Pub Date : 2019-02-15DOI: 10.24895/SNG.2018.3-0.1010
M. I. Putra, F. Akbar
Pelabuhanratu merupakan wilayah pesisir yang strategis untuk berkembang. Hal tersebut membuat pemerintah setempat menjadikan Pelabuhanratu sebagai Growth Center dari kabupaten Sukabumi. Berkaitan dengan hal itu, perubahan tutupan lahan terus terjadi dan dikhawatirkan tidak mendukung keberlanjutan lingkungan, terutama lahan terbangun. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis bagaimana perubahan tutupan lahan di Kota Pelabuhanratu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Weighted of Evidence (WofE) dengan beberapa faktor yang mendorong terjadinya perubahan tutupan lahan (driving factor). Faktor penentu dibuat dengan logika fuzzy dengan beberapa variabel yaitu jarak dari jalan, jarak dari point of interest, jarak dari sungai, jarak dari pantai, wilayah ketinggian, kemiringan, dan tutupan lahan. Tutupan lahan diambil dari Google Earth pada tahun 2002, 2010 dan 2017. Hasil analisis menunjukkan bahwa perubahan tutupan lahan di kota Pelabuhanratu secara spasial perkembangan lahan terbangun cenderung terpusat di kelurahan Pelabuhanratu, semakin dekat dengan kelurahan Pelabuhanratu, semakin cepat perkembangan lahan terbangun dan sebaliknya arah pertambahan luas lahan terbangun cenderung mengikuti topografi, wilayah ketinggian, jaringan jalan, jaringan sungai, keberadaan pantai, dan keberadaan POI.
{"title":"ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KOTA PELABUHANRATU DENGAN METODE WEIGHTED OF EVIDENCE (WOFE)","authors":"M. I. Putra, F. Akbar","doi":"10.24895/SNG.2018.3-0.1010","DOIUrl":"https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.1010","url":null,"abstract":"Pelabuhanratu merupakan wilayah pesisir yang strategis untuk berkembang. Hal tersebut membuat pemerintah setempat menjadikan Pelabuhanratu sebagai Growth Center dari kabupaten Sukabumi. Berkaitan dengan hal itu, perubahan tutupan lahan terus terjadi dan dikhawatirkan tidak mendukung keberlanjutan lingkungan, terutama lahan terbangun. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis bagaimana perubahan tutupan lahan di Kota Pelabuhanratu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Weighted of Evidence (WofE) dengan beberapa faktor yang mendorong terjadinya perubahan tutupan lahan (driving factor). Faktor penentu dibuat dengan logika fuzzy dengan beberapa variabel yaitu jarak dari jalan, jarak dari point of interest, jarak dari sungai, jarak dari pantai, wilayah ketinggian, kemiringan, dan tutupan lahan. Tutupan lahan diambil dari Google Earth pada tahun 2002, 2010 dan 2017. Hasil analisis menunjukkan bahwa perubahan tutupan lahan di kota Pelabuhanratu secara spasial perkembangan lahan terbangun cenderung terpusat di kelurahan Pelabuhanratu, semakin dekat dengan kelurahan Pelabuhanratu, semakin cepat perkembangan lahan terbangun dan sebaliknya arah pertambahan luas lahan terbangun cenderung mengikuti topografi, wilayah ketinggian, jaringan jalan, jaringan sungai, keberadaan pantai, dan keberadaan POI.","PeriodicalId":307659,"journal":{"name":"Seminar Nasional Geomatika","volume":"36 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131178068","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-15DOI: 10.24895/SNG.2018.3-0.969
B. Raharja, H. Wicaksono, Satya Hadi Pamungkas
Penggabungan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan alat yang efektif untuk pemetaan potensi mineral. Pemilihan lokasi eksplorasi yang potensial merupakan sebuah proses yang kompleks dan mempertimbangkan banyak kriteria. Pada tulisan ini, SIG dan AHP digunakan untuk melakukan studi pemetaan potensi mineral emas pada sebagian wilayah Pulau Buru serta menentukan batas potensial usulan wilayah izin usaha pertambangan. Empat peta evidence digunakan dalam analisa yaitu: litologi, struktur geologi, geokimia, dan alterasi. Masing-masing kriteria dan sub-kriteria akan dievaluasi dengan AHP dan selanjutnya dipetakan dengan SIG. Alterasi menjadi faktor paling penting dengan bobot 0.426, diikuti data geokimia dengan bobot sebesar 0.301, litologi dengan bobot 0.213 dan terakhir struktur geologi dengan nilai bobot 0.06. Pembobotan ini memiliki nilai rasio konsistensi 0.033 (CR≤0.1) yang artinya konsisten dan dapat diterima. Evaluasi akhir peta potensi mineralisasi emas dilakukan tumpang susun dengan peta wilayah pertambangan, peta kawasan hutan, dan data peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB). Dua blok usulan wilayah izin usaha pertambangan mineral logam komoditas emas didapatkan seluas 72.696,18 Ha dan 37.335,94 Ha.
