Pub Date : 2019-02-15DOI: 10.24895/SNG.2018.3-0.988
Hanifa Nur Rahmadini, Audia Azizah Azani, Hasti Amrih Rejeki
Fluktuasi curah hujan dipengaruhi berbagai faktor lokal hingga faktor global. Kompleksitas kondisi atmosfer Indonesia membuat distribusi curah hujan di berbagai wilayah Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Curah hujan adalah salah satu faktor cuaca yang secara langsung dapat mempengaruhi ketersediaan air tanah. Pada penelitian ini penulis menggunakan satu sampel pada daerah dengan tipe curah hujan ekuatorial dan satu sampel pada daerah dengan tipe curah hujan monsunal. Kemudian akan diteliti bagaimana distribusi temporal curah hujan pada periode 2000-2010. Distribusi temporal curah hujan akan mempengaruhi ketersediaan air tanah (KAT) pada wilayah tersebut. Metode perhitungan yang digunakan untuk menghitung nilai KAT adalah metode neraca air Thornthwaite-Mather. Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa pada pola curah hujan ekuatorial dan monsunal memiliki distribusi temporal KAT yang hampir sama. Pada periode kering dan basah distribusi temporal curah hujan dan ketersediaan air tanah akan mengalami perbedaan.
{"title":"DISTRIBUSI TEMPORAL CURAH HUJAN DAN KETERSEDIAAN AIR TANAH PERIODE 2000-2010 Studi Kasus: Stasiun Meteorologi Susilo Sintang dan Stasiun Meteorologi Maritim Bitung","authors":"Hanifa Nur Rahmadini, Audia Azizah Azani, Hasti Amrih Rejeki","doi":"10.24895/SNG.2018.3-0.988","DOIUrl":"https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.988","url":null,"abstract":"Fluktuasi curah hujan dipengaruhi berbagai faktor lokal hingga faktor global. Kompleksitas kondisi atmosfer Indonesia membuat distribusi curah hujan di berbagai wilayah Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Curah hujan adalah salah satu faktor cuaca yang secara langsung dapat mempengaruhi ketersediaan air tanah. Pada penelitian ini penulis menggunakan satu sampel pada daerah dengan tipe curah hujan ekuatorial dan satu sampel pada daerah dengan tipe curah hujan monsunal. Kemudian akan diteliti bagaimana distribusi temporal curah hujan pada periode 2000-2010. Distribusi temporal curah hujan akan mempengaruhi ketersediaan air tanah (KAT) pada wilayah tersebut. Metode perhitungan yang digunakan untuk menghitung nilai KAT adalah metode neraca air Thornthwaite-Mather. Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa pada pola curah hujan ekuatorial dan monsunal memiliki distribusi temporal KAT yang hampir sama. Pada periode kering dan basah distribusi temporal curah hujan dan ketersediaan air tanah akan mengalami perbedaan.","PeriodicalId":307659,"journal":{"name":"Seminar Nasional Geomatika","volume":"124 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123249380","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-15DOI: 10.24895/SNG.2018.3-0.1017
H. A. Afif, M. Harist, Dian Nurhandayani
Musim kemarau merupakan salah satu musim yang terjadi di negara-negara equatorial seperti Indonesia yang terjadi karena adanya sistem monsun. Berbagai wilayah di Indonesia mengalami kekeringan dari Mei hingga Juli 2017, salah satunya adalah Kabupaten Brebes. Berdasarkan Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) terdapat 12 kejadian kekeringan di Brebes, Jawa Tengah selama 2006-2018. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Brebes (BPBD) menyebutkan 4 wilayah yaitu Kecamatan Larangan, Songgom, Ketanggungan dan Kersana mengalami kekeringan dan menyebabkan kesulitan air bersih bagi penduduk lokal. Musim kemarau menciptakan berbagai dampak negatif seperti yang disebutkan diatas, termasuk merusak lahan pertanian, tanaman dan ekosistem lain di wilayah yang terdampak kekeringan. Dengan menggunakan NDVI and metode Tasseled Cap, dimana NDVI untuk mendapatkan nilai indeks kehijauan dan Tasseled Cap untuk mendapatkan nilai dari indeks kebasahan dan kecerahan. Selanjutnya digunakan metode overlay dan skoring untuk mendapatkan potensi kekeringan. Hasil dari penelitian ini adalah untuk memperoleh distribusi wilayah yang berpotensi kekeringan dan wilayah yang terdampak kekeringan berdasarkan penggunaan tanah. Hasil dari metode skoring yang dilakukan memperlihatkann bahwa 50% dari total luas wilayah Kabupaten Brebes masuk ke dalam kelas potensi kekeringan sedang. Hasil ini dapat digunakan sebagai langkah awal dalam mitigasi kekeringan di Kabupaten Brebes.
