Tahun 2020 seluruh dunia mengalami kasus wabah penyakit yaitu Covid-19 hal ini menjadikan berbagai Negara mengalami gangguan kesehatan dan ekonomi salah satunya Negara Indonesia. Berdasarkan dasar hukum tersebut maka rumusan masalahnya yaitu: Pertama, bagaimana hak informasi atas anak vaksin covid-19 berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 di kota Langsa. Kedua, bagaimana pertanggungjawaban pemerintah kota Langsa terhadap anak korban vaksin Covid-19 berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 di kota Langsa. Ketiga, bagaimana pandangan Islam terhadap perlindungan hukum pada anak yang di vaksin covid-19 di tinjau dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang hukum kesehatan. Metode penelitian yang digunakan menggunakan penelitian empiris dimana penelitian yang menggunakan data primer yang diproleh langsung dari lapangan. Adapun pembahasan, Pertama, Pemerintah kota Langsa dalam hal ini dinas Kesehatan belum maksimal memberikan hak informasi terkait vaksin covid terhadap anak di kota Langsa sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 17 Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dimana keluarga korban belum mendapat informasi dan edukasi terkait vaksin anak baik sebelum maupun sesudah dilaksanakannya vaksin covid terhadap anak.Kedua, Pemerintah kota Langsa belum maksimal memberikan pertanggungjawaban dan pengawasan terhadap anak korban vaksinasi covid-19 sebagaimana yang diamanatkan pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Ketiga, vaksin mengenai dalam pandangan Islam itu dibolehkan, asalkan tiada diantaranya menimbulkan kemudaratan baginya, dan bukan dari bahan yang di haramkan. Adapun yang saran dalam penelitian ini: pertama, Dinas Kesehatan kota Langsa memberikan informasi Kesehatan terhadap pasien sebagaimana yang diamanatkan pasal 17 Undang-Undang 36 tahun 2009, kedua, bertanggungjawab untuk mengawasi maupun memberikan pelayanan dan tindakan yang maksimal baik terhadap pasien khususnya korban vaksin covid terhadap anak sebagaimana yang diamanatkan pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009.
{"title":"PERLINDUNGAN HAK ATAS INFORMASI TERHADAP ANAK VAKSIN COVID-19 DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG HUKUM KESEHATAN","authors":"Haykal Anggia Wardana, Lusy Liany, A. Mahmud","doi":"10.33476/ajl.v14i1.3617","DOIUrl":"https://doi.org/10.33476/ajl.v14i1.3617","url":null,"abstract":"Tahun 2020 seluruh dunia mengalami kasus wabah penyakit yaitu Covid-19 hal ini menjadikan berbagai Negara mengalami gangguan kesehatan dan ekonomi salah satunya Negara Indonesia. Berdasarkan dasar hukum tersebut maka rumusan masalahnya yaitu: Pertama, bagaimana hak informasi atas anak vaksin covid-19 berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 di kota Langsa. Kedua, bagaimana pertanggungjawaban pemerintah kota Langsa terhadap anak korban vaksin Covid-19 berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 di kota Langsa. Ketiga, bagaimana pandangan Islam terhadap perlindungan hukum pada anak yang di vaksin covid-19 di tinjau dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang hukum kesehatan. Metode penelitian yang digunakan menggunakan penelitian empiris dimana penelitian yang menggunakan data primer yang diproleh langsung dari lapangan. Adapun pembahasan, Pertama, Pemerintah kota Langsa dalam hal ini dinas Kesehatan belum maksimal memberikan hak informasi terkait vaksin covid terhadap anak di kota Langsa sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 17 Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dimana keluarga korban belum mendapat informasi dan edukasi terkait vaksin anak baik sebelum maupun sesudah dilaksanakannya vaksin covid terhadap anak.Kedua, Pemerintah kota Langsa belum maksimal memberikan pertanggungjawaban dan pengawasan terhadap anak korban vaksinasi covid-19 sebagaimana yang diamanatkan pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Ketiga, vaksin mengenai dalam pandangan Islam itu dibolehkan, asalkan tiada diantaranya menimbulkan kemudaratan baginya, dan bukan dari bahan yang di haramkan. Adapun yang saran dalam penelitian ini: pertama, Dinas Kesehatan kota Langsa memberikan informasi Kesehatan terhadap pasien sebagaimana yang diamanatkan pasal 17 Undang-Undang 36 tahun 2009, kedua, bertanggungjawab untuk mengawasi maupun memberikan pelayanan dan tindakan yang maksimal baik terhadap pasien khususnya korban vaksin covid terhadap anak sebagaimana yang diamanatkan pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009.","PeriodicalId":256138,"journal":{"name":"ADIL: Jurnal Hukum","volume":"8 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-07-11","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139360420","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Andriana Kusumawati, Endang Purwaningsih, I. Santosa
