Keris merupakan benda hasil budaya bangsa Indonesia yang memiliki nilai seni yang indah dan nilai ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu, budaya pembuatan keris tetap dipertahankan di beberapa daerah, salah satunya di Kabupaten Sumenep. Tradisi pembuatan keris di Sumenep diperkirakan sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit dan masih terus bertahan hingga kini. Pesatnya perkembangan industri dan jumlah perajin keris di Sumenep menjadikan Sumenep sebagai Kota Keris Indonesia. Selama mempertahankan budaya keris tersebut, masyarakat Sumenep sempat menghadapi beberapa kendala, antara lain konflik antara perajin keris dan pedagang keris, konflik pedagang keris dan aparat, serta menjamurnya kasus keris prosesan. Bagaimana masyarakat Sumenep mengatasi konflik-konflik tersebut? Bagaimana perhatian dari para pemangku kepentingan, baik pemerintah, organisasi keris, serta masyarakat untuk bersama-sama mengatasi konflik-konflik tersebut? Tulisan ini bertujuan menguraikan peran pemerintah daerah dalam pengembangan keris di Kabupaten Sumenep. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, observasi, dan analisis dokumen, yang kemudian dianalisis menggunakan interpretative phenomenological analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi pembuatan keris di Sumenep pernah mengalami pasang surut. Tetapi setelah dilakukan revitalisasi budaya yang melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah daerah pembuatan keris di Sumenep berkembang pesat hingga mencapai skala industri.
{"title":"PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGEMBANGAN TRADISI KERIS DI KABUPATEN SUMENEP, MADURA","authors":"Unggul Sudrajat","doi":"10.24832/jk.v15i2.363","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/jk.v15i2.363","url":null,"abstract":"Keris merupakan benda hasil budaya bangsa Indonesia yang memiliki nilai seni yang indah dan nilai ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu, budaya pembuatan keris tetap dipertahankan di beberapa daerah, salah satunya di Kabupaten Sumenep. Tradisi pembuatan keris di Sumenep diperkirakan sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit dan masih terus bertahan hingga kini. Pesatnya perkembangan industri dan jumlah perajin keris di Sumenep menjadikan Sumenep sebagai Kota Keris Indonesia. Selama mempertahankan budaya keris tersebut, masyarakat Sumenep sempat menghadapi beberapa kendala, antara lain konflik antara perajin keris dan pedagang keris, konflik pedagang keris dan aparat, serta menjamurnya kasus keris prosesan. Bagaimana masyarakat Sumenep mengatasi konflik-konflik tersebut? Bagaimana perhatian dari para pemangku kepentingan, baik pemerintah, organisasi keris, serta masyarakat untuk bersama-sama mengatasi konflik-konflik tersebut? Tulisan ini bertujuan menguraikan peran pemerintah daerah dalam pengembangan keris di Kabupaten Sumenep. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, observasi, dan analisis dokumen, yang kemudian dianalisis menggunakan interpretative phenomenological analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi pembuatan keris di Sumenep pernah mengalami pasang surut. Tetapi setelah dilakukan revitalisasi budaya yang melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah daerah pembuatan keris di Sumenep berkembang pesat hingga mencapai skala industri.","PeriodicalId":31479,"journal":{"name":"IBDA Jurnal Kebudayaan Islam","volume":"43 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-12-22","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"88175414","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Sebagai