Abstract Village enterprise is an enterprise which whole or few part of its capital owned by village, with a direct participation that originated from the wealth of village which being separated in purpose of asset managements, services and many other industries, purely for the sake of villager's prosperity. One of Village Enterprise in Sawahlunto named "Taratak Bancah Sejahtera" which is one (1) of the first three (3) Village Enterprises that Established back in 2016, not only the establishment carved on Village Ordinance, but it is also carved on notarial deed, which is in all legislation, there is no regulation that stated the establishment of Village Enterprise require notarial deed. Regarding all of that matters, the writer concludes problems which are, 1. How is the substantive explanation of the Taratak Bancah Sejahtera establishment deeds? 2. How the responsibilities of Notary in creating the establishment deeds of Village Enterprise? The methods to complete this project were normative-juridic According to the result of the project, 1) in the explanation of article 87 section (1) government ordinances number 43 year 2014, it was strictly stated that Village Enterprise specifically can't be compared to anything like the regular share based company, limited partnership company, or a cooperative economic enterprises. The Taratak Bancah deeds of Establishment contains constitutional rules of Taratak Bancah Sejahtera enterprise. The legal impact of the deeds of Establishment of Taratak Bancah Sejahtera causes the parties involved in this scenario aren't bonded legally, causes the obscureness of the deeds authenticity so the deeds doesn't have the power to prove anything legally completely, and can be nullified for the sake of law by the judge. 2. Notary doesn't have the authority to create the deeds of Village Enterprise establishment. But, they are privileged to create the unit of company that based on Village Enterprise. The responsibilities of the notary is the responsibility in criminals, privates, and code of ethics. Abstrak Badan Usaha Milik Desa adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. Salah satu BUMDes di Kota Sawah Lunto yaitu BUMDes Taratak Bancah Sejahtera yang merupakan (1) satu dari (3) tiga BUMDes yang pertama kali berdiri di tahun 2016 selain pendiriannya dengan Peraturan Desa juga dituangkan ke dalam akta notaris, yang mana didalam peraturan perundang-undangan tidak menjelaskan pendirian BUMDes dibuat dalam bentuk akta Notaril. Berdasarkan hal tersebut,maka penulis merumuskan permasalahan yaitu 1. Bagaimana Subtansi Akta Pendirian Badan Usaha Milik Desa Taratak Bancah Sejahtera? 2. Bagaimana Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Pendirian Badan Usaha Milik Desa?. Metode penelitian dalam pene
摘要村级企业是纯粹为了村民的富裕而分离经营资产管理、服务等多种行业的村级财富,其全部或部分资本为村民所有,村民直接参与的企业。Sawahlunto的一家名为“Taratak Bancah Sejahtera”的乡村企业是2016年成立的前三家(3)乡村企业之一,不仅在村庄条例上设立,而且还在公证书上设立,这是在所有立法中,没有规定规定成立乡村企业需要公证证书。考虑到所有这些问题,作者总结出的问题是:1。如何对塔拉塔克银行(Taratak Bancah Sejahtera)的设立契约进行实质性解释?2. 公证员在创建乡镇企业成立契约中的责任是什么?根据项目的结果,1)在2014年第43号政府法令第87条第(1)款的解释中,严格规定乡村企业具体不能与普通股份公司、有限合伙公司或合作经济企业进行比较。塔拉塔克银行的设立契约包含塔拉塔克银行Sejahtera企业的宪法规则。塔拉塔克银行设立契约的法律效力导致该场景中的当事人没有法律上的担保,导致契约真实性的模糊,使得契约完全没有法律上的证明能力,可以被法官依法宣告无效。2. 公证员无权为乡镇企业设立出具契据。但是,他们有特权创建基于乡村企业的公司单位。公证人的责任是刑事责任、私人责任和道德规范责任。【摘要】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】【译文】Salah satu BUMDes di Kota Sawah Lunto yitu BUMDes Taratak Bancah Sejahtera yang merupakan (1) satu dari (3) tiga BUMDes yang pertama kali berdii di tahun 2016 selain pendiriannya dengan Peraturan Desa juga dituangkan ke dalam akta公证,yang mana didalam perundang-undangan tidak menjelaskan pendirian BUMDes dibuat dalam bentuk akta公证。Berdasarkan hal tersebut,maka penulis merumuskan permasalahan yitu。Bagaimana Subtansi Akta Pendirian Badan Usaha Milik Desa Taratak Bancah Sejahtera?2. Bagaimana Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Pendirian Badan Usaha Milik Desa?Metode penelitian dalam penelitian ini adalah yuridis normatiti, Berdasarkan hasil penelitan 1) dalam penjelasan Pasal 87 ayat (1) PP Nomor 43 tahun 2014, dinyatakan secara speisifik tidak dapat disamakan dengan badan hukum perseran terbatas, cv atau koperasi。Akta Pendirian Badan Usaha Milik Desa Taratak Bacah Sejahtera memuangaran Dasar Dan Anggaran Rumah tanga Badan Usaha Milik Desa Taratak Bacah Sejahtera。中文:中文:中文:中文:中文:中文:中文:中文:中文:中文:中文:中文:中文:中文:
{"title":"ANALISIS TERHADAP AKTA PENDIRIAN BADAN USAHA MILIK DESA:Studi Akta Pendirian Badan Usaha Milik Desa Taratak Bancah Sejahtera","authors":"Muthia Anggela Mawadhaty Putry, Elwi Danil, Neneng Oktarina","doi":"10.32801/LAMLAJ.V3I2.77.G164","DOIUrl":"https://doi.org/10.32801/LAMLAJ.V3I2.77.G164","url":null,"abstract":"Abstract Village enterprise is an enterprise which whole or few part of its capital owned by village, with a direct participation that originated from the wealth of village which being separated in purpose of asset managements, services and many other industries, purely for the sake of villager's prosperity. One of Village Enterprise in Sawahlunto named \"Taratak Bancah Sejahtera\" which is one (1) of the first three (3) Village Enterprises that Established back in 2016, not only the establishment carved on Village Ordinance, but it is also carved on notarial deed, which is in all legislation, there is no regulation that stated the establishment of Village Enterprise require notarial deed. Regarding all of that matters, the writer concludes problems which are, 1. How is the substantive explanation of the Taratak Bancah Sejahtera establishment deeds? 2. How the responsibilities of Notary in creating the establishment deeds of Village Enterprise? The methods to complete this project were normative-juridic According to the result of the project, 1) in the explanation of article 87 section (1) government ordinances number 43 year 2014, it was strictly stated that Village Enterprise specifically can't be compared to anything like the regular share based company, limited partnership company, or a cooperative economic enterprises. The Taratak Bancah deeds of Establishment contains constitutional rules of Taratak Bancah Sejahtera enterprise. The legal impact of the deeds of Establishment of Taratak Bancah Sejahtera causes the parties involved in this scenario aren't bonded legally, causes the obscureness of the deeds authenticity so the deeds doesn't have the power to prove anything legally completely, and can be nullified for the sake of law by the judge. 2. Notary doesn't have the authority to create the deeds of Village Enterprise establishment. But, they are privileged to create the unit of company that based on Village Enterprise. The responsibilities of the notary is the responsibility in criminals, privates, and code of ethics. Abstrak Badan Usaha Milik Desa adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. Salah satu BUMDes di Kota Sawah Lunto yaitu BUMDes Taratak Bancah Sejahtera yang merupakan (1) satu dari (3) tiga BUMDes yang pertama kali berdiri di tahun 2016 selain pendiriannya dengan Peraturan Desa juga dituangkan ke dalam akta notaris, yang mana didalam peraturan perundang-undangan tidak menjelaskan pendirian BUMDes dibuat dalam bentuk akta Notaril. Berdasarkan hal tersebut,maka penulis merumuskan permasalahan yaitu 1. Bagaimana Subtansi Akta Pendirian Badan Usaha Milik Desa Taratak Bancah Sejahtera? 