{"title":"EVALUASI BATAS USULAN WILAYAH IZIN USAHA PERTAMBANAN MINERAL LOGAM DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS DI PULAU BURU Studi Kasus di Pulau Buru, Provinsi Maluku","authors":"B. Raharja, H. Wicaksono, Satya Hadi Pamungkas","doi":"10.24895/SNG.2018.3-0.969","DOIUrl":"https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.969","url":null,"abstract":"Penggabungan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan alat yang efektif untuk pemetaan potensi mineral. Pemilihan lokasi eksplorasi yang potensial merupakan sebuah proses yang kompleks dan mempertimbangkan banyak kriteria. Pada tulisan ini, SIG dan AHP digunakan untuk \u0000melakukan studi pemetaan potensi mineral emas pada sebagian wilayah Pulau Buru serta menentukan batas potensial usulan wilayah izin usaha pertambangan. Empat peta evidence digunakan dalam analisa yaitu: litologi, struktur geologi, geokimia, dan alterasi. Masing-masing kriteria dan sub-kriteria akan dievaluasi dengan AHP dan selanjutnya dipetakan dengan SIG. Alterasi menjadi faktor paling penting dengan bobot 0.426, diikuti data geokimia dengan bobot sebesar 0.301, litologi dengan bobot 0.213 dan terakhir struktur geologi dengan nilai bobot 0.06. Pembobotan ini memiliki nilai rasio konsistensi 0.033 (CR≤0.1) yang artinya konsisten dan dapat diterima. Evaluasi akhir peta potensi mineralisasi emas dilakukan tumpang susun dengan peta wilayah pertambangan, peta kawasan hutan, dan data peta indikatif penundaan pemberian izin baru \u0000(PIPPIB). Dua blok usulan wilayah izin usaha pertambangan mineral logam komoditas emas didapatkan seluas 72.696,18 Ha dan 37.335,94 Ha.","PeriodicalId":307659,"journal":{"name":"Seminar Nasional Geomatika","volume":"43 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123871223","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-15DOI: 10.24895/SNG.2018.3-0.1064
S. Yusri, V. Siregar, S. Suharsono
Long term Earth observation data stored in Google Earth Engine (GEE) can be ingested and derived to biologically relevant environmental variables that can used as the predictors of a species niche. The aim of this research was to create a script using GEE to generate biologically meaningful environmental variables from various Earth observation data and models in Indonesia. Elevation and bathymetry raster data from GEBCO were land masked and benthic terrain modelling were done in order to get the aspect, depth, curvature, and slope. HYCOM and MODIS AQUA dataset were filtered using spatial (Indonesia and surrounding region) and temporal filter (from 2002–2017), and reduced to biologically meaningful variables, the maximum, minimum, and mean. Water speed vector (northward and eastward) data were also converted in to scalar unit. In order to fill data gaps, kriging was done using Bayesian slope. Results shows the water depth in Indonesia ranges from 0 – 6827 m, with slope ranging from 0 – 34.33°, aspect from 0 – 359.99°, and curvature from 0 – 0.94. Variables representing water energy, mean sea surface elevation ranges from 0 – 0.85 m, and mean scalar water velocity 0 – 4 m/s. Mean surface salinity ranges from 20.09 – 35.32‰. Variables representing water quality includes mean of particulate organic carbon which ranges from 25.31 – 953.47‰ and mean of clorophyll-A concentration from 0.05 – 13.63‰. These data can be used as the input for species distribution models or spatially explicit decision support systems such as Marxan for spatial planning and zonation in Marine and Coastal Zone Management Plan.
