ABSTRAK
Batik Tutur merupakan hasil pengembangan dari motif batik Afkomstig Uit Blitar 1902, warisan budaya masyarakat blitar pada masa lampau yang dikoleksi museum belanda. Saat ini batik tutur memiliki 15 motif dengan berbagai macam nama sesuai motif dan makna, nama pada setiap motif mengandung pesan moral atau pitutur yang ingin disampaikan Eddy Dewa sebagai pencipta motif kepada pemakainya. Tujuan penelitian ini yaitu latar belakang penciptaan batik tutur karya Eddy Dewa. Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pengumpulan data dan pengolahan data. Pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, dan studi pustaka, sedangkan pengolahan datanya menggunakan interaksi analisis,hasil analiss dari penelitian ini yang didapat adalah batik tutur memiliki fungsi sebagai sarung dengan pola motif yang sama dengan pola sarung yang memiliki tumpal tengah, dan makna yang terkandung merupakan intepratasi Eddy Dewa dalam memaknai lingkungan sekitar.
Kata kunci: Revitalisasi, Batik Afkomstig Uit Blitar, Batik Tutur.
ABSTRACT
Batik Tutur is the result of the development of batik motif Afkomstig Uit Blitar 1902. It is the cultural heritage of Blitar community in the past which was collected by the Dutch museum. Currently, batik tutur has 15 motifs with various names according to the motives and meanings. The name of each motif contains a moral mes-sage or a message that Eddy Dewa wishes to convey as the creator of the motif to the consumers. The purpose of this study is to know the background of batik tutur creation by Eddy Dewa. The research used is qualitative research methods with data collection and data processing. Data collection includes observation, interviews, and literature study, while the data processing uses interaction analysis. The results of this re-search tells that batik tutur has a function as a sarong with the same motif pattern as a sarong pattern that has a middle tumpal. The meaning contained tells about Eddy Dewa’s interpretation in handling interpreting the surrounding environment.
Keywords: Revitalization, Batik Afkomstig Uit Blitar, Batik Tutur.
ABSTRAK
Karya “Suara Sindhen: Interpretasi Gendhing Ginonjing”, dilatarbelakangi oleh hasil olah pikir sekaligus interpretasi atas Gendhing Ginonjing. Bermula saat pengkarya membaca surat Kartini yang berkisah tentang Gendhing Ginonjing. Kegelisahan Kartini sepurnanya mendengarkan Gendhing Ginonjing, dituangkan lewat surat tersebut dengan sangat dramatis. Esensi surat tersebut, memberikan stimulan kepada pengkarya untuk membuat karya berdasarkan Gendhing Ginonjing. Jika Kartini dapat menuangkan kembali Gendhing Ginonjing secara sastrawi melalui suratnya, pengkarya sebagai pesindhen juga ingin mengungkapkan ulang Gendhing Ginonjing melalui olah pikir musikal dan diwujudkan dengan karya seni orkestrasi sindhen. Dari hasil pengamatan dan analisis, Gendhing Ginonjing dapat dipilah menjadi tiga konsep musikal. Pertama adalah andegan sindhenan Gendhing Ginonjing yang dikembangkan melibatkan wangsalan, abon-abon, parikan, senggakan, serta sekar bebas sebagai unsur teks. Dari unsur lagu, menyajikan perbenturan harmoni adumanis, salahnggumun, kempyung, pendawan, serta gembyang sehingga menciptakan harmoni unik atau nada yang membuat bunyi musik menjadi khas. Kedua adalah komposisi yang berakar dari selingan Gendhing Ginonjing berjudul Lelagon Lelo Ledung, yang digarap dan disajikan dengan model uro-uro atau akapela, dikemas dengan paradigma sindhenan gaya Surakarta, dengan menonjolkan dinamika power suara pesindhen serta memanfaatkan aspek keruangan dengan teknik akustika bunyi surround. Ketiga adalah komposisi yang berakar dari surat Kartini tentang Gendhing Ginonjing. Karya ini merepresentasikan perasaan Kartini yang tertuang dalam surat. Bagian ini menggarap elemen vokal melalui perpaduan berbagai gaya sindhenan meliputi: Jawa Barat, Banyumas, Jawa Tengah, serta Banyuwangi, yang kemudian diformulasikan kembali menjadi konsep musik garapan baru. Penyusunan karya ini menggunakan beberapa metode sebagai langkah penciptaannya, meliputi: menentukan bahan, mencari bahan, mengolah bahan, mengemas bahan, serta mempergelarkannya. Rangkaian tersebut adalah proses dari lahirnya karya “Suara Sindhen: Interpretasi Gendhing Ginonjing”.
Kata kunci: Suara Sindhen, Gendhing Ginonjing, Komposisi Musik.
ABSTRACT
The work of “ Suara Sindhen: Interpretasi Gendhing Ginonjing “ is based on the analysis and interpretation of Gendhing Ginonjing. It started when the creator read Kartini’s letter about Gendhing Ginonjing. Kartini’s anxiety was as easy as listening to Gendhing Ginonjing, written in the letter dramatically. The essence of the letter gives stimulants to the creator to create works based on Gendhing Ginonjing. If
ABSTRAK
Lipa sabbe merupakan sebuah sarung yang terbuat dari benang sutra yang ditenun menggunakan alat walida dan bola-bola. Dalam masyarakat Bugis sarung telah menjadi bagian yang tidak pernah lepas dari kegiatan kehidupan sehari-hari, misalnya sarung tuk ibadah, memanjat pohon, mengusir nyamuk, menggendong anak, dan pakaian sehari-hari lain. Berbeda dengan lipa sabbe yang digunakan dalam kegiatan ritual khusus, juga memiliki motif yang mengandung sebuah makna. Kekhususan ini menjadi hal yang menarik bagi penulis untuk mengkaji lipa sabbe. Melihat bentuk dan motif-motif lipa sabbe yang cenderung segi empat kotak-kotak merupakan sebuah manifestasi dari wujud sulapa eppa. Hal ini merupakan bentuk upaya masyarakat untuk melakukan sebuah pemaknaan, agar lipa sabbe mampu bereksistensi dan tidak hilang dari peradaban.
Kata kunci: Lipa’ Sabbe, Sulapa’ Eppa’, Sengkang.
ABSTRACT
Lipa sabbe is a sarong made of silk thread which is woven using a tool of walida and balls. In Bugis society, the sarong has become a part that has never been separated from the activities of daily life. The sarong for prayer gloves, for climbing trees, for repelling mosquitoes, for carrying children, and other everyday clothes are different. Lipa sabbe which is used in special ritual activities also has a different motive that contains a meaning. This particularity becomes an interesting thing for the writer to study lipa sabbe. Seeing the shape and motifs of lipa sabbe which tend to be rectangular squares is a manifestation of the sulapa eppa form. This is a form of community efforts to make a meaning in order that lipa sabbe is always exist and not disappear from civilization.
Keywords: Lipa ’Sabbe, Sulapa’ Eppa ’, Sengkang.