Pub Date : 2019-11-05DOI: 10.21143/jhp.vol49.no3.2197
Siti Hajati Hoesin
Notaris memerlukan bantuan orang lain untuk pelaksanaan tugas dan kewenangannya dalam pembuatan akta autentik. Orang lain yang bekerja membantu Notaris, melakukan pekerjaan di kantor Notaris, sebagai pekerja. Pekerja menjadi pegawai Notaris atau tidak menjadi pegawai Notaris, yaitu hanya sebatas melakukan pekerjaan yang diberikan oleh Notaris. Berkaitan dengan pelaksanaan jabatan Notaris ada kemungkinan terjadinya perbuatan melawan hukum oleh orang yang melakukan pekerjaan di Kantor Notaris. Manakala terjadi perbuatan melawan hukum di Kantor Notaris, maka Notaris akan dimintakan pertanggungjawabannya, karena masyarakat yang memerlukan jasa Notaris memahami bahwa untuk pembuatan akta autentik adalah di Kantor Notaris. Dalam hal terjadi perbuatan melawan hukum, masyarakat tidak membedakan apakah perbuatan melawan hukum itu dilakukan oleh pegawai Notaris atau bukan. Yang pasti adalah perbuatan melawan hukum terjadi di kantor Notaris dan berhubungan dengan pelaksanaan jabatan Notaris dalam rangka pembuatan akta autentik. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini mencoba menjelaskan dan menganalisis tentang tanggungjawab Notaris dalam hal terjadi perbuatan melawan hukum di Kantor Notaris.
{"title":"TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PEMBERI KERJA DALAM HAL TERJADI PERBUATAN MELAWAN HUKUM","authors":"Siti Hajati Hoesin","doi":"10.21143/jhp.vol49.no3.2197","DOIUrl":"https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no3.2197","url":null,"abstract":"Notaris memerlukan bantuan orang lain untuk pelaksanaan tugas dan kewenangannya dalam pembuatan akta autentik. Orang lain yang bekerja membantu Notaris, melakukan pekerjaan di kantor Notaris, sebagai pekerja. Pekerja menjadi pegawai Notaris atau tidak menjadi pegawai Notaris, yaitu hanya sebatas melakukan pekerjaan yang diberikan oleh Notaris. Berkaitan dengan pelaksanaan jabatan Notaris ada kemungkinan terjadinya perbuatan melawan hukum oleh orang yang melakukan pekerjaan di Kantor Notaris. Manakala terjadi perbuatan melawan hukum di Kantor Notaris, maka Notaris akan dimintakan pertanggungjawabannya, karena masyarakat yang memerlukan jasa Notaris memahami bahwa untuk pembuatan akta autentik adalah di Kantor Notaris. Dalam hal terjadi perbuatan melawan hukum, masyarakat tidak membedakan apakah perbuatan melawan hukum itu dilakukan oleh pegawai Notaris atau bukan. Yang pasti adalah perbuatan melawan hukum terjadi di kantor Notaris dan berhubungan dengan pelaksanaan jabatan Notaris dalam rangka pembuatan akta autentik. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini mencoba menjelaskan dan menganalisis tentang tanggungjawab Notaris dalam hal terjadi perbuatan melawan hukum di Kantor Notaris.","PeriodicalId":53034,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Pembangunan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-11-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"46347283","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-11-05DOI: 10.21143/jhp.vol49.no3.2186
Henryson Sinaga
