Pub Date : 2021-07-05DOI: 10.26740/ifi.v10n2.p59-67
Antony Mahendra, Z. A. I. Supardi
Abstrak Dengan meningkatnya kebutuhan bahan penyimpan energi, baterai rechargeable lithium ion menjadi obyek yang banyak dipelajari. Banyak metoda yang digunakan untuk menyelidiki karakteristik elektrokimia dari baterai, salah satunya adalah Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS). Dengan EIS, informasi dari hubungan state of charge pada siklus tertentu baterai dengan resistansi elektrolit, resistansi film permukaan dan resistansi transfer muatan didapatkan dengan menggunakan rangkaian ekivalen yang sesuai dengan plot Nyquist. Pada artikel ini, perbandingan antara hasil karakterisasi EIS katoda LiCoO2 dan LiNi1/3Co1/3Mn1/3O2 dalam baterai lithium ion juga dipaparkan berdasarkan laporan dari penelitian yang pernah dilakukan para peneliti sebelumnya. Telah dilaporkan bahwa nilai DLi+ dari LiCoO2 lebih besar daripada LiNi1/3Co1/3Mn1/3O2, dan nilai j0 dari LiNi1/3Co1/3Mn1/3O2 lebih besar dari pada LiCoO2. Kata Kunci: Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS), Plot Nyquist, Baterai Lithium Ion, State of Charge Abstract With increasing need for energy storage materials, rechargeable lithium ion battery become an object that is much studied. There are many methods that used to investigate electrochemical characteristic of battery, one of them is Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS). With the EIS, informations about relation between state of charge at some certain cycle of battery with electrolyte resistance, surface film resistance, and charge transfer resistance are obtained with modeling equivalent circuit according to the Nyquist plots. In tis article, a comparison between the results of EIS characterization of cathode LiCoO2 and LiNi1/3Co1/3Mn1/3O2 in lithium ion battery is presented based on report studies that have been conducted by previous researcher. It has been reported that DLi+ value of cathode LiCoO2 is greater than DLi+ value of cathode LiNi1/3Co1/3Mn1/3O2, and j0 value of cathode LiNi1/3Co1/3Mn1/3O2 is greater than j0 value of cathode LiCoO2. Keywords: Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS), Nyquist Plot, Lithium Ion Battery, State of Charge
{"title":"SEBUAH REVIEW: SPEKTROSKOPI IMPEDANSI ELEKTROKIMIA DAN APLIKASINYA DALAM BATERAI LITHIUM-ION","authors":"Antony Mahendra, Z. A. I. Supardi","doi":"10.26740/ifi.v10n2.p59-67","DOIUrl":"https://doi.org/10.26740/ifi.v10n2.p59-67","url":null,"abstract":"Abstrak \u0000Dengan meningkatnya kebutuhan bahan penyimpan energi, baterai rechargeable lithium ion menjadi obyek yang banyak dipelajari. Banyak metoda yang digunakan untuk menyelidiki karakteristik elektrokimia dari baterai, salah satunya adalah Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS). Dengan EIS, informasi dari hubungan state of charge pada siklus tertentu baterai dengan resistansi elektrolit, resistansi film permukaan dan resistansi transfer muatan didapatkan dengan menggunakan rangkaian ekivalen yang sesuai dengan plot Nyquist. Pada artikel ini, perbandingan antara hasil karakterisasi EIS katoda LiCoO2 dan LiNi1/3Co1/3Mn1/3O2 dalam baterai lithium ion juga dipaparkan berdasarkan laporan dari penelitian yang pernah dilakukan para peneliti sebelumnya. Telah dilaporkan bahwa nilai DLi+ dari LiCoO2 lebih besar daripada LiNi1/3Co1/3Mn1/3O2, dan nilai j0 dari LiNi1/3Co1/3Mn1/3O2 lebih besar dari pada LiCoO2. \u0000 Kata Kunci: Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS), Plot Nyquist, Baterai Lithium Ion, State of Charge \u0000 \u0000Abstract \u0000With increasing need for energy storage materials, rechargeable lithium ion battery become an object that is much studied. There are many methods that used to investigate electrochemical characteristic of battery, one of them is Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS). With the EIS, informations about relation between state of charge at some certain cycle of battery with electrolyte resistance, surface film resistance, and charge transfer resistance are obtained with modeling equivalent circuit according to the Nyquist plots. In tis article, a comparison between the results of EIS characterization of cathode LiCoO2 and LiNi1/3Co1/3Mn1/3O2 in lithium ion battery is presented based on report studies that have been conducted by previous researcher. It has been reported that DLi+ value of cathode LiCoO2 is greater than DLi+ value of cathode LiNi1/3Co1/3Mn1/3O2, and j0 value of cathode LiNi1/3Co1/3Mn1/3O2 is greater than j0 value of cathode LiCoO2. \u0000 Keywords: Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS), Nyquist Plot, Lithium Ion Battery, State of Charge","PeriodicalId":56254,"journal":{"name":"Inovasi Fisika Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43293091","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-07-05DOI: 10.26740/ifi.v10n2.p25-32
Brilliyan Hadid Setiawan Putra, Dzulkiflih .
Abstrak Indonesia termasuk negara yang terletak di garis khatulistiwa dan beriklim tropis, sehingga berpotensi mempunyai sumber energi terbarukan yang melimpah, terutama energi surya. Pemanfaatan energi surya diantaranya dilakukan dengan mengkonversi cahaya matahari menjadi energi listrik dengan bantuan solar cell (Panel Surya). Pemasangan energi surya yang sering dijumpai banyak bersifat statis, akibatnya penyerapan sinar matahari kurang optimal. Perlu adanya pengoptimalan sistem kerja panel surya dengan sifat dinamis. Penelitian ini dirancang panel surya dengan empat sensor LDR pada empat sisi dan dua motor servo yang dipasang secara horizontal dan vertikal. Sensor LDR berfungsi untuk mendeteksi sinar matahari kemudian meneruskan ke mikrokontroler. Mikrokontroler memberikan perintah ke motor servo agar dapat menempatkan pada posisi sudut azimuth dan elevasi tertentu. Proses pengambilan data dilaksanakan pada jam 9 pagi hingga jam 3 sore waktu Indonesia bagian barat setiap 1 jam sekali pada tanggal 22 s/d 24 Maret 2021. Pembahasan ini mengenai Solar tracker kronologis dan solar cell pasif. Kedua panel surya menunjukan hasil bahwa panel surya dengan sistem solar tracker kronologis lebih efisien dibandingkan jika hanya menggunakan panel surya dengan sistem solar cell pasif. Hal ini dibuktikan dengan data hasil pengujian alat solar tracker kronologis dan solar cell pasif terlihat bahwa perbedaan daya terbesar terjadi pada interval waktu 12.00-13.00 WIB yang dihasilkan tanggal 22 s/d 24 Maret 2021. Sedangkan rata-rata nilai daya dari solar tracker kronologis sebesar 0,44 Watt, dan rata-rata nilai daya dari solar cell pasif sebesar 0,34 Watt pada posisi sudut azimuth terbaik antara 88 derajat hingga 104 derajat. Hasil pengamatan juga didapatkan persentase nilai kenaikan daya panel surya dengan sistem solar tracker kronologis 97% sedangkan solar cell pasif 95%. Kata Kunci: Panel surya, Solar tracker kronologis, sensor INA219 Abstract Indonesia is a country that is located on the equator and has a tropical climate, so it has the potential to have abundant renewable energy sources, especially solar energy. The utilization of solar energy is carried out by converting sunlight into electrical energy with the help of solar cells. The installation of solar energy which is often encountered is static, as a result, the absorption of sunlight is less than optimal. It was necessary to optimize the solar panel work system with dynamic properties. This research designed a solar panel with four LDR sensors on four sides and two servo motors mounted horizontally and vertically. The LDR sensor functions to detect sunlight and then forward it to the microcontroller. The microcontroller gives commands to the servo motor so that it can place a certain azimuth and elevation angle. The data collection process was carried out from 9 am to 3 pm western Indonesian time every 1 hour from 22 to 24 March 2021. This discussion is about chronological solar trackers and p
