Pub Date : 2023-10-05DOI: 10.15294/paramita.v33i2.37888
Dennys Pradita, Adi Putra Surya Wardhana
This research studies the landscape change of Mento Toelakan Plantation in Wonogiri(Periode). Mento Toelakan was a private plantation located in the Duchy of Mangkunegaran. The existence of this plantation was a sign of the triumph of the liberal economic era. This research used a historical method, landscape, and environmental history approach. Several problems discussed were (1) the causes of the Mento Toelakan area experiencing the landscape change, (2) the forms of landscape change, and (3) the impact of the landscape change in Mento Toelakan Plantation Periode. The results showed that the landscape at the Mento Toelakan Plantation underwent landscape changes in several stages. The reason was the rented land by European investors and the political dynamics after the end of Dutch colonialism. First, land rent converted forest areas in Mento Toelakan into plantations. Second, coffee cultivation introduced the local society to coffee culture. Third, changing coffee plantations to agave plantations introduced the local community to natural fiber processing. Fourth, the Japanese military occupation used Mento Toelakan land for military purposes. Finally, the Mento Toelakan plantation was taken over by the village community to become dry land and rice fields in the independence era. This indicates that many factors, such as capitalism, politics, human activities, and nature itself, influenced the changing landscape of Mento Toelakan.Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan lanskap Perkebunan Mento Toelakan di Wonogiri 1863-1950-an. Mento Toelakan merupakan perkebunan swasta yang berada di wilayah Kadipaten Mangkunegaran. Keberadaan perkebunan ini menjadi tanda kejayaan era ekonomi liberal. Eksploitasi modal asing memengaruhi perubahan lanskap di wilayah Mento Toelakan, Wonogiri. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dan pendekatan lanskap dan sejarah lingkungan. Beberapa permasalahan yang dibahas adalah (1) penyebab area Mento Toelakan mengalami perubahan lanskap, (2) bentuk perubahan lanskap, (3) dan dampak perubahan lanskap Perkebunan Mento Toelakan 1863-1950-an(Periode) Hasil penelitian menunjukkan lanskap di Perkebunan Mento Toelakan mengalami perubahan lanskap dalam beberapa tahap. Penyebabnya adalah penyewaan lahan oleh pemodal swasta dan dinamika politik pasca berakhirnya kolonialisme Belanda. Pertama, sewa tanah yang dilakukan pemodal swasta mengubah area hutan di Mento Toelakan menjadi perkebunan. Kedua, budidaya kopi mengenalkan masyarakat dengan budaya kopi. Ketiga, mengubah perkebunan kopi menjadi perkebunan agave telah mengenalkan masyarakat dengan pengolahan serat alam. Keempat, pemerintah militer Jepang memanfaatkan lahan untuk kepentingan militer. Terakhir, perkebunan Mento Toelakan diambil alih oleh masyarakat desa sehingga menjadi tanah-tanah tegalan dan sawah pada era kemerdekaan. Dengan demikian, perubahan lanskap Mento Toelakan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kapitalisme, politik, ulah manusia, dan alam itu
本研究研究了沃诺里时期门托托拉干人工林的景观变化。Mento Toelakan是位于Mangkunegaran公国的一个私人种植园。这个种植园的存在是自由经济时代胜利的标志。本研究采用了历史方法、景观和环境史方法。讨论了门土土拉干地区发生景观变化的原因,景观变化的形式,以及门土拉干人工林时期景观变化的影响。结果表明,门土土拉干人工林景观经历了几个阶段的景观变化。原因是欧洲投资者租用的土地和荷兰殖民主义结束后的政治动态。首先,土地租金将门土都拉干的森林地区变成了种植园。第二,咖啡种植将咖啡文化引入当地社会。第三,将咖啡种植园改为龙舌兰种植园,向当地社区介绍了天然纤维加工。第四,日本军占领区将门东土乐干土地用于军事目的。最后,门托托拉干的种植园在独立时期被村庄社区接管,成为旱地和稻田。这表明,许多因素,如资本主义、政治、人类活动和自然本身,影响了门托土拉干不断变化的景观。Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan lanskap Perkebunan Mento Toelakan di woogiri 1863-1950-an。这是我的祖国,这是我的祖国,这是我的祖国。keberadan perkebunan ini menjadi tanda kejayaan era经济自由主义者。Eksploitasi模态分析memengaruhi perubahan lanskap di wilayah Mento Toelakan, woogiri。Penelitian ini menggunakan mede sejarah dan pendekatan lanskap dan sejarah lingkungan。Beberapa permasalahan yang dibahas adalah (1) penyebab地区Mento Toelakan mengalami perubahan lanskap, (2) bentuk perubahan lanskap, (3) dan dampak perubahan lanskap Perkebunan Mento Toelakan 1863-1950-an(时期)Hasil penelitian menunjukkan lanskap di Perkebunan Mento Toelakan mengalami perubahan lanskap dalam Beberapa tahap。Penyebabnya adalah penyewaan lahan oleh peemodal swasta dan dinamika political pasca berakhirnya殖民化Belanda。Pertama, sewa tanah yang dilakukan peemodal swasta mengubah地区hutan di Mento Toelakan menjadi perkebuan。好了,好了,好了,好了,好了,好了,好了,好了。这句话的意思是:“我的天啊,我的天啊,我的天啊,我的天啊!”在日本,当一名军人被关押的时候,日本人就会被关押。Terakhir, perkebuan Mento Toelakan diambil alih, masyarakat desa seingga menjadi tanah-tanah tegalan dan sawah pada era kemerdekaan。登甘德米克安,秘鲁巴哈兰斯卡普门托拉坎迪彭加鲁希奥尼亚克因素,独立资本主义,政治,乌拉尼亚,丹阿兰图森迪里。
{"title":"The Landscape Changes in Mento Toelakan Plantation, 1863-1950s","authors":"Dennys Pradita, Adi Putra Surya Wardhana","doi":"10.15294/paramita.v33i2.37888","DOIUrl":"https://doi.org/10.15294/paramita.v33i2.37888","url":null,"abstract":"This research studies the landscape change of Mento Toelakan Plantation in Wonogiri(Periode). Mento Toelakan was a private plantation located in the Duchy of Mangkunegaran. The existence of this plantation was a sign of the triumph of the liberal economic era. This research used a historical method, landscape, and environmental history approach. Several problems discussed were (1) the causes of the Mento Toelakan area experiencing the landscape change, (2) the forms of landscape change, and (3) the impact of the landscape change in Mento Toelakan Plantation Periode. The results showed that the landscape at the Mento Toelakan Plantation underwent landscape changes in several stages. The reason was the rented land by European investors and the political dynamics after the end of Dutch colonialism. First, land rent converted forest areas in Mento Toelakan into plantations. Second, coffee cultivation introduced the local society to coffee culture. Third, changing coffee plantations to agave plantations introduced the local community to natural fiber processing. Fourth, the Japanese military occupation used Mento Toelakan land for military purposes. Finally, the Mento Toelakan plantation was taken over by the village community to become dry land and rice fields in the independence era. This indicates that many factors, such as capitalism, politics, human activities, and nature itself, influenced the changing landscape of Mento Toelakan.Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan lanskap Perkebunan Mento Toelakan di Wonogiri 1863-1950-an. Mento Toelakan merupakan perkebunan swasta yang berada di wilayah Kadipaten Mangkunegaran. Keberadaan perkebunan ini menjadi tanda kejayaan era ekonomi liberal. Eksploitasi modal asing memengaruhi perubahan lanskap di wilayah Mento Toelakan, Wonogiri. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dan pendekatan lanskap dan sejarah lingkungan. Beberapa permasalahan yang dibahas adalah (1) penyebab area Mento Toelakan mengalami perubahan lanskap, (2) bentuk perubahan lanskap, (3) dan dampak perubahan lanskap Perkebunan Mento Toelakan 1863-1950-an(Periode) Hasil penelitian menunjukkan lanskap di Perkebunan Mento Toelakan mengalami perubahan lanskap dalam beberapa tahap. Penyebabnya adalah penyewaan lahan oleh pemodal swasta dan dinamika politik pasca berakhirnya kolonialisme Belanda. Pertama, sewa tanah yang dilakukan pemodal swasta mengubah area hutan di Mento Toelakan menjadi perkebunan. Kedua, budidaya kopi mengenalkan masyarakat dengan budaya kopi. Ketiga, mengubah perkebunan kopi menjadi perkebunan agave telah mengenalkan masyarakat dengan pengolahan serat alam. Keempat, pemerintah militer Jepang memanfaatkan lahan untuk kepentingan militer. Terakhir, perkebunan Mento Toelakan diambil alih oleh masyarakat desa sehingga menjadi tanah-tanah tegalan dan sawah pada era kemerdekaan. Dengan demikian, perubahan lanskap Mento Toelakan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kapitalisme, politik, ulah manusia, dan alam itu","PeriodicalId":30724,"journal":{"name":"Paramita Historical Studies Journal","volume":"171 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135546251","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-10-05DOI: 10.15294/paramita.v33i2.45844
Farida Ratu Wargadalem, Diki Tri Apriansyah Putra, Wasino Wasino
The interconnection and global trade developing interrelated regional linkages is an important phenomenon for modern developments, interestingly emphasizing historical context. This aligns with the historical context of Palembang, a region with long-establishing international relations and is considered a cosmopolitan city with global-scale connections toward the 20th century. Therefore, this study aimed to evaluate Palembang's interconnection and global trade from 1900-1930, mainly emphasizing the exploration of worldwide networks and the transformation of the region as a cosmopolitan city. The analysis used a historical method with four stages: heuristics, verification, interpretation, and historiography. The results showed that Palembang experienced rapid progress after its export commodities, such as coffee, rubber, wood, tea, oil, coal, etc., were extensively traded in the world market. European investors and multinational companies, including Handelsvereeniging Amsterdam, Cultuurmaatschappij Indragiri, Straits Sunda Syndicate, etc., were also competing to open and expand their business in the city. This economic progress triggered the transformation of Palembang into a cosmopolitan city, promoting the impact of social change in the environment. Interkoneksi dan perdagangan global yang menimbulkan keterkaitan wilayah satu sama lain menjadi fenomena penting bagi perkembangan dunia saat ini. Tentu sangat menarik apabila interkoneksi dan perdagangan global dilihat dari konteks kesejarahan. Salah satu wilayah yang telah lama menjalin hubungan internasional adalah Palembang. Menjelang abad 20, Palembang hadir sebagai kota kosmopolitan dengan koneksi berskala global. Artikel ini membahas tentang interkoneksi dan perdagangan global Palembang tahun 1900-1930. Fokus utamanya adalah menelusuri jaringan perdagangan global serta transformasi Palembang sebagai kota kosmopolitan. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan jaringan perdagangan global dan transformasi kota kosmopolitan di Palembang. Metode yang digunakan adalah sejarah dengan empat tahapan: heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Palembang telah mengalami kemajuan pesat sejak komoditas ekspornya seperti kopi, karet, kayu, teh, minyak, batubara, dan lain-lain sangat laku di pasar dunia. Investor Eropa, dan perusahaan multinasional seperti Handelsvereeniging Amsterdam, Cultuurmaatschappij Indragiri, Straits Sunda Syndicate, dan lain-lain berlomba-lomba membuka, dan memperluas lahan bisnisnya di daerah ini. Kemajuan ekonomi ini memicu transformasi Palembang menjadi kota kosmopolitan. Serta membawa dampak perubahan sosial dalam masyarakat Palembang.