{"title":"PEMETAAN WILAYAH POTENSI KEKERINGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DAN PENGINDERAAN JAUH (Studi Kasus Kabupaten Brebes)","authors":"H. A. Afif, M. Harist, Dian Nurhandayani","doi":"10.24895/SNG.2018.3-0.1017","DOIUrl":"https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.1017","url":null,"abstract":"Musim kemarau merupakan salah satu musim yang terjadi di negara-negara equatorial seperti Indonesia yang terjadi karena adanya sistem monsun. Berbagai wilayah di Indonesia mengalami kekeringan dari Mei hingga Juli 2017, salah satunya adalah Kabupaten Brebes. Berdasarkan Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) terdapat 12 kejadian kekeringan di Brebes, Jawa Tengah selama 2006-2018. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Brebes (BPBD) menyebutkan 4 wilayah yaitu Kecamatan Larangan, Songgom, Ketanggungan dan Kersana mengalami kekeringan dan menyebabkan kesulitan air bersih bagi penduduk lokal. Musim kemarau menciptakan berbagai dampak negatif seperti yang disebutkan diatas, termasuk merusak lahan pertanian, tanaman dan ekosistem lain di wilayah yang terdampak kekeringan. Dengan menggunakan NDVI and metode Tasseled Cap, dimana NDVI untuk mendapatkan nilai indeks kehijauan dan Tasseled Cap untuk mendapatkan nilai dari indeks kebasahan dan kecerahan. Selanjutnya digunakan metode overlay dan skoring untuk mendapatkan potensi kekeringan. Hasil dari penelitian ini adalah untuk memperoleh distribusi wilayah yang berpotensi kekeringan dan wilayah yang terdampak kekeringan berdasarkan penggunaan tanah. Hasil dari metode skoring yang dilakukan memperlihatkann bahwa 50% dari total luas wilayah Kabupaten Brebes masuk ke dalam kelas potensi kekeringan sedang. Hasil ini dapat digunakan sebagai langkah awal dalam mitigasi kekeringan di Kabupaten Brebes.","PeriodicalId":307659,"journal":{"name":"Seminar Nasional Geomatika","volume":"22 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123331722","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-15DOI: 10.24895/SNG.2018.3-0.935
Firdaus Prima Siswanto, Ilda Hamidah
Peta merupakan kebutuhan utama dalam melaksanakan perencanaan pembangunan, tidak terkecuali dalam bidang transportasi. Kementerian Perhubungan mempunyai tugas untuk menghubungkan tiap wilayah di Negara Kesatuan Republik Indonesia baik dengan moda darat, laut maupun udara. Peta dapat membuat perencanaan pembangunan prasarana di masing-masing titik menjadi lebih optimal dan efisien. Pembuatan peta yang tidak sesuai standar mengakibatkan peta yang dihasilkan tidak dapat diberbagipakaikan dengan kementerian/lembaga lain yang juga membutuhkan. Kebijakan Satu Peta mendorong setiap Unit Produksi Peta tematik untuk menyamakan stadar yang digunakan, agar peta yang dihasilkan oleh tiap-tiap kementerian/lembaga dapat di overlay dengan instansi lainnya. Kementerian Perhubungan memilik enam peta tematik transportasi: 1) Sebaran bandara; 2) Sebaran Pelabuhan Umum; 3) Sebaran Tersus/TUKS; 4) Sebaran Pelabuhan Penyeberangan; 5) Sebaran Stasiun KA; dan 6) Jaringan rel KA. Verifikasi dilakukan pada masing-masing peta tematik tersebut. Penilaian dilihat dari perkembangan masing-masing peta tematik sebelum dan setelah diterbitkannya Kebijakan Satu Peta terutama dari kualitas data sesuai dengan standar minimal agar peta tematik yang dihasilkan dapat diberbagipakaikan. Diakhir penulisan ini ditemukan bahwa terdapat banyak peningkatan setelah diadakan Kebijakan Satu Peta yang mendorong terciptanya pembangunan yang lebih baik.