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) merupakan badan usaha yang didirikan dengan peraturan desa. BUMDesa kesulitan menjalin kerjasama karena belum ada legalitasnya sehingga sebagian didirikan dengan akta Notaris. Ketentuan UU Desa diubah dalam Pasal 117 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Penelitian ini membahas kedudukan akta Notaris dalam pendirian BUMDesa serta pelaksanaannya pasca UU Cipta Kerja. Metode penelitian yuridis normatif dengan data primer, sekunder, dan tersier. Penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan, konsep, dan analisis. Hasil penelitian kedudukan akta Notaris tidak diperlukan dan bukan kewenangan notaris untuk pendirian BUMDesa, akta Notaris diperlukan untuk perjanjian kerjasama dan pendirian unit usaha BUMDesa yang berbadan hukum. Persoalan multitafsir pendirian BUMDesa dijawab dengan keluarya UU Cipta Kerja sebagai upaya penegasan status BUMDesa yang didirikan dengan peraturan desa sehingga ada kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam kerjasama. Peraturan desa yang menetapkan pendirian BUMDesa didaftarkan melalui Sistem Informasi Desa dan terintegrasi pada Sistem Administrasi Badan Hukum dan mendapatkan Sertifikat Pendaftaran Badan Hukum BUMDesa. Dalam kurun waktu 1 (satu) tahun sejak disahkan UU Cipta Kerja, telah ada 10.602 BUMDesa yang telah selesai melakukan pendaftaran. Status BUMDesa yang bersertifikat ini setara dengan perseroan dan koperasi.
{"title":"KEDUDUKAN AKTA NOTARIS ATAS PENDIRIAN BADAN USAHA MILIK DESA PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA","authors":"Andriana Kusumawati, Endang Purwaningsih, I. Santosa","doi":"10.33476/ajl.v14i1.3169","DOIUrl":"https://doi.org/10.33476/ajl.v14i1.3169","url":null,"abstract":"Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) merupakan badan usaha yang didirikan dengan peraturan desa. BUMDesa kesulitan menjalin kerjasama karena belum ada legalitasnya sehingga sebagian didirikan dengan akta Notaris. Ketentuan UU Desa diubah dalam Pasal 117 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Penelitian ini membahas kedudukan akta Notaris dalam pendirian BUMDesa serta pelaksanaannya pasca UU Cipta Kerja. Metode penelitian yuridis normatif dengan data primer, sekunder, dan tersier. Penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan, konsep, dan analisis. Hasil penelitian kedudukan akta Notaris tidak diperlukan dan bukan kewenangan notaris untuk pendirian BUMDesa, akta Notaris diperlukan untuk perjanjian kerjasama dan pendirian unit usaha BUMDesa yang berbadan hukum. Persoalan multitafsir pendirian BUMDesa dijawab dengan keluarya UU Cipta Kerja sebagai upaya penegasan status BUMDesa yang didirikan dengan peraturan desa sehingga ada kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam kerjasama. Peraturan desa yang menetapkan pendirian BUMDesa didaftarkan melalui Sistem Informasi Desa dan terintegrasi pada Sistem Administrasi Badan Hukum dan mendapatkan Sertifikat Pendaftaran Badan Hukum BUMDesa. Dalam kurun waktu 1 (satu) tahun sejak disahkan UU Cipta Kerja, telah ada 10.602 BUMDesa yang telah selesai melakukan pendaftaran. Status BUMDesa yang bersertifikat ini setara dengan perseroan dan koperasi.","PeriodicalId":256138,"journal":{"name":"ADIL: Jurnal Hukum","volume":"41 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-07-11","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139360550","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Lembaga parlemen dalam praktek negara-negara di dunia pada umumnya menggunakan sistem dua kamar, walaupun terdapat juga negara-negara yang menggunakan sistem satu kamar. Lembaga parlemen dalam praktek ketatanegaraan disebut dengan kekuasaan legislatif. Republik Indonesia menggunakan sistem dua kamar, sebagaimana yang disebutkan dalam Article 2 Section 1 naskah asli UUD 1945 menyebutkan adanya lembaga MPR yang di dalamnya terdapat DPR, ditambah dengan Utusan Golongan dan Daerah. Seperti halnya United States of America juga menggunakan sistem dua kamar sebagaimana yang disebutkan dalam Article 1 Section 1 Constitution of USA menyebutkan adanya Congress of United States which shall consist of a Senate and House of Representatives. Setelah amandement UUD 1945 sebagaimana yang disebutkan pada Article 2 Section 1 terjadi perubahan pada kekuasaan pada lembaga legislatif Indonesia, yang berbunyi : MPR yang di dalamnya terdapat DPR dan DPD. Namun demikian kedua kamar ini sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 naskah perubahan tidak memiliki kekuasaan yang sama, di mana DPR memiliki kewenangan membentuk UU sedangkan DPD tidak memiliki kewenangan membentuk UU hanya memiliki kewenangan untuk mengajukan RUU kepada DPR. Hal ini sangat berbeda dengan dua kamar di United State of America yaitu di mana Kongres di dalamnya terdiri dari Senate and House of Resentatives sama-sama memiliki kewenangan membentuk UU.