相互联系和全球贸易发展相互关联的区域联系是现代发展的重要现象,有趣的是强调历史背景。这与巨港的历史背景一致,巨港是一个长期建立国际关系的地区,被认为是20世纪具有全球规模联系的国际大都市。因此,本研究旨在评估巨港在1900-1930年间的互联互通和全球贸易,主要强调全球网络的探索和该地区作为国际大都市的转型。分析采用了历史方法,分为四个阶段:启发式、验证、解释和历史编纂。结果表明,巨港的出口商品,如咖啡、橡胶、木材、茶叶、石油、煤炭等,在世界市场上广泛交易后,发展迅速。欧洲投资者和跨国公司,包括Handelsvereeniging Amsterdam、Cultuurmaatschappij Indragiri、Straits Sunda Syndicate等,也竞相在这座城市开设和扩大业务。这一经济进步促使巨港转变为一个国际大都市,促进了社会变化对环境的影响。interkoleksi dan perdagangan global yang menmenbulkan keterkaitan wilayah satu sama(印度)menjadi现象(印度)tenu sangat menarik apabila, interkoneksi, perdagangan, global diliks konteks, kesjarahan。Salah satu wilayah yang telah lama menjalin hubungan international adalah Palembang。门杰朗巴德20,巨港hadir sebagai kota国际大都市dengan koneksi berskala全球。从1900年到1930年,Artikel ini成员在全球巨港建立了合作伙伴关系。在巨港的全球经济转型中,全球经济转型的核心是全球经济转型。Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan jaringan perdagangan global dan transformasi kota cosmopolitan di巨港。Metode yang digunakan adalah sejarah dengan empat tahapan:启发式、验证性、解释性、史学。Hasil penelitian menunjukkan bawa Palembang telah mengalami kemajuan pesat sejak komoditas ekspornya seperti kopi, karet, kayu, teh, minyak, batubara, dan lain-lain sangat laku di pasar dunia。投资者欧洲,dan perusahaan跨国公司handelsvereningamsterdam, Cultuurmaatschappij Indragiri,海峡Sunda Syndicate, dan lain-lain berlomba-lomba membuka, dan memperluas lahan bisnisnya di daerah ini。Kemajuan ekonomi ini memicu transformasi巨港menjadi kota大都会。在巨港,我是社会的主人。
{"title":"Cosmopolitan Palembang: Palembang's Interconnection and Global Trade in 1900-1930","authors":"Farida Ratu Wargadalem, Diki Tri Apriansyah Putra, Wasino Wasino","doi":"10.15294/paramita.v33i2.45844","DOIUrl":"https://doi.org/10.15294/paramita.v33i2.45844","url":null,"abstract":"The interconnection and global trade developing interrelated regional linkages is an important phenomenon for modern developments, interestingly emphasizing historical context. This aligns with the historical context of Palembang, a region with long-establishing international relations and is considered a cosmopolitan city with global-scale connections toward the 20th century. Therefore, this study aimed to evaluate Palembang's interconnection and global trade from 1900-1930, mainly emphasizing the exploration of worldwide networks and the transformation of the region as a cosmopolitan city. The analysis used a historical method with four stages: heuristics, verification, interpretation, and historiography. The results showed that Palembang experienced rapid progress after its export commodities, such as coffee, rubber, wood, tea, oil, coal, etc., were extensively traded in the world market. European investors and multinational companies, including Handelsvereeniging Amsterdam, Cultuurmaatschappij Indragiri, Straits Sunda Syndicate, etc., were also competing to open and expand their business in the city. This economic progress triggered the transformation of Palembang into a cosmopolitan city, promoting the impact of social change in the environment. Interkoneksi dan perdagangan global yang menimbulkan keterkaitan wilayah satu sama lain menjadi fenomena penting bagi perkembangan dunia saat ini. Tentu sangat menarik apabila interkoneksi dan perdagangan global dilihat dari konteks kesejarahan. Salah satu wilayah yang telah lama menjalin hubungan internasional adalah Palembang. Menjelang abad 20, Palembang hadir sebagai kota kosmopolitan dengan koneksi berskala global. Artikel ini membahas tentang interkoneksi dan perdagangan global Palembang tahun 1900-1930. Fokus utamanya adalah menelusuri jaringan perdagangan global serta transformasi Palembang sebagai kota kosmopolitan. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan jaringan perdagangan global dan transformasi kota kosmopolitan di Palembang. Metode yang digunakan adalah sejarah dengan empat tahapan: heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Palembang telah mengalami kemajuan pesat sejak komoditas ekspornya seperti kopi, karet, kayu, teh, minyak, batubara, dan lain-lain sangat laku di pasar dunia. Investor Eropa, dan perusahaan multinasional seperti Handelsvereeniging Amsterdam, Cultuurmaatschappij Indragiri, Straits Sunda Syndicate, dan lain-lain berlomba-lomba membuka, dan memperluas lahan bisnisnya di daerah ini. Kemajuan ekonomi ini memicu transformasi Palembang menjadi kota kosmopolitan. Serta membawa dampak perubahan sosial dalam masyarakat Palembang.","PeriodicalId":30724,"journal":{"name":"Paramita Historical Studies Journal","volume":"28 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135546099","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-10-05DOI: 10.15294/paramita.v33i2.46697
Md. Abdus Samad
The ethnic Rohingyas have been living in the Rakhine State of Myanmar for centuries. Significant human rights problems persisted throughout the 2010s, including rape, sexual violence, politically motivated arrests, and an overall lack of the rule of law. Myanmar’s citizenship law of 1982 made the ethnic Rohingyas stateless. They were displaced from their homes by systematic violence. Government security forces were allegedly responsible for extrajudicial killings, arbitrary detentions, torture, mistreatment in detention, and systematic denial of due process of fair trials. The paper argues that the Rohingya genocide has been created in the Rakhine state with the ethnic cleansing of the Rohingyas since 2012. Ethnic cleansing of the Rohingyas has become a regional and international concern, not just an internal affair of Myanmar. This study attempts to explain the atrocity committed against the Rohingyas in terms of ethnic cleansing In the Rakhine State. The study is conducted based on multiple sources combining primary and closely related secondary materials, archival documents, newspapers, policy reports and pamphlets and leaflets published by different government and non-government agents and civil societies followed by the qualitative method. A balanced approach of data gathering and analysis will be used and maintained, including an analysis of both official and unofficial documents. Structured observations of the time to time will be very critically analyzed. The study finally suggests ways to improve Rohingya lives and secure regional peace.Etnis Rohingya telah tinggal di Negara Bagian Rakhine, Myanmar selama berabad-abad. Masalah hak asasi manusia yang signifikan masih terjadi sepanjang tahun 2010an, termasuk pemerkosaan, kekerasan seksual, penangkapan bermotif politik, dan lemahnya supremasi hukum. Undang-undang kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 membuat etnis Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan. Mereka terusir dari rumah mereka karena kekerasan sistematis. Pasukan keamanan pemerintah diduga bertanggung jawab atas pembunuhan di luar proses hukum, penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, penganiayaan dalam penahanan, dan penolakan sistematis terhadap proses peradilan yang adil. Makalah ini berargumen bahwa genosida Rohingya terjadi di negara bagian Rakhine melalui pembersihan etnis Rohingya sejak tahun 2012. Pembersihan etnis Rohingya telah menjadi perhatian regional dan internasional, bukan hanya urusan internal Myanmar. Penelitian ini mencoba menjelaskan kekejaman yang dilakukan terhadap etnis Rohingya dalam kaitannya dengan pembersihan etnis di Negara Bagian Rakhine. Studi ini dilakukan berdasarkan berbagai sumber yang menggabungkan bahan-bahan primer dan sekunder, dokumen arsip, surat kabar, laporan kebijakan dan pamflet serta selebaran yang diterbitkan oleh berbagai lembaga pemerintah dan non-pemerintah serta masyarakat sipil yang diikuti dengan metode kualitatif. Pendekatan yang seimbang dalam pengumpulan dan analisis data akan digu
