Indonesia has just ratified the two most important international human rights covenants, namely, the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) and the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). The implications of these ratifications are enormous, either for the government and other state's institutions or for the victims of human rights violation as well as human rights defenders. The two Covenants could becomepart of the effort of legal reform to improve human rights condition in Indonesia. The two Covenants are related with the history of the world organization, namely, the United Nations, in developing the what so called the international law, in this regard the interna• tional human rights law. The human rights law was developed as mechanisms, either Charter-based or Treaty-based. The main purposes of the Indonesian are to maintain peace and prevent violence.
{"title":"Kovenan HAM Internasional: Pandangan Umum mengenai Signifikasi dan Perkembangan","authors":"","doi":"10.58823/jham.v4i4.39","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v4i4.39","url":null,"abstract":"Indonesia has just ratified the two most important international human rights covenants, namely, the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) and the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). The implications of these ratifications are enormous, either for the government and other state's institutions or for the victims of human rights violation as well as human rights defenders. The two Covenants could becomepart of the effort of legal reform to improve human rights condition in Indonesia. The two Covenants are related with the history of the world organization, namely, the United Nations, in developing the what so called the international law, in this regard the interna• tional human rights law. The human rights law was developed as mechanisms, either Charter-based or Treaty-based. The main purposes of the Indonesian are to maintain peace and prevent violence.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"17 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114678293","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Jumlah ODMK setiap tahun berkecenderungan meningkat. Tetapi, upaya penanganan ODMK masih minimal. Walhasil, banyak ODMK yang mengalami pelanggaran HAM. Tulisan ini fokus pada pemaparan kasus-kasus pelanggaran HAM yang menimpa ODMK di berbagai tempat: jalanan, rumah sakit jiwa, panti sosial, rumah tangga, dan lain-lain. Tulisan ini juga memberikan saran tentang upaya-upaya yang perlu ditempuh untuk mengeliminasi pelanggaran HAM terhadap ODMK.
{"title":"Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) & Pelanggaran Hak Asasi Manusia","authors":"Rusman Widodo","doi":"10.58823/jham.v5i5.45","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v5i5.45","url":null,"abstract":"Jumlah ODMK setiap tahun berkecenderungan meningkat. Tetapi, upaya penanganan ODMK masih minimal. Walhasil, banyak ODMK yang mengalami pelanggaran HAM. Tulisan ini fokus pada pemaparan kasus-kasus pelanggaran HAM yang menimpa ODMK di berbagai tempat: jalanan, rumah sakit jiwa, panti sosial, rumah tangga, dan lain-lain. Tulisan ini juga memberikan saran tentang upaya-upaya yang perlu ditempuh untuk mengeliminasi pelanggaran HAM terhadap ODMK.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"2 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129944308","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
After incorporation of International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights by Law No. 11I2005, Indonesia are legally binding to implement all state parties obligation as contained in the Covenant. This article describes and analyzes as well as shows example and practical illustration regarding State's obligation. It's formulated into 4 section, explain definition and mean of State obligation; violation of the obligation, including its indicators, and; monitoring procedure and mechanism based on the Covenant.
{"title":"Bukan Sekedar Menandatangani: Obligasi Negara Berdasarkan Kovenan Hak Ekosob","authors":"A. P. M. Zen, Andik Hardiyanto","doi":"10.58823/jham.v4i4.41","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v4i4.41","url":null,"abstract":"After incorporation of International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights by Law No. 11I2005, Indonesia are legally binding to implement all state parties obligation as contained in the Covenant. This article describes and analyzes as well as shows example and practical illustration regarding State's obligation. It's formulated into 4 section, explain definition and mean of State obligation; violation of the obligation, including its indicators, and; monitoring procedure and mechanism based on the Covenant.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"59 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"130287744","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Kelompok orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) di Indone- sia sama sekali belum mendapatkan perhatian memadai dari pemerintah Indonesia. Mereka ini sering kali didiskriminasi oleh keluarga, masyarakat sekeliling, media maupun negara. Tak jarang mereka dibuang atau dibiarkan berkeliaran di jalanan, atau dipasung seumur hidup. Sebagian dari mereka dianggap sudah bukan manusia lagi. Sepanjang hidup mereka mengalami stigmatisasi, pelecehan, pembedaan perlakuan (unequal before the law), pengusiran, penyerangan, peren- dahan martabat sebagai manusia, hingga pembunuhan. Pen- anganan ODMK tak ayal merupakan bagian dari kewajiban hak asasi yang harus segera dilakukan oleh negara. Saatnya pemerintah memikirkan hak sipol dan ekosob bagi para ODMK di negeri ini yang jumlahnya disinyalir telah mencapai lebih dari 20 persen jumlah penduduk di negeri ini.
