Pub Date : 2018-07-05DOI: 10.21043/riwayah.v3i1.3435
M. Misbah, Muhammad Mibahs
Artikel ini membahas tentang hadis mukhtalif dan pengaruhnya terhadap hukum fikih. Hadis mukhtalif adalah hadis-hadis yang secara lahirnya nampak kontradiktif. Bila ada dua hadis yang terlihat kontradiktif, maka itu bisa diselesaikan dengan menyelesaikan kontradiksi antar hadis ini dengan memakai teori ilmu muktalif hadis. Dalam ilmu muktalif hadis, mengkompromikan keduanya (al-jam’u wa at-taufîq). Alternatif kedua adalah metode nasakh, alternatif yang ketiga dengan metode tarjih. Bila ketiga metode itu tidak dapat menyelesaikan, maka opsi terakhir adalah bertawaqquf. Adapun sampel yang digunakan dalam artikel ini adalah kasus haid dalam kitab Bidãyatul Mujtahid. Hasilnya, adanya hadis-hadis mukhtalifberimplikasi terhadap perbedaan pendapat para ulama.
This article deals with mukhtalif hadith and its effect on the juristic law. Mukhtalif Hadiths are traditions that has appeared contradictory since it emerged. If there are two contradictory hadiths, then that can be solved by resolving the contradictions between these hadiths by using the theory of muktalif science of hadith. In the muktalif science of hadith, it compromised both (al-jam’u wa at-taufîq). The second alternative is the nasakh method, the third alternative is the tarjih method. If all three methods can not solve the problems, then the last option is doing tawaqquf. The sample used in this article is a case of menstruation in the book Bidãyatul Mujtahid. As a result, the existence of mukhtalif traditions has implications on the differences among scholars.
这篇文章讨论了穆克塔利夫的《圣训》及其对纤维律法的影响。穆赫塔利夫是一个先天矛盾的圣训。如果有两个圣训似乎矛盾,那么它可以通过使用圣训理论来解决圣训之间的矛盾。在神秘学圣术中,对双方都妥协了(al-jam - o - taufiq)第二种方法是nasakh方法,第三种是tarjih方法。如果这三种方法不能解决问题,最后一个选项是问题。至于这篇文章中使用的样本是月经的谎言Mujtahid书中的例子。其结果是,在神职人员的分歧中存在了哈迪斯-哈迪斯·穆夫利夫。这篇关于反复无常的布道及其对司法影响的文章。muhtalif的传统自即日起就出现了。如果有两种传统的圣训,那么它可以通过使用圣训的信仰来解决这些圣训之间的矛盾。在圣训的尖端科学中,它比较了两者。第二种选择是nasakh的方法,第三种选择是tarjih的方法。如果三种方法都不能解决这个问题,那么最后一种选择就是tawaqquf。这篇文章中使用的样本是月经期间的症状。作为一种参考,信仰的存在在学者们的分歧中留下了印记。
{"title":"Hadits Mukhtalif dan Pengaruhnya terhadap Hukum Fikih: Studi Kasus Haid dalam Kitab Bidãyatul Mujtahid","authors":"M. Misbah, Muhammad Mibahs","doi":"10.21043/riwayah.v3i1.3435","DOIUrl":"https://doi.org/10.21043/riwayah.v3i1.3435","url":null,"abstract":"<p class=\"06IsiAbstrak\"><span lang=\"EN-GB\">Artikel ini membahas tentang hadis <em>mukhtalif</em> dan pengaruhnya terhadap hukum fikih. Hadis <em>mukhtalif</em> adalah hadis-hadis yang secara lahirnya nampak kontradiktif. Bila ada dua hadis yang terlihat kontradiktif, maka itu bisa diselesaikan dengan menyelesaikan kontradiksi antar hadis ini dengan memakai teori ilmu muktalif hadis. Dalam ilmu muktalif hadis, mengkompromikan keduanya (</span><em><span lang=\"EN-GB\">al-jam’u wa at-taufîq</span></em><span lang=\"EN-GB\">). Alternatif kedua adalah metode nasakh, alternatif yang ketiga dengan metode tarjih. Bila ketiga metode itu tidak dapat menyelesaikan, maka opsi terakhir adalah bertawaqquf. Adapun sampel yang digunakan dalam artikel ini adalah kasus haid dalam kitab Bidãyatul Mujtahid. Hasilnya, adanya hadis-hadis <em>mukhtalif</em>berimplikasi terhadap perbedaan pendapat para ulama.</span></p><p class=\"06IsiAbstrak\"><span lang=\"EN-GB\">This article deals with <em>mukhtalif</em> hadith and its effect on the juristic law. <em>Mukhtalif</em> Hadiths are traditions that has appeared contradictory since it emerged. If there are two contradictory hadiths, then that can be solved by resolving the contradictions between these hadiths by using the theory of muktalif science of hadith. In the muktalif science of hadith, it compromised both (</span><em><span lang=\"EN-GB\">al-jam’u wa at-taufîq</span></em><span lang=\"EN-GB\">). The second alternative is the nasakh method, the third alternative is the tarjih method. If all three methods can not solve the problems, then the last option is doing <em>tawaqquf</em>. The sample used in this article is a case of menstruation in the book Bidãyatul Mujtahid. As a result, the existence of <em>mukhtalif</em> traditions has implications on the differences among scholars.</span></p><p class=\"06IsiAbstrak\"><span lang=\"EN-GB\"><br /></span></p>","PeriodicalId":31822,"journal":{"name":"Riwayah Jurnal Studi Hadis","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-07-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"75503174","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-07-05DOI: 10.21043/riwayah.v3i1.3440
Zulham Qudsi Farizal Alam