Maraknya penggelapan pajak dan penghindaran pajak akibat belum maksimalnya penerapan pertanggungjawaban Wajib Pajak dalam peraturan pajak telah merugikan penerimaan negara. Berdasarkan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan deskriptif – komparatif – preskriptif yang telah dilakukan disimpulkan bahwa pengaturan pertanggungjawaban mutlak Wajib Pajak di Indonesia: 1) dapat memenuhi rasa keadilan dari segi kesamaan dan atau kewajaran sepanjang memenuhi kondisi yang mencerminkan keadilan materiil dan keadilan formal yang harus diatur secara eksplisit dalam peraturan pajak, dan 2) dapat memberikan kemanfaatan umum bagi negara berupa solusi atas maraknya pelanggaran peraturan kesejahteraan dan atau maraknya perilaku tertentu yang memerlukan suatu standar kehati-hatian dalam lingkungan bisnis Wajib Pajak. Disarankan agar diatur secara eksplisit tentang kriteria pertanggungjawaban mutlak dan tentang perluasan definisi setiap orang, termasuk manusia alami dan badan hukum, dalam peraturan perundang-undangan perpajakan
{"title":"PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KEADILAN DAN KEMANFAATAN UMUM","authors":"Henryson Sinaga","doi":"10.21143/jhp.vol49.no3.2186","DOIUrl":"https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no3.2186","url":null,"abstract":"Maraknya penggelapan pajak dan penghindaran pajak akibat belum maksimalnya penerapan pertanggungjawaban Wajib Pajak dalam peraturan pajak telah merugikan penerimaan negara. Berdasarkan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan deskriptif – komparatif – preskriptif yang telah dilakukan disimpulkan bahwa pengaturan pertanggungjawaban mutlak Wajib Pajak di Indonesia: 1) dapat memenuhi rasa keadilan dari segi kesamaan dan atau kewajaran sepanjang memenuhi kondisi yang mencerminkan keadilan materiil dan keadilan formal yang harus diatur secara eksplisit dalam peraturan pajak, dan 2) dapat memberikan kemanfaatan umum bagi negara berupa solusi atas maraknya pelanggaran peraturan kesejahteraan dan atau maraknya perilaku tertentu yang memerlukan suatu standar kehati-hatian dalam lingkungan bisnis Wajib Pajak. Disarankan agar diatur secara eksplisit tentang kriteria pertanggungjawaban mutlak dan tentang perluasan definisi setiap orang, termasuk manusia alami dan badan hukum, dalam peraturan perundang-undangan perpajakan","PeriodicalId":53034,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Pembangunan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-11-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.21143/jhp.vol49.no3.2186","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47454729","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-11-05DOI: 10.21143/jhp.vol49.no3.2198
Nurhadi
Actually marriage is a sacred thing. The contract that unites the two opposite sexes is bound strongly (mitsaqan ghalizha). A strong agreement is concluded in the agreement between the guardian and the prospective husband. Indonesian civil law requires saying sighat ta’liq husband to his wife. The core content of sighat ta’liq is a conditional divorce between the two if the conditions have been fulfilled. Islamic law considers marriage to be legitimate if it has enough conditions and pillars, without sighat ta'liq. Indonesian law requires the requirements of sighat ta'liq in government policy through the decree of the minister of religion number 3 in 1953. The purpose of the existence of sighat ta’liq is to protect the wife from the abuse of her husband, if the husband violates the wife has the right to sue the religious court (divorce). Lafadz sighat ta’liq was made referring to the regulation of the minister of religion number 2 in 1990, but the lafadz contained a new understanding of marriage and the promise of divorce. Compilation of Islamic Law (KHI) as an explanatory regulation from UUP number 1 of 1974 Article 46 paragraph 3 does not require sighat ta’liq.