{"title":"GENERATING BIOLOGICALLY RELEVANT ENVIRONMENTAL DATA FROM REMOTE SENSING IMAGERIES AND OCEANOGRAPHIC MODELS TO SUPPORT SPATIAL PRIORITIZATION OF MARINE BIODIVERSITY CONSERVATION AND MANAGEMENT IN INDONESIA","authors":"S. Yusri, V. Siregar, S. Suharsono","doi":"10.24895/SNG.2018.3-0.1064","DOIUrl":"https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.1064","url":null,"abstract":"Long term Earth observation data stored in Google Earth Engine (GEE) can be ingested and derived to biologically relevant environmental variables that can used as the predictors of a species niche. The aim of this research was to create a script using GEE to generate biologically meaningful environmental variables from various Earth observation data and models in Indonesia. Elevation and bathymetry raster data from GEBCO were land masked and benthic terrain modelling were done in order to get the aspect, depth, curvature, and slope. HYCOM and MODIS AQUA dataset were filtered using spatial (Indonesia and surrounding region) and temporal filter (from 2002–2017), and reduced to biologically meaningful variables, the maximum, minimum, and mean. Water speed vector (northward and eastward) data were also converted in to scalar unit. In order to fill data gaps, kriging was done using Bayesian slope. Results shows the water depth in Indonesia ranges from 0 – 6827 m, with slope ranging from 0 – 34.33°, aspect from 0 – 359.99°, and curvature from 0 – 0.94. Variables representing water energy, mean sea surface elevation ranges from 0 – 0.85 m, and mean scalar water velocity 0 – 4 m/s. Mean surface salinity ranges from 20.09 – 35.32‰. Variables representing water quality includes mean of particulate organic carbon which ranges from 25.31 – 953.47‰ and mean of clorophyll-A concentration from 0.05 – 13.63‰. These data can be used as the input for species distribution models or spatially explicit decision support systems such as Marxan for spatial planning and zonation in Marine and Coastal Zone Management Plan.","PeriodicalId":307659,"journal":{"name":"Seminar Nasional Geomatika","volume":"172 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116153673","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-15DOI: 10.24895/SNG.2018.3-0.925
Monica Maharani, Harintaka Harintaka
Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai instansi yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai penanggung jawab penyediaan informasi geospasial dasar sesuai dengan UU Informasi Geospasial nomor 4 Tahun 2011 memanfaatkan Citra Setelit Resolusi Tinggi (CSRT) untuk keperluan pembuatan peta skala 1:5.000. Pemanfaatan CSRT untuk pembuatan peta memerlukan pengolahan data yang lebih rumit dan terkontrol jika dibandingkan dengan penggunaan citra satelit resolusi sedang dan rendah, karena memerlukan proses ortorektifikasi. Proses ortorektifikasi melibatkan CSRT, titik kontrol tanah (TKT) dan model elevasi digital (MED). Komponen ortorektifikasi khususnya MED sering kali memiliki sistem referensi tinggi yang berbeda dengan komponen lain. Hal tersebut melatarbelakangi perlunya dilakukan suatu analisis mengenai pengaruh sistem referensi tinggi terhadap hasil ortorektifikasi. Proses analisis dilakukan dengan membandingkan tiga hasil ortorektifikasi CSRT yang diverifikasi oleh independent check point (ICP) hasil pengukuran langsung di lapangan. Hasil ortorektifikasi pertama diperoleh dari data CSRT (sistem ketinggian ellipsoid), TKT (sistem ketinggian ellipsoid) dan MED (sistem ketinggian ellipsoid). Hasil ortorektifikasi kedua diperoleh dari data CSRT (sistem ketinggian ellipsoid), TKT (sistem ketinggian ellipsoid) dan MED (sistem ketinggian EGM2008). Hasil ortorektifikasi ketiga diperoleh dari data CSRT (sistem ketinggian ellipsoid), TKT (sistem ketinggian EGM2008), dan MED (sistem ketinggian EGM2008). Hasil perbandingan menunjukkan bahwa CSRT, MED dan TKT yang berada dalam satu sistem referensi ketinggian, menghasilkan hasil ortorektifikasi citra yang lebih baik dibandingkan dengan MED dan TKT yang tidak dalam satu sistem referensi tinggi.
{"title":"PENGARUH SISTEM REFERENSI TINGGI DIGITAL ELEVATION MODEL (MED) PADA HASIL ORTOREKTIFIKASI CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI UNTUK MENDUKUNG PEMETAAN SKALA BESAR","authors":"Monica Maharani, Harintaka Harintaka","doi":"10.24895/SNG.2018.3-0.925","DOIUrl":"https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.925","url":null,"abstract":"Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai instansi yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai penanggung jawab penyediaan informasi geospasial dasar sesuai dengan UU Informasi Geospasial nomor 4 Tahun 2011 memanfaatkan Citra Setelit Resolusi Tinggi (CSRT) untuk keperluan pembuatan peta skala 1:5.000. Pemanfaatan CSRT untuk pembuatan peta memerlukan pengolahan data yang lebih rumit dan terkontrol jika dibandingkan dengan penggunaan citra satelit resolusi sedang dan rendah, karena memerlukan proses ortorektifikasi. Proses ortorektifikasi melibatkan CSRT, titik kontrol tanah (TKT) dan model elevasi digital (MED). Komponen ortorektifikasi khususnya MED sering kali memiliki sistem referensi tinggi yang berbeda dengan komponen lain. Hal tersebut melatarbelakangi perlunya dilakukan suatu analisis mengenai pengaruh sistem referensi tinggi terhadap hasil ortorektifikasi. Proses analisis dilakukan dengan membandingkan tiga hasil ortorektifikasi CSRT yang diverifikasi oleh independent check point (ICP) hasil pengukuran langsung di lapangan. Hasil ortorektifikasi