Dalam proses pembuatan akta peralihan maka dalam waktu selambat lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yangbersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumendokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar. Apabila jangka waktu tersebut diabaikan maka akan menimbulkan beberapa akibat hukum terhadap akta peralihan tersebut.Maka untuk lebih terjaganya ketertiban dalam proses pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan Kota Banjarmasin dan juga agar pihak-pihak yang bersangkutan tidak di rugikan harus adanya sanksi tegas agar PPAT di Kota Banjarmasin tidak melakukan lagi pelanggaran tersebut, karena didalam peraturan itu sendiri sudah mengatakan bahwa hal tersebut adalah “wajib” bagi PPAT. Karena hal di atas menyangkut masalah pelaksanaan dari suatu ketentuan hukum, dikenakan tindakan administrasi berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut AKIBAT HUKUM KETERLAMBATAN PENDAFTARAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH TERHADAP AKTA YANG DIBUAT OLEH PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
{"title":"Akibat Hukum Keterlambatan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah terhadap Akta yang Dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah","authors":"Islina Yuliyanti, Yulia Qamariyanti, Mahyuni Mahyuni","doi":"10.32801/LAMLAJ.V3I1.65","DOIUrl":"https://doi.org/10.32801/LAMLAJ.V3I1.65","url":null,"abstract":"Dalam proses pembuatan akta peralihan maka dalam waktu selambat lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yangbersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumendokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar. Apabila jangka waktu tersebut diabaikan maka akan menimbulkan beberapa akibat hukum terhadap akta peralihan tersebut.Maka untuk lebih terjaganya ketertiban dalam proses pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan Kota Banjarmasin dan juga agar pihak-pihak yang bersangkutan tidak di rugikan harus adanya sanksi tegas agar PPAT di Kota Banjarmasin tidak melakukan lagi pelanggaran tersebut, karena didalam peraturan itu sendiri sudah mengatakan bahwa hal tersebut adalah “wajib” bagi PPAT. Karena hal di atas menyangkut masalah pelaksanaan dari suatu ketentuan hukum, dikenakan tindakan administrasi berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut AKIBAT HUKUM KETERLAMBATAN PENDAFTARAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH TERHADAP AKTA YANG DIBUAT OLEH PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH","PeriodicalId":31238,"journal":{"name":"Lambung Mangkurat Law Journal","volume":"3 1","pages":"96-107"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45309440","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
The arising issues of transnational marriage in Indonesia, that is frequent is related to the land ownership of Indonesian Citizen (WNI) . The research method that is used is a normative juridical approach which analyzed based on the jurisprudence. Based on Indonesian positive law, the citizen who in the transnational marriage without prenuptial agreement, the rights status of his/her land in the form of property acquired jointly be equalized to his/her partner is only the rights to use. The partition of land property acquired jointly when divorce occurs in a transnational marriage beyond the specified period time by the Indonesian Positive Law is not applicable based on article 21 paragraph (3) of UUPA
{"title":"The Legal Consequences Regarding The Execution Of Joint Property Land Obtained Due Transnatiional Marriage In Indonesian Positive Law","authors":"Yati Nurhayati, Ifrani Ifrani","doi":"10.32801/lamlaj.v3i1.66","DOIUrl":"https://doi.org/10.32801/lamlaj.v3i1.66","url":null,"abstract":"The arising issues of transnational marriage in Indonesia, that is frequent is related to the land ownership of Indonesian Citizen (WNI) . The research method that is used is a normative juridical approach which analyzed based on the jurisprudence. Based on Indonesian positive law, the citizen who in the transnational marriage without prenuptial agreement, the rights status of his/her land in the form of property acquired jointly be equalized to his/her partner is only the rights to use. The partition of land property acquired jointly when divorce occurs in a transnational marriage beyond the specified period time by the Indonesian Positive Law is not applicable based on article 21 paragraph (3) of UUPA","PeriodicalId":31238,"journal":{"name":"Lambung Mangkurat Law Journal","volume":"3 1","pages":"120-131"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49472463","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Putusan arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Meskipun bersifat final tetapi masih dapat diajukan permohonan pembatalan ke Pengadilan Negeri Maupun Mahkamah Agung. Dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Makna teleologis Pasal 60 UU No 30 Tahun 1999 menyebutkan putusan arbitrase yang sifatnya final, berkekuatan hukum tetap dan mengikat dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa tanpa adanya upaya permohonan pembatalan di kemudian hari. Sementara itu Pasal 70 memberikan kesempatan untuk mengajukan permohonan pembatalan ke Pengadilan Negeri maupun ke Mahkamah Agung. Meskipun putusan arbitrase dapat diajukan permohonan pembatalan, hal ini tidak menghilangkan sifat mengikat dan berkekuatan hukum tetap terhadap putusan arbitrase, tetapi belum final karena masih dapat diajukan permohonan pembatalan. Kesimpulan, pengaturan hukum arbitrase yang seharusnya sesuai dengan tujuan dan fungsi dasar hukum yaitu putusan arbitrase yang menciptakan kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum, dan tujuan arbitrase menciptakan prinsip benefit solution akan tercapai dengan baik. Sehingga, UU No 30 Tahun 1999 dapat diterapkan, dengan harapan tidak ada permohonan pembatalan putusan arbitrase di masa yang akan datang