事实上,婚姻是一件神圣的事情。将两个异性结合在一起的契约是强有力的(mitsaqan ghalizha)。监护人和准丈夫之间的协议是一个强有力的协议。印尼民法要求丈夫对妻子说“我爱你”。婚恋的核心内容是在条件满足的情况下,双方有条件地离婚。伊斯兰法律认为,如果婚姻有足够的条件和支柱,那么它就是合法的。印度尼西亚法律通过1953年第3号宗教部长的法令,要求在政府政策中规定宗教信仰的要求。宗教信仰制度存在的目的是为了保护妻子免受丈夫的虐待,如果丈夫侵犯了妻子的权利,妻子有权向宗教法院起诉(离婚)。Lafadz sighat ta 'liq指的是1990年2号宗教部长的规定,但Lafadz包含了对婚姻和离婚承诺的新理解。《伊斯兰法汇编》作为1974年联合统一党第1号决议第46条第3款的解释性规定,不需要看到这一点。
{"title":"ANALYSIS OF LAFADZ TA'LIQ TALAK IN ISLAMIC LAW PERSPECTIVE AND CIVIL LAW OF MARRIAGE/COMPILATION OF ISLAMIC LAW","authors":"Nurhadi","doi":"10.21143/jhp.vol49.no3.2198","DOIUrl":"https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no3.2198","url":null,"abstract":"Actually marriage is a sacred thing. The contract that unites the two opposite sexes is bound strongly (mitsaqan ghalizha). A strong agreement is concluded in the agreement between the guardian and the prospective husband. Indonesian civil law requires saying sighat ta’liq husband to his wife. The core content of sighat ta’liq is a conditional divorce between the two if the conditions have been fulfilled. Islamic law considers marriage to be legitimate if it has enough conditions and pillars, without sighat ta'liq. Indonesian law requires the requirements of sighat ta'liq in government policy through the decree of the minister of religion number 3 in 1953. The purpose of the existence of sighat ta’liq is to protect the wife from the abuse of her husband, if the husband violates the wife has the right to sue the religious court (divorce). Lafadz sighat ta’liq was made referring to the regulation of the minister of religion number 2 in 1990, but the lafadz contained a new understanding of marriage and the promise of divorce. Compilation of Islamic Law (KHI) as an explanatory regulation from UUP number 1 of 1974 Article 46 paragraph 3 does not require sighat ta’liq.","PeriodicalId":53034,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Pembangunan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-11-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.21143/jhp.vol49.no3.2198","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44268311","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-11-05DOI: 10.21143/jhp.vol49.no3.2195
Erie Hariyanto, Moh. Ali Al Humaidy
Corporate Social Responsibility (CSR) dan program zakat perusahaan merupakan dua instrumen penyaluran dana tanggung jawab sosial yang sama-sama mempunyai landasan perundangan, yakni UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan zakat perusahaan dalam UU No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Secara umum, zakat dan CSR memuat visi-misi sama, yakni kepedulian terhadap kondisi alam sosial secara menyeluruh. Khususnya menyengkut kehidupan masyarakat yang berkaitan degan kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman bagi masyarakat. Penelitian mengunakan metode kualitatif. Hasil penelitian yaitu Pertama Bank BPRS Bhakti Sumekar Sumenep bentuk kegiatan program Pembiayaan Usaha Syari’ah (PUSYAR iB), Bank Umum Bank BRI Syariah menunaikan CSR dan zakat perusahaan melalui Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Kedua Aktivitas tanggung jawab sosial Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang mendasarkan kegiatan bisnis mereka pada prinsip syariah Islam adalah menyisihkan sebagian (2,5%) dari laba perusahaan dalam bentuk pembayaran zakat. Secara umum, pengeluaran dana zakat di sini bukan semata memenuhi keepntingan administratif negera tetapi juga untuk memperoleh nilai keberkahan sebagai satu perusahaan yang berlandaskan pada prinsip syariah.
企业社会责任(CSR)和企业zakat项目是两种共同的社会责任资金分配工具,该基金是2007年《有限责任法》(forty law of limited permission)和2011年《扶轮社》(charat)第23号《扶轮社管理》(zakat)中有限责任基础的两种工具。在很大程度上,zakat和CSR都有类似的使命,即全面关注社会环境。特别是对社会福利、安全和秩序的挑战。研究采用定性方法。第一项研究的结果是BPRS Bhakti Sumenep开展了Syariah (PUSYAR iB)的业务融资计划。Syari - iB是一家公共银行,该银行通过国家zakat (Baznas)机构进行了CSR和zakat公司的活动。伊斯兰金融机构的社会责任活动(LKS)以伊斯兰教法的原则为基础,其商业活动将其一部分(2.5%)以zakat支付形式从公司利润中扣除。一般来说,zakat在这里的资金不仅满足了国家的行政管理,而且作为一家以伊斯兰原则为基础的公司获得祝福的价值。
{"title":"PELAKSANAAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DAN ZAKAT PERUSAHAAN PERBANKAN SYARI’AH DI MADURA","authors":"Erie Hariyanto, Moh. Ali Al Humaidy","doi":"10.21143/jhp.vol49.no3.2195","DOIUrl":"https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no3.2195","url":null,"abstract":"Corporate Social Responsibility (CSR) dan program zakat perusahaan merupakan dua instrumen penyaluran dana tanggung jawab sosial yang sama-sama mempunyai landasan perundangan, yakni UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan zakat perusahaan dalam UU No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Secara umum, zakat dan CSR memuat visi-misi sama, yakni kepedulian terhadap kondisi alam sosial secara menyeluruh. Khususnya menyengkut kehidupan masyarakat yang berkaitan degan kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman bagi masyarakat. Penelitian mengunakan metode kualitatif. Hasil penelitian yaitu Pertama Bank BPRS Bhakti Sumekar