几个世纪以来,罗兴亚人一直生活在缅甸若开邦。在整个2010年代,严重的人权问题持续存在,包括强奸、性暴力、出于政治动机的逮捕以及总体上缺乏法治。缅甸1982年的公民法规定罗兴亚人无国籍。他们因有组织的暴力而流离失所。据称,政府安全部队应对法外杀戮、任意拘留、酷刑、拘留期间的虐待以及系统性地剥夺公正审判的正当程序负责。该报告认为,自2012年以来,罗兴亚人的种族清洗在若开邦造成了罗兴亚人的种族灭绝。对罗兴亚人的种族清洗已经成为一个地区和国际关注的问题,而不仅仅是缅甸的内部事务。本研究试图从若开邦种族清洗的角度来解释对罗兴亚人犯下的暴行。本研究基于多种来源,包括第一手和密切相关的二手材料、档案文件、报纸、政策报告以及不同政府和非政府机构以及民间社会出版的小册子和传单,然后采用定性方法进行。将使用和维持一种平衡的数据收集和分析方法,包括对官方和非官方文件进行分析。不时的结构化观察将被非常批判性地分析。该研究最终提出了改善罗兴亚人生活和确保地区和平的方法。缅甸,若开邦,selama berabad-abad。槟城政治,槟城最高政治,槟城最高政治,槟城最高政治,槟城最高政治,槟城最高政治。undang undang kewargangaraan缅甸tahun 1982年纪念罗兴亚人tidak memiliki kewargangaraan。Mereka terusir dari rumah Mereka karena kekerasan sistematis。Pasukan keamanan pemerintah diduga bertanggung jawab as pembunuhan di luar proses hukum, penahanan sewenang-wenang, peniksaan, penganiayaan dalam penahanan, dan penolakan sistematis terhadap proses peradilan yang adil。Makalah ini berargumen bahwa genosida Rohingya terjadi di negara bagian Rakhine melalui pembersihan etnis Rohingya sejak tahun 2012。Pembersihan etnis Rohingya telah menjadi perhatian regional dan international, bukan hanya urusan internal Myanmar。Penelitian ini mencoba menjelaskan kekejaman yang dilakukan terhadap etis罗兴亚人dalam kaitannya dengan pembersihan etnis Negara Bagian若开邦。研究ini dilakukan berdasarkan berbagai sumber yang menggabungkan bahan-bahan primer dansekunder, dokumen arsip, surat kabar, laporan kebijakan an pamflet serta selebaran yang diiterbitkan oleh berbagai lembaga peremerintah and非peremerintah serta masyarakat sipil yang diikuti dengan方法定性。Pendekatan yang seimbang dalam pengumpulan dan分析数据akan digunakan dan dipertahankan, termasuk分析terhadap dokumen resmi dan tidak resmi。Pengamatan terstructur dari waktu ke waktu akan dianalis dengan sangat kritis。研究罗兴亚人在缅甸地区的情况。
{"title":"Ethnic Cleansing of the Rohingyas: a Historical Analysis","authors":"Md. Abdus Samad","doi":"10.15294/paramita.v33i2.46697","DOIUrl":"https://doi.org/10.15294/paramita.v33i2.46697","url":null,"abstract":"The ethnic Rohingyas have been living in the Rakhine State of Myanmar for centuries. Significant human rights problems persisted throughout the 2010s, including rape, sexual violence, politically motivated arrests, and an overall lack of the rule of law. Myanmar’s citizenship law of 1982 made the ethnic Rohingyas stateless. They were displaced from their homes by systematic violence. Government security forces were allegedly responsible for extrajudicial killings, arbitrary detentions, torture, mistreatment in detention, and systematic denial of due process of fair trials. The paper argues that the Rohingya genocide has been created in the Rakhine state with the ethnic cleansing of the Rohingyas since 2012. Ethnic cleansing of the Rohingyas has become a regional and international concern, not just an internal affair of Myanmar. This study attempts to explain the atrocity committed against the Rohingyas in terms of ethnic cleansing In the Rakhine State. The study is conducted based on multiple sources combining primary and closely related secondary materials, archival documents, newspapers, policy reports and pamphlets and leaflets published by different government and non-government agents and civil societies followed by the qualitative method. A balanced approach of data gathering and analysis will be used and maintained, including an analysis of both official and unofficial documents. Structured observations of the time to time will be very critically analyzed. The study finally suggests ways to improve Rohingya lives and secure regional peace.Etnis Rohingya telah tinggal di Negara Bagian Rakhine, Myanmar selama berabad-abad. Masalah hak asasi manusia yang signifikan masih terjadi sepanjang tahun 2010an, termasuk pemerkosaan, kekerasan seksual, penangkapan bermotif politik, dan lemahnya supremasi hukum. Undang-undang kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 membuat etnis Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan. Mereka terusir dari rumah mereka karena kekerasan sistematis. Pasukan keamanan pemerintah diduga bertanggung jawab atas pembunuhan di luar proses hukum, penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, penganiayaan dalam penahanan, dan penolakan sistematis terhadap proses peradilan yang adil. Makalah ini berargumen bahwa genosida Rohingya terjadi di negara bagian Rakhine melalui pembersihan etnis Rohingya sejak tahun 2012. Pembersihan etnis Rohingya telah menjadi perhatian regional dan internasional, bukan hanya urusan internal Myanmar. Penelitian ini mencoba menjelaskan kekejaman yang dilakukan terhadap etnis Rohingya dalam kaitannya dengan pembersihan etnis di Negara Bagian Rakhine. Studi ini dilakukan berdasarkan berbagai sumber yang menggabungkan bahan-bahan primer dan sekunder, dokumen arsip, surat kabar, laporan kebijakan dan pamflet serta selebaran yang diterbitkan oleh berbagai lembaga pemerintah dan non-pemerintah serta masyarakat sipil yang diikuti dengan metode kualitatif. Pendekatan yang seimbang dalam pengumpulan dan analisis data akan digu","PeriodicalId":30724,"journal":{"name":"Paramita Historical Studies Journal","volume":"23 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135546100","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-10-05DOI: 10.15294/paramita.v33i2.39531
Arkini Sabrina, Budi Agustono, Nuhung Nuhung
The people joyfully welcomed the proclamation of independence that echoed through Tanah Karo. However, the independence was tested by the arrival of Dutch colonialists who sought to re-establish themselves. This study aims to explain the emergence of the nationalism movement in Tanah Karo and the development of the idea of nationalism during the revolutionary period that filled the movement. This research uses the historical method, which consists of heuristics, source criticism, interpretation and historiography. The sources used are archival documents, interviews, contemporary newspapers, and other sources relevant to this study. The results showed that the emergence of the nationalism movement was brought by Karo intellectuals who were members of the PNI. They came from economically well-established families and studied in Medan. The youth from Karo played an essential role in building the spirit of nationalism as a driving force in the people's struggle against the Dutch colonialists who sought to regain power. The transmission of the idea of nationalism was brought to Tanah Karo through media in the form of writings, speeches, training, learning and other things that aroused the passion of the people's resistance. Meanwhile, in the dynamics of the movement carried out through the spread of ideas of nationalism, there was a conflict between the ranks of the struggle, which could then be reduced by strategizing the struggle because there was a fear that the enemy would use the atmosphere.Proklamasi kemerdekaan menggema hingga ke Tanah Karo disambut rakyat dengan gembira namun sebagai upaya mempertahankan kemerdekaan dengan kedatangan kolonial Belanda yang ingin berkuasa. Studi ini bertujuan untuk menjelaskan kemunculan pergerakan dan berkembangnya gagasan nasionalisme di Tanah Karo. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Sumber yang digunakan adalah sumber arsip, dokumen, wawancara, surat kabar sezaman, dan yang relevan dengan studi ini. Hasil penelitian yakni kemunculan pergerakan nasionalisme dibawa oleh kaum intelektual Karo. Mereka berasal dari keluarga yang mapan secara ekonomi dan menempuh pendidikan di Medan. Peran para pemuda Karo dalam membangun semangat nasionalisme sebagai motor penggerak perjuangan rakyat dalam menghempang kolonial Belanda yang ingin berkuasa kembali. Transmisi gagasan nasionalisme dibawa melalui media-media berupa tulisan, pidato, pelatihan, pembelajaran dan hal lainnya yang membangkitkan gairah perlawanan rakyat. Sementara itu dinamika pergerakan yang dilakukan melalui penyebaran ide-ide nasionalisme sempat menuai konflik antar barisan perjuangan yang kemudian dapat diredam dengan menyusun strategi perjuangan, hal ini karena terdapat rasa khawatir suasana tersebut dimanfaatkan oleh musuh.