{"title":"ODMK dan Pemenuhan HAM","authors":"Yosep Adi Prasetyo","doi":"10.58823/jham.v5i5.47","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v5i5.47","url":null,"abstract":"Kelompok orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) di Indone- sia sama sekali belum mendapatkan perhatian memadai dari pemerintah Indonesia. Mereka ini sering kali didiskriminasi oleh keluarga, masyarakat sekeliling, media maupun negara. Tak jarang mereka dibuang atau dibiarkan berkeliaran di jalanan, atau dipasung seumur hidup. Sebagian dari mereka dianggap sudah bukan manusia lagi. Sepanjang hidup mereka mengalami stigmatisasi, pelecehan, pembedaan perlakuan (unequal before the law), pengusiran, penyerangan, peren- dahan martabat sebagai manusia, hingga pembunuhan. Pen- anganan ODMK tak ayal merupakan bagian dari kewajiban hak asasi yang harus segera dilakukan oleh negara. Saatnya pemerintah memikirkan hak sipol dan ekosob bagi para ODMK di negeri ini yang jumlahnya disinyalir telah mencapai lebih dari 20 persen jumlah penduduk di negeri ini.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"20 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"116262238","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
The term "development" is not neutral. It is full of value, either ideology, political or cultural values. It means that cultural consideration has the same importance as ideology and political considerations. A balance and consolidated human rights concepts between civil and political rights and economic, social and cultural rights have become the mainstream of development discourse. Hence, when all human rights instruments should be comprehended and justified based on a non-discrimination principle, without differentiation based on race, ethnic, religion or group, simultaneously it should also give opportunity to the fact that culturally human beings are consisted of different anthropological community with different cultures. Each has the right to develop and look after its particular cultural values and institution. This cultural right should be protected by the State in general and by the Government in particular.
{"title":"Pembangunan dan Perlindungan Kebudayaan","authors":"DR. Saafroedin Bahar","doi":"10.58823/jham.v3i3.36","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v3i3.36","url":null,"abstract":"The term \"development\" is not neutral. It is full of value, either ideology, political or cultural values. It means that cultural consideration has the same importance as ideology and political considerations. A balance and consolidated human rights concepts between civil and political rights and economic, social and cultural rights have become the mainstream of development discourse. Hence, when all human rights instruments should be comprehended and justified based on a non-discrimination principle, without differentiation based on race, ethnic, religion or group, simultaneously it should also give opportunity to the fact that culturally human beings are consisted of different anthropological community with different cultures. Each has the right to develop and look after its particular cultural values and institution. This cultural right should be protected by the State in general and by the Government in particular.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-08-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"129647732","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran berat Hak Asasi Manusia seperti, kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang tidak diadili merupakan fenomena hukum clan politik yang dapat kita saksikan sejak abad yang lalu hingga hari ini. Pada abad yang lalu negara-negara Eropa gaga! membentuk pengadilan internasional sebagaimana direkomendasikan Perjanjian Versailles untuk mengadili Raja Wilhelm II berkaitan dengan kekuasaannya yang melawan moralitas internasional. Impunitas dinikmati pula oleh Kaisar Hirohito. Amerika Serikat selaku pemenang perang memutuskan tidak mengadili tokoh penjahat perang dunia ke II ini dan bahkan melindungi dan membiarkannya sebagai Kepala Negara Kerajaan Jepang. Sampai hari ini kita masih terus menyaksikan drama impunitas yang terus dinikmati para pemimpin politik clan militer yang diduga tidak hanya melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia tetapi juga diduga telah merampok uang negara dalam skala yang amat luar biasa besarnya. Dari mulai Idi Amin, Mangistu Haile Mariam, Mobutu Seseko, Pinochet. Soeharto, dan lain sebagainya. Para mantan penguasa itu sebagian telah pergi dari dunia menernui raja akhirat. Namun sebagian lainnya tetap enak-enak menikmati hasil korupsinya di hari tuanya tanpa pernah bisa disentuh oleh hukum. Pada saat yang sama kita menyaksikan drama pengadilan pura-pura atau pengadilan se-olah-olah yang mengadili dan menghukum serdadu serdadu berpangkat rendah dengan hukuman yang acap ringan clan melawan nurani keadilan masyarakat. Masih terus berlangsungnya fenomena impunitas menunjukkan pertimbangan-pertimbangan kepentingan politik, ekonomi jangka pendek dan bahkan militer masih dominan ketimbang kepentingan penegakan HAM dan keadilan.