Sumenep bentuk kegiatan program Pembiayaan Usaha Syari’ah (PUSYAR iB), Bank Umum Bank BRI Syariah menunaikan CSR dan zakat perusahaan melalui Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Kedua Aktivitas tanggung jawab sosial Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang mendasarkan kegiatan bisnis mereka pada prinsip syariah Islam adalah menyisihkan sebagian (2,5%) dari laba perusahaan dalam bentuk pembayaran zakat. Secara umum, pengeluaran dana zakat di sini bukan semata memenuhi keepntingan administratif negera tetapi juga untuk memperoleh nilai keberkahan sebagai satu perusahaan yang berlandaskan pada prinsip syariah.","PeriodicalId":53034,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Pembangunan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-11-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"44215200","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-11-05DOI: 10.21143/jhp.vol49.no3.2199
Triyani Hayati
Pemberian izin pertambangan membawa berbagai dampak negatif dalam berbagai segi. Selain kerusakan lingkungan yang pasti ditimbulkannya, juga menimbulkan banyak terjadi kebocoran dalam penerimaan keuangan negara yang seharusnya diterima oleh Negara. Seharusnya izin merupakan instrumen pengendali dalam pengusahaan pertambangan, agar sesuai dengan makna filosofis sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Makna yang terkandung dalam Pasal tersebut adalah prinsip “Hak Menguasai Negara” terhadap sumber daya alam dan amanat “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kedua hal itulah yang kemudian harus dijadikan dasar dalam penyusunan berbagai kebijakan baik yang bersifat mengatur (regeling) maupun yang bersifat menetapkan (keputusan/perizinan). Terkait perizinan, sudah diberikan sejak pemerintah Hindia Belanda dengan bentuk “Konsesi” sebagaimana diatur dalam Indische Mijnwet 1899. Karena itu artikel ini ingin mencari bentuk pengusahaan (termasuk perizinan) yang sesuai dengan konsep Hak Menguasai oleh Negara sesuai Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
{"title":"HAK PENGUASAAN NEGARA TERHADAP SUMBER DAYA ALAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP BENTUK PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN","authors":"Triyani Hayati","doi":"10.21143/jhp.vol49.no3.2199","DOIUrl":"https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no3.2199","url":null,"abstract":"Pemberian izin pertambangan membawa berbagai dampak negatif dalam berbagai segi. Selain kerusakan lingkungan yang pasti ditimbulkannya, juga menimbulkan banyak terjadi kebocoran dalam penerimaan keuangan negara yang seharusnya diterima oleh Negara. Seharusnya izin merupakan instrumen pengendali dalam pengusahaan pertambangan, agar sesuai dengan makna filosofis sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Makna yang terkandung dalam Pasal tersebut adalah prinsip “Hak Menguasai Negara” terhadap sumber daya alam dan amanat “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kedua hal itulah yang kemudian harus dijadikan dasar dalam penyusunan berbagai kebijakan baik yang bersifat mengatur (regeling) maupun yang bersifat menetapkan (keputusan/perizinan). Terkait perizinan, sudah diberikan sejak pemerintah Hindia Belanda dengan bentuk “Konsesi” sebagaimana diatur dalam Indische Mijnwet 1899. Karena itu artikel ini ingin mencari bentuk pengusahaan (termasuk perizinan) yang sesuai dengan konsep Hak Menguasai oleh Negara sesuai Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.","PeriodicalId":53034,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Pembangunan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-11-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47785153","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-11-05DOI: 10.21143/jhp.vol49.no3.2194
Ufran Ufran, A. D. Amaral
Restorative justice is a way to deal with crime by balancing the needs of the community, victims and perpetrators. This is a more holistic solution for trying to understand crime and overcome the dynamics of criminal behavior, its causes and consequences. The focus of restorative justice is empowerment, participation and healing of victims of crime. This paper discusses the possibility of utilizing the concept of restorative justice towards solving environmental crime. Identifying victims of environmental crimes and how they are able to participate in the restorative process. In particular, pay attention to the ideas of the wider community, the sustainability of future generations and a better environment. This article explores the types of restorative results available, including reparations, restitution and compensation for the occurrence of environmental damage. By implementing a restorative process for environmental crime, restorative justice can be transformative for victims, perpetrators, the community, the environment and the criminal justice system so as to enable a more equitable outcome for environmental crime cases.