人民高兴地欢迎在塔纳卡罗回响的独立宣言。然而,荷兰殖民者的到来对独立进行了考验,他们试图重建自己。本研究旨在解释塔纳卡罗民族主义运动的产生,以及民族主义思想在充满运动的革命时期的发展。本研究采用历史方法,包括启发式法、来源批判法、解释法和史学法。所使用的资料来源是档案文件、访谈、当代报纸和其他与本研究相关的资料来源。结果表明,民族主义运动的兴起是由隶属于PNI的Karo知识分子带来的。他们来自经济状况良好的家庭,在棉兰学习。来自卡罗的青年在建立民族主义精神方面发挥了重要作用,作为人民反对试图重新掌权的荷兰殖民主义者的斗争的推动力量。民族主义思想的传播是通过媒体以文字、演讲、培训、学习等形式带到Tanah Karo的,激发了人民反抗的激情。与此同时,由于民族主义思想的传播,在运动的动力中,斗争队伍之间存在着冲突,这种冲突可以通过制定斗争战略来减少,因为人们担心敌人会利用这种气氛。在马来西亚,地方行政长官,地方行政长官,地方行政长官,地方行政长官,地方行政长官,地方行政长官,地方行政长官。我的研究是,我的民族主义,我的民族主义,我的民族主义,我的民族主义,我的民族主义。Penelitian ini menggunakan的方法是:启发,批判,解释和史学。阳阳节,diunakan adalah阳阳节,dokumen, wawancara, surat kabar sezaman, dan yang相关登高研究。Hasil penelitian yakni kemunculan pergerakan民族主义dibawa oleh kaum知识分子Karo。Mereka berasal dari keluarga yang mapan secara economia dan menempuh pendidikan di Medan。Peran para pemuda Karo dalam membangun semangat民族主义sebagai motor penggerak perjuangan rakyat dalam menghempang殖民地Belanda yang ingin berkuasa kembali。传播马来西亚民族主义的媒体-媒体berupa tulisan, pidato, pelatihan, pembelajaran dan hallainnya yang, bangkitkan gairah perlawanan rakyat。我的意思是,我的民族主义,我的民族主义,我的民族主义,我的民族主义,我的民族主义,我的民族主义,我的民族主义,我的民族主义,我的民族主义,我的民族主义,我的民族主义,我的民族主义。
{"title":"Karo during the Revolution, 1945-1949","authors":"Arkini Sabrina, Budi Agustono, Nuhung Nuhung","doi":"10.15294/paramita.v33i2.39531","DOIUrl":"https://doi.org/10.15294/paramita.v33i2.39531","url":null,"abstract":"The people joyfully welcomed the proclamation of independence that echoed through Tanah Karo. However, the independence was tested by the arrival of Dutch colonialists who sought to re-establish themselves. This study aims to explain the emergence of the nationalism movement in Tanah Karo and the development of the idea of nationalism during the revolutionary period that filled the movement. This research uses the historical method, which consists of heuristics, source criticism, interpretation and historiography. The sources used are archival documents, interviews, contemporary newspapers, and other sources relevant to this study. The results showed that the emergence of the nationalism movement was brought by Karo intellectuals who were members of the PNI. They came from economically well-established families and studied in Medan. The youth from Karo played an essential role in building the spirit of nationalism as a driving force in the people's struggle against the Dutch colonialists who sought to regain power. The transmission of the idea of nationalism was brought to Tanah Karo through media in the form of writings, speeches, training, learning and other things that aroused the passion of the people's resistance. Meanwhile, in the dynamics of the movement carried out through the spread of ideas of nationalism, there was a conflict between the ranks of the struggle, which could then be reduced by strategizing the struggle because there was a fear that the enemy would use the atmosphere.Proklamasi kemerdekaan menggema hingga ke Tanah Karo disambut rakyat dengan gembira namun sebagai upaya mempertahankan kemerdekaan dengan kedatangan kolonial Belanda yang ingin berkuasa. Studi ini bertujuan untuk menjelaskan kemunculan pergerakan dan berkembangnya gagasan nasionalisme di Tanah Karo. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Sumber yang digunakan adalah sumber arsip, dokumen, wawancara, surat kabar sezaman, dan yang relevan dengan studi ini. Hasil penelitian yakni kemunculan pergerakan nasionalisme dibawa oleh kaum intelektual Karo. Mereka berasal dari keluarga yang mapan secara ekonomi dan menempuh pendidikan di Medan. Peran para pemuda Karo dalam membangun semangat nasionalisme sebagai motor penggerak perjuangan rakyat dalam menghempang kolonial Belanda yang ingin berkuasa kembali. Transmisi gagasan nasionalisme dibawa melalui media-media berupa tulisan, pidato, pelatihan, pembelajaran dan hal lainnya yang membangkitkan gairah perlawanan rakyat. Sementara itu dinamika pergerakan yang dilakukan melalui penyebaran ide-ide nasionalisme sempat menuai konflik antar barisan perjuangan yang kemudian dapat diredam dengan menyusun strategi perjuangan, hal ini karena terdapat rasa khawatir suasana tersebut dimanfaatkan oleh musuh.","PeriodicalId":30724,"journal":{"name":"Paramita Historical Studies Journal","volume":"31 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135546995","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-10-05DOI: 10.15294/paramita.v33i2.45271
Vivek Neelakantan
Between 1817 and 1821, the Indian subcontinent was devastated by a series of cholera outbreaks that have subsequently been referred to as the beginning of the First Cholera Pandemic. Although the history of the First Cholera Pandemic has received some scholarly attention, historians tend to overlook the local features of the pandemic in favor of the broader colonial context. In this article, the author contends that the official response to the epidemic in Bombay city and presidency (1818-1821) was initially ameliorative, including recruiting native medical assistants to administer treatment. Such a measure was calculated to cultivate a benevolent image of the colonial government among local inhabitants. Despite considerable nosological and etiological disagreements, members of the Bombay Medical Board characterized cholera as a social disease. Unlike cholera epidemics in the latter half of the nineteenth century, the first cholera epidemic in the Bombay presidency did little to exacerbate antagonism towards the colonial government for two reasons. First, the British power in India was still at its formative stage. Second, both in India and England, cholera was associated with the derangement of bodily humors. On the contrary, the epidemic provided a stimulus to intracommunal discord. Antara tahun 1817 dan 1821, anak benua India dilanda serangkaian wabah kolera yang kemudian disebut sebagai awal dari Pandemi Kolera Pertama. Meskipun sejarah Pandemi Kolera Pertama telah mendapat perhatian ilmiah, para sejarawan cenderung mengabaikan ciri-ciri lokal dari pandemi ini dan lebih memilih konteks kolonial yang lebih luas. Dalam artikel ini, penulis berpendapat bahwa tanggapan resmi terhadap epidemi di kota dan wilayah kepresidenan Bombay (1818-1821) pada awalnya bersifat perbaikan, termasuk merekrut asisten medis pribumi untuk memberikan pengobatan. Tindakan seperti itu diperhitungkan untuk menumbuhkan citra baik pemerintah kolonial di kalangan penduduk setempat. Meskipun ada perbedaan pendapat nosologis dan etiologis, anggota Dewan Medis Bombay menggolongkan kolera sebagai penyakit sosial. Berbeda dengan epidemi kolera pada paruh kedua abad ke-19, epidemi kolera yang pertama pada masa kepresidenan Bombay tidak banyak memperburuk antagonisme terhadap pemerintah kolonial karena dua alasan. Pertama, kekuatan Inggris di India masih dalam tahap pembentukan. Kedua, baik di India maupun Inggris, kolera dikaitkan dengan gangguan humor tubuh. Sebaliknya, epidemi ini memberikan stimulus terhadap perselisihan antar masyarakat.
1817年至1821年间,印度次大陆遭受了一系列霍乱疫情的破坏,这些疫情后来被称为第一次霍乱大流行的开端。虽然第一次霍乱大流行的历史受到了一些学术关注,但历史学家倾向于忽视大流行的局部特征,而倾向于更广泛的殖民背景。在这篇文章中,提交人认为,官方对孟买市和总统府(1818-1821年)流行病的反应最初是改善的,包括招募当地医疗助理进行治疗。这样的措施是为了在当地居民中树立殖民政府的仁慈形象。尽管在病分学和病因学上存在相当大的分歧,但孟买医学委员会的成员将霍乱定性为一种社会疾病。与19世纪下半叶的霍乱疫情不同,孟买总统任期内的第一次霍乱疫情并没有加剧对殖民政府的敌意,原因有二。首先,英国在印度的势力仍处于形成阶段。第二,在印度和英国,霍乱都与体液紊乱有关。相反,这种流行病助长了社区内部的不和。Antara tahun 1817 dan 1821, anak benua India dilanda serangkaian wabah kolera yang kemudian disebut sebagai awal dari Pandemi kolera Pertama。我的意思是:我的意思是:我的意思是:我的意思是:我的意思是:我的意思是:我的意思是:我的意思是:我的意思是:我的意思是:我的意思是:我的意思是:我的意思是:Dalam artikel ini, penulis berpendapat bahwa tanggapan resmi terhadap流行病di kota dan wilayah孟买总统(1818-1821)padadawalnya bersifat perbaikan, termasuk merekrut协助媒体prihumi untuk成员kanpengobatan。Tindakan seperti itu diperhitungkan untuk menumbuhkan citra baik peremintah kolial di kalangan penduduk setempat。Meskipun ada perbedaan pendapat病毒学和病因学,anggota Dewan Medis Bombay menggolongkan kolera sebagai penyakit social。Berbeda dengan流行病kolera pada paruh kedua abad ke-19,流行病kolera yang pertama pada masa总统和Bombay tidak banyak成员perperuk拮抗,即殖民地karena dua alasan。Pertama, kekuatan Inggris di India masih dalam tahap pembentukan。克多瓦,拜克迪印度莫潘英格丽斯,科拉迪凯特坎登根冈关幽默管。流行病专家塞巴利尼亚(sebalkniya)表示,刺激计划可能会对印度造成影响。