informasi, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional Republik Indonesia, Nomor 85/M/KPT/2020 tentang Peringkat Akreditasi Jurnal Ilmiah Periode I tahun 2020, tanggal 1 April 2020, Jurnal Kebudayaan saat ini ditetapkan sebagai Jurnal Ilmiah Terakreditasi Peringkat 4. Capaian akreditasi ini menjadi titik awal untuk meningkatkan kualitas Jurnal Kebudayaan pada periode yang akan datang, baik dari segi konten artikel maupun tampilan. Sebagaimana terbitan sebelumnya, Jurnal Kebudayaan Volume 15, Nomor 1, tahun 2020 ini menampilkan topik-topik yang bervariasi, mulai dari permuseuman, sejarah, benda budaya sebagai media pembelajaran, pengembangan media digital, filsafat, hingga pariwisata budaya. Herman Hendrik menyoroti tentang rendahnya minat sebagian masyarakat untuk berkunjung ke museum dengan alasan tidak memiliki waktu dan jarak ke museum yang jauh. Adapun Budiana Setiawan menyampaikan pendapat bahwa karakteristik bentang alam yang melatarbelakangi pelabuhan-pelabuhan kuno turut memengaruhi ramai tidaknya pelabuhan kuno tersebut disinggahi pedagang-pedagang asing pada masa lampau. Sementara itu, Exsaris Januar mengkaji bagaimana carano (semacam wadah tradisional yang digunakan untuk upacara adat pada masyarakat Minang) dapat digunakan sebagai media pembelajaran atau literasi budaya terhadap peserta didik. Selanjutnya, Defri Elias Simatupang menunjukkan bahwa pengembangan media partispasi publik elektronik atau E-Consultation dapat digunakan untuk membantu pemerintah daerah dalam membuat kebijakan yang terkait dengan pengelolaan Situs Bukit Karang Kawal Darat di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Pada artikel lainnya, Fellyanus Habaora dan kawan-kawan menyampaikan bahwa cara pandang falsafah sains dari Fritjof Capra dapat digunakan untuk melihat dan menganalisis realitas ekologis secara ontologis dan holistik. Terakhir, Bambang H. Suta Purwana menyoroti tentang ketidakberhasilan komodifikasi budaya tradisional di Kampung Pitu, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Semua artikel tersebut diharapkan dapat memperkaya pengetahuan dan daya kritis para pembaca terhadap khazanah kebudayaan Indonesia. Akhir kata, Dewan Redaksi Jurnal Kebudayaan mengucapkan selamat membaca dan semoga mendapatkan manfaat dari artikel-artikel yang disajikan.
如需更多信息,根据印度尼西亚共和国国家研究与技术与创新局(national research and technology and agency)的裁决,有关2020年1月1日至4月1日该期科学期刊认证排名85/M/KPT/2020,目前的文化期刊被列为第四认证科学期刊。从文章和视图的内容来看,这一认证为今后一段时间提高文化期刊质量的起点。像上一期一样,《文化杂志》第15卷第1卷,2020年以文化为基础,从基层、历史、文化对象作为学习媒介、数字媒体发展、哲学到文化旅游,呈现出各种各样的主题。赫尔曼·亨德里克(Herman Hendrik)指出,有些人因为没有时间和距离参观博物馆而对参观博物馆的兴趣不大。至于布迪安娜·塞德万(Budiana Setiawan)则认为,古代港口的通气特点有助于古代外国商人在过去的繁忙旅程中所作的贡献。与此同时,Exsaris Januar回顾了如何将carano(一种传统的用于民朗社区习俗仪式的容器)用于学习者的学习或文化识字媒介。接下来,Defri Elias Simatupang指出,电子或e - consulpan公共媒体的发展可以用来帮助地方政府在廖内省的Bintan区制定与地面控制山体站点有关的政策。在另一篇文章中,Habaora和他的同事们提出,Capra Fritjof的科学哲学观点可以用来观察和分析本体论和整体主义的生态现实。最后,Bambang H. Suta Purwana突出,他指出了日惹省区hipitu mountain Kidul区的传统文化成果不佳。所有这些文章都将丰富读者对印尼文化khazanah的批判性知识和影响。最后,《文化杂志》的编辑委员会祝贺读者,并希望从发表的文章中受益。
