama karya Prapanca. Kitab ini mengungkapkan nama wilayah kekuasaan Majapahit termasuk Wwanin dan Srandan di Papua. Kata Wwanin adalah nama lain dari Onin (dekat Fak-Fak), sedangkan Sran adalah nama lain untuk Kowiai atau Kaimana. Namun, klaim Majapahit ini ternyata tidak dapat menjadikan Kaimana dan Fakfak menjadi pusat awal persemaian keindonesiaan di Papua. Kaimana baru disinggung dalam sejarah Indonesia ketika pada 1962 menjadi salah satu basis operasi militer pemerintah Indonesia menghadapi Pemerintah Belanda di Papua. Tulisan ini membahas dua hal pokok, siapa aktor yang terlibat dalam proses penyemaian nasionalisme Indonesia di Kaimana 1946-1964 dan bagaimana proses penyemaian dan pertumbuhan kesadaran nasionalisme Indonesia di antara orang Papua di Kaimana 1946-1964? Kata Kunci: Majapahit, Kaimana, Penyemaian, Proses dan Nasionalisme Indonesia
{"title":"Klaim Kerajaan Majapahit dan Penyemaian Nasionalisme Indonesia di Kaimana","authors":"Bernarda Meteray","doi":"10.26593/jihi.v0i00.5969.1-15","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/jihi.v0i00.5969.1-15","url":null,"abstract":"Awal bersemainya bibit keindonesiaan di antara orang Papua di bagian utara Papua baik di Jayapura maupun Serui tidak ada kaitannya dengan adanya klaim Papua bahwa telah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Majapahit sejak abad XIV. Sebaliknya, klaim kerajaan Majapahit abad XIV menunjukkan bahwa Papua merupakan bagian dari wilayah negara nusa Majapahit terlihat dalam kitab Negara Kertagama karya Prapanca. Kitab ini mengungkapkan nama wilayah kekuasaan Majapahit termasuk Wwanin dan Srandan di Papua. Kata Wwanin adalah nama lain dari Onin (dekat Fak-Fak), sedangkan Sran adalah nama lain untuk Kowiai atau Kaimana. Namun, klaim Majapahit ini ternyata tidak dapat menjadikan Kaimana dan Fakfak menjadi pusat awal persemaian keindonesiaan di Papua. Kaimana baru disinggung dalam sejarah Indonesia ketika pada 1962 menjadi salah satu basis operasi militer pemerintah Indonesia menghadapi Pemerintah Belanda di Papua. Tulisan ini membahas dua hal pokok, siapa aktor yang terlibat dalam proses penyemaian nasionalisme Indonesia di Kaimana 1946-1964 dan bagaimana proses penyemaian dan pertumbuhan kesadaran nasionalisme Indonesia di antara orang Papua di Kaimana 1946-1964? \u0000Kata Kunci: Majapahit, Kaimana, Penyemaian, Proses dan Nasionalisme Indonesia","PeriodicalId":53014,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional","volume":"11 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-07-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"90435986","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-07-25DOI: 10.26593/jihi.v0i00.5968.135-144
Vince Tebay
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009, faktor-faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan, serta upaya pemerintah meminimalkan tindakan kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten Jayawijaya, dengan fokus pada lima fungsi keluarga (agama, sosial budaya, pendidikan, ekonomi, dan kesetaraan). Desain penelitian kualitatif digunakan untuk mengevaluasi implementasi dari suatu kebijakan atau program. Pengumpulan data melalui wawancara diperoleh dari anggota masyarakat dari 40 distrik di Kabupaten Jayawijaya, yang diklasifikasikan sebagai informan utama dengan jumlah 17 orang pelaku, 17 orang korban, dan 2 orang pendamping korban. Analisis data kualitatif meliputi pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (verifikasi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 berdasarkan lima fungsi keluarga (fungsi agama, sosial budaya, pendidikan, ekonomi dan kesetaraan) berdampak pada penurunan jumlah tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang signifikan pada tahun 2018 sejak sosialisasi Undang-Undang yang dilakukan tahun 2014. Hal tersebut didukung oleh adanya lembaga perwakilan BKKBN di tingkat provinsi dan DP3AKB di tingkat kabupaten, sementara faktor penghambat implementasi kebijakan antara lain faktor demografi serta tidak maksimalnya sosialisasi dan penyebarluasan informasi. Pemerintah melalui DP3AKB Kabupaten Jayawijaya telah melakukan upaya preventif dengan sosialisasi, penyuluhan, dan penyebarluasan informasi; memberikan pendidikan, pelatihan gender bagi aparat pendamping maupun korban; mengirim aparat pendamping Kabupaten Jayawijaya untuk mengikuti seminar-seminar dan penyuluhan tentang KDRT; meningkatkan profesionalisme kerja pendamping korban keterampilan dan kemampuan pendamping korban dalam menyelesaikan setiap kasus; serta bekerja sama dengan psikiater atau psikolog.