{"title":"PERKEMBANGAN INFORMASI GEOSPASIAL TEMATIK TEMA TRANSPORTASI SETELAH PENETAPAN KEBIJAKAN SATU PETA Studi Kasus Tematik Kementerian Perhubungan","authors":"Firdaus Prima Siswanto, Ilda Hamidah","doi":"10.24895/SNG.2018.3-0.935","DOIUrl":"https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.935","url":null,"abstract":"Peta merupakan kebutuhan utama dalam melaksanakan perencanaan pembangunan, tidak terkecuali dalam bidang transportasi. Kementerian Perhubungan mempunyai tugas untuk menghubungkan tiap wilayah di Negara Kesatuan Republik Indonesia baik dengan moda darat, laut maupun udara. Peta dapat membuat perencanaan pembangunan prasarana di masing-masing titik menjadi lebih optimal dan efisien. Pembuatan peta yang tidak sesuai standar mengakibatkan peta yang dihasilkan tidak dapat diberbagipakaikan dengan kementerian/lembaga lain yang juga membutuhkan. Kebijakan Satu Peta mendorong setiap Unit Produksi Peta tematik untuk menyamakan stadar yang digunakan, agar peta yang dihasilkan oleh tiap-tiap kementerian/lembaga dapat di overlay dengan instansi lainnya. Kementerian Perhubungan memilik enam peta tematik transportasi: 1) Sebaran bandara; 2) Sebaran Pelabuhan Umum; 3) Sebaran Tersus/TUKS; 4) Sebaran Pelabuhan Penyeberangan; 5) Sebaran Stasiun KA; dan 6) Jaringan rel KA. Verifikasi dilakukan pada masing-masing peta tematik tersebut. Penilaian dilihat dari perkembangan masing-masing peta tematik sebelum dan setelah diterbitkannya Kebijakan Satu Peta terutama dari kualitas data sesuai dengan standar minimal agar peta tematik yang dihasilkan dapat diberbagipakaikan. Diakhir penulisan ini ditemukan bahwa terdapat banyak peningkatan setelah diadakan Kebijakan Satu Peta yang mendorong terciptanya pembangunan yang lebih baik.","PeriodicalId":307659,"journal":{"name":"Seminar Nasional Geomatika","volume":"35 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123442403","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-15DOI: 10.24895/SNG.2018.3-0.1071
Prayudha Hartanto, F. F. Chabibi
Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai penyelenggara Informasi Geospasial Dasar (IGD) di Indonesia hingga saat ini baru menyelesaikan pembuatan Geoid untuk sebagian wilayah Indonesia. Wilayah-wilayah tersebut yakni Pulau Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Dalam pembuatan geoid tersebut dibutuhkan kombinasi data Model Geopotensial Global (GGM) dan data ukuran gayaberat (terestris maupun airborne ). GGM yang diyakini memiliki ketelitian tertinggi di wilayah Indonesia adalah EGM2008, dan menjadi pilihan utama sebagai dasar pembentukan geoid nasional Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah menguji apakah EGM 2008 masih menjadi GGM terbaik sebagai dasar pembuatan Geoid Indonesia jika dibandingkan dengan GGM lain yang tersedia di portal ICGEM. GGM yang akan diuji ketelitiannya terhadap Jaring Kontrol Vertikal (JKV) adalah EGM 2008, GECO dan EIGEN-6C4. Ketiga model tersebut dipilih karena memiliki orde dan derajat maksimal 2190, yang merupakan orde terbesar yang dimiliki oleh sebuah GGM hingga saat ini. Selain menguji ketiga model tersebut pada orde dan derajat 2190, akan diuji juga pada orde dan derajat 360 dan 720 beserta trunkasi yang diterapkan pada ketiga model tersebut. Berdasarkan hasil pengujian, EGM 2008 pada orde dan derajat 2190 (EGM08_2190), EIGEN-6C4 pada orde dan derajat 2190 (EIGEN-6C4_2190), dan GECO pada orde dan derajat 2190 memiliki root mean square kesalahan (RMSe) masing-masing 0,891 m, 0,898 m dan 0,877 m. Hasil ini menunjukkan bahwa model geoid GECO menjadi yang paling akurat di antara GGM resolusi sangat tinggi. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa penerapan trunkasi pada ketiga model di orde dan derajat 360 dan 720 mampu meningkatkan ketelitian GGM sebesar 5 – 20 mm.
{"title":"UJI KETELITIAN MODEL GEOPOTENSIAL GLOBAL DI PULAU JAWA DAN MADURA","authors":"Prayudha Hartanto, F. F. Chabibi","doi":"10.24895/SNG.2018.3-0.1071","DOIUrl":"https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.1071","url":null,"abstract":"Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai penyelenggara Informasi Geospasial Dasar (IGD) di Indonesia hingga saat ini baru menyelesaikan pembuatan Geoid untuk sebagian wilayah Indonesia. Wilayah-wilayah tersebut yakni Pulau Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Dalam pembuatan geoid tersebut dibutuhkan kombinasi data Model Geopotensial Global (GGM) dan data ukuran gayaberat (terestris maupun airborne ). GGM yang diyakini memiliki ketelitian tertinggi di wilayah Indonesia adalah EGM2008, dan menjadi pilihan utama sebagai dasar pembentukan geoid nasional Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah menguji apakah EGM 2008 masih menjadi GGM terbaik sebagai dasar pembuatan Geoid Indonesia jika dibandingkan dengan GGM lain yang tersedia di portal ICGEM. GGM yang akan diuji ketelitiannya terhadap Jaring Kontrol Vertikal (JKV) adalah EGM 2008, GECO dan EIGEN-6C4. Ketiga model tersebut dipilih karena memiliki orde dan derajat maksimal 2190, yang merupakan orde terbesar yang dimiliki oleh sebuah GGM hingga saat ini. Selain menguji ketiga model tersebut pada orde dan derajat 2190, akan diuji juga pada orde dan derajat 360 dan 720 beserta trunkasi \u0000 yang diterapkan pada ketiga model tersebut. Berdasarkan hasil pengujian, EGM 2008 pada orde dan derajat 2190 (EGM08_2190), EIGEN-6C4 pada orde dan derajat 2190 (EIGEN-6C4_2190), dan GECO pada orde dan derajat 2190 memiliki root mean square kesalahan (RMSe) masing-masing 0,891 m, 0,898 m dan 0,877 m. Hasil ini menunjukkan bahwa model geoid GECO menjadi yang paling akurat di antara GGM resolusi sangat tinggi. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa penerapan trunkasi pada ketiga model di orde dan derajat 360 dan 720 mampu meningkatkan ketelitian GGM sebesar 5 – 20 mm.","PeriodicalId":307659,"journal":{"name":"Seminar Nasional Geomatika","volume":"63 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123826355","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-15DOI: 10.24895/SNG.2018.3-0.1044
M. A. Setiawan, Ali Masduqi
Laju pertumbuhan penduduk terjadi peningkatan setiap tahunnya. Hal Tersebut terjadi karena adanya urbanisasi dan migrasi, sehingga kebutuhan sandang, pangan dan papan meningkat, dan berdampak pada ketersedian air bersih, dimana sumber mata air dan air tanah semakin terbatas. Sumber daya air memiliki tren yang sama, terjadi penurunan kualitas maupun ketersediaannya pada air permukaan dan air tanah. Analisis daya dukung ketersedian air menggunakan analisis supply and demand, kemudian memberikan penilaian setiap batasan yang terlampaui. Hasil pengolahan data diperoleh penilaian bila SA (supply) > DA (demand), daya dukung dinyatakan surplus, sedangkan SA < DA, daya dukung dinyatakan defisit atau terlampaui. Daya dukung ketersedian air DAS Garang dalam kondisi defisit (<1) pada semua segmen.