{"title":"Pembatalan Putusan Arbitrase Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa","authors":"Azzanira Azzanira, Y. Annalisa, M. Syaifuddin","doi":"10.32801/LAMLAJ.V3I1.59","DOIUrl":"https://doi.org/10.32801/LAMLAJ.V3I1.59","url":null,"abstract":"Putusan arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Meskipun bersifat final tetapi masih dapat diajukan permohonan pembatalan ke Pengadilan Negeri Maupun Mahkamah Agung. Dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Makna teleologis Pasal 60 UU No 30 Tahun 1999 menyebutkan putusan arbitrase yang sifatnya final, berkekuatan hukum tetap dan mengikat dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa tanpa adanya upaya permohonan pembatalan di kemudian hari. Sementara itu Pasal 70 memberikan kesempatan untuk mengajukan permohonan pembatalan ke Pengadilan Negeri maupun ke Mahkamah Agung. Meskipun putusan arbitrase dapat diajukan permohonan pembatalan, hal ini tidak menghilangkan sifat mengikat dan berkekuatan hukum tetap terhadap putusan arbitrase, tetapi belum final karena masih dapat diajukan permohonan pembatalan. Kesimpulan, pengaturan hukum arbitrase yang seharusnya sesuai dengan tujuan dan fungsi dasar hukum yaitu putusan arbitrase yang menciptakan kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum, dan tujuan arbitrase menciptakan prinsip benefit solution akan tercapai dengan baik. Sehingga, UU No 30 Tahun 1999 dapat diterapkan, dengan harapan tidak ada permohonan pembatalan putusan arbitrase di masa yang akan datang","PeriodicalId":31238,"journal":{"name":"Lambung Mangkurat Law Journal","volume":"3 1","pages":"50-60"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-03-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44955874","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Notaris adalah merupakan pejabat publik, yang berwenang membuat akta authentik. Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah dan diawasi oleh Majelis Pengawas. Meskipun bukan merupakan bagian dari pemerintah tetapi dalam melaksanakan kewenangannya bertanggungjawab secara publik
{"title":"Jabatan Notaris dalam Perspektif Hukum Administrasi","authors":"M. H. Muhjad","doi":"10.32801/LAMLAJ.V3I1.51","DOIUrl":"https://doi.org/10.32801/LAMLAJ.V3I1.51","url":null,"abstract":"Notaris adalah merupakan pejabat publik, yang berwenang membuat akta authentik. Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah dan diawasi oleh Majelis Pengawas. Meskipun bukan merupakan bagian dari pemerintah tetapi dalam melaksanakan kewenangannya bertanggungjawab secara publik","PeriodicalId":31238,"journal":{"name":"Lambung Mangkurat Law Journal","volume":"3 1","pages":"85-95"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-03-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42242107","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
The aim of this study is to know and analyze the basic idea of the necessity for the approval of the Notary Honor Assemblies to the Notary examination in the criminal justice process and on the approval of the Notary Honor Assemblies to the Notary examination in the criminal justice process in relation to the principle fast, simple and low cost trial. This research uses doctrinal law research done or aimed at a concept that will be studied which is the concept or principle of fast, simple and low cost trial in relation with the authority of Honorary Notary Assembly to the checking of Notary in criminal justice process. The basic rationale of the existence of this NHA is the effort to enforce the obligation to deny or deny notary rights (the obligation to conceal the contents of the deed). Thus, the NHA’s approval as a opening “key” to the obligation of Notaries public when facing the complicated legal process. Legal protection of notary as regulated in Article 66 paragraph (1) law of the Repulic of Indonesia concerning Position of Notary (LPN) is a legal protection to notary public as a public official who is performing its task and obligation in carrying out government authority to keep the state documents in the form of authentic deed. The request for approval from NHA is not only done by the investigator at the stage of investigation, but will also be requested again by the prosecutor for the prosecution and by the judge for the court hearing not in accordance with one of the principles in the criminal justice process that is fast, simple and low cost court principle. For the seizure of the copy of the minuta deed and the summon to the Notaries must first the investigator, the prosecutor and the judge send the application for approval to NHA. It is said not to be in accordance with the simple justice principle because according to Article 66 Law of Position of Notary (LPN), the request for the approval of NHA is done at every stage of criminal justice process.