{"title":"Uncertainty and Managing Randomness: The First Documented Cholera Epidemic in Bombay City and Presidency, 1818-1821","authors":"Vivek Neelakantan","doi":"10.15294/paramita.v33i2.45271","DOIUrl":"https://doi.org/10.15294/paramita.v33i2.45271","url":null,"abstract":"Between 1817 and 1821, the Indian subcontinent was devastated by a series of cholera outbreaks that have subsequently been referred to as the beginning of the First Cholera Pandemic. Although the history of the First Cholera Pandemic has received some scholarly attention, historians tend to overlook the local features of the pandemic in favor of the broader colonial context. In this article, the author contends that the official response to the epidemic in Bombay city and presidency (1818-1821) was initially ameliorative, including recruiting native medical assistants to administer treatment. Such a measure was calculated to cultivate a benevolent image of the colonial government among local inhabitants. Despite considerable nosological and etiological disagreements, members of the Bombay Medical Board characterized cholera as a social disease. Unlike cholera epidemics in the latter half of the nineteenth century, the first cholera epidemic in the Bombay presidency did little to exacerbate antagonism towards the colonial government for two reasons. First, the British power in India was still at its formative stage. Second, both in India and England, cholera was associated with the derangement of bodily humors. On the contrary, the epidemic provided a stimulus to intracommunal discord. Antara tahun 1817 dan 1821, anak benua India dilanda serangkaian wabah kolera yang kemudian disebut sebagai awal dari Pandemi Kolera Pertama. Meskipun sejarah Pandemi Kolera Pertama telah mendapat perhatian ilmiah, para sejarawan cenderung mengabaikan ciri-ciri lokal dari pandemi ini dan lebih memilih konteks kolonial yang lebih luas. Dalam artikel ini, penulis berpendapat bahwa tanggapan resmi terhadap epidemi di kota dan wilayah kepresidenan Bombay (1818-1821) pada awalnya bersifat perbaikan, termasuk merekrut asisten medis pribumi untuk memberikan pengobatan. Tindakan seperti itu diperhitungkan untuk menumbuhkan citra baik pemerintah kolonial di kalangan penduduk setempat. Meskipun ada perbedaan pendapat nosologis dan etiologis, anggota Dewan Medis Bombay menggolongkan kolera sebagai penyakit sosial. Berbeda dengan epidemi kolera pada paruh kedua abad ke-19, epidemi kolera yang pertama pada masa kepresidenan Bombay tidak banyak memperburuk antagonisme terhadap pemerintah kolonial karena dua alasan. Pertama, kekuatan Inggris di India masih dalam tahap pembentukan. Kedua, baik di India maupun Inggris, kolera dikaitkan dengan gangguan humor tubuh. Sebaliknya, epidemi ini memberikan stimulus terhadap perselisihan antar masyarakat.","PeriodicalId":30724,"journal":{"name":"Paramita Historical Studies Journal","volume":"11 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-10-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"135546098","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-04-10DOI: 10.15294/paramita.v33i1.41514
Agus Suwignyo, Rhoma Dwi Aria Yuliantri
The aim of this paper is to examine the existing studies on the Indonesian deliberative mechanism of decision making, musyawarah-mufakat (MM), in the frame of nation-state formation. The 17th of August, 1945 construction of the Indonesian nation-state was based on traditional values despite its modelling of the European modern states by way of colonial legacies. This paper argues that, although scholarly attentions to revisit the ideas and practices of MM have developed very vast over the past four decades, the transformation of MM as a state mechanism has been touched in passing. Consequently, there was a discursive gap in the ideas and practices of MM. By analyzing recent studies on MM and by employing a historical method to explore daily newspapers and official documents published between 1900 and 1980s, this paper shows that the collective nature of MM did represent the taming of the political masses that overrode an individual’s sense of citizenship. Given the notion of unity, the making of MM a state ideology promoted the type of citizenship that had to work contingently with the ideological undertones of the ruling regimes. The Gesellschaft nature of the state enforced a unity as an individual’s social duty, whereas the Gemeinschaft nature of MM promoted a unity as a personal initiative, hence an ambivalence. Nevertheless, the dynamics of people’s citizenship in the practice of MM has become qualitatively compelling over time. Keywords: musyawarah mufakat, citizenship, state formation, Indonesia, twentieth century.Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji tentang mekanisme pengambilan keputusan di Indonesia, yakni musyawarah-mufakat (MM), dalam rangka pembentukan negara-bangsa. Pada tanggal 17 Agustus 1945 pembangunan negara-bangsa Indonesia didasarkan pada nilai-nilai tradisional meski mengadaptasi model negara-negara Eropa modern karena warisan kolonial. Tulisan ini berpendapat bahwa meskipun perhatian ilmiah untuk meninjau kembali gagasan dan praktik MM telah berkembang pesat selama empat dekade terakhir, transformasi MM sebagai mesin negara telah disentuh secara sepintas. Dengan menganalisis studi terbaru tentang MM dan menggunakan metode historis untuk mengeksplorasi surat kabar harian dan dokumen resmi yang diterbitkan antara tahun 1900 dan 1980-an, tulisan ini menunjukkan bahwa sifat kolektif MM mewakili penjinakan massa politik yang mengesampingkan rasa kewarganegaraan individu. Mengingat gagasan persatuan, menjadikan MM sebagai ideologi negara yang mempromosikan jenis kewarganegaraan yang harus bekerja secara kontinyu dengan nada ideologis rezim yang berkuasa. Sifat Gesellschaft dari persatuan yang dipaksakan oleh negara sebagai tugas sosial individu, sedangkan sifat Gemeinschaft dari MM mempromosikan persatuan sebagai inisiatif pribadi, karenanya menjadi ambivalensi. Namun demikian, dinamika kewarganegaraan dalam praktik MM menjadi menarik secara kualitatif dari waktu ke waktu.Kata kunci: musyawarah mufakat, kewarganegaraan, pembentuk
本文的目的是在民族国家形成的框架下,对印度尼西亚审议决策机制(musyawarah-mufakat, MM)的现有研究进行审查。1945年8月17日,印度尼西亚民族国家的建立是基于传统价值观的,尽管它是通过殖民遗产来模仿欧洲现代国家的。本文认为,尽管在过去的四十年中,学术界对重新审视MM的思想和实践的关注已经发展得非常广泛,但MM作为一种状态机制的转变却很少被提及。因此,MM的思想和实践存在话语缺口。通过分析最近关于MM的研究,并采用历史方法探索1900年至1980年间出版的日报和官方文件,本文表明MM的集体性质确实代表了凌驾于个人公民意识之上的政治群众的驯服。考虑到统一的概念,将MM作为一种国家意识形态,促进了一种公民身份,这种公民身份必须与统治政权的意识形态潜在因素一起偶然地发挥作用。国家的集体性质强制统一作为个人的社会责任,而MM的集体性质促进统一作为个人的主动性,因此是矛盾的。然而,随着时间的推移,人们在MM实践中的公民身份的动态已经变得在质量上引人注目。关键词:穆斯林,公民,国家形成,印度尼西亚,二十世纪。tuisan ini bertujuan untuk mengkaji tentang mekanisme pengambilan keputusan di Indonesia, jakni musyawarah-mufakat (MM), dalam rangka pembentukan negara-bangsa。Pada tanggal 17 Agustus 1945 pembangunan negara-bangsa印度尼西亚didasarkan Pada nilai-nilai传统的meski mengadaptasi模型negara-negara欧洲现代karena warisan殖民地。我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,我是说,登安孟山纳坎的历史研究,登安孟山纳坎的历史研究,登安孟山纳坎的历史研究,登安孟山纳坎的历史研究,登安孟山纳坎的历史研究,登安孟山纳坎的历史研究,登安孟山纳坎的历史研究,登安孟山纳坎的历史研究,登安孟山纳坎的历史研究,登安孟山纳坎的政治研究,登安孟山纳坎的政治研究,登安孟山纳坎的历史研究,登安孟山纳坎的历史研究,登安孟山纳坎的历史研究,登安孟山纳坎的历史研究,登安孟山纳坎的历史研究,登安孟山纳坎的历史研究。孟山都,孟山都,孟山都,孟山都,孟山都,孟山都,孟山都,孟山都,孟山都,孟山都,孟山都,孟山都,孟山都,孟山都Sifat Gesellschaft dari persatuan yang dipaksakan oleh negara sebagai tugas社会个体,sedangkan Sifat Gemeinschaft dari MM mempromosikan persatuan sebagai inisiatif pribadi, karenanya menjadi ambivalensi。Namun demikian, dinamika kewargangaraan dalam praktik MM menjadi menarik secara kalititf dari waktu ke waktu。Kata kunci: musyawarah mufakat, kewarganegaraan, pembentukan negara,印度尼西亚,abad ke dua puluh。
{"title":"An Analysis of The Discursive Gap in the Ideas and Practices of Musyawarah Mufakat in the Indonesian Nation-State Formation, 1900-1980s","authors":"Agus Suwignyo, Rhoma Dwi Aria Yuliantri","doi":"10.15294/paramita.v33i1.41514","DOIUrl":"https://doi.org/10.15294/paramita.v33i1.41514","url":null,"abstract":"The aim of this paper is to examine the existing studies on the Indonesian deliberative mechanism of decision making, musyawarah-mufakat (MM), in the frame of nation-state formation. The 17th of August, 1945 construction of the Indonesian nation-state was based on traditional values despite its modelling of the European modern states by way of colonial legacies. This paper argues that, although scholarly attentions to revisit the ideas and practices of MM have developed very vast over the past four decades, the transformation of MM as a state mechanism has been touched in passing. Consequently, there was a discursive gap in the ideas and practices of MM. By analyzing recent studies on MM and by employing a historical method to explore daily newspapers and official documents published between 1900 and 1980s, this paper shows that the collective nature of MM did represent the taming of the political masses that overrode an individual’s sense of citizenship. Given the notion of unity, the making of MM a state ideology promoted the type of citizenship that had to work contingently with the ideological undertones of the ruling regimes. The Gesellschaft nature of the state enforced a unity as an individual’s social duty, whereas the Gemeinschaft nature of MM promoted a unity as a personal initiative, hence an ambivalence. Nevertheless, the dynamics of people’s citizenship in the practice of MM has become qualitatively compelling over time. Keywords: musyawarah mufakat, citizenship, state formation, Indonesia, twentieth century.Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji tentang mekanisme pengambilan keputusan di Indonesia, yakni musyawarah-mufakat (MM), dalam rangka pembentukan negara-bangsa. Pada tanggal 17 Agustus 1945 pembangunan negara-bangsa Indonesia didasarkan pada nilai-nilai tradisional meski mengadaptasi model negara-negara Eropa modern karena warisan kolonial. Tulisan ini berpendapat bahwa meskipun perhatian ilmiah untuk meninjau kembali gagasan dan praktik MM telah berkembang pesat selama empat dekade terakhir, transformasi MM sebagai mesin negara telah disentuh secara sepintas. Dengan menganalisis studi terbaru tentang MM dan menggunakan metode historis untuk mengeksplorasi surat kabar harian dan dokumen resmi yang diterbitkan antara tahun 1900 dan 1980-an, tulisan ini menunjukkan bahwa sifat kolektif MM mewakili penjinakan massa politik yang mengesampingkan rasa kewarganegaraan individu. Mengingat gagasan persatuan, menjadikan MM sebagai ideologi negara yang mempromosikan jenis kewarganegaraan yang harus bekerja secara kontinyu dengan nada ideologis rezim yang berkuasa. Sifat Gesellschaft dari persatuan yang dipaksakan oleh negara sebagai tugas sosial individu, sedangkan sifat Gemeinschaft dari MM mempromosikan persatuan sebagai inisiatif pribadi, karenanya menjadi ambivalensi. Namun demikian, dinamika kewarganegaraan dalam praktik MM menjadi menarik secara kualitatif dari waktu ke waktu.Kata kunci: musyawarah mufakat, kewarganegaraan, pembentuk","PeriodicalId":30724,"journal":{"name":"Paramita Historical Studies Journal","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-10","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42521335","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-04-10DOI: 10.15294/paramita.v33i1.35720