{"title":"Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 dalam Meminimalkan Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kabupaten Jayawijaya","authors":"Vince Tebay","doi":"10.26593/jihi.v0i00.5968.135-144","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/jihi.v0i00.5968.135-144","url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009, faktor-faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan, serta upaya pemerintah meminimalkan tindakan kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten Jayawijaya, dengan fokus pada lima fungsi keluarga (agama, sosial budaya, pendidikan, ekonomi, dan kesetaraan). Desain penelitian kualitatif digunakan untuk mengevaluasi implementasi dari suatu kebijakan atau program. Pengumpulan data melalui wawancara diperoleh dari anggota masyarakat dari 40 distrik di Kabupaten Jayawijaya, yang diklasifikasikan sebagai informan utama dengan jumlah 17 orang pelaku, 17 orang korban, dan 2 orang pendamping korban. Analisis data kualitatif meliputi pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (verifikasi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 berdasarkan lima fungsi keluarga (fungsi agama, sosial budaya, pendidikan, ekonomi dan kesetaraan) berdampak pada penurunan jumlah tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang signifikan pada tahun 2018 sejak sosialisasi Undang-Undang yang dilakukan tahun 2014. Hal tersebut didukung oleh adanya lembaga perwakilan BKKBN di tingkat provinsi dan DP3AKB di tingkat kabupaten, sementara faktor penghambat implementasi kebijakan antara lain faktor demografi serta tidak maksimalnya sosialisasi dan penyebarluasan informasi. Pemerintah melalui DP3AKB Kabupaten Jayawijaya telah melakukan upaya preventif dengan sosialisasi, penyuluhan, dan penyebarluasan informasi; memberikan pendidikan, pelatihan gender bagi aparat pendamping maupun korban; mengirim aparat pendamping Kabupaten Jayawijaya untuk mengikuti seminar-seminar dan penyuluhan tentang KDRT; meningkatkan profesionalisme kerja pendamping korban keterampilan dan kemampuan pendamping korban dalam menyelesaikan setiap kasus; serta bekerja sama dengan psikiater atau psikolog.","PeriodicalId":53014,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional","volume":"8 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-07-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"91133044","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-06-27DOI: 10.26593/jihi.v18i1.5255.29-54
Luerdi Luerdi, Azhari Setiawan
The 2019 Coronavirus disease or COVID-19 has apparently become a new global challenge. Not only did the pandemic drive all actors to make response, but it also affected the relations among them. That Indonesia raised multilateralism in the unprecedented situation while more unilateral or populist actions taken by a number of states encouraged this research. This paper attempts to explain Indonesia’s foreign policy in upholding multilateralism to respond to the COVID-19. Such response was intended to mitigate the impacts caused by the pandemic. This research applied holistic constructivism in understanding the determinants of Indonesia’s foreign policy by investigating both domestic and international cause. This research utilized the qualitative method with an explanatory analysis. The findings show that such Indonesia’s foreign policy was driven by its identity constructed by both indigenous norm of ‘Gotong Royong’ and global norm of ‘International Health Regulation’. The norm-laden or identity-based foreign policy was leading it to uphold multilateralism which was considered appropriate in order to coordinate, collaborate and cooperate with international communities. In addition, Indonesia maintained its trust on and support to the World Health Organization as the most leading actor in health governance championing fight against the pandemic. This paper argues that the norm factors do matter in Indonesia’s foreign policy in facing uncertainties in the vulnerable and interconnected world. Through the case studied, this paper suggests that looking at the domestic actor as well as the state in international system help provide a better understanding on the state behavior in international relations.