Tulisan ini dibuat dengan maksud untuk mengkaji kebenaran dari mitos-mitos yang dimunculkan oleh orang jawa. Mitos memiliki kaitan yang sangat erat dengan budaya masyarakat jawa karena budaya jawa selalu mengangkat mitos dalam ritual-ritual yang dilaksanakan. Di sisi lain ada hadis yang selaras dengan beberapa yang dipercayai oleh orang jawa. Mitos wewe gombel dan rizki yang dipatuk ayam menjadi obyek yang menarik untuk dikaji, dengan harapan ditemukannya kaharmonisan antara hadis Nabi dengan mitos-mitos jawa. Pada akhirnya, mitos jawa tidak selalunnya harmonis dengan Hadis Nabi SAW.This paper was created with the intention to examine the truth of the myths raised by the Javanese. Myths have a very close relationship with Javanese culture because Javanese culture always lift the myth in the rituals that are implemented. On the other hand there are hadiths that are in harmony with some Javanese beliefs. Myths wewe gombel and rizki pecked chicken is one example of the myth of Javanese society who have sides of philosophical teachings and interesting to be studied. Actually there is harmony between the hadith with the targeted meaning of myth. But that needs to be underlined is the myth of Java is not always harmonious with the Hadith of the Prophet SAW
{"title":"Hadis dan Mitos Jawa","authors":"Zulham Qudsi Farizal Alam","doi":"10.21043/riwayah.v3i1.3440","DOIUrl":"https://doi.org/10.21043/riwayah.v3i1.3440","url":null,"abstract":"Tulisan ini dibuat dengan maksud untuk mengkaji kebenaran dari mitos-mitos yang dimunculkan oleh orang jawa. Mitos memiliki kaitan yang sangat erat dengan budaya masyarakat jawa karena budaya jawa selalu mengangkat mitos dalam ritual-ritual yang dilaksanakan. Di sisi lain ada hadis yang selaras dengan beberapa yang dipercayai oleh orang jawa. Mitos wewe gombel dan rizki yang dipatuk ayam menjadi obyek yang menarik untuk dikaji, dengan harapan ditemukannya kaharmonisan antara hadis Nabi dengan mitos-mitos jawa. Pada akhirnya, mitos jawa tidak selalunnya harmonis dengan Hadis Nabi SAW.This paper was created with the intention to examine the truth of the myths raised by the Javanese. Myths have a very close relationship with Javanese culture because Javanese culture always lift the myth in the rituals that are implemented. On the other hand there are hadiths that are in harmony with some Javanese beliefs. Myths wewe gombel and rizki pecked chicken is one example of the myth of Javanese society who have sides of philosophical teachings and interesting to be studied. Actually there is harmony between the hadith with the targeted meaning of myth. But that needs to be underlined is the myth of Java is not always harmonious with the Hadith of the Prophet SAW","PeriodicalId":31822,"journal":{"name":"Riwayah Jurnal Studi Hadis","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-07-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"81345522","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-07-05DOI: 10.21043/riwayah.v3i1.3464
Saifudin Saifudin
Manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial yang bersaudara satu dengan lainnya (ukhuwa). Berawal dari tingkat sosial terkecil (keluarga) dan berkembang dalam lingkungan yang lebih besar- dari sosial tingkat dasar sampai dengan tingkatan pemerintah, semua berhubungan dengan letak dasar keluarga. Solidaritas sosial yang ada belum mampu menunjukkan ikatan sosial dalam bentuk ikatan ideologi, agama atau hubungan manusia dengan sesama dalam lingkup bernegara.
Dengan memahami hadis ukhuwa, studi ini diharapkan mampu memberikan pandangan sosial yang berhubungan dengan ukhuwa dalam dunia virtual, pada sosial masyarakat industri yang sangat modern yang mana arus informasi berubah sangat cepat dari berbagai penjuru dunia. Ukhuwa dibangun dengan tiga pilar utama, pertama, simpati, tanggung jawab moral dan solidaritas sosial. Pilar- pilar tersebut seakan sudah terlaksana dalam aspek kehidupan. Akan tetapi, pilar-pilat tersebut akan berbeda dengan kenyataan jika dalam lingkup virtual.
The birth of the brotherhood (ukhuwa) was inspired by the human existences as social human being. The human was born from the most little social institution (family) and than to be grown in the biggest environment- from the basic society level until the governmental level, all of which rest on family ties. Solidarity shown by society in a social sphere, shows that there are many social engagement that cannot be separated either in the name of ideology, religion, or a formal relationship between the members in a country.With understanding to hadith of ukhuwa, this study has found the sociological reality of interwoven ukhuwa in the virtual world, in an ultra modern industrial society which is changing very rapidly due to the current flood of information coming from all over the world. The ukhuwa building is supported by three important pillars, namely a sense of sympathy, moral commitment, and social solidarity. The pillars at a glance resemble to what happens in the real social world. However, the pillars are manifested in different forms in accordance with reality in virtual space.