Hendra Kurniawan, N. Supriatna, A. Mulyana, Leli Yulifar
History learning is often still dominated by mainstream material in textbooks. Local historical studies, such as Chinese-Javanese relations in Yogyakarta, have yet to be accommodated. For this reason, this study formulates the construction of history learning about Chinese-Javanese harmony in Yogyakarta in the context of utilizing public history. This qualitative research uses library methods to identify history learning sources about Chinese-Javanese relations in Yogyakarta. Furthermore, with the critical theory paradigm, the construction of history learning with the perspective of diversity regarding Chinese-Javanese harmony in Yogyakarta is formulated that can be applied in the classroom. As a result, it was found that the existence of the Chinatown area, inscriptions at the Yogyakarta Palace, kelenteng (temples), wayang Cina-Jawa or Wacinwa (Chinese-Javanese puppets), and local cuisine can be a source of learning the history of Chinese-Javanese harmony in Yogyakarta. These learning sources have the potential to be studied in the space of public history, so history learning can be constructed by encouraging students to produce public historical works in digital form through social media so that they can be widely enjoyed. Constructing history learning like this can contribute to building diverse discourses in society to strengthen national integration.Keywords: Chinese, Yogyakarta, public history, history learning, diversity.Pembelajaran sejarah kerap masih didominasi materi arus utama dalam buku teks. Kajian sejarah lokal seperti relasi Tionghoa-Jawa di Yogyakarta belum terakomodasi. Untuk itu, penelitian ini merumuskan konstruksi pembelajaran sejarah tentang keharmonisan Tionghoa-Jawa di Yogyakarta dalam konteks pemanfaatan sejarah publik. Penelitian kualitatif ini menggunakan metode penelitian kepustakaan untuk mengindentifikasi sumber-sumber belajar sejarah tentang relasi Tionghoa-Jawa di Yogyakarta. Selanjutnya dengan paradigma teori kritis dirumuskan konstruksi pembelajaran sejarah berwawasan kebinekaan mengenai keharmonisan Tionghoa-Jawa di Yogyakarta yang dapat diterapkan di kelas. Hasilnya didapati bahwa keberadaan kawasan Pecinan, prasasti-prasasti di Keraton Yogyakarta, kelenteng, wayang Cina Jawa (Wacinwa), dan kuliner lokal dapat menjadi sumber belajar sejarah keharmonisan Tionghoa-Jawa di Yogyakarta. Sumber-sumber belajar tersebut berpotensi untuk dikaji dalam ruang sejarah publik, maka pembelajaran sejarah dapat dikonstruksi dengan mendorong siswa menghasilkan karya sejarah publik dalam bentuk digital melalui media sosial sehingga dapat dinikmati secara luas. Konstruksi pembelajaran sejarah seperti ini dapat berkontribusi membangun wacana kebinekaan di tengah masyarakat untuk menguatkan integrasi bangsa.Kata kunci: Tionghoa, Yogyakarta, sejarah publik, pembelajaran sejarah, kebinekaan.
{"title":"Public History of Chinese-Javanese Harmony in Yogyakarta for History Learning with Diversity Insights","authors":"Hendra Kurniawan, N. Supriatna, A. Mulyana, Leli Yulifar","doi":"10.15294/paramita.v33i1.35720","DOIUrl":"https://doi.org/10.15294/paramita.v33i1.35720","url":null,"abstract":"History learning is often still dominated by mainstream material in textbooks. Local historical studies, such as Chinese-Javanese relations in Yogyakarta, have yet to be accommodated. For this reason, this study formulates the construction of history learning about Chinese-Javanese harmony in Yogyakarta in the context of utilizing public history. This qualitative research uses library methods to identify history learning sources about Chinese-Javanese relations in Yogyakarta. Furthermore, with the critical theory paradigm, the construction of history learning with the perspective of diversity regarding Chinese-Javanese harmony in Yogyakarta is formulated that can be applied in the classroom. As a result, it was found that the existence of the Chinatown area, inscriptions at the Yogyakarta Palace, kelenteng (temples), wayang Cina-Jawa or Wacinwa (Chinese-Javanese puppets), and local cuisine can be a source of learning the history of Chinese-Javanese harmony in Yogyakarta. These learning sources have the potential to be studied in the space of public history, so history learning can be constructed by encouraging students to produce public historical works in digital form through social media so that they can be widely enjoyed. Constructing history learning like this can contribute to building diverse discourses in society to strengthen national integration.Keywords: Chinese, Yogyakarta, public history, history learning, diversity.Pembelajaran sejarah kerap masih didominasi materi arus utama dalam buku teks. Kajian sejarah lokal seperti relasi Tionghoa-Jawa di Yogyakarta belum terakomodasi. Untuk itu, penelitian ini merumuskan konstruksi pembelajaran sejarah tentang keharmonisan Tionghoa-Jawa di Yogyakarta dalam konteks pemanfaatan sejarah publik. Penelitian kualitatif ini menggunakan metode penelitian kepustakaan untuk mengindentifikasi sumber-sumber belajar sejarah tentang relasi Tionghoa-Jawa di Yogyakarta. Selanjutnya dengan paradigma teori kritis dirumuskan konstruksi pembelajaran sejarah berwawasan kebinekaan mengenai keharmonisan Tionghoa-Jawa di Yogyakarta yang dapat diterapkan di kelas. Hasilnya didapati bahwa keberadaan kawasan Pecinan, prasasti-prasasti di Keraton Yogyakarta, kelenteng, wayang Cina Jawa (Wacinwa), dan kuliner lokal dapat menjadi sumber belajar sejarah keharmonisan Tionghoa-Jawa di Yogyakarta. Sumber-sumber belajar tersebut berpotensi untuk dikaji dalam ruang sejarah publik, maka pembelajaran sejarah dapat dikonstruksi dengan mendorong siswa menghasilkan karya sejarah publik dalam bentuk digital melalui media sosial sehingga dapat dinikmati secara luas. Konstruksi pembelajaran sejarah seperti ini dapat berkontribusi membangun wacana kebinekaan di tengah masyarakat untuk menguatkan integrasi bangsa.Kata kunci: Tionghoa, Yogyakarta, sejarah publik, pembelajaran sejarah, kebinekaan.","PeriodicalId":30724,"journal":{"name":"Paramita Historical Studies Journal","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-10","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"45993842","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-04-10DOI: 10.15294/paramita.v33i1.41643
A. Claver
Towards the end of the nineteenth-century Chinese commercial penetration of colonial Java’s interior was held responsible for all economic and social wrongdoings. Chinese entrepreneurs responded to deteriorating sentiments and circumstances with increasing assertiveness towards the colonial government and/or its commercial establishment. Aware of their crucial economic position within the colony, they turned their organizational skills and aptitude in legal matters into the formidable weapon of trade boycotts. These boycotts are examples of a Chinese collective agency in which individual entrepreneurs pooled their knowledge, skills, and resources and acted in concert to shape their future. Chinese traders’ capacity to act forcefully in their given – unfriendly – environment undercuts the persistent tendency to objectify colonial actors excluded from political power. However, far from being passive and reacting objects, these entrepreneurs actively engaged (individually and collectively) with colonial (legal) power structures, displaying purposeful, goal-directed activity along the way. How to account for this uncharacteristically visible conduct? This paper seeks to answer the question by zooming in on the functions of trade in general and, second, late colonial conditions under which trade was conducted in the Netherlands Indies. It is argued that the Chinese trader’s room for manoeuvre stemmed from a unique combination of systemic functions and historical conditions. A combination that provided the Chinese trading community with the necessary (legal) loopholes to act upon enabled the transformation of collective agency into forceful trading boycotts.Keywords: commercial penetration, commercial audacity, Boycotts, Legal Strife, late colonial IndonesiaMenjelang akhir abad ke-19, penetrasi komersial Cina ke pedalaman Jawa kolonial dianggap bertanggung jawab atas semua kesalahan ekonomi dan sosial. Pengusaha Tionghoa menanggapi sentimen dan keadaan yang memburuk dengan meningkatkan ketegasan terhadap pemerintah kolonial dan/atau pendirian komersialnya. Sadar akan posisi ekonomi mereka yang penting di dalam koloni, mereka mengubah keterampilan organisasi dan bakat mereka dalam masalah hukum menjadi senjata boikot perdagangan yang tangguh. Boikot ini adalah contoh agen kolektif China di mana pengusaha individu mengumpulkan pengetahuan, keterampilan, dan sumber daya mereka dan bertindak bersama untuk membentuk masa depan mereka. Kapasitas para pedagang Cina untuk bertindak secara paksa dalam lingkungan mereka yang tidak ramah melemahkan kecenderungan yang terus-menerus untuk mengobjektifkan aktor-aktor kolonial yang dikucilkan dari kekuasaan politik. Namun, jauh dari objek yang pasif dan bereaksi, pengusaha ini secara aktif terlibat (secara individu dan kolektif) dengan struktur kekuasaan (hukum) kolonial, menampilkan aktivitas yang bertujuan dan diarahkan pada tujuan di sepanjang jalan. Bagaimana menjelaskan perilaku yang terlihat tidak seperti biasa
