A. Prasetyo, Tjut Ahmad Perdana Rozziansha, Muhayat Muhayat, Roch Desmier de Chenon
Sparganobasis subcruciata Marshall merupakan jenis kumbang moncong di Papua dan Indonesia Timur yang mulai dilaporkan menimbulkan kerusakan pada tanaman kelapa sawit di Boven Digoel. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gejala serangan S. subcruciata dan tingkat serangannya di salah satu perkebunan kelapa sawit di Boven Digoel, Papua. Penelitian dilakukan dengan mengamati karakteristik gejala tanaman terserang dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa stadia yang menyerang adalah larva yang menggerek batang tanaman terutama pada bagian bawah sehingga membentuk gejala mirip dengan gejala penyakit Ganoderma, yakni kemunculan daun tombak lebih dari tiga, pelepah tua menggantung, mengering hingga tanaman tumbang. Hama ini telah mengakibatkan kematian tanaman kelapa sawit tua hampir di semua blok yang dikunjungi sehingga dapat dikategorikan sebagai hama utama pada perkebunan kelapa sawit di Papua dan berpotensi menjadi hama utama di Indonesia Bagian Timur. Deteksi dini sangat sulit dilakukan. Pengendalian dengan pemutusan siklus hidup hama kumbang menggunakan feromon perlu dikembangkan.
{"title":"Gejala serangan dan tingkat serangan Sparganobasis subcruciata Marshall sebagai hama baru pada kelapa sawit di Indonesia bagian timur","authors":"A. Prasetyo, Tjut Ahmad Perdana Rozziansha, Muhayat Muhayat, Roch Desmier de Chenon","doi":"10.5994/JEI.16.1.41","DOIUrl":"https://doi.org/10.5994/JEI.16.1.41","url":null,"abstract":"Sparganobasis subcruciata Marshall merupakan jenis kumbang moncong di Papua dan Indonesia Timur yang mulai dilaporkan menimbulkan kerusakan pada tanaman kelapa sawit di Boven Digoel. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gejala serangan S. subcruciata dan tingkat serangannya di salah satu perkebunan kelapa sawit di Boven Digoel, Papua. Penelitian dilakukan dengan mengamati karakteristik gejala tanaman terserang dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa stadia yang menyerang adalah larva yang menggerek batang tanaman terutama pada bagian bawah sehingga membentuk gejala mirip dengan gejala penyakit Ganoderma, yakni kemunculan daun tombak lebih dari tiga, pelepah tua menggantung, mengering hingga tanaman tumbang. Hama ini telah mengakibatkan kematian tanaman kelapa sawit tua hampir di semua blok yang dikunjungi sehingga dapat dikategorikan sebagai hama utama pada perkebunan kelapa sawit di Papua dan berpotensi menjadi hama utama di Indonesia Bagian Timur. Deteksi dini sangat sulit dilakukan. Pengendalian dengan pemutusan siklus hidup hama kumbang menggunakan feromon perlu dikembangkan.","PeriodicalId":31609,"journal":{"name":"Jurnal Entomologi Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-08-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46468781","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Capung jarum Pseudagrion pruinosum (Burmeister) merupakan capung yang terdistribusi di kawasan Asia Tenggara. Namun, informasi terkait perilaku dan habitat bertelur capung jarum ini masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tipe perilaku dan teknik capung jarum saat peletakan telur serta karakterisasi habitat yang digunakan untuk bertelur. Penelitian perilaku menggunakan metode focal sampling terhadap pasangan capung yang meletakkan telur (n = 9 pasangan), serta pengukuran parameter habitat di lokasi peletakan telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada peletakkan telur P. pruinosum terdapat penjagaan pasangan betina saat meletakkan telur dengan cara tetap membentuk formasi tandem (contact mate guarding) kemudian melepaskan betina dan melakukan penjagaan di sekitar betina meletakkan telur (noncontact mate guarding). Telur diletakkan pada jaringan tumbuhan dengan teknik posisi tubuh tetap di permukaan dan masuk ke dalam air. Tidak ada kecenderungan dari perilaku P. pruinosum terhadap salah satu tipe atau teknik. Berdasarkan hasil analisis komponen utama, 75,8% habitat peletakkan telur bisa dijelaskan oleh suhu udara, total dissolved solid (TDS), pH, kedalaman, intensitas cahaya, kelembaban udara, heterogenitas tumbuhan, dan suhu air. Suhu udara, pH, intensitas cahaya, dan heterogenitas tumbuhan berkorelasi positif terhadap terjadinya peletakkan telur, sedangkan TDS, kelembaban, kedalaman air, dan suhu air berkorelasi negatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ciri tipe dan teknik peletakkan telur P. pruinosum termasuk tipe yang terdapat penjagaan jantan baik secara contact maupun non contact mate guarding dengan teknik meletakkan telur mulai dari permukaan sampai masuk ke dalam air.