{"title":"Memahami Hadis Ukhuwwah dalam Konteks Media Sosial (Upaya Membangun Etika Solidaritas Sosial)","authors":"Saifudin Saifudin","doi":"10.21043/riwayah.v3i1.3464","DOIUrl":"https://doi.org/10.21043/riwayah.v3i1.3464","url":null,"abstract":"<p class=\"06IsiAbstrak\"><span lang=\"EN-GB\">Manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial yang bersaudara satu dengan lainnya (<em>ukhuwa</em>). Berawal dari tingkat sosial terkecil (keluarga) dan berkembang dalam lingkungan yang lebih besar- dari sosial tingkat dasar sampai dengan tingkatan pemerintah, semua berhubungan dengan letak dasar keluarga. Solidaritas sosial yang ada belum mampu menunjukkan ikatan sosial dalam bentuk ikatan ideologi, agama atau hubungan manusia dengan sesama dalam lingkup bernegara. </span></p><p class=\"06IsiAbstrak\"><span lang=\"EN-GB\">Dengan memahami hadis <em>ukhuwa</em>, studi ini diharapkan mampu memberikan pandangan sosial yang berhubungan dengan <em>ukhuwa </em> dalam dunia virtual, pada sosial masyarakat industri yang sangat modern yang mana arus informasi berubah sangat cepat dari berbagai penjuru dunia. <em>Ukhuwa </em>dibangun dengan tiga pilar utama, pertama, simpati, tanggung jawab moral dan solidaritas sosial. Pilar- pilar tersebut seakan sudah terlaksana dalam aspek kehidupan. Akan tetapi, pilar-pilat tersebut akan berbeda dengan kenyataan jika dalam lingkup virtual.</span></p><p class=\"06IsiAbstrak\"><span lang=\"EN-GB\">The birth of the brotherhood (ukhuwa) was inspired by the human existences as social human being. The human was born from the most little social institution (family) and than to be grown in the biggest environment- from the basic society level until the governmental level, all of which rest on family ties. Solidarity shown by society in a social sphere, shows that there are many social engagement that cannot be separated either in the name of ideology, religion, or a formal relationship between the members in a country.With understanding to hadith of <em>ukhuwa, </em>this study has found the sociological reality of interwoven ukhuwa in the virtual world, in an ultra modern industrial society which is changing very rapidly due to the current flood of information coming from all over the world. The ukhuwa building is supported by three important pillars, namely a sense of sympathy, moral commitment, and social solidarity. The pillars at a glance resemble to what happens in the real social world. However, the pillars are manifested in different forms in accordance with reality in virtual space.</span></p><p class=\"06IsiAbstrak\"><span lang=\"EN-GB\"><br /></span></p>","PeriodicalId":31822,"journal":{"name":"Riwayah Jurnal Studi Hadis","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-07-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"79766762","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-07-05DOI: 10.21043/riwayah.v3i1.3437
N. Said
Pandangan dunia (world view) umat Islam banyak dipengaruhi oleh Sunnah Nabi disamping tentu Al Qur’an sebagai sumber utama dalam Islam. Demikian juga dalam menyikapi kekayaan dan kemiskinan dalam orientasi hidup umat Islam. Artikel ini akan melakukaan telaah kritis atas doktrin hadis sebagai produk sunnah Nabi terkait implikasi kekayaan (harta) antara kelompok miskin/fakir dan kaya yang termaktub dalam sejumlah hadis terkait. Sebagai bagian dari proses takhrij, maka di dalamnya menganalisis kebersambungan sanad, kualitas individu perawi, hingga telaah matan. Kesimpulannya menunjukkan hadis terkait implikasi perenial dalam tahapan hisab ditemukan semua sanad yang muttas}il dan terhindar dari syaz| dan ’illat, sehingga sanad hadis ini adalah muttas}il-marfu‘, artinya sifat-sifat yang ada pada sanad dan cara periwatannya bersambung sampai kepada Nabi SAW. Dalam telaah perbandingan atas hadis yang hampir serupa dan memiliki informasi keadaan sosio-historis menunjukkan penegasan bahwa tahapan hisab (hari perhitungan) adalah suatu proses eskatologis yang dilewati setiap hamba. Bukan faktor fakir atau kaya yang menentukan seseorang masuk surga, tetapi untuk apa kekayaan tersebut dimanfaatkan bagi kehidupan yang bersifat perenialis.