2. Bagaimana Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Pendirian Badan Usaha Milik Desa?. Metode penelitian dalam pene","PeriodicalId":31238,"journal":{"name":"Lambung Mangkurat Law Journal","volume":"3 1","pages":"217-228"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-09-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47322085","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Sistem pembuktian dalam kepailitan menerapkan prinsip pembuktian sederhana sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi yaitu adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Pembuktian sederhana ini tidak memperhatikan aspek kemampuan membayar debitor, sehingga apabila syarat substantif sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) terpenuhi debitor harus dinyatakan pailit. Pembuktian sederhana ini disatu sisi menerapkan aspek kepastian hukum namun disisi lain mengabaikan aspek keadilan karena debitor yang masih mempunyai kemampuan membayar juga akan dipailitkan. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan yang akan diteliti adalah bagaimana model pembuktian dalam kepailitan yang memberikan keadilan terhadap debitor yang mempunyai kemampuan membayar. Menggunakan metode penelitian yuridis normatif dapat dijelaskan bahwa pembuktian yang dapat memberikan keadilan bagi debitor adalah dengan menambahkan solvable test dalam pembuktian di Pengadilan Niaga, yaitu sistem pembuktian terhadap aspek kemampuan debitor dalam membayar utang, disamping pembuktian terhadap syarat subtantif yaitu kreditor lebih dari satu dan adanya utang yang belum lunas telah jatuh tempo dan dapat ditagih. MODEL SOLVABLE TEST PADA PEMBUKTIAN KEPAILITAN DI PENGADILAN NIAGA SEBAGAI BENTUK KEADILAN BAGI DEBITOR PERUSAHAAN
{"title":"Model Solvable Test pada Pembuktian Kepailitan di Pengadilan Niaga sebagai Bentuk Keadilan bagi Debitor Perusahaan","authors":"Mulyani Zulaeha","doi":"10.32801/LAMLAJ.V3I2.84","DOIUrl":"https://doi.org/10.32801/LAMLAJ.V3I2.84","url":null,"abstract":"Sistem pembuktian dalam kepailitan menerapkan prinsip pembuktian sederhana sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi yaitu adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Pembuktian sederhana ini tidak memperhatikan aspek kemampuan membayar debitor, sehingga apabila syarat substantif sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) terpenuhi debitor harus dinyatakan pailit. Pembuktian sederhana ini disatu sisi menerapkan aspek kepastian hukum namun disisi lain mengabaikan aspek keadilan karena debitor yang masih mempunyai kemampuan membayar juga akan dipailitkan. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan yang akan diteliti adalah bagaimana model pembuktian dalam kepailitan yang memberikan keadilan terhadap debitor yang mempunyai kemampuan membayar. Menggunakan metode penelitian yuridis normatif dapat dijelaskan bahwa pembuktian yang dapat memberikan keadilan bagi debitor adalah dengan menambahkan solvable test dalam pembuktian di Pengadilan Niaga, yaitu sistem pembuktian terhadap aspek kemampuan debitor dalam membayar utang, disamping pembuktian terhadap syarat subtantif yaitu kreditor lebih dari satu dan adanya utang yang belum lunas telah jatuh tempo dan dapat ditagih. MODEL SOLVABLE TEST PADA PEMBUKTIAN KEPAILITAN DI PENGADILAN NIAGA SEBAGAI BENTUK KEADILAN BAGI DEBITOR PERUSAHAAN","PeriodicalId":31238,"journal":{"name":"Lambung Mangkurat Law Journal","volume":"3 1","pages":"229-241"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-09-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47669558","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Malpraktek medik di dunia kedokteran sering terjadi di sekitar kita. Malpraktek medik ini terjadi karena adanya tindakan dokter yang alpa, tidak hati-hati, lalai dalam melakukan tindakan medik, meskipun telah dilakukan perjanjian atau persetujuan medik. Aspek hukum malpraktek medik meliputi aspek hukum perdata, aspek hukum pidana, serta aspek hukum administrasi. Ketiga aspek hukum tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada dokter yang diduga melakukan malpraktek medik serta pasien yang menjadi korban malpraktek medik.