{"title":"EDITORIAL DAN DAFTAR ISI, JURNAL KEBUDAYAAN, VOL. 15, NO. 1 TAHUN 2020","authors":"Jurnal Kebudayaan","doi":"10.24832/jk.v15i1.380","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/jk.v15i1.380","url":null,"abstract":"Sebagai informasi, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional Republik Indonesia, Nomor 85/M/KPT/2020 tentang Peringkat Akreditasi Jurnal Ilmiah Periode I tahun 2020, tanggal 1 April 2020, Jurnal Kebudayaan saat ini ditetapkan sebagai Jurnal Ilmiah Terakreditasi Peringkat 4. Capaian akreditasi ini menjadi titik awal untuk meningkatkan kualitas Jurnal Kebudayaan pada periode yang akan datang, baik dari segi konten artikel maupun tampilan. \u0000Sebagaimana terbitan sebelumnya, Jurnal Kebudayaan Volume 15, Nomor 1, tahun 2020 ini menampilkan topik-topik yang bervariasi, mulai dari permuseuman, sejarah, benda budaya sebagai media pembelajaran, pengembangan media digital, filsafat, hingga pariwisata budaya. Herman Hendrik menyoroti tentang rendahnya minat sebagian masyarakat untuk berkunjung ke museum dengan alasan tidak memiliki waktu dan jarak ke museum yang jauh. Adapun Budiana Setiawan menyampaikan pendapat bahwa karakteristik bentang alam yang melatarbelakangi pelabuhan-pelabuhan kuno turut memengaruhi ramai tidaknya pelabuhan kuno tersebut disinggahi pedagang-pedagang asing pada masa lampau. Sementara itu, Exsaris Januar mengkaji bagaimana carano (semacam wadah tradisional yang digunakan untuk upacara adat pada masyarakat Minang) dapat digunakan sebagai media pembelajaran atau literasi budaya terhadap peserta didik. \u0000Selanjutnya, Defri Elias Simatupang menunjukkan bahwa pengembangan media partispasi publik elektronik atau E-Consultation dapat digunakan untuk membantu pemerintah daerah dalam membuat kebijakan yang terkait dengan pengelolaan Situs Bukit Karang Kawal Darat di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Pada artikel lainnya, Fellyanus Habaora dan kawan-kawan menyampaikan bahwa cara pandang falsafah sains dari Fritjof Capra dapat digunakan untuk melihat dan menganalisis realitas ekologis secara ontologis dan holistik. Terakhir, Bambang H. Suta Purwana menyoroti tentang ketidakberhasilan komodifikasi budaya tradisional di Kampung Pitu, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. \u0000Semua artikel tersebut diharapkan dapat memperkaya pengetahuan dan daya kritis para pembaca terhadap khazanah kebudayaan Indonesia. Akhir kata, Dewan Redaksi Jurnal Kebudayaan mengucapkan selamat membaca dan semoga mendapatkan manfaat dari artikel-artikel yang disajikan.","PeriodicalId":31479,"journal":{"name":"IBDA Jurnal Kebudayaan Islam","volume":"42 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2020-09-21","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"76649036","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Perpindahan penduduk dari Jawa ke Lampung yang berlangsung bertahun-tahun, tepatnya sejak 1905, memicu terjadinya perkembangan sosial dan budaya yang mencakup adaptasi dan pembentukan identitas. Pertanyaan identitas adalah bagian dari kehidupan setiap orang baik secara individu atau dalam kelompok yang mengalaminya sebagai pembeda atau penyama dengan individu atau kelompok lain. Salah satu materi yang dapat digunakan dalam proses identifikasi adalah kesenian. Seperti yang terjadi pada masyarakat Jawa di Pajaresuk, Pringsewu, Lampung yang menggunakan kesenian Janengan untuk menegaskan identitasnya sebagai orang Jawa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seperti apa bentuk penyajian dan skema permainan kesenian Janengan, juga bagaimana kesenian Janengan menjadi identitas masyarakat Jawa di Pajaresuk, Pringsewu, Lampung. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode deskriptif analisis dan perspektif Etnomusikologis. Berdasarkan prosedurini dapat dikatakan bahwa kesenian Janengan merepresentasikan identitas masyarakat Jawa di Pajaresuk, Pringsewu Lampung melalui unsur-unsur budaya Jawa yang terkandung di dalamnya.