{"title":"Sebuah Upaya Memutus Impunitas: Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia","authors":"A. H. Nusantara","doi":"10.58823/jham.v2i2.21","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v2i2.21","url":null,"abstract":"Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran berat Hak Asasi Manusia seperti, kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang tidak diadili merupakan fenomena hukum clan politik yang dapat kita saksikan sejak abad yang lalu hingga hari ini. Pada abad yang lalu negara-negara Eropa gaga! membentuk pengadilan internasional sebagaimana direkomendasikan Perjanjian Versailles untuk mengadili Raja Wilhelm II berkaitan dengan kekuasaannya yang melawan moralitas internasional. Impunitas dinikmati pula oleh Kaisar Hirohito. Amerika Serikat selaku pemenang perang memutuskan tidak mengadili tokoh penjahat perang dunia ke II ini dan bahkan melindungi dan membiarkannya sebagai Kepala Negara Kerajaan Jepang. Sampai hari ini kita masih terus menyaksikan drama impunitas yang terus dinikmati para pemimpin politik clan militer yang diduga tidak hanya melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia tetapi juga diduga telah merampok uang negara dalam skala yang amat luar biasa besarnya. Dari mulai Idi Amin, Mangistu Haile Mariam, Mobutu Seseko, Pinochet. Soeharto, dan lain sebagainya. Para mantan penguasa itu sebagian telah pergi dari dunia menernui raja akhirat. Namun sebagian lainnya tetap enak-enak menikmati hasil korupsinya di hari tuanya tanpa pernah bisa disentuh oleh hukum. Pada saat yang sama kita menyaksikan drama pengadilan pura-pura atau pengadilan se-olah-olah yang mengadili dan menghukum serdadu serdadu berpangkat rendah dengan hukuman yang acap ringan clan melawan nurani keadilan masyarakat. Masih terus berlangsungnya fenomena impunitas menunjukkan pertimbangan-pertimbangan kepentingan politik, ekonomi jangka pendek dan bahkan militer masih dominan ketimbang kepentingan penegakan HAM dan keadilan.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"27 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114599838","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Dialog tentang pemajuan hak asasi manusia dalam satu dasawarsa terakhir, lebih diwarnai perdebatan seputar perlunya pemajuan hak-hak sipil dan politik. Padahal dalam dasawarsa ierakhir ini, kita tengah menyaksikan suatu proses dehumanisasi yang menimpa rakyat miskin, justru menyangkut persoalan ekonomi, social dan budaya yang saling berkaitan. Meningkatnya marginalisasi rakyat bawah, merupakan fenomena kemiskinan yang tidak lagi sekedar dalamArti ketidakcukupan pendapatan untuk memenuhi standard minimum barang dan jasa yang diperlukan, tetapi telah mencapai fenomena ketidakmampuan dasar kaum miskin unfuk dapat hidup secara bermartabat.