人口增长率每年都在增加。这是因为城市化和移民的存在,增加了对人力、食物和木板的需求,并影响到淡水的供应,而淡水和地下水的来源正变得越来越有限。水资源的趋势是一样的,其质量和地下水供应都在下降。利用供需分析对水资源供应支持的分析,然后对超过的限制进行评估。当SA (supply) > DA (demand),担保被宣布为盈余,而SA < DA则表示支持或超过。所有部分均存在严重赤字(<1)的水支持系统。
{"title":"DAYA DUKUNG LINGKUNGAN KETERSEDIAN AIR DAS GARANG PROVINSI JAWA TENGAH","authors":"M. A. Setiawan, Ali Masduqi","doi":"10.24895/SNG.2018.3-0.1044","DOIUrl":"https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.1044","url":null,"abstract":"Laju pertumbuhan penduduk terjadi peningkatan setiap tahunnya. Hal Tersebut terjadi karena adanya urbanisasi dan migrasi, sehingga kebutuhan sandang, pangan dan papan meningkat, dan berdampak pada ketersedian air bersih, dimana sumber mata air dan air tanah semakin terbatas. Sumber daya air memiliki tren yang sama, terjadi penurunan kualitas maupun ketersediaannya pada air permukaan dan air tanah. Analisis daya dukung ketersedian air menggunakan analisis supply and demand, kemudian memberikan penilaian setiap batasan yang terlampaui. Hasil pengolahan data diperoleh penilaian bila SA (supply) > DA (demand), daya dukung dinyatakan surplus, sedangkan SA < DA, daya dukung dinyatakan defisit atau terlampaui. Daya dukung ketersedian air DAS Garang dalam kondisi defisit (<1) pada semua segmen.","PeriodicalId":307659,"journal":{"name":"Seminar Nasional Geomatika","volume":"8 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128305058","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-15DOI: 10.24895/SNG.2018.3-0.1080
Falih Pangestu, Yackob Astor, M. Sidqi
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas daratan Indonesia 1.922.570 km² dan luas perairannya 6.315.222 km². Potensi sumber daya alam dari laut di Indonesia sangat berlimpah terutama dalam sektor perikanan, menjadikan Indonesia sebagai negara terbesar kedua produksi perikanan tangkap. Implikasi dari kondisi ini adalah banyaknya illegal fishing di wilayah perairan Indonesia. Salah satunya di perairan laut Maluku yang berdekatan dengan Kota Bitung Provinsi Sulawesi Utara. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2015 telah terjadi penenggelaman 19 kapal di wilayah tersebut yang menyebabkan terjadinya keluhan dari masyarakat sekitar yang juga memanfaatkan sumber daya laut. Berdasarkan studi literatur hingga saat ini belum ada kriteria khusus lokasi penenggelaman kapal di perairan Indonesia. Penelitian ini membangun kriteria penentuan lokasi penenggelaman kapal yang memiliki dampak minimal dan tidak mengganggu pemanfaatan ruang laut di sekitarnya. Kriteria dibangun menggunakan metode Analytical Hierarchy Process . Hasil penelitian diperoleh kriteria penenggelaman kapal di Perairan Kota Bitung yang dibangun menggunakan enam unsur utama, yakni: Alokasi Ruang (37,08 %), Jarak dari Garis Pantai (18,81 %), Ekosistem Laut (14,91 %), Kedalaman Laut (14,87 %), Arus Laut (9,53 %), dan Substrat Permukaan Dasar Laut (4,80 %). Kesesuaian lokasi penenggelaman kapal diklasifikasikan menjadi empat, yaitu: “Tidak Sesuai”, “Kurang Sesuai”, “Sesuai”, dan “Sangat Sesuai”. Lokasi penenggelaman kapal di Perairan Kota Bitung pada tahun 2015 hingga tahun 2017 berada pada wilayah “Tidak Sesuai”.