{"title":"KESENIAN JANENGAN; IDENTITAS KEETNISAN MASYARAKAT JAWA DI PAJARESUK LAMPUNG","authors":"F. Anto","doi":"10.24832/jk.v14i1.268","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/jk.v14i1.268","url":null,"abstract":"Perpindahan penduduk dari Jawa ke Lampung yang berlangsung bertahun-tahun, tepatnya sejak 1905, memicu terjadinya perkembangan sosial dan budaya yang mencakup adaptasi dan pembentukan identitas. Pertanyaan identitas adalah bagian dari kehidupan setiap orang baik secara individu atau dalam kelompok yang mengalaminya sebagai pembeda atau penyama dengan individu atau kelompok lain. Salah satu materi yang dapat digunakan dalam proses identifikasi adalah kesenian. Seperti yang terjadi pada masyarakat Jawa di Pajaresuk, Pringsewu, Lampung yang menggunakan kesenian Janengan untuk menegaskan identitasnya sebagai orang Jawa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seperti apa bentuk penyajian dan skema permainan kesenian Janengan, juga bagaimana kesenian Janengan menjadi identitas masyarakat Jawa di Pajaresuk, Pringsewu, Lampung. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode deskriptif analisis dan perspektif Etnomusikologis. Berdasarkan prosedurini dapat dikatakan bahwa kesenian Janengan merepresentasikan identitas masyarakat Jawa di Pajaresuk, Pringsewu Lampung melalui unsur-unsur budaya Jawa yang terkandung di dalamnya.","PeriodicalId":31479,"journal":{"name":"IBDA Jurnal Kebudayaan Islam","volume":"23 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-11-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"85345725","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Sumatera Barat atau juga dikenal sebagai Ranah Minangkabau merupakan daerah di Indonesia yang sangat berkembang tradisi pencak silatnya. Pencak silat disana dikenal dengan julukan silek. Banyak aliran silek yang tumbuh subur dan berkembang di ranah Minang. Sebagai daerah yang memiliki tradisi pencak silat, Sumatera Barat menjadi salah satu daerah yang dijadikan lokasi penelitian tradisi pencak silat yang akan diusulkan ke Unesco. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi proses pewarisan silek dan upaya pemerintah dalam melestarikan silek. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik observasi, wawancara, dan juga kelompok diskusi terpumpun sebagai cara untuk mendapatkan data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pewarisan silek berjalan dengan sangat baik, terbukti di setiap nagari/desa terdapat sasaran atau tempat berlatih silek. Demikian pula upaya yang dilakukan oleh pemerintah mulai dari pemerintah kanagarian, sampai kepada pemerintah provinsi sangat mendukung kelestarian silek. Berbagai festival di tingkat desa bahkan sampai di tingkat internasional difasilitasi oleh pemerintah daerah bekerjasama dengan komunitas silek.
{"title":"SILEK MINANGKABAU DALAM KHAZANAH PENCAK SILAT INDONESIA: PROSES PEWARISAN DAN UPAYA PEMERINTAH DALAM MELESTARIKANNYA","authors":"Ika Hijriani","doi":"10.24832/jk.v14i1.266","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/jk.v14i1.266","url":null,"abstract":"Sumatera Barat atau juga dikenal sebagai Ranah Minangkabau merupakan daerah di Indonesia yang sangat berkembang tradisi pencak silatnya. Pencak silat disana dikenal dengan julukan silek. Banyak aliran silek yang tumbuh subur dan berkembang di ranah Minang. Sebagai daerah yang memiliki tradisi pencak silat, Sumatera Barat menjadi salah satu daerah yang dijadikan lokasi penelitian tradisi pencak silat yang akan diusulkan ke Unesco. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi proses pewarisan silek dan upaya pemerintah dalam melestarikan silek. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik observasi, wawancara, dan juga kelompok diskusi terpumpun sebagai cara untuk mendapatkan data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pewarisan silek berjalan dengan sangat baik, terbukti di setiap nagari/desa terdapat sasaran atau tempat berlatih silek. Demikian pula upaya yang dilakukan oleh pemerintah mulai dari pemerintah kanagarian, sampai kepada pemerintah provinsi sangat mendukung kelestarian silek. Berbagai festival di tingkat desa bahkan sampai di tingkat internasional difasilitasi oleh pemerintah daerah bekerjasama dengan komunitas silek.","PeriodicalId":31479,"journal":{"name":"IBDA Jurnal Kebudayaan Islam","volume":"26 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-11-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"88391815","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
AbstrakTulisan ini bertujuan mengkaji salah satu warisan budaya etnik Batak, yaitu kearifan lokal dalihan natolu, yang dikaitkan dengan pembangunan kawasan Danau Toba. Sudah sejak beberapa tahun ini geliat pembangunan kawasan Danau Toba semakin ditingkatkan secara lebih pesat, namun menimbulkan kekhawatiran akan dampak kerusakan lingkungan yang bisa saja muncul. Seiring telah disahkannya Peraturan Presiden RI Nomor 49 tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba, dirasakan penting untuk melihat kawasan Danau Toba dalam bingkai tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yakni: ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya. Permasalahan yang diangkat adalah: Bagaimana peranan kearifan lokal dalihan natolu dalam bingkai tiga pilar pembangunan berkelanjutan kawasan Danau Toba? Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis jaringan sosial, mencoba menempatkan dan menjelaskan posisi penting sistem kekerabatan dalihan natolu masyarakat sekitar kawasan Danau Toba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalihan natolu sebagai bagian dari aspek budaya, memiliki posisi penting dalam bingkai tiga pilar pembangunan berkelanjutan kawasan Danau Toba.