{"title":"Chinese Commercial Audacity: Trade Conditions, Boycotts, and Legal Strife in Late Colonial Indonesia","authors":"A. Claver","doi":"10.15294/paramita.v33i1.41643","DOIUrl":"https://doi.org/10.15294/paramita.v33i1.41643","url":null,"abstract":"Towards the end of the nineteenth-century Chinese commercial penetration of colonial Java’s interior was held responsible for all economic and social wrongdoings. Chinese entrepreneurs responded to deteriorating sentiments and circumstances with increasing assertiveness towards the colonial government and/or its commercial establishment. Aware of their crucial economic position within the colony, they turned their organizational skills and aptitude in legal matters into the formidable weapon of trade boycotts. These boycotts are examples of a Chinese collective agency in which individual entrepreneurs pooled their knowledge, skills, and resources and acted in concert to shape their future. Chinese traders’ capacity to act forcefully in their given – unfriendly – environment undercuts the persistent tendency to objectify colonial actors excluded from political power. However, far from being passive and reacting objects, these entrepreneurs actively engaged (individually and collectively) with colonial (legal) power structures, displaying purposeful, goal-directed activity along the way. How to account for this uncharacteristically visible conduct? This paper seeks to answer the question by zooming in on the functions of trade in general and, second, late colonial conditions under which trade was conducted in the Netherlands Indies. It is argued that the Chinese trader’s room for manoeuvre stemmed from a unique combination of systemic functions and historical conditions. A combination that provided the Chinese trading community with the necessary (legal) loopholes to act upon enabled the transformation of collective agency into forceful trading boycotts.Keywords: commercial penetration, commercial audacity, Boycotts, Legal Strife, late colonial IndonesiaMenjelang akhir abad ke-19, penetrasi komersial Cina ke pedalaman Jawa kolonial dianggap bertanggung jawab atas semua kesalahan ekonomi dan sosial. Pengusaha Tionghoa menanggapi sentimen dan keadaan yang memburuk dengan meningkatkan ketegasan terhadap pemerintah kolonial dan/atau pendirian komersialnya. Sadar akan posisi ekonomi mereka yang penting di dalam koloni, mereka mengubah keterampilan organisasi dan bakat mereka dalam masalah hukum menjadi senjata boikot perdagangan yang tangguh. Boikot ini adalah contoh agen kolektif China di mana pengusaha individu mengumpulkan pengetahuan, keterampilan, dan sumber daya mereka dan bertindak bersama untuk membentuk masa depan mereka. Kapasitas para pedagang Cina untuk bertindak secara paksa dalam lingkungan mereka yang tidak ramah melemahkan kecenderungan yang terus-menerus untuk mengobjektifkan aktor-aktor kolonial yang dikucilkan dari kekuasaan politik. Namun, jauh dari objek yang pasif dan bereaksi, pengusaha ini secara aktif terlibat (secara individu dan kolektif) dengan struktur kekuasaan (hukum) kolonial, menampilkan aktivitas yang bertujuan dan diarahkan pada tujuan di sepanjang jalan. Bagaimana menjelaskan perilaku yang terlihat tidak seperti biasa","PeriodicalId":30724,"journal":{"name":"Paramita Historical Studies Journal","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-10","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48636031","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-04-10DOI: 10.15294/paramita.v33i1.39213
Wisnu Subroto, M. Prawitasari, Muhammad Rezky Noor Handy
The stereotypes of people in rural and urban areas since the days of the kingdoms in the archipelago until the early days of Indonesian independence show a dichotomy of work between women and men. However, since Indonesia was in the New Order era, this stereotype began to fade, and there was a process of equality between women and men in all fields. In South Kalimantan, women started working in traditional mines, especially the diamond mine in Pumpung, Sungai Tiung Village, Cempaka District, Banjarbaru City. The data were collected and arranged chronologically according to the time of the incident by way of interviews and searching for documents or archives stored as records. The research results chronologically describe the journey of women's struggle through its historical process interestingly. The existence of women being equal to men continues to this day in the traditional diamond mining sector in Pumpung, Banjarbaru. Women began to work in jobs that required solid physical stamina to show that they were as capable as men in the work they had been doing for a long time, especially those recorded in the XX-XXI centuries. In conclusion, the role of women can no longer be underestimated, which is only as a housewife. Here the role of women becomes double; apart from being housewives, they are also partners equal to men.Keywords: Diamond miners, female miners, South Kalimantan Stereotip masyarakat dipedesaan maupun diperkotaan sejak zaman kerajaan-kerajaan di nusantara sampai zaman awal kemerdekaan Indonesia menunjukkan dikotomi pekerjaan antara perempuan dan laki-laki. Akan tetapi, sejak Indonesia di masa orde baru, stereotip ini mulai pudar dan terjadi proses kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam segala bidang. Di Kalimantan Selatan, perempuan mulai bekerja di tambang tradisional khususnya tambang intan di Pumpung Kelurahan Sungai Tiung, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru. Data-data dikumpulkan dan disusun secara kronologis sesuai waktu kejadian dengan cara wawancara, dan pencarian dokumen atau arsip yang disimpan seperti catatan. Hasil penelitian secara kronologis menggambarkan secara menarik perjalanan perjuangan perempuan melalui proses menyejarahnya. Eksistensi perempuan untuk setara dengan kaum laki-laki terus berlanjut sampai sekarang ini di bidang penambangan intan secara tradisional yang ada di pumpung, Banjarbaru. Pekerjaan yang memerlukan stamina fisik yang kuat mulai digeluti kaum perempuan untuk menunjukkan bahwa mereka mampu seperti kaum laki-laki pekerjaan yang mereka geluti dari lama terutama yang terekam pada abad ke XX-XXI. Kesimpulannya peran perempuan tidak bisa lagi dipandang sebelah mata, yang hanya sebagai ibu rumah tangga. Disini peran perempuan menjadi ganda, selain sebagai ibu rumah tangga juga menjadi mitra kerja yang setara dengan kaum laki-laki.Kata Kunci: Penambang intan, Perempuan penambang intan, Kalimantan Selatan.
从群岛王国时代到印度尼西亚独立初期,对农村和城市地区人民的刻板印象显示出男女工作的二分法。然而,由于印度尼西亚处于新秩序时代,这种刻板印象开始消退,在各个领域都有一个男女平等的过程。在南加里曼丹,妇女开始在传统矿山工作,尤其是班珠巴鲁市Cempaka区Sungai Tiung村Pumpung的钻石矿。数据是根据事件发生的时间通过访谈和搜索作为记录存储的文件或档案的方式收集和按时间顺序排列的。研究结果有趣地按时间顺序描述了女性斗争的历史过程。在Banjarbaru Pumpung的传统钻石开采部门,男女平等的现象一直存在到今天。女性开始从事需要坚实体力的工作,以表明她们在长期从事的工作中与男性一样有能力,尤其是在XX-XXI世纪有记录的工作。总之,不能再低估妇女的作用,妇女只是一个家庭主妇。在这里,妇女的作用变得双重;她们除了是家庭主妇,还是和男人平等的伴侣。关键词:钻石矿工,女矿工,南加里曼丹然而,自从印度尼西亚加入新秩序以来,这种刻板印象已经开始消退,在所有领域都有一个男女平等的过程。在南加里曼丹,妇女开始在传统矿山工作,特别是在班加讷市的Tiung River Renewal市的煤矿。根据事件发生的时间,通过访谈的方式收集和整理数据,并搜索作为记录存储的文件或档案。研究结果按时间顺序说明了女性在历史进程中的奋斗历程。在Banjarbaru的传统工业发展中,女性作为男性的存在一直延续到这一点。一项需要强大身体耐力的工作开始超越女性,以表明她们有能力像长期以来一直在做的男性一样,尤其是20世纪记录的男性。结论是,女人的角色已经看不见了,这只是一个家庭主妇。在这里,女性扮演着双重角色,除了作为家庭主妇与男性平等的工作伙伴。关键词:无形开发商,无形开发商,南加里曼丹。
{"title":"The Existence of Women Diamond Miners in Pumpung, South Kalimantan, XX-XXI Century","authors":"Wisnu Subroto, M. Prawitasari, Muhammad Rezky Noor Handy","doi":"10.15294/paramita.v33i1.39213","DOIUrl":"https://doi.org/10.15294/paramita.v33i1.39213","url":null,"abstract":"The stereotypes of people in rural and urban areas since the days of the kingdoms in the archipelago until the early days of Indonesian independence show a dichotomy of work between women and men. However, since Indonesia was in the New Order era, this stereotype began to fade, and there was a process of equality between women and men in all fields. In South Kalimantan, women started working in traditional mines, especially the diamond mine in Pumpung, Sungai Tiung Village, Cempaka District, Banjarbaru City. The data were collected and arranged chronologically according to the time of the incident by way of interviews and searching for documents or archives stored as records. The research results chronologically describe the journey of women's struggle through its historical process interestingly. The existence of women being equal to men continues to this day in the traditional diamond mining sector in Pumpung, Banjarbaru. Women began to work in jobs that required solid physical stamina to show that they were as capable as men in the work they had been doing for a long time, especially those recorded in the XX-XXI centuries. In conclusion, the role of women can no longer be underestimated, which is only as a housewife. Here the role of women becomes double; apart from being housewives, they are also partners