{"title":"PERANCANGAN MAXIMUM POWER POINT SOLAR TRACKER DUAL AXIS BERBASIS MIKROKONTROLER","authors":"Brilliyan Hadid Setiawan Putra, Dzulkiflih .","doi":"10.26740/ifi.v10n2.p25-32","DOIUrl":"https://doi.org/10.26740/ifi.v10n2.p25-32","url":null,"abstract":"Abstrak \u0000Indonesia termasuk negara yang terletak di garis khatulistiwa dan beriklim tropis, sehingga berpotensi mempunyai sumber energi terbarukan yang melimpah, terutama energi surya. Pemanfaatan energi surya diantaranya dilakukan dengan mengkonversi cahaya matahari menjadi energi listrik dengan bantuan solar cell (Panel Surya). Pemasangan energi surya yang sering dijumpai banyak bersifat statis, akibatnya penyerapan sinar matahari kurang optimal. Perlu adanya pengoptimalan sistem kerja panel surya dengan sifat dinamis. Penelitian ini dirancang panel surya dengan empat sensor LDR pada empat sisi dan dua motor servo yang dipasang secara horizontal dan vertikal. Sensor LDR berfungsi untuk mendeteksi sinar matahari kemudian meneruskan ke mikrokontroler. Mikrokontroler memberikan perintah ke motor servo agar dapat menempatkan pada posisi sudut azimuth dan elevasi tertentu. Proses pengambilan data dilaksanakan pada jam 9 pagi hingga jam 3 sore waktu Indonesia bagian barat setiap 1 jam sekali pada tanggal 22 s/d 24 Maret 2021. Pembahasan ini mengenai Solar tracker kronologis dan solar cell pasif. Kedua panel surya menunjukan hasil bahwa panel surya dengan sistem solar tracker kronologis lebih efisien dibandingkan jika hanya menggunakan panel surya dengan sistem solar cell pasif. Hal ini dibuktikan dengan data hasil pengujian alat solar tracker kronologis dan solar cell pasif terlihat bahwa perbedaan daya terbesar terjadi pada interval waktu 12.00-13.00 WIB yang dihasilkan tanggal 22 s/d 24 Maret 2021. Sedangkan rata-rata nilai daya dari solar tracker kronologis sebesar 0,44 Watt, dan rata-rata nilai daya dari solar cell pasif sebesar 0,34 Watt pada posisi sudut azimuth terbaik antara 88 derajat hingga 104 derajat. Hasil pengamatan juga didapatkan persentase nilai kenaikan daya panel surya dengan sistem solar tracker kronologis 97% sedangkan solar cell pasif 95%. \u0000 \u0000Kata Kunci: Panel surya, Solar tracker kronologis, sensor INA219 \u0000Abstract \u0000Indonesia is a country that is located on the equator and has a tropical climate, so it has the potential to have abundant renewable energy sources, especially solar energy. The utilization of solar energy is carried out by converting sunlight into electrical energy with the help of solar cells. The installation of solar energy which is often encountered is static, as a result, the absorption of sunlight is less than optimal. It was necessary to optimize the solar panel work system with dynamic properties. This research designed a solar panel with four LDR sensors on four sides and two servo motors mounted horizontally and vertically. The LDR sensor functions to detect sunlight and then forward it to the microcontroller. The microcontroller gives commands to the servo motor so that it can place a certain azimuth and elevation angle. The data collection process was carried out from 9 am to 3 pm western Indonesian time every 1 hour from 22 to 24 March 2021. This discussion is about chronological solar trackers and p","PeriodicalId":56254,"journal":{"name":"Inovasi Fisika Indonesia","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"69097678","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-07-05DOI: 10.26740/ifi.v10n2.p81-86
Moh. Ahsanit Taqwim, I. Sucahyo, M. Yantidewi
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk merancang instrumen pengukuran panjang fokus lensa bikonveks secara otomatis. Dengan menerapkan sifat lensa bikonveks dimana berkas-berkas sinar yang paralel terhadap sumbu lensa akan dibiaskan dan berpotongan pada titik fokus. Titik fokus lensa ditentukan menggunakan sensor TEMT6000 dan panjang fokusnya diukur meggunakan motor stepper. Sinar dari dua buah laser dioda yang dipasang sejajar terhadap sumbu lensa akan berpotongan pada titik fokus sehingga intensitas di titik tersebut akan maksimum. Sensor TEMT6000 yang terhubung dengan motor stepper bergerak linier sesumbu dengan sumbu lensa dan berhenti pada titik fokus lensa karena hasil pembacaan sensor bernilai maksimum pada titik tersebut. Mikrokontroler akan menghitung jarak yang ditempuh sensor dan menampilkannya pada display sebagai panjang fokus lensa. Instrumen ini akan diujicobakan pada tiga buah lensa yang memiliki spesifikasi panjang fokus 100 mm, 150 mm, 200 mm, 250 mm dan 300 mm. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, panjang fokus hasil pengukuran secara otomatis adalah: 103,8 mm untuk lensa berspesifikasi panjang fokus 100 mm dengan tingkat kesalahan 3,8%, 153,1 mm untuk lensa berspesifikasi panjang fokus 150 mm dengan tingkat kesalahan 2,1%, 203,2 mm untuk lensa berspesifikasi panjang fokus 200 mm dengan tingkat kesalahan 1,6%, 253,2 mm untuk lensa berspesifikasi panjang fokus 250 mm dengan tingkat kesalahan 1,3%, 303,5 mm untuk lensa berspesifikasi panjang fokus 300 mm dengan tingkat kesalahan 1,1%. Penyebab terjadinya penyimpangan titik fokus adalah berkas sinar yang berasal dari laser tidak sejajar dengan sumbu lensa dikarenakan terjadi penyimpangan sudut tembak laser. Kata Kunci: panjang fokus lensa bikonveks, sensor TEMT6000, motor stepper Abstract This study aims to design an automatic instrument for measuring the focal length of biconvex lens. By applying the property of a biconvex lens, the rays parralel to the axis of the lens will be refracted and intersect at the focal point. The focal point of the lens was determined using a TEMT6000 sensor and the focal length measured using a stepper motor. The rays from the two laser diodes that were placed parallel to the lens axis would intersect at the focal point so that the intensity at that point would be maximum. TEMT6000 sensor which is connected to the stepper motor moves linearly about the lens axis and stops at the focal point of the lens because the sensor reading is maximum at that point. Microcontroller would calculate the distance travelled by the sensor and show it on the display as the focal length of the lens. The instrument would be tested on five lenses that have focal length specifications of 100 mm, 150 mm, 200 mm, 250 mm and 300 mm. Based on the research wich has been done, focal length of the automatic measurement results is: 103,8 mm for the lens with the specification of focal length 100 mm and the error was 3,8%, 153,1 mm for the lens with the specification o
本研究旨在设计一种自动对焦镜头对焦的长期测量仪器。通过应用双konveks晶状体的本质,在焦点上将平行的光束束折射并交叉。镜头的焦点是用一个温度传感器来确定的,它的焦点长度是用一个电机电机来测量的。将两个平行放置在镜头轴上的二极管激光器的光束将在焦点上交叉,使其在焦点上的强度达到最大。连接到移动的钢制电机的线轴与镜头线轴的线轴连接,并在镜头的焦点处停止,因为传感器读取结果在这一点上是最大的。微控制器将计算传感器的运行距离,并将其显示为镜头焦点的长度。该仪器将在三个镜头上测试,该镜头的对焦长度为100毫米、150毫米、200毫米、250毫米和300毫米。根据所进行的研究,自动测量结果的焦点长度是:103.8毫米延长镜头berspesifikasi专注100毫米水平3,8%的错误,153.1毫米的镜头berspesifikasi长150毫米水平2,1%的错误,焦点203.2毫米延长镜头berspesifikasi专注200毫米水平1.6%的错误,253.2毫米延长镜头berspesifikasi专注250毫米水平1,3%的错误,303.5毫米长berspesifikasi专注300毫米镜头的水平1,1%错误。对焦点畸变的原因是来自激光的光束与晶状体轴不对齐,因为有一个对焦角异常。关键字:根据对页边轴的应用,光束对页边轴的平行将在焦点处被重新路由和交叉。lens的focal点是用TEMT6000传感器和focal length测量方法用一个电机插头确定的。这两个射电二极管的光会在焦点点相交,所以那个点的强度是最大的。大约有6000个传感器连接到stepper电机的最小移动点,透镜的角度和停止在镜头的焦点,因为传感器的读数在这一点上是最大的。微控制器将calculate the discu遥远的传感器,并将它作为镜头的焦点显示出来。仪器将测试5片标有100毫米、150毫米、200毫米、250毫米和300毫米口径的镜头。根据研究结果,根据自动评估结果计算:103.8毫米for the透镜篇长度正好和100毫米specification》和《错误是3,8%,153.1毫米为透镜篇长度正好和150毫米specification》和《错误percentage是2,1%,203.2毫米为透镜篇长度正好和200毫米specification》和《错误percentage是1.6%,253.2毫米为透镜篇之specification长度正好和250毫米和错误percentage是1,3%,303.5毫米用于冷凝器300毫米规格的透镜,误差为1.1%。因为focal点差是,来自激光的射线并不平行于激光束差。重点是边缘的线条,节奏6000传感器,运动稳定器