pertama diperoleh dari data CSRT (sistem ketinggian ellipsoid), TKT (sistem ketinggian ellipsoid) dan MED (sistem ketinggian ellipsoid). Hasil ortorektifikasi kedua diperoleh dari data CSRT (sistem ketinggian ellipsoid), TKT (sistem ketinggian ellipsoid) dan MED (sistem ketinggian EGM2008). Hasil ortorektifikasi ketiga diperoleh dari data CSRT (sistem ketinggian ellipsoid), TKT (sistem ketinggian EGM2008), dan MED (sistem ketinggian EGM2008). Hasil perbandingan menunjukkan bahwa CSRT, MED dan TKT yang berada dalam satu sistem referensi ketinggian, menghasilkan hasil ortorektifikasi citra yang lebih baik dibandingkan dengan MED dan TKT yang tidak dalam satu sistem referensi tinggi.","PeriodicalId":307659,"journal":{"name":"Seminar Nasional Geomatika","volume":"122 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114790292","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-15DOI: 10.24895/SNG.2018.3-0.1047
Oki Adrianto, S. Sudirman, Suwandi Suwandi
Perekonomian Provinsi Nusa Tenggara Timur secara sektoral masih didominasi sektor pertanian.Tanaman jagung menjadi salah satu produksi tanaman pangan terbesar berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2015. Peningkatan produksi pertanian dapat dilakukan melalui berbagai strategi adaptasi dan upaya penanganan bencana, salah satu upaya tersebut adalah dengan penyediaan informasi iklim terkait penentuan daerah-daerah rawan kekeringan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran wilayah rawan kekeringan lahan jagung bulanan di Provinsi Nusa Tenggara Timur saat kondisi El Nino dan La Nina dengan periodeisasi bulanan januari hingga desember. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan rata rata bulanan di 19 pos hujan di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan suhu udara rata-rata bulanan dihitung menggunakan pendekatan teori Brack dengan titik referensi Stasiun Klimatologi Lasiana Kupang. Periode dari masing-masing data yang digunakan adalah dari tahun 1991 dan 1997 digunakan sebagai tahun El Nino dan tahun 1999 dan 2010 digunakan sebagai tahun La Nina. Metode yang digunakan untuk menentukan tingkat rawan kekeringan dengan menggunakan pembobotan berdasarkan penjumlahan bobot tipe iklim Oldeman dan bobot ketersediaan air tanah. Hasil penelitian menunjukkan sebaran daerah kekeringan di Provinsi Nusa Tenggara Timurpada tahun el nino lebih luas dibandingkan tahun la nina.
{"title":"ANALISIS DAERAH RAWAN KEKERINGAN LAHAN JAGUNG BERDASARKAN IKLIM OLDEMAN DAN KETERSEDIAN AIR TANAH DI NUSA TENGGARA TIMUR SAAT PERIODE EL NINO DAN LA NINA","authors":"Oki Adrianto, S. Sudirman, Suwandi Suwandi","doi":"10.24895/SNG.2018.3-0.1047","DOIUrl":"https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.1047","url":null,"abstract":"Perekonomian Provinsi Nusa Tenggara Timur secara sektoral masih didominasi sektor pertanian.Tanaman jagung menjadi salah satu produksi tanaman pangan terbesar berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2015. Peningkatan produksi pertanian dapat dilakukan melalui berbagai strategi adaptasi dan upaya penanganan bencana, salah satu upaya tersebut adalah dengan penyediaan informasi iklim terkait penentuan daerah-daerah rawan kekeringan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran wilayah rawan kekeringan lahan jagung bulanan di Provinsi Nusa Tenggara Timur saat kondisi El Nino dan La Nina dengan periodeisasi bulanan januari hingga desember. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan rata rata bulanan di 19 pos hujan di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan suhu udara rata-rata bulanan dihitung menggunakan pendekatan teori Brack dengan titik referensi Stasiun Klimatologi Lasiana Kupang. Periode dari masing-masing data yang digunakan adalah dari tahun 1991 dan 1997 digunakan sebagai tahun El Nino dan tahun 1999 dan 2010 digunakan sebagai tahun La Nina. Metode yang digunakan untuk menentukan tingkat rawan kekeringan dengan menggunakan pembobotan berdasarkan penjumlahan bobot tipe iklim Oldeman dan bobot ketersediaan air tanah. Hasil penelitian menunjukkan sebaran daerah kekeringan di Provinsi Nusa Tenggara Timurpada tahun el nino lebih luas dibandingkan tahun la nina.","PeriodicalId":307659,"journal":{"name":"Seminar Nasional Geomatika","volume":"48 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127137002","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-15DOI: 10.24895/SNG.2018.3-0.1005
Mega Adeanti, M. Harist
Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten yang saat ini pembangunannya cukup berkembang. Pada tahun 2016 jumlah penduduk di Kabupaten Bogor berjumlah 5.715.009 jiwa. Bertambahnya penduduk menyebabkan berkurangnya lahan dengan tutupan vegetasi menjadi daerah yang terbangun, dari bertambahnya lahan terbangun meyebabkan meningkatnya suhu di Kabupaten Bogor. Dengan pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat diketahui peningkatan suhu akibat dari padatnya bangunan di Kabupaten Bogor. Melalui pengolahan Citra Landsat 8 OLI/TIRS C1 Level-1 dengan ukuran 30 x 30 m tahun 2018 digunakan metode Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) untuk mengetahui indeks kerapatan vegetasi, Normalized Difference Built Index (NDBI) untuk mengetahui kerapatan bangunan, dan metode Land Surface Temperature (LST) untuk mengetahui suhu permukaan di Kabupaten Bogor. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah semakin rapatnya bangunan maka suhu semakin tinggi dan sebaliknya, begitu juga dengan luas dari wilayah yang mengalami kenaikan suhu.