{"title":"Aspek Hukum Penanganan Tindakan Malpraktek Medik di Indonesia","authors":"Dinarjati Eka Puspitasari","doi":"10.32801/lamlaj.v3i2.86","DOIUrl":"https://doi.org/10.32801/lamlaj.v3i2.86","url":null,"abstract":"Malpraktek medik di dunia kedokteran sering terjadi di sekitar kita. Malpraktek medik ini terjadi karena adanya tindakan dokter yang alpa, tidak hati-hati, lalai dalam melakukan tindakan medik, meskipun telah dilakukan perjanjian atau persetujuan medik. Aspek hukum malpraktek medik meliputi aspek hukum perdata, aspek hukum pidana, serta aspek hukum administrasi. Ketiga aspek hukum tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada dokter yang diduga melakukan malpraktek medik serta pasien yang menjadi korban malpraktek medik.","PeriodicalId":31238,"journal":{"name":"Lambung Mangkurat Law Journal","volume":"3 1","pages":"242-261"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-09-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47267493","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-09-30DOI: 10.32801/LAMLAJ.V3I2.89.G166
D. Setiawan, D. S. Gozali, Mispansyah Mispansyah
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis akta pernyataan dan kuasa untuk roya yang dibuat dihadapan notaris dalam penggunaan proses lelang, sama seperti Sertifikat Hak Tanggungan dan menganalisis perlindungan hukum terhadap kreditur dalam melaksanakan eksekusi jaminan milik debitur yang melakukan wanprestasi bilamana Sertifikat Hak Tanggungannya hilang. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Hasil Penelitian : Pertama Akta Pernyataan dan Kuasa Untuk Roya yang dibuat dihadapan notaris tidak dapat digunakan dalam proses lelang, sebagai pengganti Sertifikat Hak Tanggungan dalam melakukan eksekusi obyek Jaminan melalui lelang, namun Akta Pernyataan dan Kuasa Untuk Roya dapat digunakan setelah lelang. Penggunaan Akta Pernyataan dan Kuasa untuk Roya ini sebagai pengganti Sertifikat Hak Tanggungan, syarat administrasi dalam penghapusan Hak Tanggungan atas Hak Atas Tanah pada Badan Pertanahan Nasional. Kedua, Perlindungan hukum terhadap kreditur dalam melaksanakan eksekusi jaminan milik debitur yang wanprestasi yang Sertifikat Hak Tanggungannya adalah dengan melaksanakan eksekusi melalui penjualan secara bawah tangan dengan memenuhi syarat yang di atur dalam Pasal 20 ayat (2) dan (3) UU Hak Tanggungan. Kreditur tidak dapat melaksanakan eksekusi obyek Hak Tanggungan melalui Parate Eksekusi maupun melalui Pengadilan Negeri (Fiat Eksekusi). Perlindungan hukum yang dapat ditempuh oleh pihak kreditur, selain melaksanakan penjualan secara bawah tangan juga dapat berupa mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri dengan tergugat pihak Badan Pertanahan Nasional selaku pihak yang lalai menghilangkan sertifikat hak tanggungan; pihak debitur yang wanprestasi selaku sebagai turut tergugat.
{"title":"Kedudukan Hukum Akta Pernyataan dan Kuasa untuk Roya (Konsen Roya)dalam Proses Lelang","authors":"D. Setiawan, D. S. Gozali, Mispansyah Mispansyah","doi":"10.32801/LAMLAJ.V3I2.89.G166","DOIUrl":"https://doi.org/10.32801/LAMLAJ.V3I2.89.G166","url":null,"abstract":"Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis akta pernyataan dan kuasa untuk roya yang dibuat dihadapan notaris dalam penggunaan proses lelang, sama seperti Sertifikat Hak Tanggungan dan menganalisis perlindungan hukum terhadap kreditur dalam melaksanakan eksekusi jaminan milik debitur yang melakukan wanprestasi bilamana Sertifikat Hak Tanggungannya hilang. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Hasil Penelitian : Pertama Akta Pernyataan dan Kuasa Untuk Roya yang dibuat dihadapan notaris tidak dapat digunakan dalam proses lelang, sebagai pengganti Sertifikat Hak Tanggungan dalam melakukan eksekusi obyek Jaminan melalui lelang, namun Akta Pernyataan dan Kuasa Untuk Roya dapat digunakan setelah lelang. Penggunaan Akta Pernyataan dan Kuasa untuk Roya ini sebagai pengganti Sertifikat Hak Tanggungan, syarat administrasi dalam penghapusan Hak Tanggungan atas Hak Atas Tanah pada Badan Pertanahan Nasional. Kedua, Perlindungan hukum terhadap kreditur dalam melaksanakan eksekusi jaminan milik debitur yang wanprestasi yang Sertifikat Hak Tanggungannya adalah dengan melaksanakan eksekusi melalui penjualan secara bawah tangan dengan memenuhi syarat yang di atur dalam Pasal 20 ayat (2) dan (3) UU Hak Tanggungan. Kreditur tidak dapat melaksanakan eksekusi obyek Hak Tanggungan melalui Parate Eksekusi maupun melalui Pengadilan Negeri (Fiat Eksekusi). Perlindungan hukum yang dapat ditempuh oleh pihak kreditur, selain melaksanakan penjualan secara bawah tangan juga dapat berupa mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri dengan tergugat pihak Badan Pertanahan Nasional selaku pihak yang lalai menghilangkan sertifikat hak tanggungan; pihak debitur yang wanprestasi selaku sebagai turut tergugat.","PeriodicalId":31238,"journal":{"name":"Lambung Mangkurat Law Journal","volume":"3 1","pages":"262-278"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-09-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43046407","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-09-30DOI: 10.32801/lamlaj.v3i2.73.g163
Annis Hidayati
Penelitian ini adalah bagaimana bentuk pertanggungjawaban bank terhadap nasabah yang menjadi korban tanda tangan palsu oleh pihak lain. Juga yang dibahas adalah perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah bank yang menjadi korban tanda tangan palsu oleh pihak lain. Bentuk pertanggungjawaban bank adalah dengan mengamankan uang nasabah. sebaik mungkin. Cara yang dapat dilakukan adalah kewajiban bagi bank untuk menjadi anggota LPS sehingga dapat memberikan perlindungan bagi deposan penabung yang akan menyetor. Manajemen bank juga harus menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan bisnis perbankan. Perlindungan hukum yang diberikan kepada pelanggan harus bersifat preventif dan penyegaran, yaitu pihak perbankan harus menjalankan bisnis perbankan di bawah hukum dan peraturan yang berlaku dan menyediakan forum mediasi perbankan yang berfungsi untuk menyelesaikan keluhan pelanggan yang merasa hak mereka terganggu.
{"title":"Pertanggungjawaban Bank terhadap Nasabah Akibat Pemalsuan Tanda Tangan","authors":"Annis Hidayati","doi":"10.32801/lamlaj.v3i2.73.g163","DOIUrl":"https://doi.org/10.32801/lamlaj.v3i2.73.g163","url":null,"abstract":"Penelitian ini adalah bagaimana bentuk pertanggungjawaban bank terhadap nasabah yang menjadi korban tanda tangan palsu oleh pihak lain. Juga yang dibahas adalah perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah bank yang menjadi korban tanda tangan palsu oleh pihak lain. Bentuk pertanggungjawaban bank adalah dengan mengamankan uang nasabah. sebaik mungkin. Cara yang dapat dilakukan adalah kewajiban bagi bank untuk menjadi anggota LPS sehingga dapat memberikan perlindungan bagi deposan penabung yang akan menyetor. Manajemen bank juga harus menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan bisnis perbankan. Perlindungan hukum yang diberikan kepada pelanggan harus bersifat preventif dan penyegaran, yaitu pihak perbankan harus menjalankan bisnis perbankan di bawah hukum dan peraturan yang berlaku dan menyediakan forum mediasi perbankan yang berfungsi untuk menyelesaikan keluhan pelanggan yang merasa hak mereka terganggu.","PeriodicalId":31238,"journal":{"name":"Lambung Mangkurat Law Journal","volume":"3 1","pages":"204-216"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-09-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48914233","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-09-15DOI: 10.32801/LAMLAJ.V3I2.74.G152
M. Ariwibowo
Meninggalnya debitor tidak menyebabkan berakhirnya perjanjian kredit bank, yang hapus hanyalah perjanjian kredit bank saja, sementara perikatan dalam perjanjian kredit bank masih belum berakhir, mengingat perjanjian kredit bank termasuk perjanjian timbal balik. Ketika debitornya meninggal dunia, kewajiban melakukan pembayaran sisa utang masih belum berakhir, karena ahli waris yang bersangkutan masih harus menyelesaikan kewajibannya (prestasi) untuk melunasi sisa kredit yang belum dibayar sesuai dengan diperjanjikan. Pelaksanaan prestasi oleh debitor menjadi terhambat, karena keburu debitor yang bersangkutan meninggal dunia. Dengan meninggalnya debitor, perikatan dalam perjanjian kredit masih belum berakhir, yang berakhir hanyalah perjanjiannya, sementara perikatannya masih belum berakhir. Untuk meminimalisir risiko akibat debitor meninggal dunia dalam perjanjian kredit bank tersebut, sebaiknya bank mewajibkan memasukkan klausula asuransi jiwa debitornya di dalamnya, yang klaim asuransinya merupakan hak kreditor yang bersangkutan.