{"title":"The Existence of Notary Honor Assemblies in the Criminal Justice Process","authors":"Rahmida Erliyani, Achmad Ratomi","doi":"10.32801/LAMLAJ.V3I1.67","DOIUrl":"https://doi.org/10.32801/LAMLAJ.V3I1.67","url":null,"abstract":"The aim of this study is to know and analyze the basic idea of the necessity for the approval of the Notary Honor Assemblies to the Notary examination in the criminal justice process and on the approval of the Notary Honor Assemblies to the Notary examination in the criminal justice process in relation to the principle fast, simple and low cost trial. This research uses doctrinal law research done or aimed at a concept that will be studied which is the concept or principle of fast, simple and low cost trial in relation with the authority of Honorary Notary Assembly to the checking of Notary in criminal justice process. The basic rationale of the existence of this NHA is the effort to enforce the obligation to deny or deny notary rights (the obligation to conceal the contents of the deed). Thus, the NHA’s approval as a opening “key” to the obligation of Notaries public when facing the complicated legal process. Legal protection of notary as regulated in Article 66 paragraph (1) law of the Repulic of Indonesia concerning Position of Notary (LPN) is a legal protection to notary public as a public official who is performing its task and obligation in carrying out government authority to keep the state documents in the form of authentic deed. The request for approval from NHA is not only done by the investigator at the stage of investigation, but will also be requested again by the prosecutor for the prosecution and by the judge for the court hearing not in accordance with one of the principles in the criminal justice process that is fast, simple and low cost court principle. For the seizure of the copy of the minuta deed and the summon to the Notaries must first the investigator, the prosecutor and the judge send the application for approval to NHA. It is said not to be in accordance with the simple justice principle because according to Article 66 Law of Position of Notary (LPN), the request for the approval of NHA is done at every stage of criminal justice process.","PeriodicalId":31238,"journal":{"name":"Lambung Mangkurat Law Journal","volume":"3 1","pages":"74-84"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-03-26","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43076966","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Dewasa ini anggota tubuh manusia ternyata dapat diasuransikan dari risiko kerusakan yang diakibatkan proses penuaan atau kecelakaan dalam kerja. Anggota tubuh manusia seperti wajah, hidung, lidah, pita suara, paha, payudara,pantat, atau anggota tubuh manusia lain bagi kalangan artis, atlit, atau pemusik merupakan hal yang perlu dijaga, dirawat, dan dipelihara demi penampilan dalam pertunjukan atau berlaga. Beberapa perusahaan asuransi di Indonesia mulai menawarkan asuransi anggota tubuh manusia ini dengan premi yang termahal. Untuk itu perlu ditelaah keberadaannya asuransi anggota tubuh manusia berdasarkan asas indemnitas dalam peraturan perundang-undangan perasuransian di Indonesia. Demikian pula menelaah nilai uang pertanggungan dan ganti rugi yang diberikan kepada tertanggung dalam asuransi tubuh manusia tersebut. Peraturan perundang-undangan perasuransian di Indonesia belum mengatur secara eksplisit aturan perjanjian asuransi bagian tubuh manusia. Keberadaan perjanjian asuransi bagian tubuh manusia ini selain merujuk pada asas kebebasan berkontrak, juga merujuk pada ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Asuransi. Berkenaan dengan nilai uang pertanggungan dan ganti rugi asuransi bagian tubuh manusia jika dikaitkan dengan asas indemnitas, maka hal itu tidak dpaat diterapkan atau ada kesulitan dalam menerapkan asas indemnitas dalam menentukan nilai uang pertanggungan dan ganti ruginya.