{"title":"Perilaku bertelur dan pemilihan habitat bertelur oleh capung jarum Pseudagrion pruinosum (Burmeister) (Odonata: Coenagrionidae)","authors":"Uci Sugiman, Helmi Romdhoni, Alexander Kurniawan Sariyanto Putera, Rusnia J Robo, Fenny Oktavia, Rika Raffiudin","doi":"10.5994/JEI.16.1.29","DOIUrl":"https://doi.org/10.5994/JEI.16.1.29","url":null,"abstract":"Capung jarum Pseudagrion pruinosum (Burmeister) merupakan capung yang terdistribusi di kawasan Asia Tenggara. Namun, informasi terkait perilaku dan habitat bertelur capung jarum ini masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tipe perilaku dan teknik capung jarum saat peletakan telur serta karakterisasi habitat yang digunakan untuk bertelur. Penelitian perilaku menggunakan metode focal sampling terhadap pasangan capung yang meletakkan telur (n = 9 pasangan), serta pengukuran parameter habitat di lokasi peletakan telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada peletakkan telur P. pruinosum terdapat penjagaan pasangan betina saat meletakkan telur dengan cara tetap membentuk formasi tandem (contact mate guarding) kemudian melepaskan betina dan melakukan penjagaan di sekitar betina meletakkan telur (noncontact mate guarding). Telur diletakkan pada jaringan tumbuhan dengan teknik posisi tubuh tetap di permukaan dan masuk ke dalam air. Tidak ada kecenderungan dari perilaku P. pruinosum terhadap salah satu tipe atau teknik. Berdasarkan hasil analisis komponen utama, 75,8% habitat peletakkan telur bisa dijelaskan oleh suhu udara, total dissolved solid (TDS), pH, kedalaman, intensitas cahaya, kelembaban udara, heterogenitas tumbuhan, dan suhu air. Suhu udara, pH, intensitas cahaya, dan heterogenitas tumbuhan berkorelasi positif terhadap terjadinya peletakkan telur, sedangkan TDS, kelembaban, kedalaman air, dan suhu air berkorelasi negatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ciri tipe dan teknik peletakkan telur P. pruinosum termasuk tipe yang terdapat penjagaan jantan baik secara contact maupun non contact mate guarding dengan teknik meletakkan telur mulai dari permukaan sampai masuk ke dalam air.","PeriodicalId":31609,"journal":{"name":"Jurnal Entomologi Indonesia","volume":"1 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-08-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43357422","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Siti Herlinda, Hesti Apryanti, S. Susilawati, Erise Anggraini
Jarak tanam padi mempengaruhi spesies dan populasi serangga hama. Jarak tanam lebih rapat ideal untuk habitat dan relung serangga hama. Penelitian ini bertujuan untuk mengobservasi perbandingan komunitas serangga hama padi rawa lebak yang ditanam dengan berbagai jarak tanam. Percobaan lapangan dilaksanakan pada padi di lahan rawa lebak seluas 15 ha yang ditanam dengan jarak tanam tegel (25 cm x 25 cm) dan jajar legowo pada berbagai kombinasi jarak (4:1, 5:1, 6:1, dan 7:1). Serangga hama diambil menggunakan jaring serangga. Semua spesies serangga hama yang ditemukan pada satu musim tanam padi pada penelitian ini adalah 27 spesies. Spesies yang dominan ditemukan pada padi fase vegetatif adalah Oxya chinensis (Thunberg), Acrida turrita (Linnaeus), Nilaparvata lugens (Stål), Nephotettix virescens (Distant), dan Cofana spectra (Distant), sedangkan pada fase generatif didominasi oleh Leptocorisa acuta (Fabricius) dan Riptortus sp. Populasi N. lugens dan N. virescens tidak dipengaruhi oleh jarak tanam. Populasi kedua jenis wereng tersebut rendah dan tidak menjadi hama utama di padi rawa lebak. Spesies serangga hama utama adalah L. acuta dan populasinya dipengaruhi oleh jarak tanam padi. Populasi hama lebih tinggi pada padi dengan jarak tanam yang lebih rapat, yaitu jajar legowo 6:1, 7:1, dan tegel dibandingkan dengan jajar legowo 4:1 dan 5:1. Untuk itu, jajar legowo 4:1 atau 5:1 sebaiknya diterapkan di sawah rawa lebak untuk menekan populasi fitofag agar tidak menjadi hama penting.