{"title":"Implikasi Perenial Kekayaan dalam Sunnah Nabi","authors":"N. Said","doi":"10.21043/riwayah.v3i1.3437","DOIUrl":"https://doi.org/10.21043/riwayah.v3i1.3437","url":null,"abstract":"Pandangan dunia (world view) umat Islam banyak dipengaruhi oleh Sunnah Nabi disamping tentu Al Qur’an sebagai sumber utama dalam Islam. Demikian juga dalam menyikapi kekayaan dan kemiskinan dalam orientasi hidup umat Islam. Artikel ini akan melakukaan telaah kritis atas doktrin hadis sebagai produk sunnah Nabi terkait implikasi kekayaan (harta) antara kelompok miskin/fakir dan kaya yang termaktub dalam sejumlah hadis terkait. Sebagai bagian dari proses takhrij, maka di dalamnya menganalisis kebersambungan sanad, kualitas individu perawi, hingga telaah matan. Kesimpulannya menunjukkan hadis terkait implikasi perenial dalam tahapan hisab ditemukan semua sanad yang muttas}il dan terhindar dari syaz| dan ’illat, sehingga sanad hadis ini adalah muttas}il-marfu‘, artinya sifat-sifat yang ada pada sanad dan cara periwatannya bersambung sampai kepada Nabi SAW. Dalam telaah perbandingan atas hadis yang hampir serupa dan memiliki informasi keadaan sosio-historis menunjukkan penegasan bahwa tahapan hisab (hari perhitungan) adalah suatu proses eskatologis yang dilewati setiap hamba. Bukan faktor fakir atau kaya yang menentukan seseorang masuk surga, tetapi untuk apa kekayaan tersebut dimanfaatkan bagi kehidupan yang bersifat perenialis.","PeriodicalId":31822,"journal":{"name":"Riwayah Jurnal Studi Hadis","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-07-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"89765993","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-06-18DOI: 10.21043/riwayah.v4i1.2843
Muhammad Izzul Haq Zain
Di era kini, desain grafis merupakan disiplin ilmu yang populer dan sangat dibutuhkan dalam berbagai hal. Banyak orang yang mempelajari ilmu ini baik melalui sekolah, kursus, atau bahkan otodidak. Dewasa ini, desain grafis identik dengan menggambar menggunakan software-software dalam media elektronik. Kegiatan ini tentunya tak lepas dari kegiatan menggambar, tak terkecuali menggambar makhluk bernyawa. Dalam Islam, terdapat beberapa hadist yang berisi pelarangan membuat gambar makhluk bernyawa. Mengenai hal ini, para ulama’ memiliki pendapat yang berbeda-beda. Ada yang melarang secara mutlak melarang, dan ada juga yang memperbolehkan. Adanya pelarangan ini menimbulkan keraguan bagi para desainer Muslim yang biasa menggambar makhluk bernyawa. Padahal kebanyakan dari mereka menggantungkan hidupnya pada pekerjaan tersebut. Artikel ini akan mencoba membahas hadist larangan menggambar dengan melakukan kontekstualisasi melalui pendekatan antropologis. Kontekstualisasi ini sangat penting, mengingat terdapat perbedaan kondisi sosial, budaya, politik, dan sistem nilai pada zaman Rasulullah dengan zaman sekarang. Selain itu, adanya perbedaan waktu dan tempat antara Arab dengan wilayah selain Arab melahirkan perbedaan konteks, sehingga perlu diadakan pemahaman secara kontekstual. Jika melihat kondisi pada masa Nabi, masyarakat Arab masih berada dalam masa transisi dari kepercayaan animisme dan politeisme menuju kepercayaan monoteisme, sehingga larangan menggambar sangat masuk akal. Kemungkinan hal tersebut bertujuan untuk menjauhkan masyarakat Arab dari kebiasaan menyembah patung, gambar, dan semacamnya. Dari hal ini dapat diketahui bahwa ‘illat hukum larangan menggambar adalah belum hilangnya kebiasaan menyembah patung dan semacamnya. Pada masa sekarang, masyarakat lebih mengedepankan nilai-nilai estetika dalam memandang karya seni seperti patung dan lukisan. Dengan kata lain, masyarakat sekarang sudah tidak dikhawatirkan lagi untuk terjerumus terhadap penyembahan terhadap patung dan gambar. Oleh karena itu, apabila mengacu pada kaidah al-Hukmu Yaduru Ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman, maka hukum menggambar di masa sekarang adalah boleh. Hal ini dikarenakan ‘illat hukum dari larangan menggambar telah hilang. Dengan kata lain, mengingat desain grafis memiliki keserupaan dengan menggambar, maka hukum desain grafis di masa sekarang juga diperbolehkan.