{"title":"INITIATING THE UTILIZATION OF RESTORATIVE JUSTICE IN COMPLETING OF THE ENVIRONMENTAL CRIME CASES","authors":"Ufran Ufran, A. D. Amaral","doi":"10.21143/jhp.vol49.no3.2194","DOIUrl":"https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no3.2194","url":null,"abstract":"Restorative justice is a way to deal with crime by balancing the needs of the community, victims and perpetrators. This is a more holistic solution for trying to understand crime and overcome the dynamics of criminal behavior, its causes and consequences. The focus of restorative justice is empowerment, participation and healing of victims of crime. This paper discusses the possibility of utilizing the concept of restorative justice towards solving environmental crime. Identifying victims of environmental crimes and how they are able to participate in the restorative process. In particular, pay attention to the ideas of the wider community, the sustainability of future generations and a better environment. This article explores the types of restorative results available, including reparations, restitution and compensation for the occurrence of environmental damage. By implementing a restorative process for environmental crime, restorative justice can be transformative for victims, perpetrators, the community, the environment and the criminal justice system so as to enable a more equitable outcome for environmental crime cases.","PeriodicalId":53034,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Pembangunan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-11-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.21143/jhp.vol49.no3.2194","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43742178","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan, pemerintah berupaya melindungi hasil pertanian dengan cara program asuransi pertanian. Perusahaan asuransi bertanggung jawab memberikan ganti kerugian kepada petani apabila terjadi kerugian yang diakibatkan oleh risiko misalnya banjir, kekeringan dan serangan organisme pengganggu tumbuhan. Perlindungan hukum bagi petani diberikan sesuai dengan hak-hak petani yang diamanatkan oleh undang-undang. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum yang relevan dan melakukan telaah mengenai konsep-konsep hukum. Metode pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual untuk meneliti pertanggungjawaban perusahaan asuransi dan perlindungan hukum bagi petani terhadap perjanjian asuransi pertanian pada program ketahanan pangan oleh pemerintah.
{"title":"PERJANJIAN ASURANSI PERTANIAN PADA PROGRAM KETAHANAN PANGAN OLEH PEMERINTAH","authors":"Zahry Vandawati, Rizki Dermawan, Hilda Yunita Sabrie","doi":"10.21143/jhp.vol49.no3.2189","DOIUrl":"https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no3.2189","url":null,"abstract":"Dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan, pemerintah berupaya melindungi hasil pertanian dengan cara program asuransi pertanian. Perusahaan asuransi bertanggung jawab memberikan ganti kerugian kepada petani apabila terjadi kerugian yang diakibatkan oleh risiko misalnya banjir, kekeringan dan serangan organisme pengganggu tumbuhan. Perlindungan hukum bagi petani diberikan sesuai dengan hak-hak petani yang diamanatkan oleh undang-undang. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum yang relevan dan melakukan telaah mengenai konsep-konsep hukum. Metode pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual untuk meneliti pertanggungjawaban perusahaan asuransi dan perlindungan hukum bagi petani terhadap perjanjian asuransi pertanian pada program ketahanan pangan oleh pemerintah.","PeriodicalId":53034,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Pembangunan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-11-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.21143/jhp.vol49.no3.2189","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"43821206","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-11-05DOI: 10.21143/jhp.vol49.no3.2196
Shandy Aditya Pratama, A. Salam
Kartu kredit pemerintah merupakan produk baru yang penerapannya saat ini sedang diujicobakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara kepada sebagian satuan kerja dan lembaga pemerintah. Kartu kredit ini ditujukan kepada pegawai pemerintah sebagai alat pembayaran dalam rangka penggunaan uang persediaan. Berdasarkan Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. PER-17/PB/2017, sanksi yang dikenakan atas penyalahgunaan kartu kredit pemerintah adalah hanya dengan pemberian surat peringatan dan pencabutan kartu kredit tersebut. Dengan menelaah unsur-unsur pertanggungjawaban hukum, tulisan ini menunjukkan sanksi-sanksi apa saja yang sebenarnya dapat dikenakan atas penyalahgunaan kartu kredit pemerintah. Telaah ini dilakukan dengan memperhatikan unsur pertanggungjawaban hukum dari perspektif hukum perdata, hukum pidana, dan hukum administrasi negara. Tulisan ini menemukan, Kartu Kredit pemerintah secara prinsip adalah sama dengan kartu kredit korporat, namun kekhasnya adalah bahwa dalam pertanggungjawabannya. Terhadap kartu pemerintah terdapat pertanggungjawaban hukum administrasi.