{"title":"KEARIFAN LOKAL DALIHAN NATOLU SEBAGAI BINGKAI TIGA PILAR PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN KAWASAN DANAU TOBA.","authors":"D. Simatupang","doi":"10.24832/JK.V12I2.246","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/JK.V12I2.246","url":null,"abstract":"AbstrakTulisan ini bertujuan mengkaji salah satu warisan budaya etnik Batak, yaitu kearifan lokal dalihan natolu, yang dikaitkan dengan pembangunan kawasan Danau Toba. Sudah sejak beberapa tahun ini geliat pembangunan kawasan Danau Toba semakin ditingkatkan secara lebih pesat, namun menimbulkan kekhawatiran akan dampak kerusakan lingkungan yang bisa saja muncul. Seiring telah disahkannya Peraturan Presiden RI Nomor 49 tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba, dirasakan penting untuk melihat kawasan Danau Toba dalam bingkai tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yakni: ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya. Permasalahan yang diangkat adalah: Bagaimana peranan kearifan lokal dalihan natolu dalam bingkai tiga pilar pembangunan berkelanjutan kawasan Danau Toba? Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis jaringan sosial, mencoba menempatkan dan menjelaskan posisi penting sistem kekerabatan dalihan natolu masyarakat sekitar kawasan Danau Toba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalihan natolu sebagai bagian dari aspek budaya, memiliki posisi penting dalam bingkai tiga pilar pembangunan berkelanjutan kawasan Danau Toba.","PeriodicalId":31479,"journal":{"name":"IBDA Jurnal Kebudayaan Islam","volume":"378 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"80619776","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
DAFTAR ISI, EDITORIAL DAN LEMBAR ABSTRAK Volume 12, Nomor 2, Desember 2017
2017年12月的目录、编辑和摘要第12卷第2卷
{"title":"DAFTAR ISI, EDITORIAL DAN LEMBAR ABSTRAK Volume 12, Nomor 2, Desember 2017","authors":"Jurnal Kebudayaan","doi":"10.24832/JK.V12I2.251","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/JK.V12I2.251","url":null,"abstract":"DAFTAR ISI, EDITORIAL DAN LEMBAR ABSTRAK Volume 12, Nomor 2, Desember 2017","PeriodicalId":31479,"journal":{"name":"IBDA Jurnal Kebudayaan Islam","volume":"123 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"77496066","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penamaan nama marga dan nama gelar adat etnik Minangkabau di Sumatera Barat yang berhubungan dengan kajian etnolinguistik. Objek penelitian ini adalah penamaan nama marga dan nama gelar adat pada etnik Minangkabau berdasarkan pada penggunaannya. Adapun permasalah yang diangkat adalah: (1) Apa sajakah nama marga dan nama gelar dalam etnik Minangkabau di Provinsi Sumatera Barat? ; (2) Apa sajakah fungsi dan makna pemberian nama marga dan nama gelar tersebut? Data penelitian ini bersumber pada data kepustakaan dan data lisan dari penutur bahasa Minangkabau. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil analisis data dapat dideskripsikan sebagai berikut. Pertama, penamaan nama marga dalam etnis Minangkabau merujuk pada tambo, yakni Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Penggunaan nama marga diambil dari nama tempat dan suku. Kedua, penamaan nama gelar adat dalam etnik Minangkabau berdasarkan pada sifat dan penggunaannya, yakni gala mudo (gelar muda), gala sako (gelar pusaka kaum), dan gala sangsako (gelar kehormatan).