{"title":"Kontekstualisasi Hadis Larangan Menggambar Dengan Desain Grafis","authors":"Muhammad Izzul Haq Zain","doi":"10.21043/riwayah.v4i1.2843","DOIUrl":"https://doi.org/10.21043/riwayah.v4i1.2843","url":null,"abstract":"Di era kini, desain grafis merupakan disiplin ilmu yang populer dan sangat dibutuhkan dalam berbagai hal. Banyak orang yang mempelajari ilmu ini baik melalui sekolah, kursus, atau bahkan otodidak. Dewasa ini, desain grafis identik dengan menggambar menggunakan software-software dalam media elektronik. Kegiatan ini tentunya tak lepas dari kegiatan menggambar, tak terkecuali menggambar makhluk bernyawa. Dalam Islam, terdapat beberapa hadist yang berisi pelarangan membuat gambar makhluk bernyawa. Mengenai hal ini, para ulama’ memiliki pendapat yang berbeda-beda. Ada yang melarang secara mutlak melarang, dan ada juga yang memperbolehkan. Adanya pelarangan ini menimbulkan keraguan bagi para desainer Muslim yang biasa menggambar makhluk bernyawa. Padahal kebanyakan dari mereka menggantungkan hidupnya pada pekerjaan tersebut. Artikel ini akan mencoba membahas hadist larangan menggambar dengan melakukan kontekstualisasi melalui pendekatan antropologis. Kontekstualisasi ini sangat penting, mengingat terdapat perbedaan kondisi sosial, budaya, politik, dan sistem nilai pada zaman Rasulullah dengan zaman sekarang. Selain itu, adanya perbedaan waktu dan tempat antara Arab dengan wilayah selain Arab melahirkan perbedaan konteks, sehingga perlu diadakan pemahaman secara kontekstual. Jika melihat kondisi pada masa Nabi, masyarakat Arab masih berada dalam masa transisi dari kepercayaan animisme dan politeisme menuju kepercayaan monoteisme, sehingga larangan menggambar sangat masuk akal. Kemungkinan hal tersebut bertujuan untuk menjauhkan masyarakat Arab dari kebiasaan menyembah patung, gambar, dan semacamnya. Dari hal ini dapat diketahui bahwa ‘illat hukum larangan menggambar adalah belum hilangnya kebiasaan menyembah patung dan semacamnya. Pada masa sekarang, masyarakat lebih mengedepankan nilai-nilai estetika dalam memandang karya seni seperti patung dan lukisan. Dengan kata lain, masyarakat sekarang sudah tidak dikhawatirkan lagi untuk terjerumus terhadap penyembahan terhadap patung dan gambar. Oleh karena itu, apabila mengacu pada kaidah al-Hukmu Yaduru Ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman, maka hukum menggambar di masa sekarang adalah boleh. Hal ini dikarenakan ‘illat hukum dari larangan menggambar telah hilang. Dengan kata lain, mengingat desain grafis memiliki keserupaan dengan menggambar, maka hukum desain grafis di masa sekarang juga diperbolehkan.","PeriodicalId":31822,"journal":{"name":"Riwayah Jurnal Studi Hadis","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-06-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"86607336","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-06-18DOI: 10.21043/riwayah.v4i1.2815
A. Amrulloh
In the context of Islamic education or tarbawī Ḥadīth in the writings that exist on the internet, many expressions spoken by other than the Prophet are shown as the Ḥadīth of the Prophet, as many of the sayings are also propounded to the Prophet but have no origin. That is pseudo- Ḥadīth about Islamic education. Unfortunately, the reality is less even sometimes not realized at all by the public. This research is one of the forms and efforts so that pseudo- Ḥadīth can be realized and can’t be widespread more. Here the author intends to reveal the pseudo-Ḥadīth about Islamic education and it’s spread on the internet. To arrive at the intended purpose, here the author applies descriptive-analytical method using takhrīj approach. This study proves that a number of pseudo-hadiths about Islamic education are widespread in writings that exist on the internet.
{"title":"Pseudo-Hadis Seputar Pendidikan Islam dan Sebarannya di Internet","authors":"A. Amrulloh","doi":"10.21043/riwayah.v4i1.2815","DOIUrl":"https://doi.org/10.21043/riwayah.v4i1.2815","url":null,"abstract":"In the context of Islamic education or tarbawī Ḥadīth in the writings that exist on the internet, many expressions spoken by other than the Prophet are shown as the Ḥadīth of the Prophet, as many of the sayings are also propounded to the Prophet but have no origin. That is pseudo- Ḥadīth about Islamic education. Unfortunately, the reality is less even sometimes not realized at all by the public. This research is one of the forms and efforts so that pseudo- Ḥadīth can be realized and can’t be widespread more. Here the author intends to reveal the pseudo-Ḥadīth about Islamic education and it’s spread on the internet. To arrive at the intended purpose, here the author applies descriptive-analytical method using takhrīj approach. This study proves that a number of pseudo-hadiths about Islamic education are widespread in writings that exist on the internet.","PeriodicalId":31822,"journal":{"name":"Riwayah Jurnal Studi Hadis","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-06-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"80943857","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-06-18DOI: 10.21043/riwayah.v4i1.3387
Anisa Listiana
Tulisan ini fokusnya adalah pada pertanyaan-pertanyaan seperti ‘apa status hadis sebagai fundamental agama dalam Islam?' menurut para sarjana Barat, bukan cendekiawan Muslim. Begitu juga pendekatan para sarjana Barat akan dianalisis secara kritis. Juga poin-poin tertentu pada awal studi hadis di dunia Barat dan sekilas tentang perjalanan sejarahnya akan dibahas. Apa motif yang mendorong para sarjana Barat untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam dan khususnya disiplin hadis: hasrat yang tulus untuk belajar atau kritik destruktif? Studi ini akan mencoba untuk menentukan apakah upaya-upaya ini berasal dari tujuan yang direncanakan atau rasa ingin mendapatkan pengetahuan.Di mata sebagian besar cendekiawan Barat, hadits bukanlah realitas yang terhubung dengan Nabi. Sementara beberapa dari mereka melihat hadits sebagai penggunaan umum, kebiasaan, kebiasaan dan tradisi, yang lain menegaskan hadits adalah fenomena yang ditempa dari abad ke-2 H dalam kaitannya dengan motivasi sosio-politik tertentu. Bertentangan dengan pendekatan para cendekiawan Muslim, yang berpendapat untuk korelasi unik antara Al-Qur'an dan hadis, para sarjana Barat terus-menerus menjauhkan diri dari membangun jenis hubungan apa pun antara keduanya, dan berfokus terutama pada meningkatkan keraguan melalui kritik yang meremehkan. Pekerjaan dan penelitian yang dilakukan dalam hal ini telah membuat dunia Barat dan Muslim sibuk selama bertahun-tahun, dan ini masih berlanjut sampai batas tertentu.