{"title":"RANCANG BANGUN ALAT PENENTU PANJANG FOKUS PADA LENSA BIKONVEKS MENGGUNAKAN SENSOR TEMT6000 DAN MOTOR STEPPER","authors":"Moh. Ahsanit Taqwim, I. Sucahyo, M. Yantidewi","doi":"10.26740/ifi.v10n2.p81-86","DOIUrl":"https://doi.org/10.26740/ifi.v10n2.p81-86","url":null,"abstract":"Abstrak \u0000 Penelitian ini bertujuan untuk merancang instrumen pengukuran panjang fokus lensa bikonveks secara otomatis. Dengan menerapkan sifat lensa bikonveks dimana berkas-berkas sinar yang paralel terhadap sumbu lensa akan dibiaskan dan berpotongan pada titik fokus. Titik fokus lensa ditentukan menggunakan sensor TEMT6000 dan panjang fokusnya diukur meggunakan motor stepper. Sinar dari dua buah laser dioda yang dipasang sejajar terhadap sumbu lensa akan berpotongan pada titik fokus sehingga intensitas di titik tersebut akan maksimum. Sensor TEMT6000 yang terhubung dengan motor stepper bergerak linier sesumbu dengan sumbu lensa dan berhenti pada titik fokus lensa karena hasil pembacaan sensor bernilai maksimum pada titik tersebut. Mikrokontroler akan menghitung jarak yang ditempuh sensor dan menampilkannya pada display sebagai panjang fokus lensa. Instrumen ini akan diujicobakan pada tiga buah lensa yang memiliki spesifikasi panjang fokus 100 mm, 150 mm, 200 mm, 250 mm dan 300 mm. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, panjang fokus hasil pengukuran secara otomatis adalah: 103,8 mm untuk lensa berspesifikasi panjang fokus 100 mm dengan tingkat kesalahan 3,8%, 153,1 mm untuk lensa berspesifikasi panjang fokus 150 mm dengan tingkat kesalahan 2,1%, 203,2 mm untuk lensa berspesifikasi panjang fokus 200 mm dengan tingkat kesalahan 1,6%, 253,2 mm untuk lensa berspesifikasi panjang fokus 250 mm dengan tingkat kesalahan 1,3%, 303,5 mm untuk lensa berspesifikasi panjang fokus 300 mm dengan tingkat kesalahan 1,1%. Penyebab terjadinya penyimpangan titik fokus adalah berkas sinar yang berasal dari laser tidak sejajar dengan sumbu lensa dikarenakan terjadi penyimpangan sudut tembak laser. \u0000Kata Kunci: panjang fokus lensa bikonveks, sensor TEMT6000, motor stepper \u0000 \u0000Abstract \u0000This study aims to design an automatic instrument for measuring the focal length of biconvex lens. By applying the property of a biconvex lens, the rays parralel to the axis of the lens will be refracted and intersect at the focal point. The focal point of the lens was determined using a TEMT6000 sensor and the focal length measured using a stepper motor. The rays from the two laser diodes that were placed parallel to the lens axis would intersect at the focal point so that the intensity at that point would be maximum. TEMT6000 sensor which is connected to the stepper motor moves linearly about the lens axis and stops at the focal point of the lens because the sensor reading is maximum at that point. Microcontroller would calculate the distance travelled by the sensor and show it on the display as the focal length of the lens. The instrument would be tested on five lenses that have focal length specifications of 100 mm, 150 mm, 200 mm, 250 mm and 300 mm. Based on the research wich has been done, focal length of the automatic measurement results is: 103,8 mm for the lens with the specification of focal length 100 mm and the error was 3,8%, 153,1 mm for the lens with the specification o","PeriodicalId":56254,"journal":{"name":"Inovasi Fisika Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42352428","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-07-05DOI: 10.26740/ifi.v10n2.p68-72
Angela Arin Pratama, Lydia Rohmawati
Abstrak Modifikasi polydopamine (PDA) pada TiO2 anatase dapat diaplikasikan dalam bidang biomedis karena memiliki sifat fotokatalis yang baik. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur kristalinitas dari TiO2@PDA. TiO2 diekstraksi dari pasir Ilmenite Tulungagung menggunakan metode leaching asam sulfat dengan suhu kalsinasi 500˚C. Kemudian dilakukan penambahan Dopamine Hydrochloride (DA) dalam larutan alkali. Setelah itu dilakukan proses ultrasonikasi selama 3 menit, dan diinkubasi 3 jam pada suhu 90˚C. Selanjutnya sampel disentrifugasi pada 4000 rpm selama 5 menit untuk memisahkan supernatant dan presipitat. Presipitat hasil sentrifugasi dikeringkan 30 menit pada suhu 80˚C dan didinginkan pada suhu ruang. Kemudian dikarakterisasi XRD untuk mengidentifikasi fasa menggunakan analisis kualitatif dengan software match! dan mengetahui ukuran kristalit menggunakan analisis kuantitatif dengan software rietica. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TiO2 dan TiO2@PDA masing-masing memiliki fasa anatase dengan ukuran nanokristalin 10,80 ± 1,53 nm dan 12,68 ± 2,27 nm. Kata Kunci: TiO2, TiO2@PDA, Anatase, Ilmenite Tulungagung Abstract Polydopamine (PDA) modification on anatase TiO2 can be applied in the biomedical field because it has good photocatalytic properties. For this reason, this study aims to find out the crystallinity structure of TiO2@PDA. TiO2 was extracted from Ilmenite Tulungagung sand using sulfuric acid leaching method with calcination temperature of 500˚C. Then added Dopamine Hydrochloride (DA) in alkaline solution. After that, the ultrasonication process was carried out for 3 minutes and incubated for 3 hours at 90˚C. And the, sample was centrifuged at 4000 rpm for 5 minutes to separated supernatant and precipitate. The residues resulting from centrifugation were dried at 80˚C for 30 minutes and cooled at room temperature. Then XRD were characterized to identify phase with qualitative analysis using match! software and to know crystallite size with analysis quantitative using rietica software. The results showed that TiO2 and TiO2@PDA had an anatase phase with nanocrystalline sizes of 10.80 ± 1.53 nm and 12.68 ± 2.27 nm. Keywords: TiO2, TiO2@PDA, Anatase, Ilmenite Tulungagung
{"title":"ANALISIS KRISTALINITAS TiO2@PDA HASIL LEACHING ILMENITE TULUNGAGUNG","authors":"Angela Arin Pratama, Lydia Rohmawati","doi":"10.26740/ifi.v10n2.p68-72","DOIUrl":"https://doi.org/10.26740/ifi.v10n2.p68-72","url":null,"abstract":"Abstrak \u0000Modifikasi polydopamine (PDA) pada TiO2 anatase dapat diaplikasikan dalam bidang biomedis karena memiliki sifat fotokatalis yang baik. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur kristalinitas dari TiO2@PDA. TiO2 diekstraksi dari pasir Ilmenite Tulungagung menggunakan metode leaching asam sulfat dengan suhu kalsinasi 500˚C. Kemudian dilakukan penambahan Dopamine Hydrochloride (DA) dalam larutan alkali. Setelah itu dilakukan proses ultrasonikasi selama 3 menit, dan diinkubasi 3 jam pada suhu 90˚C. Selanjutnya sampel disentrifugasi pada 4000 rpm selama 5 menit untuk memisahkan supernatant dan presipitat. Presipitat hasil sentrifugasi dikeringkan 30 menit pada suhu 80˚C dan didinginkan pada suhu ruang. Kemudian dikarakterisasi XRD untuk mengidentifikasi fasa menggunakan analisis kualitatif dengan software match! dan mengetahui ukuran kristalit menggunakan analisis kuantitatif dengan software rietica. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TiO2 dan TiO2@PDA masing-masing memiliki fasa anatase dengan ukuran nanokristalin 10,80 ± 1,53 nm dan 12,68 ± 2,27 nm. \u0000 Kata Kunci: TiO2, TiO2@PDA, Anatase, Ilmenite Tulungagung \u0000 \u0000Abstract \u0000Polydopamine (PDA) modification on anatase TiO2 can be applied in the biomedical field because it has good photocatalytic properties. For this reason, this study aims to find out the crystallinity structure of TiO2@PDA. TiO2 was extracted from Ilmenite Tulungagung sand using sulfuric acid leaching method with calcination temperature of 500˚C. Then added Dopamine Hydrochloride (DA) in alkaline solution. After that, the ultrasonication process was carried out for 3 minutes and incubated for 3 hours at 90˚C. And the, sample was centrifuged at 4000 rpm for 5 minutes to separated supernatant and precipitate. The residues resulting from centrifugation were dried at 80˚C for 30 minutes and cooled at room temperature. Then XRD were characterized to identify phase with qualitative analysis using match! software and to know crystallite size with analysis quantitative using rietica software. The results showed that TiO2 and TiO2@PDA had an anatase phase with nanocrystalline sizes of 10.80 ± 1.53 nm and 12.68 ± 2.27 nm. \u0000 Keywords: TiO2, TiO2@PDA, Anatase, Ilmenite Tulungagung \u0000 ","PeriodicalId":56254,"journal":{"name":"Inovasi Fisika Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43667694","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-07-05DOI: 10.26740/ifi.v10n2.p9-16