{"title":"Komunitas serangga hama padi rawa lebak yang ditanam dengan berbagai jarak tanam","authors":"Siti Herlinda, Hesti Apryanti, S. Susilawati, Erise Anggraini","doi":"10.5994/JEI.15.3.151","DOIUrl":"https://doi.org/10.5994/JEI.15.3.151","url":null,"abstract":"Jarak tanam padi mempengaruhi spesies dan populasi serangga hama. Jarak tanam lebih rapat ideal untuk habitat dan relung serangga hama. Penelitian ini bertujuan untuk mengobservasi perbandingan komunitas serangga hama padi rawa lebak yang ditanam dengan berbagai jarak tanam. Percobaan lapangan dilaksanakan pada padi di lahan rawa lebak seluas 15 ha yang ditanam dengan jarak tanam tegel (25 cm x 25 cm) dan jajar legowo pada berbagai kombinasi jarak (4:1, 5:1, 6:1, dan 7:1). Serangga hama diambil menggunakan jaring serangga. Semua spesies serangga hama yang ditemukan pada satu musim tanam padi pada penelitian ini adalah 27 spesies. Spesies yang dominan ditemukan pada padi fase vegetatif adalah Oxya chinensis (Thunberg), Acrida turrita (Linnaeus), Nilaparvata lugens (Stål), Nephotettix virescens (Distant), dan Cofana spectra (Distant), sedangkan pada fase generatif didominasi oleh Leptocorisa acuta (Fabricius) dan Riptortus sp. Populasi N. lugens dan N. virescens tidak dipengaruhi oleh jarak tanam. Populasi kedua jenis wereng tersebut rendah dan tidak menjadi hama utama di padi rawa lebak. Spesies serangga hama utama adalah L. acuta dan populasinya dipengaruhi oleh jarak tanam padi. Populasi hama lebih tinggi pada padi dengan jarak tanam yang lebih rapat, yaitu jajar legowo 6:1, 7:1, dan tegel dibandingkan dengan jajar legowo 4:1 dan 5:1. Untuk itu, jajar legowo 4:1 atau 5:1 sebaiknya diterapkan di sawah rawa lebak untuk menekan populasi fitofag agar tidak menjadi hama penting.","PeriodicalId":31609,"journal":{"name":"Jurnal Entomologi Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43901619","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) merupakan serangga yang berperan sebagai hama pada tanaman hortikultura (buah-buahan, sayuran, dan tanaman hias). Kutukebul telah dikenal di Indonesia, tetapi belum banyak informasi mengenai keanekaragaman spesiesnya pada tanaman hortikultura. Penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman spesies kutukebul di tanaman hortikultura yang menjadi tanaman inang kutukebul pada ketinggian tempat yang berbeda. Sampel kutukebul dikoleksi dari tanaman sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias di lima wilayah di Jawa Barat, yaitu Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, dan Garut. Tempat pengambilan sampel dikelompokkan menjadi tiga kisaran ketinggian, yaitu dataran rendah, sedang, dan tinggi. Jumlah individu dan spesies kutukebul yang diperoleh dari masing-masing tanaman inang dan ketinggian dianalisis dengan menggunakan analisis keragaman (ANOVA) dengan uji lanjut Tukey (α = 0,05). Hubungan antara ketinggian tempat dan kelimpahan serta jumlah spesies kutukebul dianalisis dengan analisis regresi linier. Keanekaragaman spesies kutukebul diukur dengan indeks keanekaragaman Shannon dan Simpson. Rata-rata jumlah individu kutukebul yang terbanyak ditemukan pada tanaman sayuran (121,8 individu per tanaman), tetapi jumlah spesies terbanyak diperoleh dari tanaman buah-buahan (2,4 spesies per tanaman). Berdasarkan ketinggian tempat, rata-rata jumlah spesies kutukebul yang terbanyak ditemukan di dataran rendah (4,7 spesies), sedangkan yang paling sedikit ditemukan di dataran tinggi (1,6 spesies). Kelimpahan individu kutukebul meningkat seiring dengan peningkatan ketinggian tempat, sebaliknya jumlah spesiesnya menurun seiring dengan peningkatan ketinggian tempat. Keanekaragaman spesies kutukebul yang tertinggi terdapat di dataran rendah (H’ = 2,08), sedangkan keanekaragaman spesies yang terendah ada di dataran tinggi (H’ = 0,38). Namun berdasarkan indeks Simpson, di dataran tinggi ternyata terdapat dominasi spesies kutukebul (D = 0,54), yaitu dari spesies Aleurodicus dugesii Cockerell.
{"title":"Keanekaragaman spesies kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) pada tanaman hortikultura dengan ketinggian tempat berbeda di Jawa Barat","authors":"Lia Nurulalia, Damayanti Buchori, P. Hidayat","doi":"10.5994/JEI.15.3.143","DOIUrl":"https://doi.org/10.5994/JEI.15.3.143","url":null,"abstract":"Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) merupakan serangga yang berperan sebagai hama pada tanaman hortikultura (buah-buahan, sayuran, dan tanaman hias). Kutukebul telah dikenal di Indonesia, tetapi belum banyak informasi mengenai keanekaragaman spesiesnya pada tanaman hortikultura. Penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman spesies kutukebul di tanaman hortikultura yang menjadi tanaman inang kutukebul pada ketinggian tempat yang berbeda. Sampel kutukebul dikoleksi dari tanaman sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias di lima wilayah di Jawa Barat, yaitu Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, dan Garut. Tempat pengambilan sampel dikelompokkan menjadi tiga kisaran ketinggian, yaitu dataran rendah, sedang, dan tinggi. Jumlah individu dan spesies kutukebul yang diperoleh dari masing-masing tanaman inang dan ketinggian dianalisis dengan menggunakan analisis keragaman (ANOVA) dengan uji lanjut Tukey (α = 0,05). Hubungan antara ketinggian tempat dan kelimpahan serta jumlah spesies kutukebul dianalisis dengan analisis regresi linier. Keanekaragaman spesies kutukebul diukur dengan indeks keanekaragaman Shannon dan Simpson. Rata-rata jumlah individu kutukebul yang terbanyak ditemukan pada tanaman sayuran (121,8 individu per tanaman), tetapi jumlah spesies terbanyak diperoleh dari tanaman buah-buahan (2,4 spesies per tanaman). Berdasarkan ketinggian tempat, rata-rata jumlah spesies kutukebul yang terbanyak ditemukan di dataran rendah (4,7 