{"title":"PENENTUAN LOKASI PENENGGELAMAN KAPAL ILLEGAL FISHING DI WILAYAH PERAIRAN LAUT INDONESIA MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS Wilayah Studi: Perairan Kota Bitung, Sulawesi Utara","authors":"Falih Pangestu, Yackob Astor, M. Sidqi","doi":"10.24895/SNG.2018.3-0.1080","DOIUrl":"https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.1080","url":null,"abstract":"Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas daratan Indonesia 1.922.570 km² dan luas perairannya 6.315.222 km². Potensi sumber daya alam dari laut di Indonesia sangat berlimpah terutama dalam sektor perikanan, menjadikan Indonesia sebagai negara terbesar kedua produksi perikanan tangkap. Implikasi dari kondisi ini adalah banyaknya illegal fishing di wilayah perairan Indonesia. Salah satunya di perairan laut Maluku yang berdekatan dengan Kota Bitung Provinsi Sulawesi Utara. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2015 telah terjadi penenggelaman 19 kapal di wilayah tersebut yang menyebabkan terjadinya keluhan dari masyarakat sekitar yang juga memanfaatkan sumber daya laut. Berdasarkan studi literatur hingga saat ini belum ada kriteria khusus lokasi penenggelaman kapal di perairan Indonesia. Penelitian ini membangun kriteria penentuan lokasi penenggelaman kapal yang memiliki dampak minimal dan tidak mengganggu pemanfaatan ruang laut di sekitarnya. Kriteria dibangun menggunakan metode Analytical Hierarchy Process . Hasil penelitian diperoleh kriteria penenggelaman kapal di Perairan Kota Bitung yang dibangun menggunakan enam unsur utama, yakni: Alokasi Ruang (37,08 %), Jarak dari Garis Pantai (18,81 %), Ekosistem Laut (14,91 %), Kedalaman Laut (14,87 %), Arus Laut (9,53 %), dan Substrat Permukaan Dasar Laut (4,80 %). Kesesuaian lokasi penenggelaman kapal diklasifikasikan menjadi empat, yaitu: “Tidak Sesuai”, “Kurang Sesuai”, “Sesuai”, dan “Sangat Sesuai”. Lokasi penenggelaman kapal di Perairan Kota Bitung pada tahun 2015 hingga tahun 2017 berada pada wilayah “Tidak Sesuai”.","PeriodicalId":307659,"journal":{"name":"Seminar Nasional Geomatika","volume":"3 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125459526","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-15DOI: 10.24895/SNG.2018.3-0.996
M. Masruri, Adi Rahman
Kota Bogor, Jawa Barat terletak pada ketinggian 190-330 meter di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata terendah mencapai 21o C serta lokasinya di kaki Gunung Salak dan Gunung Gede, membuat daerah ini rentan terhadap hujan orografis yang disertai dengan sambaran petir. Sambaran petir, terutama jenis petir CG (cloud-to-ground) bersifat merusak objek-objek yang ada di permukaan bumi. Oleh karena itu, informasi spasial tentang distribusi sambaran petir cukup diperlukan untuk mengurangi kerugian yang disebabkan oleh sambaran petir. Penelitian ini membahas distribusi sambaran petir di Kota Bogor selama tahun 2017 untuk menentukan daerah mana yang paling rawan akan sambaran petir. Analisis distribusi sambaran petir dikorelasikan dengan data curah hujan per bulan di daerah tersebut. Dilakukan juga pengelompokan data petir berdasarkan periode iklim musim di Indonesia. Data petir yang digunakan diperoleh dari rekaman detektor petir BOLTEK Stasiun Geofisika Bandung selama tahun 2017. Dan data curah hujan bersumber dari data Stasiun Meteorologi Citeko. Analisis spasial untuk menentukan daerah rawan petir yang digunakan adalah interpolasi metode kriging. Hasil penelitian menunjukkan Kecamatan Bogor Selatan sebagai daerah yang paling rawan sambaran petir. Kemudian kejadian petir terbanyak pada musim pancaroba dan belum ditemukan korelasi positif antara kejadian petir dengan curah hujan.