{"title":"PENTINGNYA PENERAPAN SISTEM STRONG BICAMERAL DALAM KEKUASAAN LEGISLATIF REPUBLIK INDONESIA","authors":"Y. Darusman","doi":"10.33476/ajl.v14i1.3226","DOIUrl":"https://doi.org/10.33476/ajl.v14i1.3226","url":null,"abstract":"Lembaga parlemen dalam praktek negara-negara di dunia pada umumnya menggunakan sistem dua kamar, walaupun terdapat juga negara-negara yang menggunakan sistem satu kamar. Lembaga parlemen dalam praktek ketatanegaraan disebut dengan kekuasaan legislatif. Republik Indonesia menggunakan sistem dua kamar, sebagaimana yang disebutkan dalam Article 2 Section 1 naskah asli UUD 1945 menyebutkan adanya lembaga MPR yang di dalamnya terdapat DPR, ditambah dengan Utusan Golongan dan Daerah. Seperti halnya United States of America juga menggunakan sistem dua kamar sebagaimana yang disebutkan dalam Article 1 Section 1 Constitution of USA menyebutkan adanya Congress of United States which shall consist of a Senate and House of Representatives. Setelah amandement UUD 1945 sebagaimana yang disebutkan pada Article 2 Section 1 terjadi perubahan pada kekuasaan pada lembaga legislatif Indonesia, yang berbunyi : MPR yang di dalamnya terdapat DPR dan DPD. Namun demikian kedua kamar ini sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 naskah perubahan tidak memiliki kekuasaan yang sama, di mana DPR memiliki kewenangan membentuk UU sedangkan DPD tidak memiliki kewenangan membentuk UU hanya memiliki kewenangan untuk mengajukan RUU kepada DPR. Hal ini sangat berbeda dengan dua kamar di United State of America yaitu di mana Kongres di dalamnya terdiri dari Senate and House of Resentatives sama-sama memiliki kewenangan membentuk UU.","PeriodicalId":256138,"journal":{"name":"ADIL: Jurnal Hukum","volume":"159 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-07-11","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139360275","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hak dan kewajiban Wajib Pajak serta Otoritas Perpajakan setelah keluar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Hak dan kewajiban keduanya mengalami perubahan dan penyesuaian. Pertama, Wajib Pajak berhak mengungkapkan ketidakbenaran laporan perpajakannya saat pemeriksaan. Kedua, sanksi denda atas ditolaknya keberatan dan banding Wajib Pajak menjadi lebih ringan. Ketiga, Wajib Pajak harus mengintegrasikan identitas perpajakannya dengan identitas kependudukan. Keempat, penyedia e-commerce wajib melakukan pemotongan atau pemungutan. Kelima, Otoritas perpajakan berhak menagih atas wanprestasi pembayaran angsuran atau penundaan pajak yang masih kurang dibayar. Keenam, penyidik pajak dapat melakukan pemblokiran atau penyitaan aset tersangka. Ketujuh, penurunan sanksi administratif pada surat ketetapan pajak kurang bayar. Kedelapan, pemberian data hanya berlaku pada proses penyidikan, penuntutan, dan kerja sama tertentu.