{"title":"Keberadaan Perjanjian Kredit Bank yang Debitornya Meninggal Dunia","authors":"M. Ariwibowo","doi":"10.32801/LAMLAJ.V3I2.74.G152","DOIUrl":"https://doi.org/10.32801/LAMLAJ.V3I2.74.G152","url":null,"abstract":"Meninggalnya debitor tidak menyebabkan berakhirnya perjanjian kredit bank, yang hapus hanyalah perjanjian kredit bank saja, sementara perikatan dalam perjanjian kredit bank masih belum berakhir, mengingat perjanjian kredit bank termasuk perjanjian timbal balik. Ketika debitornya meninggal dunia, kewajiban melakukan pembayaran sisa utang masih belum berakhir, karena ahli waris yang bersangkutan masih harus menyelesaikan kewajibannya (prestasi) untuk melunasi sisa kredit yang belum dibayar sesuai dengan diperjanjikan. Pelaksanaan prestasi oleh debitor menjadi terhambat, karena keburu debitor yang bersangkutan meninggal dunia. Dengan meninggalnya debitor, perikatan dalam perjanjian kredit masih belum berakhir, yang berakhir hanyalah perjanjiannya, sementara perikatannya masih belum berakhir. Untuk meminimalisir risiko akibat debitor meninggal dunia dalam perjanjian kredit bank tersebut, sebaiknya bank mewajibkan memasukkan klausula asuransi jiwa debitornya di dalamnya, yang klaim asuransinya merupakan hak kreditor yang bersangkutan.","PeriodicalId":31238,"journal":{"name":"Lambung Mangkurat Law Journal","volume":"3 1","pages":"168-182"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-09-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44628209","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2018-09-15DOI: 10.32801/LAMLAJ.V3I2.83.G153
Adwin Tista
Asas pemisahan horisontal dalam hukum tanah nasional mempunyai makna filosofis untuk memaksimalkan fungsi tanah bagi kehidupan masyarakat. Eksistensi asas pemisahan horisontal adalah dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Wujud nyata penerapan asas pemisahan horisontal adalah dalam hal pengelolaan usaha perkebunan antara pemilik tanah bekerjasama dengan pelaku usaha perkebunan selaku pemilik modal. Namun dalam praktiknya, penerapan asas pemisahan horisontal dapat menimbulkan permasalahan, yaitu terjadinya penjaminan ganda antara hak tanggungan yang dibebankan terhadap hak atas tanah dengan jaminan fidusia yang dibebankan terhadap benda-benda yang ada diatas tanah, baik terhadap tanaman perkebunan maupun bangunan pabrik diatas lahan perkebunan. Solusi atas permasalahan tersebut adalah dengan melakukan rekonstruksi hukum di bidang administrasi pertanahan yaitu dengan cara membuat Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pendaftaran tanaman dalam konteks perkebunan dan pendaftaran bangunan, disamping Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang sudah ada. Melalui pendaftaran tersebut diterbitkan Sertifikat Hak Atas Tanaman (SHAT) oleh Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten atau Kota dan Sertifikat Hak Atas Bangunan (SHAB) oleh Pemerintah Kabupaten atau Kota.