{"title":"Pikiran Dan Penilaian Atas Hadis Pada Zaman Kontemporer Kesarjanaan Barat","authors":"Anisa Listiana","doi":"10.21043/riwayah.v4i1.3387","DOIUrl":"https://doi.org/10.21043/riwayah.v4i1.3387","url":null,"abstract":"Tulisan ini fokusnya adalah pada pertanyaan-pertanyaan seperti ‘apa status hadis sebagai fundamental agama dalam Islam?' menurut para sarjana Barat, bukan cendekiawan Muslim. Begitu juga pendekatan para sarjana Barat akan dianalisis secara kritis. Juga poin-poin tertentu pada awal studi hadis di dunia Barat dan sekilas tentang perjalanan sejarahnya akan dibahas. Apa motif yang mendorong para sarjana Barat untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam dan khususnya disiplin hadis: hasrat yang tulus untuk belajar atau kritik destruktif? Studi ini akan mencoba untuk menentukan apakah upaya-upaya ini berasal dari tujuan yang direncanakan atau rasa ingin mendapatkan pengetahuan.Di mata sebagian besar cendekiawan Barat, hadits bukanlah realitas yang terhubung dengan Nabi. Sementara beberapa dari mereka melihat hadits sebagai penggunaan umum, kebiasaan, kebiasaan dan tradisi, yang lain menegaskan hadits adalah fenomena yang ditempa dari abad ke-2 H dalam kaitannya dengan motivasi sosio-politik tertentu. Bertentangan dengan pendekatan para cendekiawan Muslim, yang berpendapat untuk korelasi unik antara Al-Qur'an dan hadis, para sarjana Barat terus-menerus menjauhkan diri dari membangun jenis hubungan apa pun antara keduanya, dan berfokus terutama pada meningkatkan keraguan melalui kritik yang meremehkan. Pekerjaan dan penelitian yang dilakukan dalam hal ini telah membuat dunia Barat dan Muslim sibuk selama bertahun-tahun, dan ini masih berlanjut sampai batas tertentu.","PeriodicalId":31822,"journal":{"name":"Riwayah Jurnal Studi Hadis","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-06-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"82146103","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-06-18DOI: 10.21043/riwayah.v4i1.3118
W. Warsito
Populasi manusia terus bertambah. Dalam menghadapi ini, sebagian orang bersifat pesimis, mereka menuntut pengendalian pertumbuhan populasi. Mereka mengikuti pendapat Thomas Robert Malthus yang berpendapat bahwa pertumbuhan jumlah manusia tidak seimbang dengan pertumbuhan bahan pangan, sehingga akan mengancam keamanan manusia. Kelompok ini mulai mencanangkan program pengendalian populasi pendduduk. Di Indonesia, pemerintah mulai mencanangkan program KB dengan slogan dua anak cukup. Sebagian sarjana muslim juga mencari legimitasi untuk membenarkan program nasional. Mereka mencoba merekuntruksi pemahaman hadist yang menyarankan umat Islam untuk memiliki keturunan yang banyak. Bagaimana konteks hadist terhadap fakta hari ini. Makalah ini mencoba mengurai permasalahan populasi dengan kegiatan ekonomi. Bagaimana jumlah populasi yang besar mempengaruhi ekonomi sebuah Negara. Beberapa ahli yang bersebrangan dengan Malthus berpendapat bahwa persoalan pangan bisa diatasi dengan ilmu teknologi dan pengetahuan. Selain itu, jumlah penduduk yang banyak akan merangsang orang untuk aktif dan kreatif supaya bisa survive. Orang yang bersemangat seperti ini akan menggerakkan ekonomi dan meningkatkan produksi. Jumlah penduduk yang banyak juga akan meningkatan kebutahan barang dan jasa, sehingga roda ekonomi dan berputar. Fakta yang terjadi bahwa Negara yang memiliki pertumbuhana ekonomi yang tinggi adalah Negara dengan populasi yang besar seperti Amerika, China dan India. Sementara Negara maju yang memiliki populasi yang kecil terancam ekonomi mereka, sehingga mereka merangsang warga Negara untuk menikah dan memiliki keturunan di atas tiga anak. Dari fakta ini, maka hadist tentang anjuran memiliki banyak anak tetap sesuai dengan zaman.