spesies), sedangkan yang paling sedikit ditemukan di dataran tinggi (1,6 spesies). Kelimpahan individu kutukebul meningkat seiring dengan peningkatan ketinggian tempat, sebaliknya jumlah spesiesnya menurun seiring dengan peningkatan ketinggian tempat. Keanekaragaman spesies kutukebul yang tertinggi terdapat di dataran rendah (H’ = 2,08), sedangkan keanekaragaman spesies yang terendah ada di dataran tinggi (H’ = 0,38). Namun berdasarkan indeks Simpson, di dataran tinggi ternyata terdapat dominasi spesies kutukebul (D = 0,54), yaitu dari spesies Aleurodicus dugesii Cockerell.","PeriodicalId":31609,"journal":{"name":"Jurnal Entomologi Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48686548","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Kumbang lembing Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius (Coleoptera: Cocinellidae) mempunyai tanaman inang yang luas, terutama pada famili Solanaceae. Spesies ini dapat menjadi hama yang serius bagi tanaman terung-terungan, seperti terong dan kentang. Penelitian ini bertujuan menyusun neraca kehidupan dan mengukur parameter demografi H. vigintioctopunctata yang diberi pakan empat tanaman inang yang berbeda, yaitu daun Solanum torvum, S. nigrum, S. melongena, dan Brugmansia suaveolens. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama hidup imago paling lama (68,7 hari, jantan dan 79 hari, betina) terjadi pada kumbang H. vigintioctopunctata yang diberi pakan daun S. nigrum, diikuti oleh S. torvum (20,6 hari, jantan dan 31,7 hari, betina), S. melongena (1,5 hari, jantan dan 2,5 hari, betina), dan B. suaveolens (1,8 hari, jantan dan 1,7 hari, betina). Parameter demografi H. vigintioctopunctata menunjukkan bahwa laju reproduksi bersih tertinggi terjadi pada pemberian daun S. torvum (R0 = 2,11 betina/induk), diikuti S. nigrum (R0 = 0,64 betina/induk), S. melongena (R0 = 0,06 betina/induk), dan B. suaveolens (R0 = 0,006 betina/induk). Waktu generasi paling lama terjadi pada pemberian daun S. nigrum (28,53 hari), diikuti S. torvum (27,42 hari), B. suaveolens (5,9 hari), dan S. melongena (2,5 hari). Pemberian daun S. torvum menghasilkan laju pertumbuhan intrinsik H. vigintioctopunctata yang tinggi (r = 0,0094 betina/induk/hari). Berdasarkan neraca kehidupan dan parameter demografi, S. torvum merupakan tanaman inang yang sesuai untuk perkembangan H. vigintioctopunctata.
{"title":"Neraca kehidupan dan parameter demografi Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius (Coleoptera: Coccinellidae) pada empat tanaman inang berbeda","authors":"Adi Waskito, Tri Atmowidi, Sih Kahono","doi":"10.5994/JEI.15.3.115","DOIUrl":"https://doi.org/10.5994/JEI.15.3.115","url":null,"abstract":"Kumbang lembing Henosepilachna vigintioctopunctata Fabricius (Coleoptera: Cocinellidae) mempunyai tanaman inang yang luas, terutama pada famili Solanaceae. Spesies ini dapat menjadi hama yang serius bagi tanaman terung-terungan, seperti terong dan kentang. Penelitian ini bertujuan menyusun neraca kehidupan dan mengukur parameter demografi H. vigintioctopunctata yang diberi pakan empat tanaman inang yang berbeda, yaitu daun Solanum torvum, S. nigrum, S. melongena, dan Brugmansia suaveolens. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama hidup imago paling lama (68,7 hari, jantan dan 79 hari, betina) terjadi pada kumbang H. vigintioctopunctata yang diberi pakan daun S. nigrum, diikuti oleh S. torvum (20,6 hari, jantan dan 31,7 hari, betina), S. melongena (1,5 hari, jantan dan 2,5 hari, betina), dan B. suaveolens (1,8 hari, jantan dan 1,7 hari, betina). Parameter demografi H. vigintioctopunctata menunjukkan bahwa laju reproduksi bersih tertinggi terjadi pada pemberian daun S. torvum (R0 = 2,11 betina/induk), diikuti S. nigrum (R0 = 0,64 betina/induk), S. melongena (R0 = 0,06 betina/induk), dan B. suaveolens (R0 = 0,006 betina/induk). Waktu generasi paling lama terjadi pada pemberian daun S. nigrum (28,53 hari), diikuti S. torvum (27,42 hari), B. suaveolens (5,9 hari), dan S. melongena (2,5 hari). Pemberian daun S. torvum menghasilkan laju pertumbuhan intrinsik H. vigintioctopunctata yang tinggi (r = 0,0094 betina/induk/hari). Berdasarkan neraca kehidupan dan parameter demografi, S. torvum merupakan tanaman inang yang sesuai untuk perkembangan H. vigintioctopunctata.","PeriodicalId":31609,"journal":{"name":"Jurnal Entomologi Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47196778","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Sumeinika Fitria Lizmah, D. Buchori, Pudjianto Pudjianto, Akhmad Rizali
Kompleksitas lanskap pertanian mempengaruhi keanekaragaman hayati pada suatu agro ekosistem. Lanskap pertanian yang kompleks cenderung memiliki keanekaragaman dan komposisi spesies yang lebih tinggi dibandingkan dengan lanskap pertanian yang sederhana. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keanekaragaman dan komposisi spesies Hymenoptera parasitika pada kompleksitas lanskap pertanian yang berbeda. Penelitian dilakukan pada empat lahan pertanaman mentimun di Kabupaten Bogor dengan dua lahan terletak pada lanskap pertanian kompleks dan dua lahan pada lanskap pertanian sederhana. Di setiap lahan mentimun, ditentukan plot pengambilan contoh berukuran 25 m x 50 m dan dilakukan pengambilan contoh Hymenoptera parasitika dengan menggunakan perangkap nampan kuning, perangkap malaise, dan pengambilan inang. Sebanyak 233 spesies Hymenoptera parasitika diperoleh dari empat lahan mentimun selama dua musim tanam berbeda. Hasil analisis menunjukkan bahwa keanekaragaman dan komposisi spesies Hymenoptera parasitika tidak menunjukkan perbedaan pada lanskap pertanian yang sederhana dan yang kompleks. Hal tersebut menunjukkan bahwa keanekaragaman dan komposisi spesies Hymenoptera parasitika pada lahan pertanaman mentimun di Bogor tidak dipengaruhi oleh kompleksitas lanskap.