{"title":"Upholding Multilateralism: Indonesia’s Foreign Policy in Responding to Covid-19 Pandemic","authors":"Luerdi Luerdi, Azhari Setiawan","doi":"10.26593/jihi.v18i1.5255.29-54","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/jihi.v18i1.5255.29-54","url":null,"abstract":"The 2019 Coronavirus disease or COVID-19 has apparently become a new global challenge. Not only did the pandemic drive all actors to make response, but it also affected the relations among them. That Indonesia raised multilateralism in the unprecedented situation while more unilateral or populist actions taken by a number of states encouraged this research. This paper attempts to explain Indonesia’s foreign policy in upholding multilateralism to respond to the COVID-19. Such response was intended to mitigate the impacts caused by the pandemic. This research applied holistic constructivism in understanding the determinants of Indonesia’s foreign policy by investigating both domestic and international cause. This research utilized the qualitative method with an explanatory analysis. The findings show that such Indonesia’s foreign policy was driven by its identity constructed by both indigenous norm of ‘Gotong Royong’ and global norm of ‘International Health Regulation’. The norm-laden or identity-based foreign policy was leading it to uphold multilateralism which was considered appropriate in order to coordinate, collaborate and cooperate with international communities. In addition, Indonesia maintained its trust on and support to the World Health Organization as the most leading actor in health governance championing fight against the pandemic. This paper argues that the norm factors do matter in Indonesia’s foreign policy in facing uncertainties in the vulnerable and interconnected world. Through the case studied, this paper suggests that looking at the domestic actor as well as the state in international system help provide a better understanding on the state behavior in international relations.","PeriodicalId":53014,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional","volume":"27 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-06-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"81256754","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-06-27DOI: 10.26593/jihi.v18i1.4514.89-98
Rizky Ihsan
Joseph Biden came to the oval office with his wealth of experience in government affairs, including as the chair in the United States Senate Foreign Relations Committee. According to his campaign promises, the upcoming Biden administration’s foreign policy is aimed at improving the US’ international credibility based on liberal values. This article will further examine his political aspirations, based on the speech, campaign promises, and official statements. The argument is that although the US would be likely to embrace liberal values under his administration, international constraints may limit his ability in foreign policy agenda-setting. In managing its relations with China, for example, the US would be more likely to be driven by its interest rather than its values, particularly by continuing the anti-China coalition with its allies in the Indo-Pacific.
{"title":"Joe Biden’s Foreign Policy: What to Expect from the New United States President","authors":"Rizky Ihsan","doi":"10.26593/jihi.v18i1.4514.89-98","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/jihi.v18i1.4514.89-98","url":null,"abstract":" \u0000Joseph Biden came to the oval office with his wealth of experience in government affairs, including as the chair in the United States Senate Foreign Relations Committee. According to his campaign promises, the upcoming Biden administration’s foreign policy is aimed at improving the US’ international credibility based on liberal values. This article will further examine his political aspirations, based on the speech, campaign promises, and official statements. The argument is that although the US would be likely to embrace liberal values under his administration, international constraints may limit his ability in foreign policy agenda-setting. In managing its relations with China, for example, the US would be more likely to be driven by its interest rather than its values, particularly by continuing the anti-China coalition with its allies in the Indo-Pacific.\u0000 \u0000 \u0000 ","PeriodicalId":53014,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional","volume":"16 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-06-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"86584734","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-06-27DOI: 10.26593/jihi.v18i1.4603.1-13
Annisa Khaira, Muhammad Yusra, Rifki Dermawan
Saat Eropa dilanda oleh krisis pengungsi tahun 2015, Jerman sebagai pemimpin Uni Eropa memberlakukan kebijakan yang kontras berbeda dengan negara anggota lainnya. Melaui Open Door Policy, di bawah komando Angela Merkel, Jerman secara sukarela membuka perbatasannya agar para pengungsi dapat memasuki teritorialnya. Sayangnya, kebijakan ini banyak menuai protes dan penolakan dari berbagai kalangan. Diantaranya adalah masyarakat, partai oposisi, partai naungan Merkel, kelompok kepentingan hingga Uni Eropa sebagai payung regional bagi Jerman. Penetapan kebijakan ini juga tidak melibatkan partisipasi Bundestag (parlemen tingkat I) secara demokatis. Terlepas dari banyaknya penolakan yang ada, Merkel tetap bersikeras mempertahankan kebijakannya. Sikap tersebut merefleksikan adanya suatu cara pandang atau persepsi tersendiri yang dimiliki oleh Merkel dalam melihat krisis pengungsi sehingga ia menetapkan Open Door Policy. Dalam artikel ini, penulis akan menjelaskan bagaimana persepsi pribadi Angela Merkel dapat menuntunnya untuk memilih memberikan perlindungan pada pengungsi meski harus menghadapi berbagai bentuk resistensi. Dengan menggunakan kerangka berpikir hubungan persepsi dengan pengambilan keputusan menurut Ole R. Holsti, ditemukan bahwa sistem keyakinan dan citra mempengaruhi persepsi Angela Merkel yang melihat bahwa Jerman harus menjadi pemeran utama dalam merespon krisis pengungsi yang terjadi di regional Uni Eropa dan juga dunia