{"title":"Asuransi Anggota Tubuh Manusia Berdasarkan Asas Indemnitas","authors":"Abid Husairi","doi":"10.32801/LAMLAJ.V3I1.69","DOIUrl":"https://doi.org/10.32801/LAMLAJ.V3I1.69","url":null,"abstract":"Dewasa ini anggota tubuh manusia ternyata dapat diasuransikan dari risiko kerusakan yang diakibatkan proses penuaan atau kecelakaan dalam kerja. Anggota tubuh manusia seperti wajah, hidung, lidah, pita suara, paha, payudara,pantat, atau anggota tubuh manusia lain bagi kalangan artis, atlit, atau pemusik merupakan hal yang perlu dijaga, dirawat, dan dipelihara demi penampilan dalam pertunjukan atau berlaga. Beberapa perusahaan asuransi di Indonesia mulai menawarkan asuransi anggota tubuh manusia ini dengan premi yang termahal. Untuk itu perlu ditelaah keberadaannya asuransi anggota tubuh manusia berdasarkan asas indemnitas dalam peraturan perundang-undangan perasuransian di Indonesia. Demikian pula menelaah nilai uang pertanggungan dan ganti rugi yang diberikan kepada tertanggung dalam asuransi tubuh manusia tersebut. Peraturan perundang-undangan perasuransian di Indonesia belum mengatur secara eksplisit aturan perjanjian asuransi bagian tubuh manusia. Keberadaan perjanjian asuransi bagian tubuh manusia ini selain merujuk pada asas kebebasan berkontrak, juga merujuk pada ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Asuransi. Berkenaan dengan nilai uang pertanggungan dan ganti rugi asuransi bagian tubuh manusia jika dikaitkan dengan asas indemnitas, maka hal itu tidak dpaat diterapkan atau ada kesulitan dalam menerapkan asas indemnitas dalam menentukan nilai uang pertanggungan dan ganti ruginya.","PeriodicalId":31238,"journal":{"name":"Lambung Mangkurat Law Journal","volume":"3 1","pages":"61-73"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-03-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44749734","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Isu Hukum yang diangkat berkaitan dengan p ersoalan tidak terpadunya penyelenggaraan perizinan di Indonesia yang salah satu indikatornya disebabkan ketidak konsisten an penerapan konsep lingkungan hidup sebagaimana makna dan ruang lingkupnya. Dengan ketidakterpaduan pengaturan perizinan tersebut, maka masing-masing sektor memiliki kewenangan sendiri untuk mengatur persyaratan, prosedur, waktu dan biaya pengurusan perizinan. Melalui pendekatan perudang-undangan dan konseptual, peneliti mengkaji p roblematika perizinan dalam kegiatan pertambangan yang memberikan celah terjadinya tindak pidana korupsi tersebut . Ketidakterpaduan membuat proses penerbitan izin pertambangan yang panjang dan rumit. Perizinan yang terpadu dengan penyatuan wewenang (fusion of competence) yang dilaksanakan dengan cara koordinasi, yakni kerjasama dalam pelaksanaan wewenang yang bersifat mandiri (working together in the exertion of autonomous competences). diharapkan menjadi langkah untuk mencegah terjadinya praktek gratifikasi yang dilakukan oleh pemohon izin usaha pertambangan kepada pejabat yang berwenang untuk mengeluarkan izin tersebut.