农业景观的复杂性影响着农业生态系统中的生物多样性。复杂的农业景观往往比简单的农业景观具有更高的多样性和物种组成。本研究旨在研究不同农业景观复杂性中寄生膜翅目物种的多样性和组成。对茂物县的四块棉田进行了研究,其中两块位于复杂的农田上,两块位于简单的农田上。在每个玉米地中,定义了一个25 m x 50 m的采样区,并使用黄眼陷阱、不适陷阱和人质拍摄了一个寄生膜翅目的例子。从四块玉米地中获得了多达233种寄生膜翅目昆虫,用于两种不同的作物。分析表明,在简单和复杂的农业景观中,寄生膜翅目昆虫的多样性和组成没有任何差异。结果表明,茂物棉田寄生膜翅目昆虫的多样性和组成不受景观复杂性的影响。
{"title":"Kompleksitas lanskap pertanian dan pengaruhnya terhadap keanekaragaman Hymenoptera parasitika","authors":"Sumeinika Fitria Lizmah, D. Buchori, Pudjianto Pudjianto, Akhmad Rizali","doi":"10.5994/JEI.15.3.124","DOIUrl":"https://doi.org/10.5994/JEI.15.3.124","url":null,"abstract":"Kompleksitas lanskap pertanian mempengaruhi keanekaragaman hayati pada suatu agro ekosistem. Lanskap pertanian yang kompleks cenderung memiliki keanekaragaman dan komposisi spesies yang lebih tinggi dibandingkan dengan lanskap pertanian yang sederhana. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keanekaragaman dan komposisi spesies Hymenoptera parasitika pada kompleksitas lanskap pertanian yang berbeda. Penelitian dilakukan pada empat lahan pertanaman mentimun di Kabupaten Bogor dengan dua lahan terletak pada lanskap pertanian kompleks dan dua lahan pada lanskap pertanian sederhana. Di setiap lahan mentimun, ditentukan plot pengambilan contoh berukuran 25 m x 50 m dan dilakukan pengambilan contoh Hymenoptera parasitika dengan menggunakan perangkap nampan kuning, perangkap malaise, dan pengambilan inang. Sebanyak 233 spesies Hymenoptera parasitika diperoleh dari empat lahan mentimun selama dua musim tanam berbeda. Hasil analisis menunjukkan bahwa keanekaragaman dan komposisi spesies Hymenoptera parasitika tidak menunjukkan perbedaan pada lanskap pertanian yang sederhana dan yang kompleks. Hal tersebut menunjukkan bahwa keanekaragaman dan komposisi spesies Hymenoptera parasitika pada lahan pertanaman mentimun di Bogor tidak dipengaruhi oleh kompleksitas lanskap.","PeriodicalId":31609,"journal":{"name":"Jurnal Entomologi Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43658410","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Didid Haryanto, Dalilah Dalilah, C. Anwar, Gita Dwi Prasasti, Dwi Handayani, Ahmad Ghiffari
Penggunaan insektisida golongan piretroid secara luas dan terus menerus dalam pencegahan penularan malaria dapat menimbulkan mutasi gen voltage gate sodium channel (VGSC) pada vektor nyamuk yang dikenal dengan mutasi knockdown resistance (kdr). Mutasi gen ini membuat sensitifitas ikatan protein VGSC dengan insektisida menurun sehingga menyebabkan resistensi. Timbulnya resistensi insektisida piretroid pada nyamuk vektor dapat menjadi penghambat keberhasilan pemutusan penularan penyakit malaria sehingga deteksi adanya mutasi mutlak diperlukan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui status resistensi insektisida piretroid dan mengidentifikasi mutasi pada gen VGSC kodon 1014 penanda resistensi nyamuk Anopheles sp. yang menjadi vektor malaria di Provinsi Sumatera Selatan. Sampel diambil di tiga Kabupaten, yaitu Muara Enim, Ogan Komering Ulu (OKU), dan Lahat. Uji awal kerentanan terhadap insektisida piretroid (permetrin 0,75%) dilakukan sesuai standar WHO tahun 2016 pada spesies dominan, yaitu Anopheles vagus Dönitz. Selanjutnya, identifikasi mutasi gen VGSC pada kodon 1014 dilakukan pada An. vagus dan spesies Anopheles barbirostris van der Wulp yang tertangkap, dengan teknik seminested-PCR dan dilanjutkan dengan analisis sekuensing. Hasil uji kerentanan Anopheles sp. di Kabupaten Muara Enim menunjukkan resisten terhadap piretroid, sedangkan di Kabupaten Lahat dan OKU masih rentan terhadap insektisida piretroid. Sementara, analisis sekuensing PCR menunjukkan tidak terjadi perubahan basa alel kdr pada target site insektisida gen VGSC sehingga dapat disimpulkan secara molekuler belum ditemukan adanya mutasi pada gen VGSC kdr allel penanda resistensi insektisida piretroid.