Firda Rulifiangga, T. Prastowo
Abstrak Posisi Indonesia adalah strategis karena berada di jalur aliran air laut dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melalui beberapa selat di wilayah perairan Indonesia bagian timur yang dikenal sebagai Arus Lintas Indonesia (Arlindo). Transportasi air laut melewati selat penghubung kedua samudera tersebut bisa memengaruhi sirkulasi air laut dan iklim dalam skala lokal, regional, dan global. Dalam penelitian ini, Arlindo dipelajari melalui model oceanic exchange flow dengan bantuan teori hidrolik internal yang diterapkan untuk two-layer exchange flow through a strait or over a sill. Besaran fisis yang akan ditentukan adalah volume transport melalui selat sempit dengan penyempitan lateral atau vertikal dalam bentuk normalised volume exchange (bilangan tak berdimensi sebagai hasil bagi antara observed volume dan maximal volume exchange sebagai batas atas volume transport), di mana volume transport melewati selat dihitung dengan mempertimbangkan efek mixing. Data penelitian ini diambil dari laman https://maps.ngdc.noaa.gov/viewers/bathymetry/ dan https://salinity.oceansciences.org/. Kasus yang dibahas adalah beberapa selat terkenal di dunia dan selat Arlindo. Untuk seluruh kategori selat baik selat dengan kontrol hidrolik berupa contraction atau sill, normalised volume exchange ditemukan selalu kurang dari 0,87 (batas atas volume exchange with mixing). Reduksi volume transport juga diberikan oleh friksi sepanjang dasar selat dengan topografi kasar dan batimetri tak beraturan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa normalised transport melalui Selat Gibraltar adalah 0,86 (tipikal exchange flow with a small contribution of friction), serupa dengan kasus selat Arlindo di Indonesia, di mana rata-rata normalised transport adalah 0,83. Hal ini membuktikan bahwa teori hidrolik internal bisa digunakan untuk prediksi volume transport. Kata Kunci: Arlindo, teori hidrolik internal, exchange flow, mixing, volume transport Abstract Indonesia is strategic for its geographic position in water circulation pathway from Pacific to Indian Oceans through relatively narrow straits in eastern Indonesian provinces widely known as the Indonesian Throughflow (ITF). Water transport past the straits connecting the Oceans can modify ocean circulation and climate in local, regional and global scales. In this study, the ITF was examined using oceanic exchange flow in the light of internal hydraulic theory applied to two-layer exchange flow through a strait or over a sill. The study is aimed to determine volume transport past a strait with a simple topography, where the transport was calculated as normalised volume exchange (a non-dimensional number representing the ratio of observed volume transport and maximal volume exchange in the presence of mixing). The data included ocean depth from https://maps.ngdc.noaa.gov/viewers/bathymetry/ and ocean salinity and/or density acquired from https://salinity.oceansciences.org/. Cases discussed were the exchanges in ocean str
{"title":"ANALISIS PREDIKSI DEBIT ALIRAN AIR LAUT MELALUI SELAT UNTUK KASUS DI LUAR INDONESIA DAN DI INDONESIA DENGAN BANTUAN TEORI HIDROLIK INTERNAL","authors":"Firda Rulifiangga, T. Prastowo","doi":"10.26740/ifi.v10n2.p9-16","DOIUrl":"https://doi.org/10.26740/ifi.v10n2.p9-16","url":null,"abstract":"Abstrak \u0000 Posisi Indonesia adalah strategis karena berada di jalur aliran air laut dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melalui beberapa selat di wilayah perairan Indonesia bagian timur yang dikenal sebagai Arus Lintas Indonesia (Arlindo). Transportasi air laut melewati selat penghubung kedua samudera tersebut bisa memengaruhi sirkulasi air laut dan iklim dalam skala lokal, regional, dan global. Dalam penelitian ini, Arlindo dipelajari melalui model oceanic exchange flow dengan bantuan teori hidrolik internal yang diterapkan untuk two-layer exchange flow through a strait or over a sill. Besaran fisis yang akan ditentukan adalah volume transport melalui selat sempit dengan penyempitan lateral atau vertikal dalam bentuk normalised volume exchange (bilangan tak berdimensi sebagai hasil bagi antara observed volume dan maximal volume exchange sebagai batas atas volume transport), di mana volume transport melewati selat dihitung dengan mempertimbangkan efek mixing. Data penelitian ini diambil dari laman https://maps.ngdc.noaa.gov/viewers/bathymetry/ dan https://salinity.oceansciences.org/. Kasus yang dibahas adalah beberapa selat terkenal di dunia dan selat Arlindo. Untuk seluruh kategori selat baik selat dengan kontrol hidrolik berupa contraction atau sill, normalised volume exchange ditemukan selalu kurang dari 0,87 (batas atas volume exchange with mixing). Reduksi volume transport juga diberikan oleh friksi sepanjang dasar selat dengan topografi kasar dan batimetri tak beraturan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa normalised transport melalui Selat Gibraltar adalah 0,86 (tipikal exchange flow with a small contribution of friction), serupa dengan kasus selat Arlindo di Indonesia, di mana rata-rata normalised transport adalah 0,83. Hal ini membuktikan bahwa teori hidrolik internal bisa digunakan untuk prediksi volume transport. \u0000 \u0000Kata Kunci: Arlindo, teori hidrolik internal, exchange flow, mixing, volume transport \u0000Abstract \u0000Indonesia is strategic for its geographic position in water circulation pathway from Pacific to Indian Oceans through relatively narrow straits in eastern Indonesian provinces widely known as the Indonesian Throughflow (ITF). Water transport past the straits connecting the Oceans can modify ocean circulation and climate in local, regional and global scales. In this study, the ITF was examined using oceanic exchange flow in the light of internal hydraulic theory applied to two-layer exchange flow through a strait or over a sill. The study is aimed to determine volume transport past a strait with a simple topography, where the transport was calculated as normalised volume exchange (a non-dimensional number representing the ratio of observed volume transport and maximal volume exchange in the presence of mixing). The data included ocean depth from https://maps.ngdc.noaa.gov/viewers/bathymetry/ and ocean salinity and/or density acquired from https://salinity.oceansciences.org/. Cases discussed were the exchanges in ocean str","PeriodicalId":56254,"journal":{"name":"Inovasi Fisika Indonesia","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"69097683","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-02-17DOI: 10.26740/ifi.v10n1.p29-35
Novi Dwi Rahayu, Asnawi .