{"title":"Hadist Perintah Memperbanyak Keturunan Tinjuan Textual dan Kontekstual dalam Prespektif Ekonomi","authors":"W. Warsito","doi":"10.21043/riwayah.v4i1.3118","DOIUrl":"https://doi.org/10.21043/riwayah.v4i1.3118","url":null,"abstract":"Populasi manusia terus bertambah. Dalam menghadapi ini, sebagian orang bersifat pesimis, mereka menuntut pengendalian pertumbuhan populasi. Mereka mengikuti pendapat Thomas Robert Malthus yang berpendapat bahwa pertumbuhan jumlah manusia tidak seimbang dengan pertumbuhan bahan pangan, sehingga akan mengancam keamanan manusia. Kelompok ini mulai mencanangkan program pengendalian populasi pendduduk. Di Indonesia, pemerintah mulai mencanangkan program KB dengan slogan dua anak cukup. Sebagian sarjana muslim juga mencari legimitasi untuk membenarkan program nasional. Mereka mencoba merekuntruksi pemahaman hadist yang menyarankan umat Islam untuk memiliki keturunan yang banyak. Bagaimana konteks hadist terhadap fakta hari ini. Makalah ini mencoba mengurai permasalahan populasi dengan kegiatan ekonomi. Bagaimana jumlah populasi yang besar mempengaruhi ekonomi sebuah Negara. Beberapa ahli yang bersebrangan dengan Malthus berpendapat bahwa persoalan pangan bisa diatasi dengan ilmu teknologi dan pengetahuan. Selain itu, jumlah penduduk yang banyak akan merangsang orang untuk aktif dan kreatif supaya bisa survive. Orang yang bersemangat seperti ini akan menggerakkan ekonomi dan meningkatkan produksi. Jumlah penduduk yang banyak juga akan meningkatan kebutahan barang dan jasa, sehingga roda ekonomi dan berputar. Fakta yang terjadi bahwa Negara yang memiliki pertumbuhana ekonomi yang tinggi adalah Negara dengan populasi yang besar seperti Amerika, China dan India. Sementara Negara maju yang memiliki populasi yang kecil terancam ekonomi mereka, sehingga mereka merangsang warga Negara untuk menikah dan memiliki keturunan di atas tiga anak. Dari fakta ini, maka hadist tentang anjuran memiliki banyak anak tetap sesuai dengan zaman.","PeriodicalId":31822,"journal":{"name":"Riwayah Jurnal Studi Hadis","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-06-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"83898785","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-06-18DOI: 10.21043/riwayah.v4i1.3492
Salmah Faatin
Saat ini muncul beragam problem dan kesenjangan dalam ranah realitas dan normativitas berhaji. Motif dan spiritualitas berhaji disinyalir telah keluar dari substansi pensyariatan haji. Penelitian ini bertujuan menemukan kembali substansi dan ideal moral hadis keutamaan berhaji secara normatif, serta menawarkan pemahaman hadis tentang keutamaan berhaji secara holistik sesuai dengan tujuan pensyariatannya. Pehamaman terhadap hadis secara holistik, selanjutnya, diharapkan dapat memperbaiki realitas berhaji, baik motif, ritualitas maupun spiritualitasnya. Penelitian ini akan menelusuri hadis-hadis tentang keutamaan berhaji secara tematis dan dianalisis dengan metode hermeneutika hadis, yang mencakup pemahaman terhadap aspek bahasa, pemahaman konteks historis, pengkorelasian secara tematik-komprehensif dan integral dari data lain, pemaknaan teks dengan menyarikan ide dasar, analisis dengan pendekatan sosial historis dan merelevansikannya dengan konteks saat ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ideal moral hadis keutamaan berhaji menghendaki adanya dampak perilaku sosial yang semakin membaik setelah berhaji, karena tolak ukur haji mabrur berada dalam ranah sosial, bukan pada banyaknya frekuensi berhaji yang akhir-akhir ini menjadi trend dan gaya hidup.