pi逆转录病毒杀虫剂在预防疟疾方面的广泛和持续的持续使用可能会在蚊子载体上引发一种被称为“knockdown电阻”(kdr)的voltage gate钠通道(VGSC)基因突变。这些基因突变使VGSC蛋白粘合度降低,杀虫剂减少,产生抗药性。感染媒介蚊子的杀虫剂感染逆转录病毒的上升可能是阻止疟疾传播成功的原因,从而对突变的检测是绝对必要的。本研究的目的是确定病毒性抗药性病毒的状态,并确定VGSC kodon基因1014的突变。样本是在三个地区采集的,包括河口,Ogan商业Ulu和Lahat。对杀虫剂皮雷(permetrin 0.75%)的脆弱性的初步测试是根据世卫组织2016年对主要物种vagus Donitz的标准进行的。然后,在1014 kodons发现VGSC基因突变是在An中进行的。vagus和我们的物种barbirostris van der Wulp被捕获,采用小型pcr技术,然后进行测序分析。Enim摄政对禽流感病毒的抗药性检测结果显示,Lahat和OKU摄政仍然容易感染逆转录病毒杀虫剂。与此同时,对PCR序列的分析表明,VGSC基因杀虫剂站点的目标位置的kdr碱基没有发生任何变化,因此可以推断出VGSC kdr基因突变的分子标记为抗逆转录病毒。
{"title":"Investigasi resistensi Anopheles sp. terhadap insektisida piretroid dan kemungkinan terjadinya mutasi gen voltage gated sodium channel (VGSC)","authors":"Didid Haryanto, Dalilah Dalilah, C. Anwar, Gita Dwi Prasasti, Dwi Handayani, Ahmad Ghiffari","doi":"10.5994/JEI.15.3.134","DOIUrl":"https://doi.org/10.5994/JEI.15.3.134","url":null,"abstract":"Penggunaan insektisida golongan piretroid secara luas dan terus menerus dalam pencegahan penularan malaria dapat menimbulkan mutasi gen voltage gate sodium channel (VGSC) pada vektor nyamuk yang dikenal dengan mutasi knockdown resistance (kdr). Mutasi gen ini membuat sensitifitas ikatan protein VGSC dengan insektisida menurun sehingga menyebabkan resistensi. Timbulnya resistensi insektisida piretroid pada nyamuk vektor dapat menjadi penghambat keberhasilan pemutusan penularan penyakit malaria sehingga deteksi adanya mutasi mutlak diperlukan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui status resistensi insektisida piretroid dan mengidentifikasi mutasi pada gen VGSC kodon 1014 penanda resistensi nyamuk Anopheles sp. yang menjadi vektor malaria di Provinsi Sumatera Selatan. Sampel diambil di tiga Kabupaten, yaitu Muara Enim, Ogan Komering Ulu (OKU), dan Lahat. Uji awal kerentanan terhadap insektisida piretroid (permetrin 0,75%) dilakukan sesuai standar WHO tahun 2016 pada spesies dominan, yaitu Anopheles vagus Dönitz. Selanjutnya, identifikasi mutasi gen VGSC pada kodon 1014 dilakukan pada An. vagus dan spesies Anopheles barbirostris van der Wulp yang tertangkap, dengan teknik seminested-PCR dan dilanjutkan dengan analisis sekuensing. Hasil uji kerentanan Anopheles sp. di Kabupaten Muara Enim menunjukkan resisten terhadap piretroid, sedangkan di Kabupaten Lahat dan OKU masih rentan terhadap insektisida piretroid. Sementara, analisis sekuensing PCR menunjukkan tidak terjadi perubahan basa alel kdr pada target site insektisida gen VGSC sehingga dapat disimpulkan secara molekuler belum ditemukan adanya mutasi pada gen VGSC kdr allel penanda resistensi insektisida piretroid. ","PeriodicalId":31609,"journal":{"name":"Jurnal Entomologi Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48012542","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
S. Sugiarto, Chandradewana Boer, Djumali Mardji, Liris Lis Komara
Kumbang sungut panjang (longhorn beetle) (Coleoptera: Cerambycidae) adalah kelompok serangga yang terdiri atas banyak spesies dan bernilai penting secara ekonomi, berasosiasi dengan beragam spesies tumbuhan inang dan merupakan famili kumbang yang paling terkenal. Kehadiran famili ini di Hutan Lindung Wehea (HLW), Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur belum pernah dilaporkan sehingga tulisan ini adalah informasi pertama mengenai keanekaragaman spesies kumbang sungut panjang di HLW. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman spesies, spesies yang dominan, subdominan dan kemerataan penyebaran individu kumbang sungut panjang Famili Cerambycidae di HLW. Kumbang ditangkap dengan menggunakan perangkap malaise dan perangkap dari daun nangka (Artocarpus heterophyllus) di dalam plot penelitian berukuran 20 m x 100 m (0,2 ha). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman Simpson adalah sebesar 0,93 (keanekaragaman tinggi). Di antara 42 spesies yang ditemukan, 6 spesies termasuk dominan, 8 spesies subdominan, dan 28 spesies tidak dominan. Spesies yang dominan adalah Epepeotes spinosus (Thomson), E. luscus (Fabricius), Acalolepta rusticatrix (Fabricius), Ropica quadricristata (Breuning), Pterolophia melanura Pascoe, dan Egesina (Callienispia) minuta (Fisher). Indeks kemerataan Simpson (E) adalah sebesar 0,36 (penyebaran individu masing-masing spesies tidak merata).