{"title":"Kebijakan Ekonomi Dan Pemajuan Hak Hak Ekonomi, Sosi.Al Dan Budaya","authors":"Mansour Fakih","doi":"10.58823/jham.v1i1.13","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v1i1.13","url":null,"abstract":"Dialog tentang pemajuan hak asasi manusia dalam satu dasawarsa terakhir, lebih diwarnai perdebatan seputar perlunya pemajuan hak-hak sipil dan politik. Padahal dalam dasawarsa ierakhir ini, kita tengah menyaksikan suatu proses dehumanisasi yang menimpa rakyat miskin, justru menyangkut persoalan ekonomi, social dan budaya yang saling berkaitan. Meningkatnya marginalisasi rakyat bawah, merupakan fenomena kemiskinan yang tidak lagi sekedar dalamArti ketidakcukupan pendapatan untuk memenuhi standard minimum barang dan jasa yang diperlukan, tetapi telah mencapai fenomena ketidakmampuan dasar kaum miskin unfuk dapat hidup secara bermartabat.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"20 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2021-07-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123254244","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan hak asasi manusia (HAM) atau sebaliknya menegakkan HAM berbasis hukum dan keadilan merupakan cita-cita masyarakat demokratis. Namun harapan tersebut belum dapat terwujud secara penuh akibat tantangan secara multi dimensional datang silih berganti. Salah satu persoalan HAM versus keadilan yang kini menjadi polemik besar adalah pidana mati. Isu ini membelah pendapat publik antara pro dan kontra dengan masing-masing argumentasi disandarkan pada dalil yang bersifat rasional dan empiris.Kubu yang menolak pidana mati, merujuk pada prinsip HAM khususnya hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi, dicabut apalagi dirampas oleh siapapun dan dalam keadaan apapun. Hak tersebut merupakan anugerah Tuhan yang Maha Esa sehingga manusia tak dapat mencabut atas nama hukum sekalipun seperti yang tercermin dalam lembaga pidana mati. Melalui gerakan abolisionis, mereka menggalang kekuatan untuk berjuang menghapus pidana mati dalam sistiem hukum di seluruh dunia termasuk Indonesia.Sebaliknya kubu yang mendukung pidana mati juga mengacu pada prinsip HAM terutama pada aspek kewajiban asasi yang melekat pada setiap manusia. Ketika seseorang melakukan kejahatan yang sangat keji dan sadis misalnya maka ia telah melanggar hak asasi orang lain sekaligus melanggar kewajiban asasinya. Jika ia dijatuhi pidana mati oleh pengadilan berdasarkan hukum yang berlaku, maka hal tersebut merupakan tanggungjawab yang harus ia tunaikan demi keadilan sebagai bagian penting dari HAM.Dalam hal ini bukan hanya terpidana yang perlu mendapat perlindungan HAM tetapi korban dan keluarganya maupun masyarakat secara luas juga memiliki HAM yang harus ditegakkan secara adil. Kubu ini juga melakukan gerakan retensionisme untuk mempertahankan lembaga pidana mati dalam sistem hukum yang berlaku. Menghapus pidana mati menurut mereka berarti membiarkan terjadinya pelanggaran HAM baru yang lebih serius sekaligus mencabut perasaan keadilan dari akar budaya hukum yang harus dihormati oleh siapapun.