茂物县是目前正在发展的县之一。2016 年,茂物县的总人口为 5,715,009 人。人口的增加导致有植被覆盖的土地减少,变成了建筑密集区,而建筑密集区的增加又导致茂物县的气温上升。利用地理信息系统(GIS),可以确定茂物县建筑物密度导致的气温升高。通过处理 2018 年尺寸为 30 x 30 m 的 Landsat 8 OLI/TIRS C1 Level-1 图像,使用归一化差异植被指数(NDVI)方法确定植被密度指数,使用归一化差异建筑指数(NDBI)确定建筑密度,使用地表温度(LST)方法确定茂物地区的地表温度。研究结果表明,建筑密度越大,温度越高,反之亦然。
{"title":"ANALISIS SPASIAL KERAPATAN BANGUNAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP SUHU Studi Kasus di Kabupaten Bogor","authors":"Mega Adeanti, M. Harist","doi":"10.24895/SNG.2018.3-0.1005","DOIUrl":"https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.1005","url":null,"abstract":"Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten yang saat ini pembangunannya cukup berkembang. Pada tahun 2016 jumlah penduduk di Kabupaten Bogor berjumlah 5.715.009 jiwa. Bertambahnya penduduk menyebabkan berkurangnya lahan dengan tutupan vegetasi menjadi daerah yang terbangun, dari bertambahnya lahan terbangun meyebabkan meningkatnya suhu di Kabupaten Bogor. Dengan pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat diketahui peningkatan suhu akibat dari padatnya bangunan di Kabupaten Bogor. Melalui pengolahan Citra Landsat 8 OLI/TIRS C1 Level-1 dengan ukuran 30 x 30 m tahun 2018 digunakan metode Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) untuk mengetahui indeks kerapatan vegetasi, Normalized Difference Built Index (NDBI) untuk mengetahui kerapatan bangunan, dan metode Land Surface Temperature (LST) untuk mengetahui suhu permukaan di Kabupaten Bogor. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah semakin rapatnya bangunan maka suhu semakin tinggi dan sebaliknya, begitu juga dengan luas dari wilayah yang mengalami kenaikan suhu.","PeriodicalId":307659,"journal":{"name":"Seminar Nasional Geomatika","volume":"50 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"125852533","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-15DOI: 10.24895/SNG.2018.3-0.981
Ernawati Pasaribu
Pemerintah telah mengucurkan dana desa sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan pemerataan di seluruh Indonesia. Setiap tahun dana desa yang dianggarkan dalam APBN mengalami peningkatan, dan penyerapannya tergolong cukup tinggi. Sebagian besar dana tersebut digunakan untuk meningkatkan penyediaan sarana prasarana desa antara lain pembangunan jalan, jembatan, irigasi, dan sarana air bersih. Akan tetapi, upaya pemerataan melalui dana desa sampai saat ini masih dihadapkan pada persoalan kemiskinan. Melalui peta tematik ditunjukkan adanya ketidaktepatan pendistribusian dana desa di beberapa Kabupaten, salah satunya kabupaten Konawe Kepulauan yang justru mengalami penurunan dana desa disaat persentase kemiskinan di wilayah tersebut masih cukup tinggi. Sebaliknya, beberapa Kabupaten diantaranya Kabupaten Musi Rawas justru mendapatkan peningkatan dana desa yang besar padahal persentase penduduk miskin diwilayah tersebut tergolong rendah. Mengapa hal tersebut terjadi?. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh peningkatan dana desa terhadap jumlah penduduk miskin sekaligus mengidentifikasi karakteristik kemiskinan di setiap Kabupaten/Kota di Indonesia. Menggunakan Geographically Weight Poisson Regression (GWPR), penelitian ini mendapatkan adanya heterogenitas spasial pada pola kemiskinan Kabupaten/Kota di Indonesia. Model regresi spasial berhasil membuktikan adanya pengaruh peningkatan dana desa yang berbeda terhadap jumlah penduduk miskin dan pengaruh IPM yang konsisten terhadap penurunan jumlah penduduk miskin di seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia.