{"title":"Keanekaragaman kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di Hutan Lindung Wehea, Kalimantan Timur","authors":"S. Sugiarto, Chandradewana Boer, Djumali Mardji, Liris Lis Komara","doi":"10.5994/JEI.15.3.166","DOIUrl":"https://doi.org/10.5994/JEI.15.3.166","url":null,"abstract":"Kumbang sungut panjang (longhorn beetle) (Coleoptera: Cerambycidae) adalah kelompok serangga yang terdiri atas banyak spesies dan bernilai penting secara ekonomi, berasosiasi dengan beragam spesies tumbuhan inang dan merupakan famili kumbang yang paling terkenal. Kehadiran famili ini di Hutan Lindung Wehea (HLW), Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur belum pernah dilaporkan sehingga tulisan ini adalah informasi pertama mengenai keanekaragaman spesies kumbang sungut panjang di HLW. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman spesies, spesies yang dominan, subdominan dan kemerataan penyebaran individu kumbang sungut panjang Famili Cerambycidae di HLW. Kumbang ditangkap dengan menggunakan perangkap malaise dan perangkap dari daun nangka (Artocarpus heterophyllus) di dalam plot penelitian berukuran 20 m x 100 m (0,2 ha). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman Simpson adalah sebesar 0,93 (keanekaragaman tinggi). Di antara 42 spesies yang ditemukan, 6 spesies termasuk dominan, 8 spesies subdominan, dan 28 spesies tidak dominan. Spesies yang dominan adalah Epepeotes spinosus (Thomson), E. luscus (Fabricius), Acalolepta rusticatrix (Fabricius), Ropica quadricristata (Breuning), Pterolophia melanura Pascoe, dan Egesina (Callienispia) minuta (Fisher). Indeks kemerataan Simpson (E) adalah sebesar 0,36 (penyebaran individu masing-masing spesies tidak merata).","PeriodicalId":31609,"journal":{"name":"Jurnal Entomologi Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46645744","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
A. K. Dewi, H. Triwidodo, M. Chozin, H. Aswidinnoor
A field study was carried out to assess the effects of mixed cultivar plantings on grain yields and on the abundance of pests in rice. Increasing plantation species diversity through cultivar mixtures is often claimed to decrease pest problems while stabilizing or even increasing yield, but the effects on pest abundance of planting rice cultivar mixtures in Indonesia have not been extensively studied. We tested for changes in pest abundance in experimental plots planted with five genetically distinct rice cultivars, combined in two different mixture arrangements (seed mix and row mix). These mixes were cultivated in lowland paddy areas, in replicated randomized block designs, during two growing seasons. Pest abundance was measured weekly in all plots, and rice yields were measured at harvest time. The results showed that the average abundance of pests was reduced in plots planted with cultivar mixes, compared to those planted with monocrops comprised of each of the component cultivars. Plots planted with the seed mix showed consistently reduced brown plant-hopper (Nilaparvata lugens (Stål)) abundance compared to monocrops in each growing season, with a relative reduction in pest abundance of 29.83% at the end of season 1 and 6.61% at the end of season 2, respectively. Plots planted with the row mix consistently showed decreased stem borer abundance compared to monocrops in each growing season, with a relative reduction in pest abundance of 100% at the end of season 1 and 1.4% at the end of season 2, respectively. In terms of yield, plant height proved to be a consistent yield component character, correlating positively with plant yield for both seed mix and row mix in both growing seasons. Our results showed higher average yields –and plant heights--for the mixed genotype plots compared to pure genotype stands in 2013. We found a greater relative increase in the yield of seed mix plots than row mix, measuring 7.26% and 4.63%, respectively in 2013. Among the two types of mixtures, seed mix showed higher overall grain yield. Our findings suggest that rice farmers can both increase yield and decrease pest abundance by planting cultivar mixes.