{"title":"PENAMAAN MARGA DAN GELAR ADAT ETNIK MINANGKABAU DI PROVINSI SUMATERA BARAT: KAJIAN ETNOLINGUISTIK.","authors":"Rahmat Muhidin","doi":"10.24832/JK.V12I2.248","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/JK.V12I2.248","url":null,"abstract":"AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penamaan nama marga dan nama gelar adat etnik Minangkabau di Sumatera Barat yang berhubungan dengan kajian etnolinguistik. Objek penelitian ini adalah penamaan nama marga dan nama gelar adat pada etnik Minangkabau berdasarkan pada penggunaannya. Adapun permasalah yang diangkat adalah: (1) Apa sajakah nama marga dan nama gelar dalam etnik Minangkabau di Provinsi Sumatera Barat? ; (2) Apa sajakah fungsi dan makna pemberian nama marga dan nama gelar tersebut? Data penelitian ini bersumber pada data kepustakaan dan data lisan dari penutur bahasa Minangkabau. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil analisis data dapat dideskripsikan sebagai berikut. Pertama, penamaan nama marga dalam etnis Minangkabau merujuk pada tambo, yakni Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Penggunaan nama marga diambil dari nama tempat dan suku. Kedua, penamaan nama gelar adat dalam etnik Minangkabau berdasarkan pada sifat dan penggunaannya, yakni gala mudo (gelar muda), gala sako (gelar pusaka kaum), dan gala sangsako (gelar kehormatan).","PeriodicalId":31479,"journal":{"name":"IBDA Jurnal Kebudayaan Islam","volume":"44 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"79330445","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
AbstrakTari Linda dan Lariangi adalah tari tradisional di Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara yang terancam punah, sehingga harus dilakukan revitalisasi. Permasalahan yang diangkat adalah: (1) Bagaimana kedua tarian tersebut dimaknai oleh seniman tari? (2) Bagaimana pula kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Baubau? Tujuan dari tulisan ini adalah mengetahui bentuk revitalisasi yang disepakati para seniman dan Pemerintah Kota Baubau. Metode penelitian yang dilakukan adalah eksplanasi etnografis dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada awalnya tari Linda dalam tradisi masyararakat Muna dan Wolio merupakan bagian dari upacara Karia atau pingitan bagi gadis yang beranjak dewasa. Adapun tari Lariangi sebagai hiburan bagi sultan dan para tamu kerajaan pada masa Kesultanan Buton. Seiring dengan perubahan kondisi sosial-budaya dan politik pemerintahan pada masyarakat Wolio, saat ini baik tari Linda maupun Lariangi dipentaskan untuk menyambut tamu pemerintahan dan wisatawan yang datang ke Kota Baubau. Meskipun demikian, bagi para seniman hal itu tidak mengubah makna dan filosofi dari kedua tarian tradisional tersebut. Dalam hal ini upaya revitalisasi yang tepat untuk tari Linda adalah refungsionalisasi, sedangkan untuk tari Lariangi adalah reorientasi. Adapun kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kota Baubau adalah dengan memberikan bantuan alat-alat dan sarana kesenian, serta pembinaan kepada sanggar-sanggar kesenian yang ada di wilayahnya.