{"title":"DAMPAK SPASIAL DANA DESA TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA","authors":"Ernawati Pasaribu","doi":"10.24895/SNG.2018.3-0.981","DOIUrl":"https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.981","url":null,"abstract":"Pemerintah telah mengucurkan dana desa sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan pemerataan di seluruh Indonesia. Setiap tahun dana desa yang dianggarkan dalam APBN mengalami peningkatan, dan penyerapannya tergolong cukup tinggi. Sebagian besar dana tersebut digunakan untuk meningkatkan penyediaan sarana prasarana desa antara lain pembangunan jalan, jembatan, irigasi, dan sarana air bersih. Akan tetapi, upaya pemerataan melalui dana desa sampai saat ini masih dihadapkan pada persoalan kemiskinan. Melalui peta tematik ditunjukkan adanya ketidaktepatan pendistribusian dana desa di beberapa Kabupaten, salah satunya kabupaten Konawe Kepulauan yang justru mengalami penurunan dana desa disaat persentase kemiskinan di wilayah tersebut masih cukup tinggi. Sebaliknya, beberapa Kabupaten diantaranya Kabupaten Musi Rawas justru mendapatkan peningkatan dana desa yang besar padahal persentase penduduk miskin diwilayah tersebut tergolong rendah. Mengapa hal tersebut terjadi?. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh peningkatan dana desa terhadap jumlah penduduk miskin sekaligus mengidentifikasi karakteristik kemiskinan di setiap Kabupaten/Kota di Indonesia. Menggunakan Geographically Weight Poisson Regression (GWPR), penelitian ini mendapatkan adanya heterogenitas spasial pada pola kemiskinan Kabupaten/Kota di Indonesia. Model regresi spasial berhasil membuktikan adanya pengaruh peningkatan dana desa yang berbeda terhadap jumlah penduduk miskin dan pengaruh IPM yang konsisten terhadap penurunan jumlah penduduk miskin di seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia.","PeriodicalId":307659,"journal":{"name":"Seminar Nasional Geomatika","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"124355104","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-15DOI: 10.24895/SNG.2018.3-0.991
Amrih Halil
Kabupaten Bojonegoro merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang terkena dampak kekeringan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro menyebutkan 17 kecamatan yang dilanda kekeringan itu sebagian besar berada di Bojonegoro bagian selatan, yaitu Kedewan, Sugihwaras, Kedungadem, Sukosewu, Tambakrejo, Balen, Kasiman, Ngasem, Baureno, Trucuk, Kepohbaru, Dander, Ngraho, Bubuan, Malo, Tambakrejo, dan Margomulyo. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola sensitivitas wilayah Kabupaten Bojonegoro terhadap bencana kekeringan yang dikaji berdasarkan aspek fisik, dan aspek sosial. Parameter fisik yang meliputi curah hujan yaitu rata-rata jumlah curah hujan selama 30 tahun (1986-2015), jenis tanah untuk melihat tekstur dan solum tanah, dan kemiringan lereng. Sedangkan parameter sosial yaitu jumlah penduduk, terkait dengan kebutuhan air penduduk. Metode yang digunakan dari penelitian ini yaitu metode overlay dan skoring. Tingkat sensitivitas wilayah dibagi menjadi tingkat sensitivitas rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Tingkat sensitivitas rendah tersebar di Kecamatan Gayam. Tingkat sensitivitas sedang tersebar di Kecamatan Kedawen, Kasian, Malo, Padangan Purwosari, Temayang dan Sukosewu. Tingkat Sensitivitas tinggi tersebar di Kecamatan Tambakrejo, Kapas, Balen, Kanor, Sumberejo, Kedungadem dan Gondang. Tingkat sensitivitas sangat tinggi tersebar di Kecamatan Margomulyo, Ngrahu, Dander, Bojonegoro, Trucuk, Baureno, Kepohbaru, Kedungadem, Gondang dan Sekar.