{"title":"HAK DAN KEWAJIBAN WAJIB PAJAK SERTA OTORITAS PERPAJAKAN SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2021 TENTANG HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN","authors":"E. Ariyanti, Ita Nailul Mutiah","doi":"10.33476/ajl.v14i1.3439","DOIUrl":"https://doi.org/10.33476/ajl.v14i1.3439","url":null,"abstract":"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hak dan kewajiban Wajib Pajak serta Otoritas Perpajakan setelah keluar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Hak dan kewajiban keduanya mengalami perubahan dan penyesuaian. Pertama, Wajib Pajak berhak mengungkapkan ketidakbenaran laporan perpajakannya saat pemeriksaan. Kedua, sanksi denda atas ditolaknya keberatan dan banding Wajib Pajak menjadi lebih ringan. Ketiga, Wajib Pajak harus mengintegrasikan identitas perpajakannya dengan identitas kependudukan. Keempat, penyedia e-commerce wajib melakukan pemotongan atau pemungutan. Kelima, Otoritas perpajakan berhak menagih atas wanprestasi pembayaran angsuran atau penundaan pajak yang masih kurang dibayar. Keenam, penyidik pajak dapat melakukan pemblokiran atau penyitaan aset tersangka. Ketujuh, penurunan sanksi administratif pada surat ketetapan pajak kurang bayar. Kedelapan, pemberian data hanya berlaku pada proses penyidikan, penuntutan, dan kerja sama tertentu.","PeriodicalId":256138,"journal":{"name":"ADIL: Jurnal Hukum","volume":"9 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-07-11","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139360563","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Kekayaan Intelektual pada dasarnya merupakan benda bergerak tidak berwujud yang mempunyai nilai ekonomis. Pelaku ekonomi sebagai pemegang hak kekayaan intelektual (HKI) diharapkan dapat mengakses kredit perbankan dengan HKI yang mereka miliki sebagai obyek jaminan seperti di beberapa negara, Malaysia, Thailand dan Singapura. Permasalahan dalam penelitian ini : Apa yang menyebabkan HKI masih belum banyak diterima oleh Perbankan dan hanya menjadi jaminan tambahan jika diterima sebagai jaminan kredit ?. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang dan konseptual. Sesuai dengan sifat HKI yang merupakan benda bergerak tidak berwujud maka HKI dapat dijadikan jaminan fidusia. Sampai saat ini belum ada pedoman penilaian atas nilai ekonomis seperti HKI sehingga belum terdapat kepastian mengenai valuasi (penilaian) sebagai dasar bagi bank dalam menghitung objek jaminan dalam bentuk HKI. Diperlukan peraturan dan mekanisme valuasi yang jelas dan menjamin kepastian hukum terhadap HKI, jika masih ingin mempertahankan HKI sebagai objek jaminan Perbankan. Sistem valuasi ini perlu dikelola lembaga khusus untuk menjamin nilai hak yang dibebani dengan objek HKI, sehingga apabila debitur cidera janji, kreditur dapat memiliki kepastian hukum terhadap nilai HKI yang dijaminkan.