{"title":"TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM KARTU KREDIT PEMERINTAH DI INDONESIA","authors":"Shandy Aditya Pratama, A. Salam","doi":"10.21143/jhp.vol49.no3.2196","DOIUrl":"https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no3.2196","url":null,"abstract":"Kartu kredit pemerintah merupakan produk baru yang penerapannya saat ini sedang diujicobakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara kepada sebagian satuan kerja dan lembaga pemerintah. Kartu kredit ini ditujukan kepada pegawai pemerintah sebagai alat pembayaran dalam rangka penggunaan uang persediaan. Berdasarkan Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. PER-17/PB/2017, sanksi yang dikenakan atas penyalahgunaan kartu kredit pemerintah adalah hanya dengan pemberian surat peringatan dan pencabutan kartu kredit tersebut. Dengan menelaah unsur-unsur pertanggungjawaban hukum, tulisan ini menunjukkan sanksi-sanksi apa saja yang sebenarnya dapat dikenakan atas penyalahgunaan kartu kredit pemerintah. Telaah ini dilakukan dengan memperhatikan unsur pertanggungjawaban hukum dari perspektif hukum perdata, hukum pidana, dan hukum administrasi negara. Tulisan ini menemukan, Kartu Kredit pemerintah secara prinsip adalah sama dengan kartu kredit korporat, namun kekhasnya adalah bahwa dalam pertanggungjawabannya. Terhadap kartu pemerintah terdapat pertanggungjawaban hukum administrasi.","PeriodicalId":53034,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Pembangunan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-11-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.21143/jhp.vol49.no3.2196","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"48846779","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-11-05DOI: 10.21143/jhp.vol49.no3.2185
M. Asnawi
Permasalahan prakontrak di Indonesia muncul karena adanya kesenjangan pengaturan mengenai hukum kontrak dengan kebutuhan praktik di lapangan. KUHPerdata sebagai payung hukum kontrak di Indonesia tidak mengatur mengenai prakontrak, demikian pula dengan praktik pradilan Indonesia sampai saat ini cenderung berkutat pada aspek formalitas suatu kontrak, alih-alih upaya memberikan keadilan kepada para pihak yang dirugikan akibat dilanggarnya janji prakontrak. Dalam kerangka pembaruan hukum kontrak, substansi pranata hukum kontrak Indonesia harus diperbarui dengan memasukkan prakontrak sebagai salah satu bagian penting yang diatur di dalamnya. Janji prakontrak seharusnya memiliki kekuatan mengikat secara yuridis. Pelanggaran terhadap janji prakontrak dapat dimintai pertanggungjawabannya melalui tiga instrument hukum, yaitu: 1) Perbuatan melawan hukum, berupa penggantian kerugian atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan; 2) Wanprestasi, berupa penggantian atas hilangnya keuntungan yang diharapkan; atau 3) Perlindungan konsumen, berupa penggantian kerugian yang diderita dan/atau penghukuman kepada pelanggar untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang telah dijanjikan dalam tahapan prakontrak.