Abstrak Pandu gelombang optik adalah salah satu piranti pasif yang penting dalam sistem fotonika dan jaringan komunikasi optik. Piranti dalam pandu gelombang optik dapat mentransmisikan dan memodifikasi sinyal optik dari satu titik ke titik lain yang dapat berfungsi sebagai pembagi daya (power divider), directional coupler, optical combiner, dan optical switch. Tujuan penelitian ini adalah memfabrikasi pandu gelombang optik model Y-branch berbasis material Tin (IV) Oxide (SnO2). Pandu gelombang optik model Y-branch dibuat dengan menggunakan metode laser cutting, dimana substrat pandu gelombang optik adalah akrilik dengan film/core pandu gelombang adalah SnO2 dan PMMA sebagai cladding. Proses kerja laser cutting yaitu dengan memfokuskan sinar laser pada substrat akrilik yang ingin dipotong dengan ukuran 25x15 mm2. Setelah proses pemotongan akrilik kemudian material SnO2 berupa gel dimasukkan ke dalam pandu gelombang Y-branch. Pengukuran output pandu gelombang Y-branch dilakukan dengan mengambil gambar laser dari penampang melintang (cross section) pada pandu gelombang kemudian diolah menggunakan perangkat lunak Image-J. Grafik pada perangkat lunak Image-J dapat digunakan untuk menganalisis hasil penelitian. Laser He-Ne dengan panjang gelombang sebesar 632,8 nm sebagai sumber cahaya masukan pada pandu gelombang optik Y-branch. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai intensitas output 1 dan output 2 yang optimum dari pandu gelombang optik model Y-branch terdapat pada sudut percabangan 50 yaitu sebesar 58,8% (kanal 1) dan 41,2% (kanal 2), hal ini menggambarkan bahwa pandu gelombang Y-branch dengan sudut 50 merupakan pandu gelombang optik yang memiliki nilai luaran yang optimum sebagai pembagi daya (power divider). Dengan demikian, pandu gelombang optik model Y-branch berbasis material Tin (IV) Oxide berpotensi untuk terus dikembangkan sebagai bahan utama pada divais optoelektronika. Kata Kunci: pandu gelombang, pembagi daya, SnO2, laser cutting Abstract Optical waveguides are one of the most important passive devices in photonic systems and optical communication networks. Devices in optical waveguides can transmit and modify optical signals from one point to another which can function as a power divider, directional coupler, optical combiner, and optical switch. The purpose of this research is to fabricate a Y-branch model optical waveguide based on Tin (IV) Oxide (SnO2) material. The Y-branch optical waveguide model is made using laser cutting method, where the optical waveguide substrate is acrylic with the film/core is SnO2 and PMMA as cladding. The work process of laser cutting is by focusing the laser beam on the acrylic substrate to cut with a size of 25x15 mm2. After the acrylic cutting process, the SnO2 material in the form of gel is injected into the Y-branch waveguide. Measurement of the Y-branch waveguide output is done by taking a laser image from the cross section of the waveguide and then processing it using Image-J software.
{"title":"ANALISIS PANDU GELOMBANG OPTIK MODEL Y-BRANCH DENGAN FILM TIN (IV) OXIDE NANO SEBAGAI DIVAIS OPTOELEKTRONIKA","authors":"Novi Dwi Rahayu, Asnawi .","doi":"10.26740/ifi.v10n1.p29-35","DOIUrl":"https://doi.org/10.26740/ifi.v10n1.p29-35","url":null,"abstract":"Abstrak \u0000 Pandu gelombang optik adalah salah satu piranti pasif yang penting dalam sistem fotonika dan jaringan komunikasi optik. Piranti dalam pandu gelombang optik dapat mentransmisikan dan memodifikasi sinyal optik dari satu titik ke titik lain yang dapat berfungsi sebagai pembagi daya (power divider), directional coupler, optical combiner, dan optical switch. Tujuan penelitian ini adalah memfabrikasi pandu gelombang optik model Y-branch berbasis material Tin (IV) Oxide (SnO2). Pandu gelombang optik model Y-branch dibuat dengan menggunakan metode laser cutting, dimana substrat pandu gelombang optik adalah akrilik dengan film/core pandu gelombang adalah SnO2 dan PMMA sebagai cladding. Proses kerja laser cutting yaitu dengan memfokuskan sinar laser pada substrat akrilik yang ingin dipotong dengan ukuran 25x15 mm2. Setelah proses pemotongan akrilik kemudian material SnO2 berupa gel dimasukkan ke dalam pandu gelombang Y-branch. Pengukuran output pandu gelombang Y-branch dilakukan dengan mengambil gambar laser dari penampang melintang (cross section) pada pandu gelombang kemudian diolah menggunakan perangkat lunak Image-J. Grafik pada perangkat lunak Image-J dapat digunakan untuk menganalisis hasil penelitian. Laser He-Ne dengan panjang gelombang sebesar 632,8 nm sebagai sumber cahaya masukan pada pandu gelombang optik Y-branch. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai intensitas output 1 dan output 2 yang optimum dari pandu gelombang optik model Y-branch terdapat pada sudut percabangan 50 yaitu sebesar 58,8% (kanal 1) dan 41,2% (kanal 2), hal ini menggambarkan bahwa pandu gelombang Y-branch dengan sudut 50 merupakan pandu gelombang optik yang memiliki nilai luaran yang optimum sebagai pembagi daya (power divider). Dengan demikian, pandu gelombang optik model Y-branch berbasis material Tin (IV) Oxide berpotensi untuk terus dikembangkan sebagai bahan utama pada divais optoelektronika. \u0000 \u0000Kata Kunci: pandu gelombang, pembagi daya, SnO2, laser cutting \u0000Abstract \u0000Optical waveguides are one of the most important passive devices in photonic systems and optical communication networks. Devices in optical waveguides can transmit and modify optical signals from one point to another which can function as a power divider, directional coupler, optical combiner, and optical switch. The purpose of this research is to fabricate a Y-branch model optical waveguide based on Tin (IV) Oxide (SnO2) material. The Y-branch optical waveguide model is made using laser cutting method, where the optical waveguide substrate is acrylic with the film/core is SnO2 and PMMA as cladding. The work process of laser cutting is by focusing the laser beam on the acrylic substrate to cut with a size of 25x15 mm2. After the acrylic cutting process, the SnO2 material in the form of gel is injected into the Y-branch waveguide. Measurement of the Y-branch waveguide output is done by taking a laser image from the cross section of the waveguide and then processing it using Image-J software. ","PeriodicalId":56254,"journal":{"name":"Inovasi Fisika Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-02-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47790234","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-02-17DOI: 10.26740/ifi.v10n1.p43-51
Daffa Mahendra, Dzulkiflih .
Abstrak Pengujian terhadap sensor TCS230 memberikan peluang untuk mengetahui sensitivitas dan tingkat kesalahan (error) sehingga dapat membantu penderita kelainan buta warna (color blindness) dalam mengidentifikasi suatu objek warna. Fokus pada penelitian ini adalah untuk meneliti sensitivitas dari Sensor TCS230 terhadap warna RGB pada suatu objek warna. Metode penelitian yang dilakukan oleh peneliti secara kuantitatif menggunakan sumber data primer. Pengujian data menggunakan metode MSE (Mean Square Error) dan ACPP (Algoritma Closest Pair Point). Hasil dari penelitian menggunakan metode MSE menemukan bahwa pada uji warna merah (R/Red) memiliki nilai error paling kecil sebesar 2,82%, warna biru memiliki nilai error paling kecil sebesar 10,44%, warna hijau memiliki nilai error paling kecil sebesar 11,33%, warna putih memiliki nilai error paling kecil sebesar 4,50% dan warna kuning memiliki nilai error paling kecil sebesar 7,90%. Hasil penelitian menggunakan metode ACPP menghasilkan nilai error pada sampel 1 (satu) sebesar 6,54% dengan warna terdekat yaitu merah koral dan sampel 2 (dua) sebesar 14,90% dengan warna terdekat yaitu warna merah salmon gelap. Peneliti mengambil kesimpulan bahwa pada metode MSE memiliki tingkat error rendah pada jarak 1 cm dan semakin besar jarak maka frekuensi yang diperlukan semakin besar serta metode ACPP memiliki jarak warna terdekat dengan kesesuain mayoritas sampel warna. Kata Kunci: ACPP, buta warna, frekuensi, jarak, MSE, Abstract Testing the TCS230 sensor provides an opportunity to determine the sensitivity and error rate so as to help people with color blindness in identifying a color object. The focus of this study was to examine the sensitivity of the TCS230 Sensor to RGB colors on a color object. Research methods conducted by researchers quantitatively using primary data sources. Data testing using MSE (Mean Square Error) and ACPP (The Closest Pair Point Algorithm) methods. The results of the study using MSE method found that in the red color test (R/Red) had the smallest error value of 2.82%, blue had the smallest error value of 10.44%, green color had the least error value of 11.33%, white had the smallest error value of 4.50% and yellow had the least error value of 7.90%. The results of the study using ACPP method produced a error value in the sample of 1 (one) of 6,54% with the closest color of coral red and 2 (two) samples of 14,90% with the nearest color of dark salmon red. The researchers concluded that in the MSE method has a low error rate at a distance of 1 cm and the greater the distance, the frequency required the greater and the ACPP method has the closest color distance to the majority of color samples. Keywords: ACPP, color blindness, distance, frequency, MSE.