{"title":"PERKEMBANGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL SEBAGAI OBJEK JAMINAN KREDIT PERBANKAN","authors":"Siti Nurul Intan Sari Dalimunthe, Ridha Wahyuni","doi":"10.33476/ajl.v14i1.3566","DOIUrl":"https://doi.org/10.33476/ajl.v14i1.3566","url":null,"abstract":"Kekayaan Intelektual pada dasarnya merupakan benda bergerak tidak berwujud yang mempunyai nilai ekonomis. Pelaku ekonomi sebagai pemegang hak kekayaan intelektual (HKI) diharapkan dapat mengakses kredit perbankan dengan HKI yang mereka miliki sebagai obyek jaminan seperti di beberapa negara, Malaysia, Thailand dan Singapura. Permasalahan dalam penelitian ini : Apa yang menyebabkan HKI masih belum banyak diterima oleh Perbankan dan hanya menjadi jaminan tambahan jika diterima sebagai jaminan kredit ?. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang dan konseptual. Sesuai dengan sifat HKI yang merupakan benda bergerak tidak berwujud maka HKI dapat dijadikan jaminan fidusia. Sampai saat ini belum ada pedoman penilaian atas nilai ekonomis seperti HKI sehingga belum terdapat kepastian mengenai valuasi (penilaian) sebagai dasar bagi bank dalam menghitung objek jaminan dalam bentuk HKI. Diperlukan peraturan dan mekanisme valuasi yang jelas dan menjamin kepastian hukum terhadap HKI, jika masih ingin mempertahankan HKI sebagai objek jaminan Perbankan. Sistem valuasi ini perlu dikelola lembaga khusus untuk menjamin nilai hak yang dibebani dengan objek HKI, sehingga apabila debitur cidera janji, kreditur dapat memiliki kepastian hukum terhadap nilai HKI yang dijaminkan.","PeriodicalId":256138,"journal":{"name":"ADIL: Jurnal Hukum","volume":"22 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-07-11","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139360416","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Korupsi tidak hanya soal tindak pidana korupsi, melainkan juga perilaku-perilaku koruptif yang dapat dilakukan pula oleh warga negara biasa. Penelitian ini bermula pijak pada analisis kondisi exposure mahasiswa pengurus organisasi kemahasiswaan di Universitas YARSI yang menjadi pintu masuk bagi pembangunan gagasan untuk mengampanyekan nilai dan prinsip antikorupsi kepada seluruh mahasiswa Universitas YARSI. Penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis yang menangkap gejala-gejala sosial dan menganalisisnya dari sudut pandang keilmuan (pendidikan) hukum. Ada sejumlah hal elementer dalam hal kognisi responden mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia yang menunjukkan skala yang perlu mendapatkan intervensi kurikuler. Demikian mengerucut pada gagasan melahirkan mata kuliah Pendidikan Antikorupsi ke dalam kurikulum pendidikan tinggi yang mengadopsi semangat penyelenggaraan kelas kolaboratif dan partisipatif melalui pemanfaatan studi kasus (case study) dan pembelajaran kelompok berbasis proyek (team-based project).
{"title":"KESADARAN HUKUM UNTUK BERPERILAKU ANTIKORUPSI DI KALANGAN PENGURUS ORGANISASI KEMAHASISWAAN DI UNIVERSITAS YARSI TAHUN AKADEMIK 2021/2022 (Sebuah Refleksi untuk Membangun Gagasan)","authors":"K. Prasetyo, Mubarik Ahmad","doi":"10.33476/ajl.v14i1.3587","DOIUrl":"https://doi.org/10.33476/ajl.v14i1.3587","url":null,"abstract":"Korupsi tidak hanya soal tindak pidana korupsi, melainkan juga perilaku-perilaku koruptif yang dapat dilakukan pula oleh warga negara biasa. Penelitian ini bermula pijak pada analisis kondisi exposure mahasiswa pengurus organisasi kemahasiswaan di Universitas YARSI yang menjadi pintu masuk bagi pembangunan gagasan untuk mengampanyekan nilai dan prinsip antikorupsi kepada seluruh mahasiswa Universitas YARSI. Penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis yang menangkap gejala-gejala sosial dan menganalisisnya dari sudut pandang keilmuan (pendidikan) hukum. Ada sejumlah hal elementer dalam hal kognisi responden mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia yang menunjukkan skala yang perlu mendapatkan intervensi kurikuler. Demikian mengerucut pada gagasan melahirkan mata kuliah Pendidikan Antikorupsi ke dalam kurikulum pendidikan tinggi yang mengadopsi semangat penyelenggaraan kelas kolaboratif dan partisipatif melalui pemanfaatan studi kasus (case study) dan pembelajaran kelompok berbasis proyek (team-based project).","PeriodicalId":256138,"journal":{"name":"ADIL: Jurnal Hukum","volume":"33 1","pages":""},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2023-07-11","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"139360277","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Ananda Cahya Laksana, Lusy Liany, Aya Yahya Maulan
Di Indonesia masih terdapat pelanggaran Hak Asasi Manusia dimana terdapat beberapa kasus yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sendiri. Kasus yang penulis bahas kali ini mengenai peristiwa penembakan oleh anggota Kepolisian kepada anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) dimana penulis membahas bagaimana kekuatan Hukum Rekomendasi Komnas HAM dan tindaklanjut dari surat Rekomendasi Komnas HAM dalam kasus tersebut serta Pandangan Hukum Islam terkait proses pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia. Penelitian ini menggunakan penelitian normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Dari penelitian ini tergambar bahwasannya kekuatan Hukum Rekomendasi Komnas HAM yang belum mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk ditindaklanjuti dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta masih lemahnya komitmen penyelesaian kasus pelanggaran HAM baik dari berbagai pihak dalam menuntaskan, melindungi, dan menegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Dalam Hukum Islam telah diatur didalam Al-Quran dan Hadits soal qisas berkaitan dengan kasus yang penulis angkat. Maka dari pada itu saran dari penulis, Pertama, perlunya pengaturan kekuatan hukum surat Rekomendasi Komnas HAM diatur mengikat dalam UU HAM. Kedua, penguatan kedudukan dan kewenangan terhadap Komnas HAM dengan dibuatkan undang-undang khusus serta menjadikan Pengadilan Hak Asasi Manusia sejajar dengan peradilan lainnya.