{"title":"Hadis Keutamaan Berhaji: Telaah Normativitas dan Realitas Pemaknaan Masyarakat Indonesia","authors":"Salmah Faatin","doi":"10.21043/riwayah.v4i1.3492","DOIUrl":"https://doi.org/10.21043/riwayah.v4i1.3492","url":null,"abstract":"Saat ini muncul beragam problem dan kesenjangan dalam ranah realitas dan normativitas berhaji. Motif dan spiritualitas berhaji disinyalir telah keluar dari substansi pensyariatan haji. Penelitian ini bertujuan menemukan kembali substansi dan ideal moral hadis keutamaan berhaji secara normatif, serta menawarkan pemahaman hadis tentang keutamaan berhaji secara holistik sesuai dengan tujuan pensyariatannya. Pehamaman terhadap hadis secara holistik, selanjutnya, diharapkan dapat memperbaiki realitas berhaji, baik motif, ritualitas maupun spiritualitasnya. Penelitian ini akan menelusuri hadis-hadis tentang keutamaan berhaji secara tematis dan dianalisis dengan metode hermeneutika hadis, yang mencakup pemahaman terhadap aspek bahasa, pemahaman konteks historis, pengkorelasian secara tematik-komprehensif dan integral dari data lain, pemaknaan teks dengan menyarikan ide dasar, analisis dengan pendekatan sosial historis dan merelevansikannya dengan konteks saat ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ideal moral hadis keutamaan berhaji menghendaki adanya dampak perilaku sosial yang semakin membaik setelah berhaji, karena tolak ukur haji mabrur berada dalam ranah sosial, bukan pada banyaknya frekuensi berhaji yang akhir-akhir ini menjadi trend dan gaya hidup.","PeriodicalId":31822,"journal":{"name":"Riwayah Jurnal Studi Hadis","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-06-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"87285909","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-06-18DOI: 10.21043/riwayah.v4i1.3206
Edi Bahtiar
Abstrak Penegasan sebuah hadis bahwa ulama’ sebagai warotsatul anbiya’ memberikan pengertian bahwa peran yang dipikul oleh ulama tidaklah ringan. Ulama mempuyai tanggung jawab untuk menyampaikan kandungan isi al-Quran, bahkan memberikan suri tauladan dalam mengamalkan ajaran al-Qur’an. Selain itu, ulama juga harus dapat memberikan penjelasan dan pemecahan mengenai problem yang dihadapi masyarakat, berdasarkan al-Quran.Dengan demikian, tidak boleh tidak, seorang ulama harus menjadi pemimpin dalam masyarakat, walaupun tentu saja tidak dapat menyamai prestasi Nabi dalam memimpin umat yang kita ketahui bahwasanya tidak ada pemisahan antara ulama dan umara’ (pemerintah). Namun jika kita tarik ke konteks keIndonesiaan, di mana kepemimpinan dipegang oleh pemerintah dan peran ulama tidak lagi sepenuhnya menjadi pemimpin masyarakat, maka antara keduanya harus ada kerjasama yang baik untuk mewujudkan kesejahteraan ummat.Ulama yang secara formal legalitas diakui keberadaannya oleh pemerintah Indonesia namun independen yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ada pertanyaan yang menggelitik. Apakah para ulama yang masuk dalam jajaran MUI sudah berperan aktif memecahkan problematika keagamaan maupun kebangsaan di Nusantara ini? Apakah keberadaan MUI sudah diakui sepenuhnya oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia sehingga MUI menjadi satu-satunya rujukan mereka saat mengalami problematika yang dimaksud?Sementara itu, fenomena maraknya stasiun televisi yang menayangkan program tausiyah keagamaan yang menampilkan para ulama’/ustadz sebagai narasumbernya menjadikan perlu adanya identifikasi ulang terkait dengan identitas seorang ulama. Bisakah mereka yang hanya karena tampil di televisi sebagai narasumber dalam acara talk show keagamaan disebut sebagai ulama? Belum lagi ada yang kemudian memasang tarif yang setara dengan pelaku seni di dunia entertainment.
{"title":"Aktualisasi Peran Ulama Sebagai Warasatul Anbiya Dalam Konteks Kehidupan Beragama Dan Bernegara","authors":"Edi Bahtiar","doi":"10.21043/riwayah.v4i1.3206","DOIUrl":"https://doi.org/10.21043/riwayah.v4i1.3206","url":null,"abstract":"Abstrak Penegasan sebuah hadis bahwa ulama’ sebagai warotsatul anbiya’ memberikan pengertian bahwa peran yang dipikul oleh ulama tidaklah ringan. Ulama mempuyai tanggung jawab untuk menyampaikan kandungan isi al-Quran, bahkan memberikan suri tauladan dalam mengamalkan ajaran al-Qur’an. Selain itu, ulama juga harus dapat memberikan penjelasan dan pemecahan mengenai problem yang dihadapi masyarakat, berdasarkan al-Quran.Dengan demikian, tidak boleh tidak, seorang ulama harus menjadi pemimpin dalam masyarakat, walaupun tentu saja tidak dapat menyamai prestasi Nabi dalam memimpin umat yang kita ketahui bahwasanya tidak ada pemisahan antara ulama dan umara’ (pemerintah). Namun jika kita tarik ke konteks keIndonesiaan, di mana kepemimpinan dipegang oleh pemerintah dan peran ulama tidak lagi sepenuhnya menjadi pemimpin masyarakat, maka antara keduanya harus ada kerjasama yang baik untuk mewujudkan kesejahteraan ummat.Ulama yang secara formal legalitas diakui keberadaannya oleh pemerintah Indonesia namun independen yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ada pertanyaan yang menggelitik. Apakah para ulama yang masuk dalam jajaran MUI sudah berperan aktif memecahkan problematika keagamaan maupun kebangsaan di Nusantara ini? Apakah keberadaan MUI sudah diakui sepenuhnya oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia sehingga MUI menjadi satu-satunya rujukan mereka saat mengalami problematika yang dimaksud?Sementara itu, fenomena maraknya stasiun televisi yang menayangkan program tausiyah keagamaan yang menampilkan para ulama’/ustadz sebagai narasumbernya menjadikan perlu adanya identifikasi ulang terkait dengan identitas seorang ulama. Bisakah mereka yang hanya karena tampil di televisi sebagai narasumber dalam acara talk show keagamaan disebut sebagai ulama? Belum lagi ada yang kemudian memasang tarif yang setara dengan pelaku seni di dunia entertainment.","PeriodicalId":31822,"journal":{"name":"Riwayah Jurnal Studi Hadis","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-06-18","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"83873163","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}