当欧洲被2015年的难民危机所困扰时,作为欧盟领导人的德国采取了不同于其他成员国的政策。在安吉拉·默克尔(Angela Merkel)的指挥下,德国人通过“敞开大门”自愿开放边境,允许难民进入该领土。不幸的是,这一政策遭到了许多不同阶层的反对和反对。其中包括社会、反对党、默克尔党、从欧盟到德国的利益集团。这项政策还不涉及人口统计学上的分散主义参与。尽管遭到许多拒绝,默克尔仍然坚持他的政策。这反映了默克尔在看待难民危机时的一种独特的观点或看法,因此他建立了开放的政策。在这篇文章中,作者将解释安吉拉·默克尔(Angela Merkel)的个人看法如何让她在面对各种形式的抵抗时选择保护难民。利用Ole R. Holsti的思维框架,人们发现,信仰和形象影响了安吉拉·默克尔(Angela Merkel)的看法,她认为德国应该在应对欧盟地区和世界各地发生的难民危机方面发挥主要作用
{"title":"Persepsi Angela Merkel dan Open Door Policy dalam Krisis Pengungsi Eropa 2015","authors":"Annisa Khaira, Muhammad Yusra, Rifki Dermawan","doi":"10.26593/jihi.v18i1.4603.1-13","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/jihi.v18i1.4603.1-13","url":null,"abstract":"Saat Eropa dilanda oleh krisis pengungsi tahun 2015, Jerman sebagai pemimpin Uni Eropa memberlakukan kebijakan yang kontras berbeda dengan negara anggota lainnya. Melaui Open Door Policy, di bawah komando Angela Merkel, Jerman secara sukarela membuka perbatasannya agar para pengungsi dapat memasuki teritorialnya. Sayangnya, kebijakan ini banyak menuai protes dan penolakan dari berbagai kalangan. Diantaranya adalah masyarakat, partai oposisi, partai naungan Merkel, kelompok kepentingan hingga Uni Eropa sebagai payung regional bagi Jerman. Penetapan kebijakan ini juga tidak melibatkan partisipasi Bundestag (parlemen tingkat I) secara demokatis. Terlepas dari banyaknya penolakan yang ada, Merkel tetap bersikeras mempertahankan kebijakannya. Sikap tersebut merefleksikan adanya suatu cara pandang atau persepsi tersendiri yang dimiliki oleh Merkel dalam melihat krisis pengungsi sehingga ia menetapkan Open Door Policy. Dalam artikel ini, penulis akan menjelaskan bagaimana persepsi pribadi Angela Merkel dapat menuntunnya untuk memilih memberikan perlindungan pada pengungsi meski harus menghadapi berbagai bentuk resistensi. Dengan menggunakan kerangka berpikir hubungan persepsi dengan pengambilan keputusan menurut Ole R. Holsti, ditemukan bahwa sistem keyakinan dan citra mempengaruhi persepsi Angela Merkel yang melihat bahwa Jerman harus menjadi pemeran utama dalam merespon krisis pengungsi yang terjadi di regional Uni Eropa dan juga dunia","PeriodicalId":53014,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional","volume":"62 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-06-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"79091842","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2022-06-27DOI: 10.26593/jihi.v18i1.5654.14-28
B. K. Laksana, L. Agustina
The transition to democracy in Indonesia has somehow resulted in a majoritarian democracy. By linking the legacy of the New Order regime with the current understanding of democracy, this paper attempts to comprehend and analyze how deeply the common sense of the New Order regime has been rooted in the lives of Indonesian people. The legacy of the New Order regime has been rooted in the personal lives of individuals because the regime implemented its values in the realm of family structures and education systems. To help liberate the minds and souls of Indonesians and be truly democratic, society must be able to become autonomous. A critical pedagogical approach will help to lay bare the common sense and values that have been instilled by the regime, so that people can live autonomously and side by side. Since democracy in Indonesia tends to favor the majority, this study proposes a critical pedagogical approach at every level of society to achieve a power sharing arrangement.
{"title":"Hollowness of Imagination: Common Sense and Democracy","authors":"B. K. Laksana, L. Agustina","doi":"10.26593/jihi.v18i1.5654.14-28","DOIUrl":"https://doi.org/10.26593/jihi.v18i1.5654.14-28","url":null,"abstract":"The transition to democracy in Indonesia has somehow resulted in a majoritarian democracy. By linking the legacy of the New Order regime with the current understanding of democracy, this paper attempts to comprehend and analyze how deeply the common sense of the New Order regime has been rooted in the lives of Indonesian people. The legacy of the New Order regime has been rooted in the personal lives of individuals because the regime implemented its values in the realm of family structures and education systems. To help liberate the minds and souls of Indonesians and be truly democratic, society must be able to become autonomous. A critical pedagogical approach will help to lay bare the common sense and values that have been instilled by the regime, so that people can live autonomously and side by side. Since democracy in Indonesia tends to favor the majority, this study proposes a critical pedagogical approach at every level of society to achieve a power sharing arrangement.\u0000 ","PeriodicalId":53014,"journal":{"name":"Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional","volume":"66 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-06-27","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"76514152","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}