{"title":"UJI SENSITIVITAS SENSOR TCS230 BERBASIS ARDUINO UNO SEBAGAI ALAT PENDETEKSI WARNA BAGI PENDERITA BUTA WARNA","authors":"Daffa Mahendra, Dzulkiflih .","doi":"10.26740/ifi.v10n1.p43-51","DOIUrl":"https://doi.org/10.26740/ifi.v10n1.p43-51","url":null,"abstract":"Abstrak \u0000Pengujian terhadap sensor TCS230 memberikan peluang untuk mengetahui sensitivitas dan tingkat kesalahan (error) sehingga dapat membantu penderita kelainan buta warna (color blindness) dalam mengidentifikasi suatu objek warna. Fokus pada penelitian ini adalah untuk meneliti sensitivitas dari Sensor TCS230 terhadap warna RGB pada suatu objek warna. Metode penelitian yang dilakukan oleh peneliti secara kuantitatif menggunakan sumber data primer. Pengujian data menggunakan metode MSE (Mean Square Error) dan ACPP (Algoritma Closest Pair Point). Hasil dari penelitian menggunakan metode MSE menemukan bahwa pada uji warna merah (R/Red) memiliki nilai error paling kecil sebesar 2,82%, warna biru memiliki nilai error paling kecil sebesar 10,44%, warna hijau memiliki nilai error paling kecil sebesar 11,33%, warna putih memiliki nilai error paling kecil sebesar 4,50% dan warna kuning memiliki nilai error paling kecil sebesar 7,90%. Hasil penelitian menggunakan metode ACPP menghasilkan nilai error pada sampel 1 (satu) sebesar 6,54% dengan warna terdekat yaitu merah koral dan sampel 2 (dua) sebesar 14,90% dengan warna terdekat yaitu warna merah salmon gelap. Peneliti mengambil kesimpulan bahwa pada metode MSE memiliki tingkat error rendah pada jarak 1 cm dan semakin besar jarak maka frekuensi yang diperlukan semakin besar serta metode ACPP memiliki jarak warna terdekat dengan kesesuain mayoritas sampel warna. \u0000Kata Kunci: ACPP, buta warna, frekuensi, jarak, MSE, \u0000Abstract \u0000Testing the TCS230 sensor provides an opportunity to determine the sensitivity and error rate so as to help people with color blindness in identifying a color object. The focus of this study was to examine the sensitivity of the TCS230 Sensor to RGB colors on a color object. Research methods conducted by researchers quantitatively using primary data sources. Data testing using MSE (Mean Square Error) and ACPP (The Closest Pair Point Algorithm) methods. The results of the study using MSE method found that in the red color test (R/Red) had the smallest error value of 2.82%, blue had the smallest error value of 10.44%, green color had the least error value of 11.33%, white had the smallest error value of 4.50% and yellow had the least error value of 7.90%. The results of the study using ACPP method produced a error value in the sample of 1 (one) of 6,54% with the closest color of coral red and 2 (two) samples of 14,90% with the nearest color of dark salmon red. The researchers concluded that in the MSE method has a low error rate at a distance of 1 cm and the greater the distance, the frequency required the greater and the ACPP method has the closest color distance to the majority of color samples. \u0000Keywords: ACPP, color blindness, distance, frequency, MSE.","PeriodicalId":56254,"journal":{"name":"Inovasi Fisika Indonesia","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-02-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41344687","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-02-17DOI: 10.26740/ifi.v10n1.p21-28
F. Wardani, I. Sucahyo, M. Dewi
Abstrak Pengukuran frekuensi resonansi yang sesuai dengan hukum Marsenne dan cepat rambat gelombang dapat dilakukan menggunakan sonometer. Sonometer dapat diterapkan pada alat praktikum laboratorium instrumentasi. Metode pengukuran tersebut yaitu dawai dengan massa per satuan panjang sebesar 0,39; 0,78 dan 1,12 kg/m diletakkan di atas kayu sepanjang 80 cm secara bergantian yang diberi beban di ujung serta pengait di ujung lainnya dengan menambahkan komponen driver coil yang disambungkan dengan sumber input AFG (Audio Frequency Generator) dan dua bridge. Gelombang merambat melalui dawai dan dideteksi oleh sensor pick up magnetik yang disambungkan dengan osiloskop. Pengukuran frekuensi resonansi dilakukan dengan memanipulasi massa per satuan panjang dawai (0,39; 0,78 dan 1,12 kg/m) dan jarak antara driver coil dengan sensor pick up magnetik (0,39 dan 0,18 m). Ketiga manipulasi massa per satuan panjang dawai untuk jarak 0,3 m menghasilkan frekuensi 220,48; 264,20 dan 373,63 Hz serta untuk jarak 0,18 m menghasilkan frekuensi 36,75; 44,03 dan 62,27 Hz. Pengukuran tersebut membuktikan bahwa semakin pendek jarak maka didapatkan frekuensi resonansi yang semakin besar, sedangkan semakin kecil massa per satuan panjang pada dawai maka semakin besar frekuensi resonansi. Kedua hal tersebut sesuai dengan hukum marsenne. Pengukuran cepat rambat gelombang dilakukan dengan memanipulasi massa persatuan panjang dawai 0,39; 0,78 dan 1,12 kg/m. Ketiga manipulasi tersebut diperoleh 354,46; 250,64 dan 209,17 m/s. Oleh karena itu, dapat dijelaskan bahwa semakin kecil massa persatuan panjang dawai maka semakin cepat gelombang merambat. Kata Kunci: Frekuensi resonansi, cepat rambat gelombang, sensor pick up magnetic, massa per satuan panjang, jarak antara driver coil dengan sensor pick up magnetik Abstract Measurement of the resonant frequency in accordance with Marsenne's law and the propagation of the waves was carried out using a sonometer. Sonometer can be applied to laboratory instrumentation lab tools. The measurement method is a string with a mass per unit length of 0.39; 0.78 and 1.12 kg / m are placed on the wood along 80 cm alternately which is loaded at the end and the hook at the other end by adding a coil driver component connected to the AFG (Audio Frequency Generator) input source and two bridges. The waves propagate through the strings and are detected by a magnetic pick-up sensor connected to an oscilloscope. Resonant frequency measurements were performed by manipulating the mass per unit length of the string (0.39; 0.78 and 1.12 kg / m) and the distance between the driver coil and the magnetic pick-up sensor (0.39 and 0.18 m). The three manipulations of mass per unit length of string for a distance of 0.3 m yield a frequency of 220.48; 264.20 and 373.63 Hz and for a distance of 0.18 m the resulting frequency is 36.75; 44.03 and 62.27 Hz. These measurements prove that the shorter the distance, the greater the resonant frequency is obtained, w
{"title":"RANCANG BANGUN ALAT PENGUKUR FREKUENSI RESONANSI DAN CEPAT RAMBAT GELOMBANG PADA DAWAI MENGGUNAKAN SENSOR PICK UP MAGNETIK","authors":"F. Wardani, I. Sucahyo, M. Dewi","doi":"10.26740/ifi.v10n1.p21-28","DOIUrl":"https://doi.org/10.26740/ifi.v10n1.p21-28","url":null,"abstract":"Abstrak \u0000Pengukuran frekuensi resonansi yang sesuai dengan hukum Marsenne dan cepat rambat gelombang dapat dilakukan menggunakan sonometer. Sonometer dapat diterapkan pada alat praktikum laboratorium instrumentasi. Metode pengukuran tersebut yaitu dawai dengan massa per satuan panjang sebesar 0,39; 0,78 dan 1,12 kg/m diletakkan di atas kayu sepanjang 80 cm secara bergantian yang diberi beban di ujung serta pengait di ujung lainnya dengan menambahkan komponen driver coil yang disambungkan dengan sumber input AFG (Audio Frequency Generator) dan dua bridge. Gelombang merambat melalui dawai dan dideteksi oleh sensor pick up magnetik yang disambungkan dengan osiloskop. Pengukuran frekuensi resonansi dilakukan dengan memanipulasi massa per satuan panjang dawai (0,39; 0,78 dan 1,12 kg/m) dan jarak antara driver coil dengan sensor pick up magnetik (0,39 dan 0,18 m). Ketiga manipulasi massa per satuan panjang dawai untuk jarak 0,3 m menghasilkan frekuensi 220,48; 264,20 dan 373,63 Hz serta untuk jarak 0,18 m menghasilkan frekuensi 36,75; 44,03 dan 62,27 