{"title":"ASPEK HUKUM JANJI PRAKONTRAK DALAM PRANATA HUKUM KONTRAK INDONESIA","authors":"M. Asnawi","doi":"10.21143/jhp.vol49.no3.2185","DOIUrl":"https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no3.2185","url":null,"abstract":"Permasalahan prakontrak di Indonesia muncul karena adanya kesenjangan pengaturan mengenai hukum kontrak dengan kebutuhan praktik di lapangan. KUHPerdata sebagai payung hukum kontrak di Indonesia tidak mengatur mengenai prakontrak, demikian pula dengan praktik pradilan Indonesia sampai saat ini cenderung berkutat pada aspek formalitas suatu kontrak, alih-alih upaya memberikan keadilan kepada para pihak yang dirugikan akibat dilanggarnya janji prakontrak. Dalam kerangka pembaruan hukum kontrak, substansi pranata hukum kontrak Indonesia harus diperbarui dengan memasukkan prakontrak sebagai salah satu bagian penting yang diatur di dalamnya. Janji prakontrak seharusnya memiliki kekuatan mengikat secara yuridis. Pelanggaran terhadap janji prakontrak dapat dimintai pertanggungjawabannya melalui tiga instrument hukum, yaitu: 1) Perbuatan melawan hukum, berupa penggantian kerugian atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan; 2) Wanprestasi, berupa penggantian atas hilangnya keuntungan yang diharapkan; atau 3) Perlindungan konsumen, berupa penggantian kerugian yang diderita dan/atau penghukuman kepada pelanggar untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang telah dijanjikan dalam tahapan prakontrak.","PeriodicalId":53034,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Pembangunan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-11-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.21143/jhp.vol49.no3.2185","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"42476549","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Pub Date : 2019-11-05DOI: 10.21143/jhp.vol49.no3.2191
R. Nugraha, Kartika Paramita
Ruang angkasa telah menjelma menjadi suatu forum kerja sama antarnegara. Sejarah mencatat pada dimensi tersebut banyak negara dengan ideologi berbeda dapat melupakan permusuhan dan duduk bersama. Kehadiran Association of South East Asian Nations (ASEAN) sebagai suatu subjek hukum internasional dengan sepuluh negara anggota akan menguji kembali premis tersebut. Upaya mewujudkan kerja sama kegiatan keantariksaan pada tingkat regional dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, salah satunya melalui pendirian ASEAN Space Agency. Pada skala lebih kecil, mengingat tidak terdapat suatu tatanan hukum pada tingkat ASEAN, maka pengoperasian satelit bersama tampak lebih realistis. Kehadiran keduanya dapat menjadi solusi guna menjawab beberapa isu aktual, baik seputar pemanfaatan slot Geostationary Orbit (GSO) bagi Indonesia hingga menentukan arah kegiatan keantariksaan regional ASEAN
{"title":"MEMPERERAT REGIONAL ASEAN MELALUI TATANAN HUKUM KEANTARIKSAAN: PELUANG DAN TANTANGAN BAGI INDONESIA","authors":"R. Nugraha, Kartika Paramita","doi":"10.21143/jhp.vol49.no3.2191","DOIUrl":"https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no3.2191","url":null,"abstract":"Ruang angkasa telah menjelma menjadi suatu forum kerja sama antarnegara. Sejarah mencatat pada dimensi tersebut banyak negara dengan ideologi berbeda dapat melupakan permusuhan dan duduk bersama. Kehadiran Association of South East Asian Nations (ASEAN) sebagai suatu subjek hukum internasional dengan sepuluh negara anggota akan menguji kembali premis tersebut. Upaya mewujudkan kerja sama kegiatan keantariksaan pada tingkat regional dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, salah satunya melalui pendirian ASEAN Space Agency. Pada skala lebih kecil, mengingat tidak terdapat suatu tatanan hukum pada tingkat ASEAN, maka pengoperasian satelit bersama tampak lebih realistis. Kehadiran keduanya dapat menjadi solusi guna menjawab beberapa isu aktual, baik seputar pemanfaatan slot Geostationary Orbit (GSO) bagi Indonesia hingga menentukan arah kegiatan keantariksaan regional ASEAN","PeriodicalId":53034,"journal":{"name":"Jurnal Hukum Pembangunan","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2019-11-05","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"https://sci-hub-pdf.com/10.21143/jhp.vol49.no3.2191","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"47342087","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}