{"title":"REVITALISASI TARI LINDA DAN LARIANGI DALAM MASYARAKAT KOTA BAUBAU, PROVINSI SULAWESI TENGGARA.","authors":"B. Setiawan","doi":"10.24832/JK.V12I2.250","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/JK.V12I2.250","url":null,"abstract":"AbstrakTari Linda dan Lariangi adalah tari tradisional di Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara yang terancam punah, sehingga harus dilakukan revitalisasi. Permasalahan yang diangkat adalah: (1) Bagaimana kedua tarian tersebut dimaknai oleh seniman tari? (2) Bagaimana pula kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Baubau? Tujuan dari tulisan ini adalah mengetahui bentuk revitalisasi yang disepakati para seniman dan Pemerintah Kota Baubau. Metode penelitian yang dilakukan adalah eksplanasi etnografis dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada awalnya tari Linda dalam tradisi masyararakat Muna dan Wolio merupakan bagian dari upacara Karia atau pingitan bagi gadis yang beranjak dewasa. Adapun tari Lariangi sebagai hiburan bagi sultan dan para tamu kerajaan pada masa Kesultanan Buton. Seiring dengan perubahan kondisi sosial-budaya dan politik pemerintahan pada masyarakat Wolio, saat ini baik tari Linda maupun Lariangi dipentaskan untuk menyambut tamu pemerintahan dan wisatawan yang datang ke Kota Baubau. Meskipun demikian, bagi para seniman hal itu tidak mengubah makna dan filosofi dari kedua tarian tradisional tersebut. Dalam hal ini upaya revitalisasi yang tepat untuk tari Linda adalah refungsionalisasi, sedangkan untuk tari Lariangi adalah reorientasi. Adapun kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kota Baubau adalah dengan memberikan bantuan alat-alat dan sarana kesenian, serta pembinaan kepada sanggar-sanggar kesenian yang ada di wilayahnya.","PeriodicalId":31479,"journal":{"name":"IBDA Jurnal Kebudayaan Islam","volume":"32 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"76892478","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
AbstrakPegunungan Meratus yang membelah wilayah Kalimantan Selatan menjadi dua, mempunyai peranan penting dalam sejarah kebudayaan manusia dari masa prasejarah sampai sekarang. Sisa penguburan manusia yang ditemukan di Gua Tengkorak (Tabalong), dan Liang Bangkai 10 (Tanah Bumbu), merupakan bukti valid tentang kehadiran manusia prasejarah di Pegunungan Meratus ribuan tahun lalu. Permasalahan yang diajukan dalam penulisan artikel ini adalah bagaimana pola kubur yang ada, siapa yang dikuburkan, dan kapan penguburan itu dilakukan? Tujuan penulisan ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan informasi ilmiah tentang kehadiran manusia di Pegunungan Meratus dengan ritual atau prosesi penguburan yang mereka lakukan. Pendekatan penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang diajukan adalah pendekatan kualitatif. Metode penelitian ini menekankan pada pengamatan langsung terhadap obyek penguburan yang ada pada gua-gua dan ceruk payung pada kawasan karst di Pegunungan Meratus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kegiatan penguburan sudah dilaksanakan oleh manusia prasejarah dari kelompok ras Australomelanesid di bagian utara Pegunungan Meratus, dan kelompok ras Mongolid di bagian tenggara Pegunungan Meratus.
{"title":"KABUR DAN MANUSIA PRASEJARAH DI PEGUNUNGAN MERATUS, PROVINSI KALIMANTAN SELATAN.","authors":"Bambang Sugiyanto","doi":"10.24832/JK.V12I2.249","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/JK.V12I2.249","url":null,"abstract":"AbstrakPegunungan Meratus yang membelah wilayah Kalimantan Selatan menjadi dua, mempunyai peranan penting dalam sejarah kebudayaan manusia dari masa prasejarah sampai sekarang. Sisa penguburan manusia yang ditemukan di Gua Tengkorak (Tabalong), dan Liang Bangkai 10 (Tanah Bumbu), merupakan bukti valid tentang kehadiran manusia prasejarah di Pegunungan Meratus ribuan tahun lalu. Permasalahan yang diajukan dalam penulisan artikel ini adalah bagaimana pola kubur yang ada, siapa yang dikuburkan, dan kapan penguburan itu dilakukan? Tujuan penulisan ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan informasi ilmiah tentang kehadiran manusia di Pegunungan Meratus dengan ritual atau prosesi penguburan yang mereka