equal to men.Keywords: Diamond miners, female miners, South Kalimantan Stereotip masyarakat dipedesaan maupun diperkotaan sejak zaman kerajaan-kerajaan di nusantara sampai zaman awal kemerdekaan Indonesia menunjukkan dikotomi pekerjaan antara perempuan dan laki-laki. Akan tetapi, sejak Indonesia di masa orde baru, stereotip ini mulai pudar dan terjadi proses kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam segala bidang. Di Kalimantan Selatan, perempuan mulai bekerja di tambang tradisional khususnya tambang intan di Pumpung Kelurahan Sungai Tiung, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru. Data-data dikumpulkan dan disusun secara kronologis sesuai waktu kejadian dengan cara wawancara, dan pencarian dokumen atau arsip yang disimpan seperti catatan. Hasil penelitian secara kronologis menggambarkan secara menarik perjalanan perjuangan perempuan melalui proses menyejarahnya. Eksistensi perempuan untuk setara dengan kaum laki-laki terus berlanjut sampai sekarang ini di bidang penambangan intan secara tradisional yang ada di pumpung, Banjarbaru. Pekerjaan yang memerlukan stamina fisik yang kuat mulai digeluti kaum perempuan untuk menunjukkan bahwa mereka mampu seperti kaum laki-laki pekerjaan yang mereka geluti dari lama terutama yang terekam pada abad ke XX-XXI. Kesimpulannya peran perempuan tidak bisa lagi dipandang sebelah mata, yang hanya sebagai ibu rumah tangga. Disini peran perempuan menjadi ganda, selain sebagai ibu rumah tangga juga menjadi mitra kerja yang setara dengan kaum laki-laki.Kata Kunci: Penambang intan, Perempuan penambang intan, Kalimantan Selatan.","PeriodicalId":30724,"journal":{"name":"Paramita Historical Studies Journal","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-10","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46181981","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2023-04-10DOI: 10.15294/paramita.v33i1.36343
A. Prayogi
This article was written against the backdrop of the position of the Ottoman Turks, which historically had a significant influence on Muslims in the Dutch East Indies. The Muslims of the Dutch East Indies saw that the Ottoman Turks were their political and spiritual representatives. Thus, this article aims to find out the background and response of the Muslims of the Dutch East Indies when the Ottoman Empire was overthrown and replaced with the Republic of Turks. This article used historical research methods with stages in heuristics, criticism/verification, interpretation, and historiography. The data is used as primary data taken from various contemporary mass media reports and secondary data. From the results of the analysis, it is known that the collapse of the Ottoman Turks on 3 March 1924 was responded to by the Muslims of the Dutch East Indies with efforts to revitalize the caliphate through efforts to carry out congresses/meetings, the formation of committees/special agencies and the publication of mass media. The changing image of Turks in the eyes of the Muslim population of the Dutch East Indies eventually contributed to the emergence of new discourses, especially regarding the relationship between Islam and the state in the context of searching for the format of an independent state for Indonesia in the future. This discourse has yet to end in Indonesia and is still experiencing dynamics. Keywords: Pan Islam, Khilafah, Turks, Dutch East Indies, IslamArtikel ini ditulis dengan latar belakang posisi Turki Utsmani yang secara historis memiliki pengaruh signifikan terhadap umat Islam di Hindia Belanda. Umat Islam Hindia Belanda melihat bahwa Turki Usmani adalah perwakilan politik dan spiritual mereka. Maka dari itu, artikel ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang dan respon umat Islam Hindia Belanda ketika Kesultanan Utsmaniyah digulingkan dan diganti dengan Republik Turki. Artikel ini menggunakan metode penelitian sejarah dengan tahapan heuristik, kritik/verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Data yang digunakan sebagai data primer diambil dari berbagai pemberitaan media massa kontemporer dan data sekunder. Dari hasil analisis diketahui bahwa runtuhnya Turki Utsmani pada tanggal 3 Maret 1924 ditanggapi oleh umat Islam Hindia Belanda dengan upaya merevitalisasi khilafah melalui upaya melakukan kongres/pertemuan, pembentukan panitia/badan khusus dan publikasi media massa. Berubahnya citra orang Turki di mata penduduk Muslim Hindia Belanda akhirnya turut melahirkan wacana baru, khususnya mengenai hubungan Islam dan negara dalam rangka pencarian format negara merdeka bagi Indonesia di Indonesia. masa depan. Wacana ini belum berakhir di Indonesia dan masih mengalami dinamika.Kata kunci: Pan Islam, Khilafah, Turki, Hindia Belanda, Islam
这篇文章是在奥斯曼土耳其人的立场的背景下写的,奥斯曼土耳其人在历史上对荷属东印度群岛的穆斯林产生了重大影响。荷属东印度群岛的穆斯林认为奥斯曼土耳其人是他们的政治和精神代表。因此,本文旨在了解当奥斯曼帝国被推翻并被土耳其共和国取代时,荷属东印度群岛的穆斯林的背景和反应。本文采用的历史研究方法分为启发式、批判/验证、阐释、史学四个阶段。数据作为主要数据取自当代各种大众媒体报道和辅助数据。从分析的结果可知,1924年3月3日奥斯曼土耳其人垮台后,荷属东印度群岛的穆斯林通过努力举行大会/会议、成立委员会/特别机构和出版大众传播媒介,努力恢复哈里发的活力。在荷属东印度群岛的穆斯林人口眼中,土耳其人形象的改变最终促成了新的话语的出现,特别是在寻求未来印尼独立国家形式的背景下,关于伊斯兰教与国家之间关系的话语。这种讨论在印度尼西亚尚未结束,并且仍在经历动态。关键词:泛伊斯兰教,哈里发,土耳其人,荷属东印度群岛,伊斯兰教artikel ini ditulis dengan latar belakang posisi Turki Utsmani yang secara,历史,记忆,pengaruh signifikan terhadap,伊斯兰教与印度BelandaUmat Islam hinindia Belanda melihat bahwa Turki Usmani adalah perwakilan政治和精神mereka。Maka dari, artikel ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang dan responat伊斯兰教印度Belanda ketika Kesultanan Utsmaniyah digulingkan dan diganti dengan共和国土耳其语。本文主要研究了启发式、批判/验证、解释性、史学等方面的问题。Data yang digunakan sebagai Data primer diambil dari berbagai pemberitaan media massa kontemper dan Data sekunder。Dari hasil analysis diketahui bahwa runtuhnya Turki Utsmani pada tanggal 3 market 1924 ditanggapi oleh umat Islam hinindia Belanda dengan upaya merevitalisasi khilafah melalui upaya melakukan kongres/ perteman, pembentukan panitia/badan khusus dan publiclikasi media massa。印度尼西亚语:印度尼西亚语:印度尼西亚语:印度尼西亚语:印度尼西亚语:印度尼西亚语:印度尼西亚语:印度尼西亚语:印度尼西亚语:印度尼西亚语:印度尼西亚语:玛莎depan。Wacana ini belum berakhir di Indonesia dan masih mengalami dinamika。Kata kunci:泛伊斯兰教,希拉法,突厥语,印度,贝兰达,伊斯兰教
{"title":"Pan-Islamism and Response to the Collapse of Ottoman Turks in the Dutch East Indies","authors":"A. Prayogi","doi":"10.15294/paramita.v33i1.36343","DOIUrl":"https://doi.org/10.15294/paramita.v33i1.36343","url":null,"abstract":"This article was written against the backdrop of the position of the Ottoman Turks, which historically had a significant influence on Muslims in the Dutch East Indies. The Muslims of the Dutch East Indies saw that the Ottoman Turks were their political and spiritual representatives. Thus, this article aims to find out the background and response of the Muslims of the Dutch East Indies when the Ottoman Empire was overthrown and replaced with the Republic of Turks. This article used historical research methods with stages in heuristics, criticism/verification, interpretation, and historiography. The data is used as primary data taken from various contemporary mass media reports and secondary data. From the results of the analysis, it is known that the collapse of the Ottoman Turks on 3 March 1924 was responded to by the Muslims of the Dutch East Indies with efforts to revitalize the caliphate through efforts to carry out congresses/meetings, the formation of committees/special agencies and the publication of mass media. The changing image of Turks in the eyes of the Muslim population of the Dutch East Indies eventually contributed to the emergence of new discourses, especially regarding the relationship between Islam and the state in the context of searching for the format of an independent state for Indonesia in the future. This discourse has yet to end in Indonesia and is still experiencing dynamics. Keywords: Pan Islam, Khilafah, Turks, Dutch East Indies, IslamArtikel ini ditulis dengan latar belakang posisi Turki Utsmani yang secara historis memiliki pengaruh signifikan terhadap umat Islam di Hindia Belanda. Umat Islam Hindia Belanda melihat bahwa Turki Usmani adalah perwakilan politik dan spiritual mereka. Maka dari itu, artikel ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang dan respon umat Islam Hindia Belanda ketika Kesultanan Utsmaniyah digulingkan dan diganti dengan Republik Turki. Artikel ini menggunakan metode penelitian sejarah dengan tahapan heuristik, kritik/verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Data yang digunakan sebagai data primer diambil dari berbagai pemberitaan media massa kontemporer dan data sekunder. Dari hasil analisis diketahui bahwa runtuhnya Turki Utsmani pada tanggal 3 Maret 1924 ditanggapi oleh umat Islam Hindia Belanda dengan upaya merevitalisasi khilafah melalui upaya melakukan kongres/pertemuan, pembentukan panitia/badan khusus dan publikasi media massa. Berubahnya citra orang Turki di mata penduduk Muslim Hindia Belanda akhirnya turut melahirkan wacana baru, khususnya mengenai hubungan Islam dan negara dalam rangka pencarian format negara merdeka bagi Indonesia di Indonesia. masa depan. Wacana ini belum berakhir di Indonesia dan masih mengalami dinamika.Kata kunci: Pan Islam, Khilafah, Turki, Hindia Belanda, Islam","PeriodicalId":30724,"journal":{"name":"Paramita Historical Studies Journal","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-04-10","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46813705","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}