{"title":"Penjaminan Ganda dalam Hukum Tanah Nasional sebagai Implikasi Asas Pemisahan Horisontal","authors":"Adwin Tista","doi":"10.32801/LAMLAJ.V3I2.83.G153","DOIUrl":"https://doi.org/10.32801/LAMLAJ.V3I2.83.G153","url":null,"abstract":"Asas pemisahan horisontal dalam hukum tanah nasional mempunyai makna filosofis untuk memaksimalkan fungsi tanah bagi kehidupan masyarakat. Eksistensi asas pemisahan horisontal adalah dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Wujud nyata penerapan asas pemisahan horisontal adalah dalam hal pengelolaan usaha perkebunan antara pemilik tanah bekerjasama dengan pelaku usaha perkebunan selaku pemilik modal. Namun dalam praktiknya, penerapan asas pemisahan horisontal dapat menimbulkan permasalahan, yaitu terjadinya penjaminan ganda antara hak tanggungan yang dibebankan terhadap hak atas tanah dengan jaminan fidusia yang dibebankan terhadap benda-benda yang ada diatas tanah, baik terhadap tanaman perkebunan maupun bangunan pabrik diatas lahan perkebunan. Solusi atas permasalahan tersebut adalah dengan melakukan rekonstruksi hukum di bidang administrasi pertanahan yaitu dengan cara membuat Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pendaftaran tanaman dalam konteks perkebunan dan pendaftaran bangunan, disamping Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang sudah ada. Melalui pendaftaran tersebut diterbitkan Sertifikat Hak Atas Tanaman (SHAT) oleh Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten atau Kota dan Sertifikat Hak Atas Bangunan (SHAB) oleh Pemerintah Kabupaten atau Kota.","PeriodicalId":31238,"journal":{"name":"Lambung Mangkurat Law Journal","volume":"3 1","pages":"183-193"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-09-15","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44584287","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
A husband is given the right to deny the child born by his wife as his child, while his wife denies the accusation. If a husband accuses his wife of adultery, but does not complete the evidence by presenting 4 witnesses and his wife refutes the accusation, then they can take the oath of li'an . The child born of the oath of li'an is a child who called as mula’nah or an adulterous child or a child born out of marriage. As a result of the legal li'an child, this adulterous child does not have nasab , marriage guardian, inheritance and a living with the man who caused his birth. In order for the li'an child not to be abandoned by his biological father, a biological father should be appointed to take responsibility for fulfilling the life needs of the li'an child concerned. The government has the authority to determine the punishment of ta'zir to the adulterous man by obliging him to fulfill the life needs of the li'an child, even obliging him to give part of the assets after he dies through obligatory wasiat . This is done in order to fulfill the sense of justice and the interests of children and human rights of a child.
{"title":"The Urgency of Protecting Children Born from Women had Ceased Her Marriage Due to Li'an*)","authors":"Rachmadi Usman, Diana Rahmawati","doi":"10.32801/LAMLAJ.V3I2.72","DOIUrl":"https://doi.org/10.32801/LAMLAJ.V3I2.72","url":null,"abstract":"A husband is given the right to deny the child born by his wife as his child, while his wife denies the accusation. If a husband accuses his wife of adultery, but does not complete the evidence by presenting 4 witnesses and his wife refutes the accusation, then they can take the oath of li'an . The child born of the oath of li'an is a child who called as mula’nah or an adulterous child or a child born out of marriage. As a result of the legal li'an child, this adulterous child does not have nasab , marriage guardian, inheritance and a living with the man who caused his birth. In order for the li'an child not to be abandoned by his biological father, a biological father should be appointed to take responsibility for fulfilling the life needs of the li'an child concerned. The government has the authority to determine the punishment of ta'zir to the adulterous man by obliging him to fulfill the life needs of the li'an child, even obliging him to give part of the assets after he dies through obligatory wasiat . This is done in order to fulfill the sense of justice and the interests of children and human rights of a child.","PeriodicalId":31238,"journal":{"name":"Lambung Mangkurat Law Journal","volume":"3 1","pages":"148-167"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-09-04","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47149432","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
The important role of the appraisal frequently raises conflicts between the government as the land procurement committee for development for public interest with the society as the rightful party upon the said object of land procurement. Therefore, it is deemed necessary that there is deliberation based on the principle of consensus. The Act has given the opportunity to the party who feels disadvantaged to counter in a form of objection referred to the court, so he or she can petition for compensation in conformity with his or her right. The consensus shall be on the form of the compensation (especially in a form of money). In case there is a disagreement on the amount of the compensation, such change on the amount of the compensation shall be made according to Article 37 paragraph (1) of Act Number 2 of 2012, but by filing a complaint to the court because the appraiser is a professional and independent institution whose tasks should based on Indonesian Appraisal Standard (SPI) and may not be contradictory to Indonesian Appraisal Code of Conduct (KEPI).