{"title":"ANALISIS SPASIAL KEJADIAN PETIR DI KOTA BOGOR TAHUN 2017 DAN KORELASINYA DENGAN IKLIM MUSIM SERTA CURAH HUJAN","authors":"M. Masruri, Adi Rahman","doi":"10.24895/SNG.2018.3-0.996","DOIUrl":"https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.996","url":null,"abstract":"Kota Bogor, Jawa Barat terletak pada ketinggian 190-330 meter di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata terendah mencapai 21o C serta lokasinya di kaki Gunung Salak dan Gunung Gede, membuat daerah ini rentan terhadap hujan orografis yang disertai dengan sambaran petir. Sambaran petir, terutama jenis petir CG (cloud-to-ground) bersifat merusak objek-objek yang ada di permukaan bumi. Oleh karena itu, informasi spasial tentang distribusi sambaran petir cukup diperlukan untuk mengurangi kerugian yang disebabkan oleh sambaran petir. Penelitian ini membahas distribusi sambaran petir di Kota Bogor selama tahun 2017 untuk menentukan daerah mana yang paling rawan akan sambaran petir. Analisis distribusi sambaran petir dikorelasikan dengan data curah hujan per bulan di daerah tersebut. Dilakukan juga pengelompokan data petir berdasarkan periode iklim musim di Indonesia. Data petir yang digunakan diperoleh dari rekaman detektor petir BOLTEK Stasiun Geofisika Bandung selama tahun 2017. Dan data curah hujan bersumber dari data Stasiun Meteorologi Citeko. Analisis spasial untuk menentukan daerah rawan petir yang digunakan adalah interpolasi metode kriging. Hasil penelitian menunjukkan Kecamatan Bogor Selatan sebagai daerah yang paling rawan sambaran petir. Kemudian kejadian petir terbanyak pada musim pancaroba dan belum ditemukan korelasi positif antara kejadian petir dengan curah hujan.","PeriodicalId":307659,"journal":{"name":"Seminar Nasional Geomatika","volume":"57 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"121568337","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-15DOI: 10.24895/SNG.2018.3-0.986
Febriska Fitria Mafliyanti
Kecamatan Tanjungpandan merupakan ibukota Kabupaten Belitung yang terletak di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan kecamatan yang dijadikan sebagai Wilayah Pembangunan Koridor A oleh pemerintah daerahnya. Pembangunan ini menargetkan kepada seluruh aspek, salah satunya yaitu pariwisata. Agar dapat dijadikan sebagai kawasan wisata, maka diperlukan atraksi wisata. Atraksi wisata yang ada di Kecamatan Tanjungpandan ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu atraksi alam dan buatan. Atraksi ini selain menarik wisatawan, juga berimplikasi terhadap fasilitas-fasilitas penujang lainnya untuk memudahkan wisatawan yang berdatangan ke Kecamatan Tanjungpandan. Fasilitas-fasilitas penunjang tersebut yaitu penginapan, restoran, pasar modern, dan pusat oleh-oleh. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan plotting titik-titik atraksi wisata beserta dengan fasilitas-fasilitas penunjang menggunakan GPS lalu hasilnya diolah menggunakan software ArcGIS 10.1 dan Microsoft Excel dengan analisis tetangga terdekat dan analisis spasial deskriptif untuk melihat pola sebarannya. Berdasarkan pembangunan aksesibilitas dan infrastruktur yang cenderung mengarah ke pusat kota, maka hasil dari penelitian ini berupa pola spasial dari atraksi wisata yang terkonsentrasi di dekat pusat Kota Tanjungpandan dan fasilitas penunjang yang juga terkonsentrasi di sekitar atraksi-atraksi wisata.
{"title":"POLA SPASIAL ATRAKSI WISATA DAN FASILITAS PENUNJANG PARIWISATA DI KECAMATAN TANJUNGPANDAN, KABUPATEN BELITUNG","authors":"Febriska Fitria Mafliyanti","doi":"10.24895/SNG.2018.3-0.986","DOIUrl":"https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.986","url":null,"abstract":"Kecamatan Tanjungpandan merupakan ibukota Kabupaten Belitung yang terletak di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan kecamatan yang dijadikan sebagai Wilayah Pembangunan Koridor A oleh pemerintah daerahnya. Pembangunan ini menargetkan kepada seluruh aspek, salah satunya yaitu pariwisata. Agar dapat dijadikan sebagai kawasan wisata, maka diperlukan atraksi wisata. Atraksi wisata yang ada di Kecamatan Tanjungpandan ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu atraksi alam dan buatan. Atraksi ini selain menarik wisatawan, juga berimplikasi terhadap fasilitas-fasilitas penujang lainnya untuk memudahkan wisatawan yang berdatangan ke Kecamatan Tanjungpandan. Fasilitas-fasilitas penunjang tersebut yaitu penginapan, restoran, pasar modern, dan pusat oleh-oleh. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan plotting titik-titik atraksi wisata beserta dengan fasilitas-fasilitas penunjang menggunakan GPS lalu hasilnya diolah menggunakan software ArcGIS 10.1 dan Microsoft Excel dengan analisis tetangga terdekat dan analisis spasial deskriptif untuk melihat pola sebarannya. Berdasarkan pembangunan aksesibilitas dan infrastruktur yang cenderung mengarah ke pusat kota, maka hasil dari penelitian ini berupa pola spasial dari atraksi wisata yang terkonsentrasi di dekat pusat Kota Tanjungpandan dan fasilitas penunjang yang juga terkonsentrasi di sekitar atraksi-atraksi wisata.","PeriodicalId":307659,"journal":{"name":"Seminar Nasional Geomatika","volume":"38 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131265385","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-15DOI: 10.24895/SNG.2018.3-0.966
Arif Nurrohman, Alin Adlina
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan antara sungai dengan anak-anak sungainya. DAS mempunyai fungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air dari hulu hingga ke hilir. Sub DAS merupakan bagian wilayah kecil dari suatu DAS. Dewasa ini kondisi tutupan lahan di setiap wilayah administrasi Kabupaten / Kota mengalami degradasi, terutama untuk tutupan lahan hutan yang selalu mengalami penurunan luasan atau perubahan sebarannya yang tidak sesuai. Selain itu kejadian banjir di beberapa wilayah perkotaan mengalami intensitas yang sering. Kawasan Bandung Utara (KBU) merupakan daerah dataran tinggi yang ada di wilayah Cekungan Bandung, KBU adalah salah satu hulu dari DAS Citarum yang memiliki peranan penting terhadap keberlanjutan pelestarian lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran kondisi tutupan lahan Sub DAS Citarum yang ada di KBU. Metodologi yang dilaksanakan diantaranya adalah deliniasi batas Sub DAS Citarum yang ada di KBU, perhitungan luas tutupan lahan dan proporsi sebaran tiap Sub DAS, analisis perbandingan tutupan lahan hutan dengan kawasan hutan, dan analisis banjir eksisting serta kondisi limpasan air. Terdapat sembilan sub DAS Citarum yang sudah terdeliniasi dengan kondisi tutupan lahannya yang saat ini kian memprihatinkan. Berdasarkan hasil anlisis, kondisi tutupan lahan di sembilan Sub DAS Citarum tersebut sebagian masih kurang dari 30% ketersediaan hutannya. Artinya ±70% dari area Sub DAS adalah berupa kawasan budidaya seperti permukiman, industri, semak belukar, lahan kosong, tegalan, kebun dan lain sebagainya. Salah satunya adalah Sub DAS Cidurian, terdapat tutupan hutan sebesar 949,07 ha dengan koefisien limpasan air ketika terjadi hujan tinggi sebesar 63%.
河床(DAS)是一个陆地区域,河流和支流是一体的。DAS的功能是收集、储存和输送从上游到下游的水。亚DAS是某一DAS的一小部分。今天,每一个县/城市行政地区的土地覆盖状况都在恶化,尤其是森林覆盖面积一直在不断恶化或过度扩张的地区。此外,一些城市地区的洪水经历了频繁的强度。北万隆地区(KBU)是万隆盆地的高地,KBU是DAS Citarum的源头之一,对环境可持续保护发挥着重要作用。本研究的目的是让你了解KBU中Citarum Sub - DAS的情况。在这些方法中,采用的方法包括KBU中破坏西塔利姆分水法、广泛的土壤覆盖面积和每一分水车的比例、对森林覆盖面积与森林面积的比较,以及对现有洪水和水剥夺条件的分析。九艘潜艇的Citarum已经被拆除,其财产目前状况令人担忧。根据传闻,九分类聚的土壤覆盖面积还不到森林的30%。意味着±70%子河流域地区是栽培地区像定居点、工业、灌木空地、荒野花园和其他等等。其中之一是Sub Cidurian,是一种949.07 ha的森林覆盖物,其含水量为63%。
{"title":"PEMETAAN KONDISI TUTUPAN LAHAN DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) SEBAGAI TOLOK UKUR PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH Studi Kasus: Sub DAS Citarum yang ada di Kawasan Bandung Utara","authors":"Arif Nurrohman, Alin Adlina","doi":"10.24895/SNG.2018.3-0.966","DOIUrl":"https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.966","url":null,"abstract":"Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan antara sungai dengan anak-anak sungainya. DAS mempunyai fungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air dari hulu hingga ke hilir. Sub DAS merupakan bagian wilayah kecil dari suatu DAS. Dewasa ini kondisi tutupan lahan di setiap wilayah administrasi Kabupaten / Kota mengalami degradasi, terutama untuk tutupan lahan hutan yang selalu mengalami penurunan luasan atau perubahan sebarannya yang tidak \u0000sesuai. Selain itu kejadian banjir di beberapa wilayah perkotaan mengalami intensitas yang sering. Kawasan Bandung Utara (KBU) merupakan daerah dataran tinggi yang ada di wilayah Cekungan Bandung, KBU adalah salah satu hulu dari DAS Citarum yang memiliki peranan penting terhadap keberlanjutan pelestarian \u0000lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran kondisi tutupan lahan Sub DAS Citarum yang ada di KBU. Metodologi yang dilaksanakan diantaranya adalah deliniasi batas Sub DAS Citarum yang ada di KBU, perhitungan luas tutupan lahan dan proporsi sebaran tiap Sub DAS, analisis perbandingan \u0000tutupan lahan hutan dengan kawasan hutan, dan analisis banjir eksisting serta kondisi limpasan air. Terdapat sembilan sub DAS Citarum yang sudah terdeliniasi