{"title":"POLA SENSITIVITAS WILAYAH KEKERINGAN DI KABUPATEN BOJONEGORO","authors":"Amrih Halil","doi":"10.24895/SNG.2018.3-0.991","DOIUrl":"https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.991","url":null,"abstract":"Kabupaten Bojonegoro merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang terkena dampak kekeringan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro menyebutkan 17 kecamatan yang dilanda kekeringan itu sebagian besar berada di Bojonegoro bagian selatan, yaitu Kedewan, Sugihwaras, Kedungadem, Sukosewu, Tambakrejo, Balen, Kasiman, Ngasem, Baureno, Trucuk, Kepohbaru, Dander, Ngraho, Bubuan, Malo, Tambakrejo, dan Margomulyo. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola sensitivitas wilayah Kabupaten Bojonegoro terhadap bencana kekeringan yang dikaji berdasarkan aspek fisik, dan aspek sosial. Parameter fisik yang meliputi curah hujan yaitu rata-rata jumlah curah hujan selama 30 tahun (1986-2015), jenis tanah untuk melihat tekstur dan solum tanah, dan kemiringan lereng. Sedangkan parameter sosial yaitu jumlah penduduk, terkait dengan kebutuhan air penduduk. Metode yang digunakan dari penelitian ini yaitu metode overlay dan skoring. Tingkat sensitivitas wilayah dibagi menjadi tingkat sensitivitas rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Tingkat sensitivitas rendah tersebar di Kecamatan Gayam. Tingkat sensitivitas sedang tersebar di Kecamatan Kedawen, Kasian, Malo, Padangan Purwosari, Temayang dan Sukosewu. Tingkat Sensitivitas tinggi tersebar di Kecamatan Tambakrejo, Kapas, Balen, Kanor, Sumberejo, Kedungadem dan Gondang. Tingkat sensitivitas sangat tinggi tersebar di Kecamatan Margomulyo, Ngrahu, Dander, Bojonegoro, Trucuk, Baureno, Kepohbaru, Kedungadem, Gondang dan Sekar.","PeriodicalId":307659,"journal":{"name":"Seminar Nasional Geomatika","volume":"14 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116504709","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-15DOI: 10.24895/SNG.2018.3-0.1061
M. Wijaya, Y. H. Ramadhani, A. W. Rudiastuti, Yudhistira Tri Nurteisa, Aswin Rahadian, I. Pujawati, Sri Hartini
Survei lapangan merupakan salah satu tahapan penting dalam proses pemetaan mangrove. Merujuk pada SNI 7717-2011 tentang Survei dan Pemetaan Mangrove, survei lapangan ditujukan untuk uji akurasi pemetaan dan mengumpulkan data parameter biofisik vegetasi mangrove. Data biofisik yang diambil dalam survei lapangan mangrove antara lain kerapatan tajuk, kerapatan pohon, profil mangrove, spesies mangrove, spesies dominan, dan diameter at breast height (DBH). Namun demikian, proses pengambilan data lapangan pada kenyataannya seringkali menemui rintangan. Kondisi medan dan aksesibilitas merupakan kendala besar dalam survei mangrove. Uji coba pemanfaatan wahana udara nir-awak (UAV) sederhana sebagai alternatif solusi dalam akuisisi data lapangan pada survei mangrove adalah tujuan dari kajian ini. Metode pengukuran parameter biofisik vegetasi mangrove menggunakan wahana udara nir-awak adalah fotogrametri, dimulai dari penentuan rencana terbang, pengolahan digital surface model (DSM) dan orthofoto, hingga analisis 3D untuk pengukuran biofisik vegetasi mangrove. Sesuai dengan Batasan kajian, secara kualitatif, informasi parameter biofisik mangrove seperti kerapatan tajuk, spesies dominan, dan profil mangrove dapat diinterpretasi dengan baik dari data UAV. Untuk beberapa parameter terkait DBH, spesies mangrove, dan kerapatan pohon perlu dilakukan kajian lebih lanjut.