{"title":"The Objectives from the Rightful Party on the Property Appraisal by the Appraiser for the Compensation in Land Procurement","authors":"Syamsuni Syamsuni, Mohammad Effendy, E. Erlina","doi":"10.32801/LAMLAJ.V3I2.82","DOIUrl":"https://doi.org/10.32801/LAMLAJ.V3I2.82","url":null,"abstract":"The important role of the appraisal frequently raises conflicts between the government as the land procurement committee for development for public interest with the society as the rightful party upon the said object of land procurement. Therefore, it is deemed necessary that there is deliberation based on the principle of consensus. The Act has given the opportunity to the party who feels disadvantaged to counter in a form of objection referred to the court, so he or she can petition for compensation in conformity with his or her right. The consensus shall be on the form of the compensation (especially in a form of money). In case there is a disagreement on the amount of the compensation, such change on the amount of the compensation shall be made according to Article 37 paragraph (1) of Act Number 2 of 2012, but by filing a complaint to the court because the appraiser is a professional and independent institution whose tasks should based on Indonesian Appraisal Standard (SPI) and may not be contradictory to Indonesian Appraisal Code of Conduct (KEPI).","PeriodicalId":31238,"journal":{"name":"Lambung Mangkurat Law Journal","volume":"3 1","pages":"132-147"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-08-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47658476","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai penyalur dana kepada masyarakat, industri perbankan memberikan kredit kepada nasabah (debitor). Pemberian kredit oleh bank pada dasarnya harus dilandasi dengan keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor dan masyarakat penyimpanan dana. Hal tersebut wajib dilaksanakan karena kredit yang diberikan bank mengandung risiko. Dalam perkembangannya tidak semua bank telah menerapkan kredit tanpa jaminan. Beberapa tahun terakhir ini pemerintah mengeluarkan program kredit tanpa jaminan yang disebut Kredit Usaha Rakyat tanpa jaminan.KUR ini ditujukan dalam rangka pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM), penciptaan lapangan kerja, dan penanggulangan kemiskinan. Walaupun kredit macet pada KUR sudah dijamin oleh PT Askrindo dan PT Jamkrindo, kreditor tetap harus memperhitungkan dan meminimalisasi terjadinya kredit macet. Penolakan klaim asuransi banyak terjadi di setiap bank yang melaksanakan program KUR dengan berbagai alasan oleh PT Askrindo. Penolakan klaim asuransi kredit oleh PT Askrindo sangat merugikan bank pelaksana KUR. Kemungkinan alasan penolakan tersebut bisa terjadi karena kesalahan bank pelaksana KUR itu sendiri, atau dari pihak lembaga penjamin KUR, yang dalam hal ini adalah PT Askrindo.Namun setiap penolakan klaim asuransi KUR berdampak pada kerugian kreditor, sehingga perlu diketahui penyebab penolakan klaim asuransi dan perlindungan hukum terhadap pihak kreditor tersebut.
{"title":"Pelanggaran Hak terhadap Kreditor atas Klaim Asuransi Kredit Usaha Rakyat yang Macet ditinjau dari Undang-Undang Perbankan","authors":"Rani Apriani","doi":"10.32801/LAMLAJ.V3I1.70","DOIUrl":"https://doi.org/10.32801/LAMLAJ.V3I1.70","url":null,"abstract":"Dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai penyalur dana kepada masyarakat, industri perbankan memberikan kredit kepada nasabah (debitor). Pemberian kredit oleh bank pada dasarnya harus dilandasi dengan keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor dan masyarakat penyimpanan dana. Hal tersebut wajib dilaksanakan karena kredit yang diberikan bank mengandung risiko. Dalam perkembangannya tidak semua bank telah menerapkan kredit tanpa jaminan. Beberapa tahun terakhir ini pemerintah mengeluarkan program kredit tanpa jaminan yang disebut Kredit Usaha Rakyat tanpa jaminan.KUR ini ditujukan dalam rangka pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM), penciptaan lapangan kerja, dan penanggulangan kemiskinan. Walaupun kredit macet pada KUR sudah dijamin oleh PT Askrindo dan PT Jamkrindo, kreditor tetap harus memperhitungkan dan meminimalisasi terjadinya kredit macet. Penolakan klaim asuransi banyak terjadi di setiap bank yang melaksanakan program KUR dengan berbagai alasan oleh PT Askrindo. Penolakan klaim asuransi kredit oleh PT Askrindo sangat merugikan bank pelaksana KUR. Kemungkinan alasan penolakan tersebut bisa terjadi karena kesalahan bank pelaksana KUR itu sendiri, atau dari pihak lembaga penjamin KUR, yang dalam hal ini adalah PT Askrindo.Namun setiap penolakan klaim asuransi KUR berdampak pada kerugian kreditor, sehingga perlu diketahui penyebab penolakan klaim asuransi dan perlindungan hukum terhadap pihak kreditor tersebut.","PeriodicalId":31238,"journal":{"name":"Lambung Mangkurat Law Journal","volume":"3 1","pages":"108-119"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2018-03-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47846541","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}