lakukan. Pendekatan penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang diajukan adalah pendekatan kualitatif. Metode penelitian ini menekankan pada pengamatan langsung terhadap obyek penguburan yang ada pada gua-gua dan ceruk payung pada kawasan karst di Pegunungan Meratus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kegiatan penguburan sudah dilaksanakan oleh manusia prasejarah dari kelompok ras Australomelanesid di bagian utara Pegunungan Meratus, dan kelompok ras Mongolid di bagian tenggara Pegunungan Meratus.","PeriodicalId":31479,"journal":{"name":"IBDA Jurnal Kebudayaan Islam","volume":"34 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"74549235","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
AbstrakKeris merupakan kekayaan budaya yang pada permulaannya diindikasikan sebagai senjata khas suku Melayu dan menyebar ke seluruh Nusantara. Sebagai sebuah senjata, keris mempunyai keistimewaan tersendiri dikarenakan terdapatnya pamor di tubuh keris. Keunikan dan kerumitan pembuatan keris seiring dengan berkembangnya mitos kepercayaan terhadap keris tentang kekuatan adikodrati yang bisa membantu manusia dalam menghadapi persoalan kehidupan pun klaim kekuasaan. Pada akhirnya keris berkembang tidak hanya sebagai benda mistik, namun juga bernilai ekonomi. Maka, industri keris mulai mendapatkan angin segar khususnya di Sumenep setelah permintaan pasar mulai meningkat. Penelitian ini bermaksud menelaah perkembangan industri keris di Sumenep sebagai sentra terbesar pembuatan keris di Nusantara. Metode yang digunakan adalah kulitatif deskriptif dengan tiga tahapan yang meliputi studi pustaka (desk research), pengumpulan data dan focus group discussion (FGD). Dari hasil studi yang dilakukan, diketahui bahwa perkembangan industri keris di Sumenep sudah ada sejak masa Ju’ Pande, pertengahan abad ke-19. Hanya saja industri keris sempat terhenti setelah mengalami represi dari Pemerintah Belanda dan Jepang di paruh pertama abad ke-20. Setelah kemerdekaan, industri keris kembali berkembang dengan berpusat di tiga Kecamatan yaitu Bluto, Saronggi, dan Lenteng. Dalam perkembangannya, industri keris di Sumenep mengalami pasang surut karena faktor represi dari penguasa kolonial Belanda dan Jepang.
{"title":"RIWAYAT INDUSTRI KERIS DI SUMENEP, MADURA","authors":"Unggul Sudrajat","doi":"10.24832/JK.V12I2.245","DOIUrl":"https://doi.org/10.24832/JK.V12I2.245","url":null,"abstract":"AbstrakKeris merupakan kekayaan budaya yang pada permulaannya diindikasikan sebagai senjata khas suku Melayu dan menyebar ke seluruh Nusantara. Sebagai sebuah senjata, keris mempunyai keistimewaan tersendiri dikarenakan terdapatnya pamor di tubuh keris. Keunikan dan kerumitan pembuatan keris seiring dengan berkembangnya mitos kepercayaan terhadap keris tentang kekuatan adikodrati yang bisa membantu manusia dalam menghadapi persoalan kehidupan pun klaim kekuasaan. Pada akhirnya keris berkembang tidak hanya sebagai benda mistik, namun juga bernilai ekonomi. Maka, industri keris mulai mendapatkan angin segar khususnya di Sumenep setelah permintaan pasar mulai meningkat. Penelitian ini bermaksud menelaah perkembangan industri keris di Sumenep sebagai sentra terbesar pembuatan keris di Nusantara. Metode yang digunakan adalah kulitatif deskriptif dengan tiga tahapan yang meliputi studi pustaka (desk research), pengumpulan data dan focus group discussion (FGD). Dari hasil studi yang dilakukan, diketahui bahwa perkembangan industri keris di Sumenep sudah ada sejak masa Ju’ Pande, pertengahan abad ke-19. Hanya saja industri keris sempat terhenti setelah mengalami represi dari Pemerintah Belanda dan Jepang di paruh pertama abad ke-20. Setelah kemerdekaan, industri keris kembali berkembang dengan berpusat di tiga Kecamatan yaitu Bluto, Saronggi, dan Lenteng. Dalam perkembangannya, industri keris di Sumenep mengalami pasang surut karena faktor represi dari penguasa kolonial Belanda dan Jepang.","PeriodicalId":31479,"journal":{"name":"IBDA Jurnal Kebudayaan Islam","volume":"25 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-04-16","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"81590339","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}