{"title":"KAJIAN WAHANA UDARA NIR-AWAK UNTUK AKUISISI DATA SURVEI PARAMETER BIOFISIK VEGETASI MANGROVE","authors":"M. Wijaya, Y. H. Ramadhani, A. W. Rudiastuti, Yudhistira Tri Nurteisa, Aswin Rahadian, I. Pujawati, Sri Hartini","doi":"10.24895/SNG.2018.3-0.1061","DOIUrl":"https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.1061","url":null,"abstract":"Survei lapangan merupakan salah satu tahapan penting dalam proses pemetaan mangrove. Merujuk pada SNI 7717-2011 tentang Survei dan Pemetaan Mangrove, survei lapangan ditujukan untuk uji akurasi pemetaan dan mengumpulkan data parameter biofisik vegetasi mangrove. Data biofisik yang diambil dalam survei lapangan mangrove antara lain kerapatan tajuk, kerapatan pohon, profil mangrove, spesies mangrove, spesies dominan, dan diameter at breast height (DBH). Namun demikian, proses pengambilan data lapangan pada kenyataannya seringkali menemui rintangan. Kondisi medan dan aksesibilitas merupakan kendala besar dalam survei mangrove. Uji coba pemanfaatan wahana udara nir-awak (UAV) sederhana sebagai alternatif solusi dalam akuisisi data lapangan pada survei mangrove adalah tujuan dari kajian ini. Metode pengukuran parameter biofisik vegetasi mangrove menggunakan wahana udara nir-awak adalah fotogrametri, dimulai dari penentuan rencana terbang, pengolahan digital surface model (DSM) dan orthofoto, hingga analisis 3D untuk pengukuran biofisik vegetasi mangrove. Sesuai dengan Batasan kajian, secara kualitatif, informasi parameter biofisik mangrove seperti kerapatan tajuk, spesies dominan, dan profil mangrove dapat diinterpretasi dengan baik dari data UAV. Untuk beberapa parameter terkait DBH, spesies mangrove, dan kerapatan pohon perlu dilakukan kajian lebih lanjut.","PeriodicalId":307659,"journal":{"name":"Seminar Nasional Geomatika","volume":"15 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"127610004","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-02-15DOI: 10.24895/SNG.2018.3-0.1028
Rifandi Malik
Pengembangan Kota Pelabuhan memerlukan integrasi antara perencanaan kota dan wilayah pelabuhan, baik itu interaksi spasial antara pelabuhan dan wilayah di sekitarnya maupun dengan seluruh stakeholder yang ada. Penelitian ini menganalisa hubungan yang terdapat di Pelabuhan Batu Ampar dan wilayah sekitarnya serta dampaknya terhadap kualitas kehidupan. Metode penilitian yang digunakan deskriptif kualitatif melalui pendekatan eksploratif atau yang disebut dengan penelitian penjajakan bersifat terbuka. wilayah pelabuhan telah merambah ke daerah perkotaan sementara pertumbuhan kota yang berkelanjutan telah mempengaruhi efisiensi operasi pelabuhan terutama transportasi darat. Pertumbuhan wilayah memberikan dampak terhadap kualitas hidup masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut dalam berbagai aspek termasuk perkembangan suatu kota. Berikut adalah beberapa aspek yang mencakup kualitas hidup adalah 1). Kesehatan fisik dan kemampuan fungsional, 2). Kesehatan psikologis, kesejahteraan dan kepuasan hidup secara subyektif, 3). Jaringan sosial, aktifitas dan partisipasi, 4). Kondisi sosial-ekonomi dan lingkugan hidup.Kesimpulan nya Perencanaan penggunaan lahan dan rencana lokal yang ada untuk Batu Ampar tampaknya tidak mengintegrasikan perencanaan tata ruang antara pelabuhan dan daerah perkotaan. Konsekuensinya, kualitas hidup warga menjadi menurun.
{"title":"PERKEMBANGAN KOTA PELABUHAN DAN KUALITAS HIDUP DI WILAYAH KECAMATAN BATU AMPAR KOTA BATAM","authors":"Rifandi Malik","doi":"10.24895/SNG.2018.3-0.1028","DOIUrl":"https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.1028","url":null,"abstract":"Pengembangan Kota Pelabuhan memerlukan integrasi antara perencanaan kota dan wilayah pelabuhan, baik itu interaksi spasial antara pelabuhan dan wilayah di sekitarnya maupun dengan seluruh stakeholder yang ada. Penelitian ini menganalisa hubungan yang terdapat di Pelabuhan Batu Ampar dan wilayah sekitarnya serta dampaknya terhadap kualitas kehidupan. Metode penilitian yang digunakan deskriptif kualitatif melalui pendekatan eksploratif atau yang disebut dengan penelitian penjajakan bersifat terbuka. wilayah pelabuhan telah merambah ke daerah perkotaan sementara pertumbuhan kota yang berkelanjutan telah mempengaruhi efisiensi operasi pelabuhan terutama transportasi darat. Pertumbuhan wilayah memberikan dampak terhadap kualitas hidup masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut dalam berbagai aspek termasuk perkembangan suatu kota. Berikut adalah beberapa aspek yang mencakup kualitas hidup adalah 1). Kesehatan fisik dan kemampuan fungsional, 2). Kesehatan psikologis, kesejahteraan dan kepuasan hidup secara subyektif, 3). Jaringan sosial, aktifitas dan partisipasi, 4). Kondisi sosial-ekonomi dan lingkugan hidup.Kesimpulan nya Perencanaan penggunaan lahan dan rencana lokal yang ada untuk Batu Ampar tampaknya tidak mengintegrasikan perencanaan tata ruang antara pelabuhan dan daerah perkotaan. Konsekuensinya, kualitas hidup warga menjadi menurun.","PeriodicalId":307659,"journal":{"name":"Seminar Nasional Geomatika","volume":"42 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-02-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132599515","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}