{"title":"Konfigurasi Pertarungan Abolisionisme Versus Retensionisme Dalam Diskursus Keberadaan Lembaga Pidana Mati Di Tingkat Global Dan Nasional","authors":"Saharuddin Daming","doi":"10.58823/jham.v8i8.74","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v8i8.74","url":null,"abstract":"Menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan hak asasi manusia (HAM) atau sebaliknya menegakkan HAM berbasis hukum dan keadilan merupakan cita-cita masyarakat demokratis. Namun harapan tersebut belum dapat terwujud secara penuh akibat tantangan secara multi dimensional datang silih berganti. Salah satu persoalan HAM versus keadilan yang kini menjadi polemik besar adalah pidana mati. Isu ini membelah pendapat publik antara pro dan kontra dengan masing-masing argumentasi disandarkan pada dalil yang bersifat rasional dan empiris.Kubu yang menolak pidana mati, merujuk pada prinsip HAM khususnya hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi, dicabut apalagi dirampas oleh siapapun dan dalam keadaan apapun. Hak tersebut merupakan anugerah Tuhan yang Maha Esa sehingga manusia tak dapat mencabut atas nama hukum sekalipun seperti yang tercermin dalam lembaga pidana mati. Melalui gerakan abolisionis, mereka menggalang kekuatan untuk berjuang menghapus pidana mati dalam sistiem hukum di seluruh dunia termasuk Indonesia.Sebaliknya kubu yang mendukung pidana mati juga mengacu pada prinsip HAM terutama pada aspek kewajiban asasi yang melekat pada setiap manusia. Ketika seseorang melakukan kejahatan yang sangat keji dan sadis misalnya maka ia telah melanggar hak asasi orang lain sekaligus melanggar kewajiban asasinya. Jika ia dijatuhi pidana mati oleh pengadilan berdasarkan hukum yang berlaku, maka hal tersebut merupakan tanggungjawab yang harus ia tunaikan demi keadilan sebagai bagian penting dari HAM.Dalam hal ini bukan hanya terpidana yang perlu mendapat perlindungan HAM tetapi korban dan keluarganya maupun masyarakat secara luas juga memiliki HAM yang harus ditegakkan secara adil. Kubu ini juga melakukan gerakan retensionisme untuk mempertahankan lembaga pidana mati dalam sistem hukum yang berlaku. Menghapus pidana mati menurut mereka berarti membiarkan terjadinya pelanggaran HAM baru yang lebih serius sekaligus mencabut perasaan keadilan dari akar budaya hukum yang harus dihormati oleh siapapun.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2016-03-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"128248223","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Konflik antar agama dan intra agama baik dalam skala kecil maupun skala besar rupanya menunjukkan potensi yang terus meningkat, bahkan kecenderungan yang terjadi diikuti dengan aksi-aksi kekerasan. Konflik bukan hanya menyangkut persoalan tempat ibadah namun juga konflik sektarian baik di tingkat internal agama itu sendiri maupun antar agama. Dalam tulisan ini, tidak dibahas secara detail tentang apa saja penyebab konflik antar maupun intra agama tersebut, namun ingin melihat dan membandingkan bagaimana peran negara khususnya polisi sebagai aparat penegak hukum dalam menghadapi dan menyelesaikan konflik intra agama yang terjadi. Studi kasus yang menjadi pijakan analisa adalah konflik yang terjadi di Manis Lor, Jawa Barat dan Cikeusik, Banten. Keduanya adalah konflik anti-Ahmadiyah.Terdapat dua hasil yang berbeda dari tindakan polisi di kedua konflik tersebut. Konflik di Manis Lor, Jawa Barat dapat dicegah dengan baik oleh polisi sehingga tidak terjadi eskalasi konflik yang mengarah pada kekerasan massa. Bertolak belakang dengan yang terjadi di Cikeusik, meskipun polisi sudah berusaha untuk melakukan tindakan pencegahan, namun eskalasi konflik tetap tidak terbendung dan kekerasan yang membawa korban jiwa terjadi. Belajar pada kedua kasus tersebut, peran polisi dalam upaya penangkalan atau pencegahan (deterrences) menjadi sangat penting, selain penggunaan kekuatan dan waktu pengerahan aparat kepolisian. Dibutuhkan perhitungan dan strategi yang tepat serta keseriusan pimpinan dalam memberikan komando. Di sini peran pemolisian menjadi sangat penting, mengingat keberhasilan pemolisian konflik beragama salah satunya adalah keberhasilan dalam upaya preemtif dan preventif.