Hz. Pengukuran tersebut membuktikan bahwa semakin pendek jarak maka didapatkan frekuensi resonansi yang semakin besar, sedangkan semakin kecil massa per satuan panjang pada dawai maka semakin besar frekuensi resonansi. Kedua hal tersebut sesuai dengan hukum marsenne. Pengukuran cepat rambat gelombang dilakukan dengan memanipulasi massa persatuan panjang dawai 0,39; 0,78 dan 1,12 kg/m. Ketiga manipulasi tersebut diperoleh 354,46; 250,64 dan 209,17 m/s. Oleh karena itu, dapat dijelaskan bahwa semakin kecil massa persatuan panjang dawai maka semakin cepat gelombang merambat. \u0000 \u0000Kata Kunci: Frekuensi resonansi, cepat rambat gelombang, sensor pick up magnetic, massa per satuan panjang, jarak antara driver coil dengan sensor pick up magnetik \u0000 \u0000 \u0000Abstract \u0000Measurement of the resonant frequency in accordance with Marsenne's law and the propagation of the waves was carried out using a sonometer. Sonometer can be applied to laboratory instrumentation lab tools. The measurement method is a string with a mass per unit length of 0.39; 0.78 and 1.12 kg / m are placed on the wood along 80 cm alternately which is loaded at the end and the hook at the other end by adding a coil driver component connected to the AFG (Audio Frequency Generator) input source and two bridges. The waves propagate through the strings and are detected by a magnetic pick-up sensor connected to an oscilloscope. Resonant frequency measurements were performed by manipulating the mass per unit length of the string (0.39; 0.78 and 1.12 kg / m) and the distance between the driver coil and the magnetic pick-up sensor (0.39 and 0.18 m). The three manipulations of mass per unit length of string for a distance of 0.3 m yield a frequency of 220.48; 264.20 and 373.63 Hz and for a distance of 0.18 m the resulting frequency is 36.75; 44.03 and 62.27 Hz. These measurements prove that the shorter the distance, the greater the resonant frequency is obtained, w","PeriodicalId":56254,"journal":{"name":"Inovasi Fisika Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-02-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48955084","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-02-17DOI: 10.26740/ifi.v10n1.p36-42
Diptya Latifa Rohadi Latifa Rohadi, Asnawi .
Abstrak Diabetes melitus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh faktor genetik maupun usia. Upaya mencegah penambahan jumlah penderita diabetes maka perlu adanya pemantauan kadar glukosa dalam tubuh. Pemantauan dilakukan dengan mengukur kadar glukosa dalam darah dengan cara penusukan jari yang menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien. Maka dikembangkan metode pengukuran non-invasive yang sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan cara dan hasil pengembangan sensor glukosa berbasis material tin oxide nano dengan menggunakan fiber bragg grating (FBG). Sensor dengan menggunakan fiber bragg grating berbasis optik material tin oxide nano memiliki kepekaan yang tinggi dan periode reaksi yang cepat sebagai sensor glukosa. Hasil penelitian menunjukkan sensitifitas yang terjadi terkait pergeseran nilai indeks bias dan nilai panjang gelombang pada larutan glukosa. Pada konsentrasi glukosa sebesar 10% terjadi pergeseran indeks bias yaitu 1,345. Pergeseran nilai panjang gelombang terjadi pada indeks bias 1,332 yaitu 1550,072. Dengan demikian adanya pergeseran panjang gelombang terhadap indeks bias larutan glukosa dari berbagai konsentrasi glukosa ini menunjukkan bahwa pengembangan FBG berbasis material tin oxide nano dapat digunakan sebagai sensor glukosa. Sensor fiber bragg grating dengan menggunakan pelapis nanomaterial SnO2 dapat diimplementasikan dengan menggunakan saliva pasien diabetes melitus (DM). Kata kunci: Fiber Bragg Grating, Diabetes Melitus, SnO2 Abstract Diabetes mellitus is a public health problem caused by genetic factors and age. In efforts to prevent the increase in the number of diabetics, it is necessary to monitor glucose levels in the body. Monitoring is carried out by measuring the level of glucose in the blood by means of pricking a finger which causes discomfort to the patient. So a non-invasive measurement method was developed that is in accordance with the objectives of this study, namely to describe the methods and results of the development of a glucose sensor based on tin oxide nanomaterial using a fiber Bragg grating (FBG). The sensor using optical fiber Bragg grating of tin oxide nanomaterial has high sensitivity and a fast reaction period as a glucose sensor. The results showed that the sensitivity occurred related to the shift in the refractive index value and the wavelength value in the glucose solution. At a glucose concentration of 10%, there was a shift in the refractive index, namely 1.345. The shift in the wavelength value occurs at the refractive index of 1.332 which is 1550.072. Thus, the shift in wavelength towards the refractive index of glucose solutions from various glucose concentrations indicates that the development of FBG based on tin oxide nanomaterial can be used as a glucose sensor. The fiber Bragg grating sensor using the SnO2 nanomaterial coating can be implemented using the saliva of diabetes mellitus (DM) patients. Keywords: Fiber Bragg Grating, Diabetes Melli
{"title":"PENGEMBANGAN SENSOR GLUKOSA BERBASIS MATERIAL TIN OXIDE NANO DENGAN MENGGUNAKAN FIBER BRAGG GRATING","authors":"Diptya Latifa Rohadi Latifa Rohadi, Asnawi .","doi":"10.26740/ifi.v10n1.p36-42","DOIUrl":"https://doi.org/10.26740/ifi.v10n1.p36-42","url":null,"abstract":"Abstrak \u0000Diabetes melitus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh faktor genetik maupun usia. Upaya mencegah penambahan jumlah penderita diabetes maka perlu adanya pemantauan kadar glukosa dalam tubuh. Pemantauan dilakukan dengan mengukur kadar glukosa dalam darah dengan cara penusukan jari yang menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien. Maka dikembangkan metode pengukuran non-invasive yang sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan cara dan hasil pengembangan sensor glukosa berbasis material tin oxide nano dengan menggunakan fiber bragg grating (FBG). Sensor dengan menggunakan fiber bragg grating berbasis optik material tin oxide nano memiliki kepekaan yang tinggi dan periode reaksi yang cepat sebagai sensor glukosa. Hasil penelitian menunjukkan sensitifitas yang terjadi terkait pergeseran nilai indeks bias dan nilai panjang gelombang pada larutan glukosa. Pada konsentrasi glukosa sebesar 10% terjadi pergeseran indeks bias yaitu 1,345. Pergeseran nilai panjang gelombang terjadi pada indeks bias 1,332 yaitu 1550,072. Dengan demikian adanya pergeseran panjang gelombang terhadap indeks bias larutan glukosa dari berbagai konsentrasi glukosa ini menunjukkan bahwa pengembangan FBG berbasis material tin oxide nano dapat digunakan sebagai sensor glukosa. Sensor fiber bragg grating dengan menggunakan pelapis nanomaterial SnO2 dapat diimplementasikan dengan menggunakan saliva pasien diabetes melitus (DM). \u0000Kata kunci: Fiber Bragg Grating, Diabetes Melitus, SnO2 \u0000Abstract \u0000Diabetes mellitus is a public health problem caused by genetic factors and age. In efforts to prevent the increase in the number of diabetics, it is necessary to monitor glucose levels in the body. Monitoring is carried out by measuring the level of glucose in the blood by means of pricking a finger which causes discomfort to the patient. So a non-invasive measurement method was developed that is in accordance with the objectives of this study, namely to describe the methods and results of the development of a glucose sensor based on tin oxide nanomaterial using a fiber Bragg grating (FBG). The