{"title":"Konsep Perizinan Terpadu sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsir Sektor Pertambangan","authors":"Nurul Listiyani","doi":"10.32801/LAMLAJ.V3I1.62","DOIUrl":"https://doi.org/10.32801/LAMLAJ.V3I1.62","url":null,"abstract":"Isu Hukum yang diangkat berkaitan dengan p ersoalan tidak terpadunya penyelenggaraan perizinan di Indonesia yang salah satu indikatornya disebabkan ketidak konsisten an penerapan konsep lingkungan hidup sebagaimana makna dan ruang lingkupnya. Dengan ketidakterpaduan pengaturan perizinan tersebut, maka masing-masing sektor memiliki kewenangan sendiri untuk mengatur persyaratan, prosedur, waktu dan biaya pengurusan perizinan. Melalui pendekatan perudang-undangan dan konseptual, peneliti mengkaji p roblematika perizinan dalam kegiatan pertambangan yang memberikan celah terjadinya tindak pidana korupsi tersebut . Ketidakterpaduan membuat proses penerbitan izin pertambangan yang panjang dan rumit. Perizinan yang terpadu dengan penyatuan wewenang (fusion of competence) yang dilaksanakan dengan cara koordinasi, yakni kerjasama dalam pelaksanaan wewenang yang bersifat mandiri (working together in the exertion of autonomous competences). diharapkan menjadi langkah untuk mencegah terjadinya praktek gratifikasi yang dilakukan oleh pemohon izin usaha pertambangan kepada pejabat yang berwenang untuk mengeluarkan izin tersebut.","PeriodicalId":31238,"journal":{"name":"Lambung Mangkurat Law Journal","volume":"3 1","pages":"19-36"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-03-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"49430214","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Setiap kegiatan usaha memerlukan modal baik dalam bentuk dana maupun barang modal. Pengadaan barang modal memerlukan dana yang besar. Langkah yang biasa diambil oleh perusahaan untuk memenuhi kebutuhan barang modal adalah dengan menyewa kepada perusahaan pembiayaan seperti leasing. Dalam perjanjian leasing, kepemilikan atas barang modal berada pada Lessor (perusahaan pembiayaan), lantas apa perlunya Lessor mengikat Lessee dengan jaminan fidusia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik dari perjanjian leasing dan untuk apa obyek leasing diikat dengan jaminan fidusia. Metoda yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma - norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan dokumen kontrak leasing yang banyak digunakan di perusahaan leasing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian leasing memiliki karakteristik khusus karena didalamnya mengandung 3 (tiga) jenis perjanjian yaitu perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa dan perjanjian sewa beli. Selama perjanjian leasing berlangsung kepemilikan obyek leasing berada pada lessor (perusahaan pembiayaan/kreditur), sehingga apabila diikat dengan jaminan fidusia hal ini merupakan perbuatan yang berlebihan, namun dalam pakteknya seringkali dengan alasan efesiensi dimana sejak awal perjanjian leasing kepemilikan obyek leasing sudah diatasnamakan lessee (debitur), sehingga untuk menghindari kerugian akibat debitur wanprestasi, maka lessor melengkapi perjanjian leasing tersebut diikuti dengan jaminan fidusia.
{"title":"Urgensi Jaminan Fidusia dalam Pernjanjian Leasing","authors":"Z. Zakiyah, Tavinayati Tavinayati","doi":"10.32801/LAMLAJ.V3I1.68","DOIUrl":"https://doi.org/10.32801/LAMLAJ.V3I1.68","url":null,"abstract":"Setiap kegiatan usaha memerlukan modal baik dalam bentuk dana maupun barang modal. Pengadaan barang modal memerlukan dana yang besar. Langkah yang biasa diambil oleh perusahaan untuk memenuhi kebutuhan barang modal adalah dengan menyewa kepada perusahaan pembiayaan seperti leasing. Dalam perjanjian leasing, kepemilikan atas barang modal berada pada Lessor (perusahaan pembiayaan), lantas apa perlunya Lessor mengikat Lessee dengan jaminan fidusia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik dari perjanjian leasing dan untuk apa obyek leasing diikat dengan jaminan fidusia. Metoda yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma - norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan dokumen kontrak leasing yang banyak digunakan di perusahaan leasing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian leasing memiliki karakteristik khusus karena didalamnya mengandung 3 (tiga) jenis perjanjian yaitu perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa dan perjanjian sewa beli. Selama perjanjian leasing berlangsung kepemilikan obyek leasing berada pada lessor (perusahaan pembiayaan/kreditur), sehingga apabila diikat dengan jaminan fidusia hal ini merupakan perbuatan yang berlebihan, namun dalam pakteknya seringkali dengan alasan efesiensi dimana sejak awal perjanjian leasing kepemilikan obyek leasing sudah diatasnamakan lessee (debitur), sehingga untuk menghindari kerugian akibat debitur wanprestasi, maka lessor melengkapi perjanjian leasing tersebut diikuti dengan jaminan fidusia.","PeriodicalId":31238,"journal":{"name":"Lambung Mangkurat Law Journal","volume":"3 1","pages":"37-49"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-03-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"41644427","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