{"title":"KEKUATAN HUKUM SURAT REKOMENDASI KOMNAS HAM DALAM PROSES PENEGAKAN HAM DI INDONESIA (Studi Surat Rekomendasi Komnas HAM Nomor: 003/Humas/KH/I/2021 dalam Kasus Penembakan Laskar Front Pembela Islam)","authors":"Ananda Cahya Laksana, Lusy Liany, Aya Yahya Maulan","doi":"10.33476/ajl.v13i1.2828","DOIUrl":"https://doi.org/10.33476/ajl.v13i1.2828","url":null,"abstract":"Di Indonesia masih terdapat pelanggaran Hak Asasi Manusia dimana terdapat beberapa kasus yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sendiri. Kasus yang penulis bahas kali ini mengenai peristiwa penembakan oleh anggota Kepolisian kepada anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) dimana penulis membahas bagaimana kekuatan Hukum Rekomendasi Komnas HAM dan tindaklanjut dari surat Rekomendasi Komnas HAM dalam kasus tersebut serta Pandangan Hukum Islam terkait proses pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia. Penelitian ini menggunakan penelitian normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Dari penelitian ini tergambar bahwasannya kekuatan Hukum Rekomendasi Komnas HAM yang belum mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk ditindaklanjuti dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta masih lemahnya komitmen penyelesaian kasus pelanggaran HAM baik dari berbagai pihak dalam menuntaskan, melindungi, dan menegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Dalam Hukum Islam telah diatur didalam Al-Quran dan Hadits soal qisas berkaitan dengan kasus yang penulis angkat. Maka dari pada itu saran dari penulis, Pertama, perlunya pengaturan kekuatan hukum surat Rekomendasi Komnas HAM diatur mengikat dalam UU HAM. Kedua, penguatan kedudukan dan kewenangan terhadap Komnas HAM dengan dibuatkan undang-undang khusus serta menjadikan Pengadilan Hak Asasi Manusia sejajar dengan peradilan lainnya.","PeriodicalId":256138,"journal":{"name":"ADIL: Jurnal Hukum","volume":"17 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-09-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"123933146","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
Ragan Varian Antariksa, Endang Purwaningsih, I. Santosa
Kepailitan merupakan sita umum yang dilakukan terhadap seluruh harta kekayaan debitor, hasil penjualan tersebut dapat dibagikan secara adil dan proposional kepada sesama para kreditor sesuai dengan besarnya piutang dari masing-masing kecuali diantara kreditor tersebut memiliki dasar alasan untuk didahulukan. Wewenang sita umum tersebut diberikan kepada Kurator yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri. Notaris berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangannya mengenai perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan dikehendaki oleh yang berkepentingan. Dalam perkara a quo terjadi polemik antara Kurator dan kreditor atas aset boedel pailit. Maka dalam perkara a quo diperlukannya peran Notaris sebagai “penengah” yang bertugas membuat Akta Kesepakatan antara Kurator dengan Kreditor Separatis dalam penitipan aset boedel pailit di kantor Notaris. Perumusan masalah ini untuk menganalisa eksistensi akta notaris sebagai kesepakatan antara Kurator dengan kreditor separatis dalam penitipan boedel pailit di kantor Notaris dan menemukan perlindungan hukum terhadap Notaris berkaitan dengan pembuatan akta kesepakatan penitipan aset boedel pailit di kantor Notaris. Metode yang digunakan adalah yuridis-normatif melalui pendekatan perundangan-undangan dan pendekatan perbandingan, penelitian ini membandingankan antara hukum kepailitan, hak tanggungan, jabatan notaris dengan doktrin-doktrin para ahli. Disimpulkan Notaris dimungkinkan membuatkan Akta Kesepakatan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan dan demi kemanfaatan semua pihak.