{"title":"Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten)","authors":"Wisnu Adihartono, Ihsan Ali-Fauzi, Irsyad Rafsadi","doi":"10.58823/jham.v11i11.91","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v11i11.91","url":null,"abstract":"Konflik antar agama dan intra agama baik dalam skala kecil maupun skala besar rupanya menunjukkan potensi yang terus meningkat, bahkan kecenderungan yang terjadi diikuti dengan aksi-aksi kekerasan. Konflik bukan hanya menyangkut persoalan tempat ibadah namun juga konflik sektarian baik di tingkat internal agama itu sendiri maupun antar agama. Dalam tulisan ini, tidak dibahas secara detail tentang apa saja penyebab konflik antar maupun intra agama tersebut, namun ingin melihat dan membandingkan bagaimana peran negara khususnya polisi sebagai aparat penegak hukum dalam menghadapi dan menyelesaikan konflik intra agama yang terjadi. Studi kasus yang menjadi pijakan analisa adalah konflik yang terjadi di Manis Lor, Jawa Barat dan Cikeusik, Banten. Keduanya adalah konflik anti-Ahmadiyah.Terdapat dua hasil yang berbeda dari tindakan polisi di kedua konflik tersebut. Konflik di Manis Lor, Jawa Barat dapat dicegah dengan baik oleh polisi sehingga tidak terjadi eskalasi konflik yang mengarah pada kekerasan massa. Bertolak belakang dengan yang terjadi di Cikeusik, meskipun polisi sudah berusaha untuk melakukan tindakan pencegahan, namun eskalasi konflik tetap tidak terbendung dan kekerasan yang membawa korban jiwa terjadi. Belajar pada kedua kasus tersebut, peran polisi dalam upaya penangkalan atau pencegahan (deterrences) menjadi sangat penting, selain penggunaan kekuatan dan waktu pengerahan aparat kepolisian. Dibutuhkan perhitungan dan strategi yang tepat serta keseriusan pimpinan dalam memberikan komando. Di sini peran pemolisian menjadi sangat penting, mengingat keberhasilan pemolisian konflik beragama salah satunya adalah keberhasilan dalam upaya preemtif dan preventif.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"11 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2014-11-01","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"120924383","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Tulisan ini membahas tentang penyakit kusta, kondisi kusta di Indonesia, dan permasalahan yang dihadapi oleh orang-orang yang terkena kusta atau Orang Dengan Kusta (ODK). Membahas tentang tanggungjawab negara dan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Orang- Orang yang Terkena Kusta dan Anggota Keluarga Mereka. ODK memiliki permasalahan yang kompleks. Mereka menanggung beban medis, beban ekonomi dan sosial. ODK juga terkena stigma dan diskriminasi yang memprihatinkan. Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat, individu telah berupaya membangkitkan harapan dan gairah hidup ODK melalui beragam cara dan program kegiatan. Pemerintah juga telah melakukan berbagai tindakan dan program dalam rangka menghapus penyakit kusta, stigma dan diskriminasi terhadap ODK di Indonesia. Tapi upaya-upaya tersebut masih belum cukup karena ODK masih bertebaran di seluruh pelosok tanah air. Dibutuhkan gugus tugas nasional penanggulangan kusta yang mampu memastikan semua program terkait kusta bisa berjalan sinergis, komprehensif, tidak tumpang tindih, tepat sasaran dan menjangkau seluruh ODK di tanah air.
{"title":"Membangkitkan Harapan Orang Dengan Kusta","authors":"Rusman Widodo","doi":"10.58823/jham.v8i8.79","DOIUrl":"https://doi.org/10.58823/jham.v8i8.79","url":null,"abstract":"Tulisan ini membahas tentang penyakit kusta, kondisi kusta di Indonesia, dan permasalahan yang dihadapi oleh orang-orang yang terkena kusta atau Orang Dengan Kusta (ODK). Membahas tentang tanggungjawab negara dan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Orang- Orang yang Terkena Kusta dan Anggota Keluarga Mereka. ODK memiliki permasalahan yang kompleks. Mereka menanggung beban medis, beban ekonomi dan sosial. ODK juga terkena stigma dan diskriminasi yang memprihatinkan. Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat, individu telah berupaya membangkitkan harapan dan gairah hidup ODK melalui beragam cara dan program kegiatan. Pemerintah juga telah melakukan berbagai tindakan dan program dalam rangka menghapus penyakit kusta, stigma dan diskriminasi terhadap ODK di Indonesia. Tapi upaya-upaya tersebut masih belum cukup karena ODK masih bertebaran di seluruh pelosok tanah air. Dibutuhkan gugus tugas nasional penanggulangan kusta yang mampu memastikan semua program terkait kusta bisa berjalan sinergis, komprehensif, tidak tumpang tindih, tepat sasaran dan menjangkau seluruh ODK di tanah air.","PeriodicalId":404941,"journal":{"name":"Jurnal Hak Asasi Manusia","volume":"98 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2013-08-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"126447545","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}