{"title":"The effect of mixed cultivars plantings on pest abundance and grain yields in rice","authors":"A. K. Dewi, H. Triwidodo, M. Chozin, H. Aswidinnoor","doi":"10.5994/JEI.15.2.101","DOIUrl":"https://doi.org/10.5994/JEI.15.2.101","url":null,"abstract":"A field study was carried out to assess the effects of mixed cultivar plantings on grain yields and on the abundance of pests in rice. Increasing plantation species diversity through cultivar mixtures is often claimed to decrease pest problems while stabilizing or even increasing yield, but the effects on pest abundance of planting rice cultivar mixtures in Indonesia have not been extensively studied. We tested for changes in pest abundance in experimental plots planted with five genetically distinct rice cultivars, combined in two different mixture arrangements (seed mix and row mix). These mixes were cultivated in lowland paddy areas, in replicated randomized block designs, during two growing seasons. Pest abundance was measured weekly in all plots, and rice yields were measured at harvest time. The results showed that the average abundance of pests was reduced in plots planted with cultivar mixes, compared to those planted with monocrops comprised of each of the component cultivars. Plots planted with the seed mix showed consistently reduced brown plant-hopper (Nilaparvata lugens (Stål)) abundance compared to monocrops in each growing season, with a relative reduction in pest abundance of 29.83% at the end of season 1 and 6.61% at the end of season 2, respectively. Plots planted with the row mix consistently showed decreased stem borer abundance compared to monocrops in each growing season, with a relative reduction in pest abundance of 100% at the end of season 1 and 1.4% at the end of season 2, respectively. In terms of yield, plant height proved to be a consistent yield component character, correlating positively with plant yield for both seed mix and row mix in both growing seasons. Our results showed higher average yields –and plant heights--for the mixed genotype plots compared to pure genotype stands in 2013. We found a greater relative increase in the yield of seed mix plots than row mix, measuring 7.26% and 4.63%, respectively in 2013. Among the two types of mixtures, seed mix showed higher overall grain yield. Our findings suggest that rice farmers can both increase yield and decrease pest abundance by planting cultivar mixes.","PeriodicalId":31609,"journal":{"name":"Jurnal Entomologi Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-08","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46867366","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Yani Maharani, P. Hidayat, Aunu Rauf, Nina Maryana
Kutudaun (Hemiptera: Aphididae) merupakan hama penting pada tanaman budi daya. Sebagian besar kutudaun berperan sebagai hama dan vektor virus penyakit tanaman, terutama pada tanaman hortikultura. Gulma yang tumbuh di sekitar tanaman budi daya dapat berperan sebagai alternatif inang bagi kutudaun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui spesies kutudaun yang berasosiasi pada gulma di sekitar tanaman budi daya di Jawa Barat dan membuat kunci untuk identifikasi. Kutudaun yang diidentifikasi berasal dari 13 spesies (5 famili) gulma di 9 kabupaten atau kota di Jawa Barat. Identifikasi kutudaun dilakukan berdasarkan karakter morfologi imago kutudaun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kutudaun yang ditemukan berasosiasi dengan gulma di sekitar tanaman budi daya di Jawa Barat ada 12 spesies. Tiga di antara 12 spesies kutudaun yang ditemukan itu, belum pernah dilaporkan keberadaannya di Jawa Barat. Ketiga spesies itu, ialah Epameibaphis frigidae (Oestlund), Metopolophium dirhodum (Walker), dan Pseudaphis sijui (Eastop). Spesies kutudaun yang paling banyak ditemukan ialah Schizaphis graminum (Rondani) yang hidup di gulma Eleusine indica (rumput belulang).
{"title":"Kutudaun (Hemiptera: Aphididae) pada gulma di sekitar lahan pertanian di Jawa Barat beserta kunci identifikasinya","authors":"Yani Maharani, P. Hidayat, Aunu Rauf, Nina Maryana","doi":"10.5994/JEI.15.2.68","DOIUrl":"https://doi.org/10.5994/JEI.15.2.68","url":null,"abstract":"Kutudaun (Hemiptera: Aphididae) merupakan hama penting pada tanaman budi daya. Sebagian besar kutudaun berperan sebagai hama dan vektor virus penyakit tanaman, terutama pada tanaman hortikultura. Gulma yang tumbuh di sekitar tanaman budi daya dapat berperan sebagai alternatif inang bagi kutudaun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui spesies kutudaun yang berasosiasi pada gulma di sekitar tanaman budi daya di Jawa Barat dan membuat kunci untuk identifikasi. Kutudaun yang diidentifikasi berasal dari 13 spesies (5 famili) gulma di 9 kabupaten atau kota di Jawa Barat. Identifikasi kutudaun dilakukan berdasarkan karakter morfologi imago kutudaun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kutudaun yang ditemukan berasosiasi dengan gulma di sekitar tanaman budi daya di Jawa Barat ada 12 spesies. Tiga di antara 12 spesies kutudaun yang ditemukan itu, belum pernah dilaporkan keberadaannya di Jawa Barat. Ketiga spesies itu, ialah Epameibaphis frigidae (Oestlund), Metopolophium dirhodum (Walker), dan Pseudaphis sijui (Eastop). Spesies kutudaun yang paling banyak ditemukan ialah Schizaphis graminum (Rondani) yang hidup di gulma Eleusine indica (rumput belulang).","PeriodicalId":31609,"journal":{"name":"Jurnal Entomologi Indonesia","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-12-09","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45674360","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}