The aims of this research are to analyze the consept of ownership of the land right ownership which constitutes marital property based on the legal regulation on the certificate which mentions the name of the party, and to analyze the legal consequence of the ownership of the land right which contitutes marital property in case in the Land certificate it is stipulated then names of both parties. Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration states that land right can be possessed individually or jointly. It can be owned by more than one person, it can be under the name of a family, two persons not from one descent, and by marriage tie. Land ownership in a marriage tie is called marital property, regulated in article 35, article 36, and article 37 of Act Number 1 of 1974. It can be in a form of a property owned by one of the party and then marged into the marital property as well as the property obtained during the periode of the mariage. To sell such land the husband or the wife must get approval form the spouse. Article 92 of Islamic Law Compilation ( KHI ) stipulates that the husband or wife is not permitted to sell the marital property without the approval of the other party. The problem which often araises with regard to the marital property in a form of land is the fact that the land is registered under the name of the husband or the wife. As long as the couple still live in harmony there will no problem. But when they are divorced, the land is dominated by the party whose name is regitered in the certificate. This problem will not happen if the marital land is registered under the name of the husband and the wife jointly. KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH YANG MERUPAKAN HARTA BERSAMA
本研究的目的是根据法律规定,在土地证书上写明当事人姓名,分析构成夫妻财产的土地所有权的所有权概念,并分析在土地证书上写明双方姓名的情况下,构成夫妻财产的土地权利所有权的法律后果。1997年关于土地登记的第24号政府条例规定,土地权利可以单独或共同拥有。它可以由一个以上的人拥有,它可以在一个家庭的名义下,两个人不是一个血统,并通过婚姻关系。根据1974年第1号法律第35条、第36条、第37条的规定,婚姻关系中的土地所有权被称为夫妻财产。它可以是一方拥有的财产,然后分割成婚姻财产以及在婚姻存续期间获得的财产。要出售土地,丈夫或妻子必须得到配偶的批准。伊斯兰教法汇编(KHI)第92条规定,未经对方同意,丈夫或妻子不得出售婚姻财产。关于以土地形式存在的婚姻财产,经常出现的问题是,土地是以丈夫或妻子的名义登记的。只要这对夫妇仍然和睦相处,就不会有问题。但当他们离婚时,土地由在证书上登记姓名的一方支配。如果夫妻共同登记在夫妻名下,就不会出现这个问题。Kepemilikan hak atas tanah Yang merupakan harta bersama
{"title":"Kepemilikan Hak Atas Tanah yang Merupakan Harta Bersama","authors":"Y. Irawan","doi":"10.32801/LAMLAJ.V3I1.64","DOIUrl":"https://doi.org/10.32801/LAMLAJ.V3I1.64","url":null,"abstract":"The aims of this research are to analyze the consept of ownership of the land right ownership which constitutes marital property based on the legal regulation on the certificate which mentions the name of the party, and to analyze the legal consequence of the ownership of the land right which contitutes marital property in case in the Land certificate it is stipulated then names of both parties. Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration states that land right can be possessed individually or jointly. It can be owned by more than one person, it can be under the name of a family, two persons not from one descent, and by marriage tie. Land ownership in a marriage tie is called marital property, regulated in article 35, article 36, and article 37 of Act Number 1 of 1974. It can be in a form of a property owned by one of the party and then marged into the marital property as well as the property obtained during the periode of the mariage. To sell such land the husband or the wife must get approval form the spouse. Article 92 of Islamic Law Compilation ( KHI ) stipulates that the husband or wife is not permitted to sell the marital property without the approval of the other party. The problem which often araises with regard to the marital property in a form of land is the fact that the land is registered under the name of the husband or the wife. As long as the couple still live in harmony there will no problem. But when they are divorced, the land is dominated by the party whose name is regitered in the certificate. This problem will not happen if the marital land is registered under the name of the husband and the wife jointly. KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH YANG MERUPAKAN HARTA BERSAMA","PeriodicalId":31238,"journal":{"name":"Lambung Mangkurat Law Journal","volume":"3 1","pages":"1-18"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-03-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43509241","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"Kedudukan Notaris sebagai Direktur dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan yang Berlaku","authors":"Ady Prasetya Radam","doi":"10.32801/LAMLAJ.V2I2.44","DOIUrl":"https://doi.org/10.32801/LAMLAJ.V2I2.44","url":null,"abstract":"","PeriodicalId":31238,"journal":{"name":"Lambung Mangkurat Law Journal","volume":"2 1","pages":"196"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2017-09-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43364550","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}