{"title":"EKSISTENSI AKTA NOTARIS SEBAGAI KESEPAKATAN ANTARA KURATOR DENGAN KREDITOR SEPARATIS DALAM PENITIPAN ASET BOEDEL PAILIT","authors":"Ragan Varian Antariksa, Endang Purwaningsih, I. Santosa","doi":"10.33476/ajl.v13i1.2827","DOIUrl":"https://doi.org/10.33476/ajl.v13i1.2827","url":null,"abstract":"Kepailitan merupakan sita umum yang dilakukan terhadap seluruh harta kekayaan debitor, hasil penjualan tersebut dapat dibagikan secara adil dan proposional kepada sesama para kreditor sesuai dengan besarnya piutang dari masing-masing kecuali diantara kreditor tersebut memiliki dasar alasan untuk didahulukan. Wewenang sita umum tersebut diberikan kepada Kurator yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri. Notaris berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangannya mengenai perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan dikehendaki oleh yang berkepentingan. Dalam perkara a quo terjadi polemik antara Kurator dan kreditor atas aset boedel pailit. Maka dalam perkara a quo diperlukannya peran Notaris sebagai “penengah” yang bertugas membuat Akta Kesepakatan antara Kurator dengan Kreditor Separatis dalam penitipan aset boedel pailit di kantor Notaris. Perumusan masalah ini untuk menganalisa eksistensi akta notaris sebagai kesepakatan antara Kurator dengan kreditor separatis dalam penitipan boedel pailit di kantor Notaris dan menemukan perlindungan hukum terhadap Notaris berkaitan dengan pembuatan akta kesepakatan penitipan aset boedel pailit di kantor Notaris. Metode yang digunakan adalah yuridis-normatif melalui pendekatan perundangan-undangan dan pendekatan perbandingan, penelitian ini membandingankan antara hukum kepailitan, hak tanggungan, jabatan notaris dengan doktrin-doktrin para ahli. Disimpulkan Notaris dimungkinkan membuatkan Akta Kesepakatan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan dan demi kemanfaatan semua pihak.","PeriodicalId":256138,"journal":{"name":"ADIL: Jurnal Hukum","volume":"3 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-09-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"132042498","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
pandemic, of the three settlement processes provided by BPSK DKI Jakarta, almost 90% of the dispute resolution trial processes were carried out indirectly (online), mediation was one of them. In mediation, there are changes in the application of dispute resolution including trials conducted through zoom meetings, the time for dispute resolution may be more than what has been determined in the UUPK, and the signing of the agreement can be done outside or at the BPSK DKI Jakarta office.
{"title":"PERUBAHAN PENERAPAN PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MEDIASI DI BPSK DKI JAKARTA PADA SAAT PANDEMI COVID-19","authors":"S. M. D. Hutabarat","doi":"10.33476/ajl.v13i1.2189","DOIUrl":"https://doi.org/10.33476/ajl.v13i1.2189","url":null,"abstract":"pandemic, of the three settlement processes provided by BPSK DKI Jakarta, almost 90% of the dispute resolution trial processes were carried out indirectly (online), mediation was one of them. In mediation, there are changes in the application of dispute resolution including trials conducted through zoom meetings, the time for dispute resolution may be more than what has been determined in the UUPK, and the signing of the agreement can be done outside or at the BPSK DKI Jakarta office.","PeriodicalId":256138,"journal":{"name":"ADIL: Jurnal Hukum","volume":"75 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-09-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"114854284","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}
{"title":"PENEGAKAN KODE ETIK NOTARIS SEBAGAI UPAYA MENJAGA KEHORMATAN DAN KELUHURAN JABATAN NOTARIS","authors":"Yhan Kristiawan","doi":"10.33476/ajl.v13i1.2085","DOIUrl":"https://doi.org/10.33476/ajl.v13i1.2085","url":null,"abstract":"","PeriodicalId":256138,"journal":{"name":"ADIL: Jurnal Hukum","volume":"54 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0,"publicationDate":"2022-09-28","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":null,"resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":"131535082","PeriodicalName":null,"FirstCategoryId":null,"ListUrlMain":null,"RegionNum":0,"RegionCategory":"","ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":"","EPubDate":null,"PubModel":null,"JCR":null,"JCRName":null,"Score":null,"Total":0}