dengan kondisi tutupan lahannya yang saat ini kian memprihatinkan. Berdasarkan hasil anlisis, kondisi tutupan lahan di sembilan Sub DAS Citarum tersebut sebagian masih kurang dari 30% ketersediaan hutannya. Artinya ±70% dari area Sub DAS adalah berupa kawasan budidaya seperti permukiman, industri, semak belukar, lahan kosong, tegalan, kebun dan lain sebagainya. Salah satunya adalah Sub DAS Cidurian, terdapat tutupan hutan sebesar 949,07 ha dengan koefisien limpasan air ketika terjadi hujan tinggi sebesar 63%.","PeriodicalId":307659,"journal":{"name":"Seminar Nasional Geomatika","volume":"16 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131300801","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-15DOI: 10.24895/SNG.2018.3-0.1058
Khairul Umami, S. A. Harahap, M. L. Syamsudin, S. Sunarto
Pantai merupakan daerah yang sangat dinamis untuk berubah seiring bertambahnya waktu. Salah satu perubahan yang terjadi di daerah pantai yaitu perubahan pada garis pantai. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui tingkat perubahan garis pantai di pesisir Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak dari hasil overlay citra satelit Landsat. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai rujukan penelitian selanjutnya, serta sebagai informasi untuk instansi-instansi terkait dan pemerintah agar dapat memperhatikan kondisi keseimbangan fisik pantai di Pesisir Sayung. Penelitian ini menggunakan data yang bersumber dari citra Landsat 7 dan 8 dalam kurun waktu 10 tahun dari tahun 2006 sampai 2016. Metode yang digunakan yaitu metode deskriptif dengan menjelaskan masalah yang terjadi pada lokasi penelitian dengan pendekatan pemodelan dan sistematis. Metode analisis perubahan garis pantai dilakukan dalam program Digital Shoreline Analysis System (DSAS) dengan pendekatan statistik End Point Rate (EPR) dan Net Shorline Movement (NSM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan garis pantai di pesisir Sayung didominasi dengan kejadian abrasi yang sangat tinggi dengan luasan abrasi bernilai 116,48 hektar. Abrasi maksimum terjadi di Desa Timbulsloko, Abrasi minimum terjadi di Desa Sriwulan, Akresi maksimum terjadi di Desa Sriwulan, dan Akresi minimum terjadi di Desa Bedono.
海滩是一个充满活力的地区,随着时间的推移而变化。沿海地区发生的变化之一是海岸线上的变化。这项研究的目的是确定陆地卫星覆盖覆盖面积Demak地区沿海海岸线变化的速度。本研究本应作为进一步研究的参考资料,以及有关机构和政府提供的信息,以确保Sayung沿海海滩的物理平衡。该研究采用了从2006年到2016年10年内首次发布的陆地卫星图像7和8的数据。一种描述性的方法,通过系统的建模方法来描述研究地点的问题。数字短线分析系统(DSAS)项目采用End Point Rate (EPR)和网络短线运动(NSM)的方法进行了海岸线变化分析。研究结果表明,沿海海岸线变化Sayung主导与把磨损值很高的创世纪磨损116.48公顷。最大磨刀石发生在庆木斯洛科村,最低磨刀石发生在Sriwulan村,最低磨刀石发生在Sriwulan村,最小磨刀石发生在Bedono村。
{"title":"APLIKASI CITRA LANDSAT DALAM ANALISA PERUBAHAN GARIS PANTAI (Studi Kasus di Pesisir Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah)","authors":"Khairul Umami, S. A. Harahap, M. L. Syamsudin, S. Sunarto","doi":"10.24895/SNG.2018.3-0.1058","DOIUrl":"https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.1058","url":null,"abstract":"Pantai merupakan daerah yang sangat dinamis untuk berubah seiring bertambahnya waktu. Salah satu perubahan yang terjadi di daerah pantai yaitu perubahan pada garis pantai. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui tingkat perubahan garis pantai di pesisir Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak dari hasil overlay citra satelit Landsat. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai rujukan penelitian selanjutnya, serta sebagai informasi untuk instansi-instansi terkait dan pemerintah agar dapat memperhatikan kondisi keseimbangan fisik pantai di Pesisir Sayung. Penelitian ini menggunakan data yang bersumber dari citra Landsat 7 dan 8 dalam kurun waktu 10 tahun dari tahun 2006 sampai 2016. Metode yang digunakan yaitu metode deskriptif dengan menjelaskan masalah yang terjadi pada lokasi penelitian dengan pendekatan pemodelan dan sistematis. Metode analisis perubahan garis pantai dilakukan dalam program Digital Shoreline Analysis System (DSAS) dengan pendekatan statistik End Point Rate (EPR) dan Net Shorline Movement (NSM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan garis pantai di pesisir Sayung didominasi dengan kejadian abrasi yang sangat tinggi dengan luasan abrasi bernilai 116,48 hektar. Abrasi maksimum terjadi di Desa Timbulsloko, Abrasi minimum terjadi di Desa Sriwulan, Akresi maksimum terjadi di Desa Sriwulan, dan Akresi minimum terjadi di Desa Bedono.","PeriodicalId":307659,"journal":{"name":"Seminar Nasional Geomatika","volume":"20 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126925952","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}