sensor using optical fiber Bragg grating of tin oxide nanomaterial has high sensitivity and a fast reaction period as a glucose sensor. The results showed that the sensitivity occurred related to the shift in the refractive index value and the wavelength value in the glucose solution. At a glucose concentration of 10%, there was a shift in the refractive index, namely 1.345. The shift in the wavelength value occurs at the refractive index of 1.332 which is 1550.072. Thus, the shift in wavelength towards the refractive index of glucose solutions from various glucose concentrations indicates that the development of FBG based on tin oxide nanomaterial can be used as a glucose sensor. The fiber Bragg grating sensor using the SnO2 nanomaterial coating can be implemented using the saliva of diabetes mellitus (DM) patients. \u0000Keywords: Fiber Bragg Grating, Diabetes Melli","PeriodicalId":56254,"journal":{"name":"Inovasi Fisika Indonesia","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-02-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"69097642","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2021-02-17DOI: 10.26740/ifi.v10n1.p1-10
Hilda Risanti, T. Prastowo
Abstrak Studi seismisitas dan analisis potensi bahaya bencana seismik di wilayah Maluku Utara dapat dilakukan dengan menentukan parameter a-value dan b-value di wilayah tersebut. Kedua parameter mendiskripsikan level seismisitas dan akumulasi stres mekanik yang disimpan oleh batuan geologi bawah permukaan di wilayah tersebut. Secara prinsip, parameter a-value dan b-value ditentukan dari distribusi frekuensi-magnitudo gempa melalui hukum Gutenberg-Richter. Dalam penelitian ini, hukum Gutenberg-Richter diterapkan pada sumber gempa tektonik dari katalog gempa USGS (http://earthquake.usgs.gov/earthquakes/) selama 2009-2019 dengan kedalaman mencapai 551 km dan variasi magnitudo . Kedua parameter dihitung dengan metode least-squares dan maximum likelihood, di mana perbedaan signifikan a-value dan b-value menurut kedua metode tersebut merefleksikan level akurasi kedua metode tersebut. Metode maximum likelihood memberikan a-value dan b-value yang lebih akurat karena melibatkan penapisan data sebelum proses pengolahan data. Persamaan empiris Gutenberg-Richter yang diperoleh dari metode maximum likelihood adalah , di mana a = 9,73 dan b = 1,39 dengan adalah jumlah kejadian gempa dan adalah gempa dengan magnitudo lebih besar dari (batas bawah magnitudo di mana hukum Gutenberg-Richter berlaku valid). Analisis variasi spasial dan temporal b-value serta variasi spasial a-value berhasil merekonstruksi 3 kejadian gempa relatif besar antara 2009-2019. Kombinasi temuan b-value ≈ 1,4, a-value ≈ 9,7 dan a-value (annual) ≈ 8,7 dengan bantuan ZMAP6,0 menunjukkan bahwa seluruh wilayah Maluku Utara merupakan wilayah yang rentan terhadap bencana gempa dengan frekuensi gempa tinggi yang dipicu seismisitas relatif tinggi di wilayah tersebut. Temuan ini memicu peningkatan kesadaran dan kesiagaan terhadap potensi bahaya bencana gempa tektonik di Maluku Utara. Kata Kunci: seismisitas, bencana seismik, a-value, b-value, hukum Gutenberg-Richter Abstract Seismic studies and corresponding seismic hazard analysis in North Maluku can be performed using determination of a-value and b-value parameters. These parameters describe seismicity level and mechanical stress accumulated in subsurface structure in the region of interest. In principle, a-value and b-value were obtained from frequency-magnitude distribution provided by Gutenberg-Richter law. In this study, this law was generated using earthquake datasets from USGS at http://earthquake.usgs.gov/earthquakes/, where events occurred between 2009-2019 with varying magnitudes and depths to 551 km. The methods included the least-squares and maximum likelihood, where significant differences in the parameters acquired reflect levels of accuracy. The maximum likelihood method yielded accurate results for a-value and b-value due to data declustering prior to data processing. The Gutenberg-Richter law in a log-linear expression was obtained, where a = 9.73 and b = 1.39 with is the cumulative number of occurence and denotes eve
{"title":"ESTIMASI PARAMETER a-VALUE DAN b-VALUE UNTUK ANALISIS STUDI SEISMISITAS DAN POTENSI BAHAYA BENCANA GEMPA TEKTONIK DI WILAYAH MALUKU UTARA","authors":"Hilda Risanti, T. Prastowo","doi":"10.26740/ifi.v10n1.p1-10","DOIUrl":"https://doi.org/10.26740/ifi.v10n1.p1-10","url":null,"abstract":"Abstrak \u0000Studi seismisitas dan analisis potensi bahaya bencana seismik di wilayah Maluku Utara dapat dilakukan dengan menentukan parameter a-value dan b-value di wilayah tersebut. Kedua parameter mendiskripsikan level seismisitas dan akumulasi stres mekanik yang disimpan oleh batuan geologi bawah permukaan di wilayah tersebut. Secara prinsip, parameter a-value dan b-value ditentukan dari distribusi frekuensi-magnitudo gempa melalui hukum Gutenberg-Richter. Dalam penelitian ini, hukum Gutenberg-Richter diterapkan pada sumber gempa tektonik dari katalog gempa USGS (http://earthquake.usgs.gov/earthquakes/) selama 2009-2019 dengan kedalaman mencapai 551 km dan variasi magnitudo . Kedua parameter dihitung dengan metode least-squares dan maximum likelihood, di mana perbedaan signifikan a-value dan b-value menurut kedua metode tersebut merefleksikan level akurasi kedua metode tersebut. Metode maximum likelihood memberikan a-value dan b-value yang lebih akurat karena melibatkan penapisan data sebelum proses pengolahan data. Persamaan empiris Gutenberg-Richter yang diperoleh dari metode maximum likelihood adalah , di mana a = 9,73 dan b = 1,39 dengan adalah jumlah kejadian gempa dan adalah gempa dengan magnitudo lebih besar dari (batas bawah magnitudo di mana hukum Gutenberg-Richter berlaku valid). Analisis variasi spasial dan temporal b-value serta variasi spasial a-value berhasil merekonstruksi 3 kejadian gempa relatif besar antara 2009-2019. Kombinasi temuan b-value ≈ 1,4, a-value ≈ 9,7 dan a-value (annual) ≈ 8,7 dengan bantuan ZMAP6,0 menunjukkan bahwa seluruh wilayah Maluku Utara merupakan wilayah yang rentan terhadap bencana gempa dengan frekuensi gempa tinggi yang dipicu seismisitas relatif tinggi di wilayah tersebut. Temuan ini memicu peningkatan kesadaran dan kesiagaan terhadap potensi bahaya bencana gempa tektonik di Maluku Utara. \u0000 \u0000Kata Kunci: seismisitas, bencana seismik, a-value, b-value, hukum Gutenberg-Richter \u0000Abstract \u0000Seismic studies and corresponding seismic hazard analysis in North Maluku can be performed using determination of a-value and b-value parameters. These parameters describe seismicity level and mechanical stress accumulated in subsurface structure in the region of interest. In principle, a-value and b-value were obtained from frequency-magnitude distribution provided by Gutenberg-Richter law. In this study, this law was generated using earthquake datasets from USGS at http://earthquake.usgs.gov/earthquakes/, where events occurred between 2009-2019 with varying magnitudes and depths to 551 km. The methods included the least-squares and maximum likelihood, where significant differences in the parameters acquired reflect levels of accuracy. The maximum likelihood method yielded accurate results for a-value and b-value due to data declustering prior to data processing. The Gutenberg-Richter law in a log-linear expression was obtained, where a = 9.73 and b = 1.39 with is the cumulative number of occurence and denotes eve","PeriodicalId":56254,"journal":{"name":"Inovasi Fisika Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-02-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41396361","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}